Claim Missing Document
Check
Articles

Found 16 Documents
Search

Pendekatan Kedokteran Keluarga dalam Penatalaksanaan Terkini Serangan Asma pada Anak Tita Menawati Liansyah
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol 14, No 3 (2014): Volume 14 Nomor 3 Desember 2014
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak: Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran napas yang paling sering dijumpai pada anak. Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah pertama. Pelayanan kesehatan primer memegang peranan penting pada penyakit asma dalam hal penegakan diagnosis pertama kali, terapi yang tepat, dan edukasi terutama kepada pasien dan keluarganya dalam pencegahan terjadinya kekambuhan penyakit dan menurunnya kualitas hidup pasien asma. Abstract : Asthma is a chronic inflammatory airway disease is most often found in children. The prevalence of asthma in children ranged from 2-30%. In Indonesia, the prevalence of asthma in children of about 10% at primary school age and approximately 6.5% at secondary school age. Primary health care plays an important role in asthma in the first diagnosis, appropriate treatment, and education particularly to patients and families in the prevention of recurrence of disease and decreased quality of life the asthmatic patients.
PENGARUH TORSIO TESTIS TERHADAP GANGGUAN PROSES SPERMATOGENESIS PADA TESTIS TIKUS (Rattus norvegicus) Nora Adliyanti Basar; Dahril Dahril; Tita Menawati; Fajriah Fajriah
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol 17, No 2 (2017): Volume 17 Nomor 2 Agustus 2017
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/jks.v17i2.8987

Abstract

Abstrak. Torsio testis adalah terputarnya atau melilitnya korda spermatika, yang menyebabkan terputusnya aliran darah ke testis dan struktur jaringan di dalam skrotum. Penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi efek variasi durasi waktu torsio testis terhadap proses spermatogenesis yang meliputi: jumlah sel Sertoli, spermatogonia, spermatosit primer, dan round spermatid testis Rattus norvegicus dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dan dibagi dalam 3 kelompok yaitu kontrol (KO) dan perlakuan (P1 dan P2). Kelompok perlakuan diinduksi torsio 360o pada testis kiri selama 4 dan 8 jam. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus yang diamati langsung (efek cepat) dan 5 ekor tikus yang diamati setelah 30 hari dilakukan detorsi (efek lambat). Data dianalisa dengan metode ANOVA multifaktorial dan dilanjutkan dengan uji Tuckey HSD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata jumlah sel Sertoli pada KO: 142,00 ± 12,36; P1: 48,40 ± 8,00; P2: 35,70 ± 16,28, rerata jumlah spermatogonia KO: 975,30 ± 95,12; P1: 563,70 ± 170,44; P2: 321,10 ± 181,20, rerata jumlah spermatosit primer KO: 1307,50 ± 87,57; P1: 881,50 ± 253,65 ; P2: 505,80 ± 163,69, rerata round spermatid KO: 1237,20 ± 148,75; P1: 766,10 ± 277,68; P2: 473,00 ± 133,25. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa torsio testis selama 4 dan 8 jam mengakibatkan perubahan jumlah sel Sertoli, spermatogonia, spermatosit primer, dan round spermatid (P0,05). Diharapkan, penanganan segera kasus torsio testis dapat menurunkan angka kerusakan testis.  (JKS 2017; 2: 83-93)Kata kunci : torsio testis, proses spermatogenesis, jumlah sel SertoliAbstract. Testicular torsion is the spermatic cord twisted, which causes the interruption of blood flow to the testicles and structures within the scrotum. The research was subjected to identify the effect of various duration of testicular torsion to spermatogenesis process include on the amount of Sertoli cells, spermatogonia, primary spermatocytes, and spermatids round of Rattus norvegicus testes. This experimental research using completely randomized design (CRD) and contains of 3 groups: control (KO) and experimental groups (P1 and P2). The experimental groups which contains 20 rats underwent 360o unilateral left testicular torsion for 4 hours (P1) and 8 hours (P2). Five rats for each groups were examined after testicular torsion induced (short term effect) besides five other remained were examined after 30 days testicular tortion repaired (long term effect). Data were analyzed using ANOVA multifactorial followed by Tuckey’s HSD test. The result showed significant differences (P0,05). Between KO: 142.00 ± 12.36; P1: 48.40 ± 8.00; and P2: 35.70 ± 16.28 in the amount of Sertoli cells, between KO: 975.30 ± 95, 12: P1: 563.70 ± 170.44; P2: 321.10 ± 181.20 in the amount of spermatogonia, between KO: 1307.50 ± 87.57; P1: 881.50 ± 253.65; P2: 505, 80 ± 163.69 in the amount of primary spermatocytes, between KO: 1237.20 ± 148.75; P1: 766.10 ± 277.68; P2: 473.00 ± 133,25 in the amount of spermatids round. Therefore, testicular torsion for 4 and 8 hours resulted in changes in the amount of Sertoli cells, spermatogonia, primary spermatocytes, and spermatids round (P0,05). Expected, the immediate treatment of cases of testicular torsion may reduce the number of testicular damage. (JKS 2017; 2: 83-93)Keywords: testicular torsion, spermatogenesis process, the amount of Sertoli cell
PERAN DOKTER KELUARGA DALAM TATALAKSANA KASUS DERMATITIS ATOPIK PADA ANAK Jufitriani Ismy; Tita Menawati Liansyah
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol 16, No 1 (2016): Volume 16 Nomor 1 April 2016
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak: Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit kulit kronis, residif yang sering terjadi pada bayi, anak maupun dewasa. Penyakit ini dipengaruhi oleh faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Manifestasi klinis DA ditandai dengan adanya inflamasi dan disertai rasa gatal yang hebat sehingga gejala ini menyebabkan anak menjadi rewel terutama apabila ada alat sensitisasi atau allergen. Peran dokter keluarga sangat penting dalam memberikan edukasi kepada orang tua pasien agar memperhatikan asupan nutrisi dan memberikan ASI secara dini dan eksklusif yang dapat mengurangi faktor resiko terjadinya DA yang disebabkan peningkatan IgE dalam darah. (JKS 2016; 1:40-43) Kata kunci : dermatitis atopik, anak, dokter keluarga Abstract: Atopic dermatitis (AD) is a chronic skin disease, recurrent common in infants, children and adults. The disease is influenced by intrinsic and extrinsic factors. Clinical manifestations AD is characterized by inflammation and accompanied by severe itching that these symptoms cause children to be fussy, especially if there is a tool or allergen sensitization. The role of the family doctor is very important in providing education to the patient's parents to pay attention to nutrition and providing early and exclusive breastfeeding can reduce the risk factors of AD due to an increase of IgE in the blood. (JKS 2016; 1:40-43) Keywords: atopic dermatitis, children, family doctor
PENTINGNYA KOMUNIKASI DALAM PELAYANAN KESEHATAN PRIMER Tita Menawati; Hendra Kurniawan
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Vol 15, No 2 (2015): Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak. Ilmu komunikasi dalam promosi kesehatan telah menjadi komponen utama. Tantangan utama dalam komunikasi kesehatan terutama dalam promosi kesehatan adalah bagaimana cara merangkul pelayanan primer dalam mensukseskan promosi kesehatan yang diberikan. Dalam profesi kedokteran komunikasi antara dokter dan pasien merupakan komponen paling penting. Permasalahan komunikasi dalam bidang kedokteran yang paling sering muncul ke permukaan disebabkan karena kurang dipahaminya komunikasi baik dokter maupun pasien.Abstract.Science communicationin health promotionhasbecome amajor component. The mainchallengein health communication, especially in the promotion ofhealthishow toembraceprimary carein the success ofhealth promotiongiven.In themedical professionof communicationbetweendoctor and patientis themostimportantcomponent. Problemsof communication inthe field of medicinemostoftencome to the surfacedue to the lackof communicationunderstoodboth doctors andpatients.
Hubungan Karakteristik Klinis dan Laboratoris Terhadap Kejadian Miokarditis Difteri pada Anak di RSUD Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh Tita Menawati Liansyah; Mulya Safri; Sulaiman Yusuf
Sari Pediatri Vol 22, No 3 (2020)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp22.3.2020.131-8

Abstract

Latar belakang. Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae. Komplikasi terberat penyakit ini yaitu terjadinya miokarditis yang dapat mengakibatkan kematian.Tujuan. Mengetahui hubungan antara karakteristik klinis dan laboratoris terhadap kejadian miokarditis difteri pada anak di RSUDZA Banda Aceh.Metode. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yang menggunakan data rekam medik pasien difteri periode Januari 2017 hingga Desember 2019. Sampel 101 pasien difteri dengan metode purposive sampling. Analisis data menggunakan univariat dan bivariat dengan Chi-square test. Hasil. Berdasarkan hasil analisis bivariat antara karakteristik klinis dengan terjadinya miokarditis difteri didapatkan hasil (CI=95%; p<0,05) untuk stridor dan (CI=95%; p>0,05) untuk variabel letak membran, demam, nyeri tenggorokan, suara parau, bull neck dan derajat difteri. Analisis antara karakteristik laboratoris (leukosit, Troponin I, CK-MB, SGOT dan SGPT) dengan terjadinya miokarditis difteri didapatkan hasil (CI = 95%; p >0,05)Kesimpulan. Terdapat hubungan antara variabel karakteristik klinis, yaitu stridor dengan terjadinya miokarditis difteri. Sementara variabel lain, seperti letak membran, demam, nyeri tenggorokan, suara parau, bull neck dan derajat difteri tidak ada hubungan dengan terjadinya miokarditis difteri. Tidak ada hubungan antara variabel karakteristik laboratoris (leukosit, Troponin I, CK-MB, SGOT dan SGPT) dengan terjadinya miokarditis difteri pada anak di RSUDZA Banda Aceh.
Pediatric Ileocolica Invagination: A Case Report Sulaiman Yusuf; Tita Menawati Liansyah
Britain International of Exact Sciences (BIoEx) Journal Vol 2 No 3 (2020): Britain International of Exact Sciences Journal, September
Publisher : Britain International for Academic Research (BIAR) Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33258/bioex.v2i3.299

Abstract

Invagination or intussusception is an inversion of intestinal segments into other intestinal segments which is the most common cause of intestinal obstruction in infants and children. Early diagnosis and therapy can cause intestinal ischemia, perforation, and peritonitis which can be fatal. Trias classic symptoms consist of abdominal pain, vomiting, and blood in the stool. Invagination often occurs in children under 2 years old, with the highest incidence in children aged 4 - 9 months. The most common cause of invagination is idiopathic. Reportedly a boy, 10 months with a history of mucus with blood, vomiting, flatulence, history of colds cough. Physical examination reveals that the child is aware and active. The abdomen appears distended, palpable mass such as sausages, and intestinal hyperperistaltic. In the rectal toucher, there is mucus and blood on the handscoon. Investigations found anemia and leukocytosis. Stool examination showed blood, erythrocytes 4-6 LPB and leukocytes 8-10 LPB. Radiological examination of the abdomen appears to dilate the intestine (colon) with a coffee bean sign, the impression is in accordance with the picture of invagination. Abdominal ultrasound impression according to the picture of invagination (colo-colica). The patient was diagnosed as ileocolica intussusception and acute diarrhea without dehydration.
Hubungan Tingkat Pengetahuan Orangtua dengan Penggunaan Kacamata sebagai Koreksi pada Anak Kelainan Refraksi di MIN Ulee Kareng Banda Aceh Nurul Islami; Firdalena Meutia; Tita Menawati Liansyah
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Medisia Vol 2, No 2: Mei 2017
Publisher : Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Medisia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (324.975 KB)

Abstract

Kelainan refraksi merupakan keadaan dimana sistem optik dari mata gagal untuk menyesuaikan diri, sehingga bayangan tidak fokus tepat pada retina dan menyebabkan penglihatan menjadi kabur. Kelainan refraksi yang tidak dikoreksi merupakan masalah utama mata di seluruh dunia. Data dari VISION 2020, suatu program kerjasama antara InternationalAgency for the prevention of Blindness (IAPB) dan World Health Organization (WHO) memperkirakan 153 juta penduduk dunia mengalami gangguan visus akibat kelainan refraksi yang tidak dikoreksi. Pentingnya orangtua memiliki pengetahuan yang benar mengenai kelainan refraksi, sebagai upaya untuk dapat menanggulangi kondisi kelainan refraksi pada anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan tingkat pengetahuan orangtua dengan penggunaan kacamata sebagai koreksi pada anak kelainan refraksi di MIN Ulee Kareng Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan desain cross sectional dengan metode pengambilan sampel secara total sampling. Ditemukan 42 anak yang mengalami kelainan refraksi dari 369 anak yang dilakukan pemeriksaan visus menggunakan Snellen Chart, selanjutnya dibagikan kuesioner untuk menilai pengetahuan orangtua terhadap kelainan refraksi. Hasil analisis data dengan menggunakan uji Mann-Withney menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara tingkat pengetahuan orangtua dengan penggunaan kacamata sebagai koreksi pada anak kelainan refraksi (p value 0,0230,05). Kesimpulan pada penelitian ini terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan orangtua dengan penggunaan kacamata sebagai koreksi pada anak kelainan refraksi di MIN Ulee Kareng Banda Aceh.Refractive error  is a condition where the optical system of the eye fails to adjust, so shadows cannot focus precisely on the retina and causing vision becomes blurred. Uncorrected refractive errors are the major problem in the world. According to VISION 2020, a program of cooperation between the International Agency for the prevention of Blindness (IAPB) and the World Health Organization (WHO) estimates that 153 million people worldwide impaired vision due to uncorrected refractive errors. That important for parents to have the right knowlage of refractive errors, as efforts to cope with the condition of refractive errors in children. The purpose of this study was to analyze the relationship between the levels of parent’s knowledge and the use of glasses as the correction of refractive errors for children in MIN Ulee Kareng Banda Aceh. This type of research is an analytic observational with cross sectional design using total sampling methods. It is founded that 42 children who have refractive errors of 429 children were examined visual acuity using the Snellen Chart, then questionnaires were distributed to assess parent’s knowledge for the refractive error. The results of data analysis using the Mann-Whitney test shows that there was a significant correlation between the level of parents’ knowledge with the use of glasses as the correction of refractive errors in children (p value 0.0230.05). The conclusion of this research shows a relation between the level parent’s knowledge and the use of glasses as the correction of refractive errors for children in MIN Ulee Kareng Banda Aceh.
MALNUTRISI PADA ANAK BALITA Tita Menawati Liansyah
Jurnal Buah Hati Vol. 2 No. 1 (2015)
Publisher : Department of Early Childhood Education, STKIP Bina Bangsa Getsempena

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (188.856 KB) | DOI: 10.46244/buahhati.v2i1.528

Abstract

Malnutrisi masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Prevalensi malnutris pada balita di Indonesia masih cukup tinggi. Diagnosis malnutrisi dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan pemeriksaan laboratorium. Malnutrisi pada balita tidak hanya meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi juga dapat menimbulkan gangguan dalam pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan berpikir yang pada akhirnya akan menurunkan produktivitas kerja. Keterlambatan dalam memberikan pelayanan gizi pada balita dengan malnutrisi dapat mengakibatkan kerusakan yang sukar atau tidak dapat diperbaiki lagi.
Aspek Klinis dan Tatalaksana Duchenne Muscular Dystrophy Pada Anak Tita Menawati Liansyah; Hidayaturrahmi Hidayaturrahmi
Jurnal Sinaps Vol. 5 No. 2 (2022): Volume 5 Nomor 2, Juni 2022
Publisher : Neurologi Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Duchenne muscular dystrophy (DMD) is an X-linked recessive disease, progressive muscular type, hereditary in nature, and is inherited through X-linked recessive so that it only affects boys, while girls are carriers. Usually patients die in the second decade due to complications of pulmonary infection or heart failure. Clinically DMD patients are unable to walk at the age of about 10 years. Surgery and rehabilitation, can help patients to prolong ambulation function and provide a sense of comfort.
Resusitasi Pada Cedera Otak Traumatik Ika Waraztuty; Dewi Prahaztuty; Tita Menawati Liansyah; Hidayaturahmi
Jurnal Sinaps Vol. 5 No. 3 (2022): Volume 5 Nomor 3, September 2022
Publisher : Neurologi Manado

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Cedera otak adalah perubahan fungsi otak atau terdapat bukti patologi pada otak yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal. Konsekuensi akibat cedera otak dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, faktor komorbid, sepsis, dan tatalaksana yang didapatkan. Tujuan utama penanganan cedera otak traumatik adalah meminimalkan edema serebri, mencegah peningkatan tekanan inrakranial, dan mengoptimalkan cerebral perfusion pressure (CPP) sehingga akan menurunkan angka kejadian cedera otak sekunder. Semua pasien yang dicurigai mengalami cedera otak traumatik harus menjalani primary dan secondary survey yang meliputi pemeriksaan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Dilanjutkan dengan monitor tekanan Intra Kranial, suhu tubuh, profilaksis kejang, pemberian anestesi, analgetika, dan sedasi serta pencegahan Deep Venous Thrombosis dan koagulopati.