Di era digital seperti sekarang ini, media sosial dapat membawa banyak perubahan yang sangat cepat sehingga dapat menggeser nilai-nilai budaya yang sudah ada. Budaya flexing membawa tantangan besar terhadap umat Muslim yang mengikuti ajaran Al-Qur'an, yaitu untuk menjauhi sikap riya’, ujub, sombong. Tujuan penelitian ini, menganalisis pengertian budaya flexing perspektif Al-Qur’an dan psikologi sosial, dan mengkaji dampak budaya flexing di media sosial terhadap mentalitas masyarakat Muslim, serta mengeksplorasi solusi fenomena budaya flexing menurut Al-Qur’an dan pemikiran Ibnu Sina. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif dengan pendekatan kepustakaan (library research). Data yang digunakan berupa kitab tafsir, buku, jurnal ilmiah, dan artikel tentang fenomena flexing, psikologi sosial, dan pemikiran Ibnu Sina. Teknik analisis data yang diterapkan adalah analisis isi (content analysis). Hasil penelitian yaitu fenomena flexing dalam Al-Qur’an dapat dikaitkan dengan konsep seperti riya' (pamer) dalam QS. An-Nisa’: 38, ‘ujub (membanggakan diri) dalam QS. Al-Hadid: 23, takabbur (kesombongan) dalam QS. Fusshilat:15, dan hubbud dunya (cinta dunia) dalam QS. Al-Hadid:20. Menurut Ibnu Sina, flexing yaitu fenomena dimana seseorang memamerkan kekayaan, pencapaian, atau gaya hidup secara berlebihan untuk mendapatkan pengakuan atau validasi dari orang lain. Dampak budaya flexing yaitu pada individu, flexing merusak akhlak dan spiritualitas, mendorong konsumerisme dan pencarian validasi eksternal. Secara sosial, flexing memperparah ketimpangan, materialisme, dan persaingan tidak sehat. Secara psikologis, flexing memicu FOMO, kecemasan, dan ketidakpuasan. Serta solusi al-Quran yaitu mengedepankan nilai-nilai zuhud (kesederhanaan dan kepuasan hati) dan tawadhu' (kerendahan hati). Sedangkan solusi menurut Ibnu Sina pengendalian temperamen melalui meditasi, mengejar kebahagiaan sejati dengan pengembangan diri, menggunakan akal untuk menganalisis perilaku, dan mencari hikmah dari pengalaman.