Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search
Journal : JURNAL ETIKA KEDOKTERAN INDONESIA

Tinjauan Etis Rangkap Profesi Dokter-Pengacara Agus Purwadianto; Putri Dianita Ika Meilia
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (160.724 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v1i1.2

Abstract

Semakin tingginya ekspektasi masyarakat terhadap pelayanan kesehatan menjadikan profesi dokter semakin rentan terhadap tuntutan malpraktik. Sehubungan dengan itu, rangkap profesi dokter dan pengacara memberikan kesempatan untuk meningkatkan keadilan dalam kasus malpraktik. Namun, dalam membela sebuah kasus medis, dokter yang merangkap profesi sebagai pengacara bisa hadir dalam dua sisi, yaitu sebagai pembela koleganya terhadap gugatan tidak masuk akal dari pasiennya, atau pembela pasien dengan gugatan malpraktik yang lebih jelas. Dokter-pengacara rentan terhadap konflik kepentingan dikarenakan loyalitas ganda yang ia perankan secara etikolegal maupun medikolegal pada saatnya berperkara, di dalam sidang maupun di luar sidang pengadilan. Untuk itu diperlukan peran organisasi profesi untuk mengurangi atau bahkan meniadakan konflik kepentingan tersebut.
Sikap Etis Dokter terhadap Pasien yang “Mendiagnosis” Diri Sendiri Menggunakan Informasi Internet pada Era Cyber Medicine Frans Santosa; Agus Purwadianto; Prijo Sidipratomo; Peter Pratama; Pukovisa Prawiroharjo
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (210.459 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i2.16

Abstract

Saat ini, internet telah banyak menyajikan informasi tentang kedokteran dan kesehatan. Di satu sisi informasi yang tersaji berupa penemuan-penemuan baru dan keberhasilan ilmu kedokteran di bidang eksperimen, operatif, invasif, maupun konservatif, yang sangat berguna bagi dokter dalam menjalankan profesinya untuk menolong pasien dan membantu edukasi awam kepada pasien. Namun di sisi lain, informasi ini tidak dapat dipilih dan dipilah dengan baik oleh awam sehingga salah satunya melahirkan banyaknya pasien yang berusaha "mendiagnosis" dirinya sendiri, bahkan menterapi dirinya sendiri. Jenis pasien demikian semakin banyak, dan di tengah usaha coba-coba mereka mendiagnosis dan menterapi diri sendiri, mereka pergi ke dokter untuk meminta obat sebagaimana yang ia baca di internet untuk diresepkan atau bahkan lebih jauh lagi, dapat menyanggah diagnosis dan pendapat profesional dokter yang menangani. Diperlukan sikap etis dokter untuk dapat menghargai pasien sekaligus meluruskan dengan terang dan tegas terhadap informasi keliru yang dipercaya pasien.
Benarkah Dokter Spesialis yang Tugas Jaga Pasti Melakukan Pelanggaran Etik Jika Sekedar Menjawab Konsul per Telepon untuk Pertolongan Kegawatdaruratan? Pukovisa Prawiroharjo; Radi Muharris Mulyana; Prijo Sidipratomo; Agus Purwadianto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (297.272 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i1.13

Abstract

Dalam praktik kedokteran sehari-hari, seringkali dokter spesialis dikonsul oleh dokter jaga untuk kasus gawat darurat, dan seringkali pula spesialis tersebut hanya memberikan instruksi per telepon tanpa datang memeriksa pasien. Bila kemudian terjadi kecacatan apalagi kematian pada pasien tersebut, apakah dokter spesialis ini pasti telah melakukan malpraktik etik dan pidana? Tulisan ini akan membahas etika dokter spesialis dalam kegawatdaruratan, khususnya sebagai bagian dari keseluruhan manajemen di Instalasi/Unit Gawat Darurat dan rawat inap di Rumah Sakit, ditinjau dari Kode Etik Kedokteran Indonesia dan berbagai peraturan terkait. Situasi dan kategori tindakan pertolongan kegawatdaruratan yang dimaksud harus benar-benar dipertimbangkan, dan kerja sama yang erat antara dokter spesialis dan dokter jaga diperlukan untuk menjamin keselamatan pasien.
Sikap Etik Dokter Terhadap Pelayanan Kesehatan Tradisional Agus Purwadianto; Soetedjo Soetedjo; R Sjamsuhidajat
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 1 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (211.478 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i1.29

Abstract

Pelayanan kesehatan tradisional adalah salah satu ciri budaya dan kearifan lokal Indonesia. Pada saat ini, sebanyak 69.6% orang Indonesia menggunakan pelayanan kesehatan tradisional, baik berupa ramuan maupun keterampilan. Dalam sistem kesehatan di Indonesia, pelayanan kesehatan tradisional sudah diakui dengan disahkannya undang-undang/peraturan dan pohon keilmuan Sistem Kesehatan Tradisional Indonesia (SISKESTRAINDO). Tenaga medis dan tenaga kesehatan tradisional sudah selayaknya bekerja secara sinergis dalam pelayanan kesehatan, sehingga dibutuhkan panduan mengenai sikap etik sebagai seorang tenaga medis. Pelayanan kesehatan tradisional yang murah, mudah, dan mujarab harus didukung karena memiliki manfaat besar bagi masyarakat. Di sisi lain, pelayanan kesehatan tradisional yang tidak memenuhi syaratsyarat tersebut, terlebih memberikan dampak buruk pada pasien, harus ditolak dengan tegas metode, klaim, dan prakteknya.
Kampanye Anti-Vaksin oleh Seorang Dokter, Apakah Melanggar Etik? Julitasari Sundoro; Ali Sulaiman; Agus Purwadianto; Broto Wasisto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.268 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i1.8

Abstract

Sejarah terjadinya wabah cacar telah melahirkan era baru dalam upaya pencegahan penyakit infeksi. Pada abad ke-19 mulai diperkenalkan terminologi vaksin dan vaksinasi. Lambat laun, vaksinasi kian populer karena mampu mengeradikasi penyakit cacar dan mampu mengontrol penyakit infeksi lainnya. Namun, perkembangan vaksin tidak serta merta mendapat tanggapan positif. Di tengah masyarakat lahirlah gerakan antivaksinasi yang vokal menyuarakan bahaya dari vaksinasi. Dokter sebagai garda terdepan di bidang kesehatan sekaligus penanggung jawab pasien memegang peran penting untuk mencerdaskan dan tidak terlibat dalam pusaran propaganda antivaksinasi.
Pemulihan Hak dan Wewenang Profesi Pascasanksi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Yuli Budiningsih; Pukovisa Prawiroharjo; Agus Purwadianto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.742 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.24

Abstract

Proses kemahkamahan dan pemberian sanksi etik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari bentuk kontrol sosial-profesi kepada setiap individu dokter, agar dapat menampilkan kemuliaan etika dan perilaku profesional secara konsisten dalam kesehariannya. Pemulihan hak dan wewenang profesi pascasanksi merupakan langkah penting bagi Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) untuk mencapai tujuan tersebut, serta mengembalikan produktivitas dokter yang diberikan sanksi agar sama bahkan lebih baik dibandingkan sebelum sanksi. Diusulkan lima langkah dapat dilakukan MKEK dan perlu dielaborasi dalam narasi di Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja MKEK untuk memastikan proses pemulihan ini berjalan baik, yaitu (1) menyatakan dengan jelas tanggal dimulai dan berakhirnya sanksi dalam putusan MKEK, (2) memberikan informasi kepada sejawat yang diberikan sanksi MKEK perihal kebijakan pemulihan hak dan wewenang profesi ini pada sidang pembacaan putusan MKEK, (3) menerbitkan pemberitahuan pendahuluan kepada instansi tempat dokter teradu bekerja sebelum masa berakhirnya sanksi, (4) segera menerbitkan surat pemulihan hak dan wewenang pascasanksi di tanggal berakhirnya sanksi, dan (5) menyatakan bahwa riwayat sanksi MKEK tidak boleh menjadi alasan untuk membatasi, menghalangi, atau mematikan karir profesi kedokteran, pengabdian di organisasi profesi dan masyarakat, serta jabatan politik dan pemerintahan.
Penerapan Revisi Sumpah Dokter Terbaru oleh World Medical Association (WMA) di Indonesia Agus Purwadianto; Broto Wasisto; R Sjamsuhidajat
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 1 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (181.521 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i1.9

Abstract

World Medical Association (WMA) mengeluarkan revisi sumpah dokter terbaru dalam Deklarasi Geneva tahun 2017. Sumpah dokter di Indonesia tercantum di KODEKI 2012 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 1960. Sumpah disesuaikan dengan nilai dan keragaman agama di suatu negara. Beberapa revisi tersebut antara lain menghormati otonomi dan keluhuran pasien tanpa mempertimbangkan latar belakang pasien serta menghargai hubungan dengan guru, kolega, dan mahasiswa. Perubahan lainnya adalah menghilangkan kata “sejak konsepsi” pada butir menghormati kehidupan manusia. Butir tambahan adalah dokter akan menjaga kesehatan dirinya, menjalankan profesi sesuai praktis medis, dan akan membagi ilmu yang dimilikinya untuk kepentingan pasien. Untuk penerapannya di Indonesia, diperlukan persetujuan draft sumpah WMA yang disesuaikan dengan nilai di Indonesia, kemudian diterjemahkan oleh pihak yang dipilih PB IDI dan ditetapkan menjadi peraturan pemerintah.
Sistem Akumulasi Sanksi: Usulan Perubahan Kategorisasi dan Akumulasi Penetapan Sanksi untuk Pelanggaran Etik Kedokteran Pukovisa Prawiroharjo; Agus Purwadianto; Yuli Budiningsih
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 3 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (240.571 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i3.21

Abstract

Suatu pelanggaran etik yang dinilai berat senantiasa tersusun atas akumulasi dan eskalasi dari perilaku pelanggaran etik dengan bobot di bawahnya (sedang dan ringan). Oleh karena itu, penetapan sanksi etik lebih menjunjung keadilan jika juga diberlakukan akumulatif dan eskalatif. Hal ini memastikan bahwa setiap pelanggaran etik akan mendapatkan sanksi yang berfokus pada pembinaan perilaku, karena tujuan utama dari pemberian sanksi sejatinya ialah perubahan karakter dan perilaku untuk menjadi lebih baik, demikian pula tujuan utama Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) yang adalah pembinaan perilaku dan karakter dokter menjadi lebih mulia. Oleh karena itu, kami mengusulkan pembagian sanksi etik menjadi tiga kategori: kategori 1 (pembinaan perilaku), kategori 2 (penginsafan tanpa pemecatan), dan kategori 3 (penginsafan dengan pemecatan sementara), yang cocok untuk masing-masing pelanggaran etik ringan, sedang, dan berat, serta sistem pemberlakuannya yang akumulatif.
Tantangan Etika Layanan Nutrigenomik Wiji Lestari; Gabriella Lonardy; Agus Purwadianto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (132.759 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v3i2.38

Abstract

Secara epidemiologis, penyakit tidak menular di Indonesia menempati angka tertinggi dan dampaknya pada finansial negara dapat terbilang katastropik. Penggunaan informasi genetik pada nutrigenomik ini berlandaskan konsep kedokteran 4P (personalized, predictive, preventive, dan participatory) sehingga berpotensi untuk memotivasi individu untuk mengubah gaya hidup pola makan lebih baik, sebagaimana relevan dalam era JKN ini. Walaupun begitu, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan secara etis, yakni konfidensialitas dan privasi informasi genetik, biaya yang dibebankan kepada pasien, dampak psikologis dan stigmatisasi pada individu yang melalui pemeriksaan genetik diketahui memiliki kerentanan terhadap suatu penyakit, serta otonomi pada pemeriksaan anak. Di samping pertimbangan etik tersebut, perlu ditelaah dampaknya terhadap tata laksana pasien, yang mana dalam hal ini dominansi dampak dapat secara positif maupun negatif.
Dapatkah Keputusan Kemahkamahan Etik Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Bersifat Terbuka? Pukovisa Prawiroharjo; Frans Santosa; Reggy Lefrandt; Prijo Sidipratomo; Agus Purwadianto
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Vol 2, No 2 (2018)
Publisher : Majelis Kehormatan Etik Indonesia PBIDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.98 KB) | DOI: 10.26880/jeki.v2i2.15

Abstract

Keputusan sidang kemahkamahan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) pada umumnya bersifat tertutup. Namun ada beberapa kondisi di mana keputusan sidang dapat dipertimbangkan untuk bersifat terbuka oleh MKEK, mulai secara terbatas hingga terbuka penuh kepada khalayak umum, dengan isi putusan lengkap maupun tidak lengkap. Pertimbangan keterbukaan ini meliputi faktor dokter teradu, institusi yang memiliki kewenangan, faktor pengadu, lingkungan kerja dokter teradu, kepentingan pendidikan, kepentingan laporan pertanggungjawaban, pertimbangan masyarakat umum dan pers, dan sebagai konsekuensi dari perubahan Pedoman Organisasi dan Tatalaksana MKEK di kemudian hari. Pertimbangan sifat keterbukaan keputusan ini harus dilakukan secara bijaksana dan sesuai dengan pedoman yang berlaku.