Claim Missing Document
Check
Articles

Found 26 Documents
Search
Journal : Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni

Peran Conscientiousness sebagai Moderator dari Hubungan Job Resources dan Work Engagement Karyawan Information Technology (IT) pada PT. X Sugiarto, Winoto; Suyasa, P. Tommy Y. S.; Lie, Daniel
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 1, No 1 (2017): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v1i1.369

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran dari conscientiousness sebagai moderator hubungan antara job resources dan work engagement yang ada pada PT. X khususnya pada unit kerja Information Technology (IT). Karyawan IT yang bekerja menunjukkan work engagement yang rendah, indikatornya adalah semangat, dedikasi dan kekhusyukan yang rendah terhadap pekerjaan. Partisipan diambil dari 72 karyawan IT yang terdiri dari developer dan support di PT. X. Teknik sampling menggunakan probability sampling. Pengambilan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner Utrecht Work Engagement Scale (UWES), Job-Demands Resources Questionnaire, dan NEO PI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa job resources berelasi positif terhadap work engagement. Relasi positif antara job resources dan work engagement tidak berbeda antara partisipan yang memiliki conscientiousness tinggi dan partisipan yang memiliki conscientiousness rendah pada dimensi coaching dan opportunity for development. Namun peran conscientiousness sebagai moderator hubungan antara job resources dan work engagement terlihat pada dimensi feedback, social support dan autonomy. Keywords: work engagement, job resources, conscientiousness, moderator, karyawan IT
UJI PERAN ABUSIVE SUPERVISION SEBAGAI MEDIATOR : HUBUNGAN MACHIAVELLIANISM DENGAN PERILAKU KERJA KONTRAPRODUKTIF Yuliana, Yuliana; Suyasa, P. Tommy, Y. S.
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 2, No 2 (2018): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v2i2.2226

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji peran abusive supervision sebagai mediator hubungan machiavellianism dengan perilaku kerja kontraproduktif (PKK). PKK merupakan perilaku yang dilakukan oleh individu secara sengaja yang bertentangan dengan tujuan, aturan, dan norma organisasi serta dapat memberikan efek negatif bagi organisasi dan anggota di dalamnya. Machiavellianism merupakan sifat kepribadian yang dikarekteristikan dengan kecenderungan keyakinan sinis terhadap orang lain dan tindakan manipulatif untuk mencapai keuntungan pribadi (seperti uang, kekuasaan, dan status). Abusive supervision adalah persepsi subyektif dari bawahan mengenai sejauh mana perilaku atasan dinilai tidak menyenangkan baik perilaku verbal maupun non verbal, namun tidak melibatkan kontak fisik. Penelitian ini melibatkan 337 partisipan yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan manufaktur kasur pegas. Analisis data dilakukan dengan metode path analysis dengan software Smart-PLS versi 3.2.7. Hasil penelitian menunjukkan abusive supervision berperan sebagai mediator secara penuh hubungan machiavellianism dengan PKK. The purpose of this study is to examine the role of abusive supervision as the mediator between machiavellianism and counterproductive work behavior (PKK). PKK is a behavior carried out intentionally by individuals that conflicts with the goals, rules, and norms of the organization which negatively affects the organization and its members. Machiavellianism is a personality trait that is characterized by the tendency of cynical beliefs towards others and manipulative actions for personal gain (such as money, power, and status). Abusive supervision is the subjective perception of the subordinates regarding the extent to which the behavior of the supervisor is deemed unpleasant both verbally and nonverbally, but does not involve physical contact. This study involves 337 participants who worked as employees at a spring bed manufacturing company. Data analysis was performed using path analysis method with Smart-PLS software version 3.2.7. The result of the study shows that abusive supervision acts as a full mediator between machiavellianism and PKK.Keywords: Machiavellianism, counterproductive work behavior, abusive supervision .
PENGARUH KEPUASAN KERJA TERHADAP PROXIMAL WITHDRAWAL STATES PADA KARYAWAN PERUSAHAAN PERBANKAN Venesia, Venesia; Tumanggor, Raja O.; Suyasa, P. Tommy Y.S.
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 1 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i1.3496.2020

Abstract

Banks play an important role in a country's economy. However, banks face various challenges in meeting their objectives. One of the challenges faced by some banks is a high employee turnover rate. In regards to turnover, there is a new concept of proximal withdrawal states proposed by Hom, Mitchell, Lee, and Griffeth (2012) as the closest and more accurate predictor of turnover than intention to leave (Li, Lee, Mitchell, Hom, & Griffeth, 2016).Proximal withdrawal states is the condition of one's motivation towards the company where he/she works, which consists of two dimensions, namely (a) preference to leave or stay in the company (intention to leave) and (b) control of those desires (perceived control over preference). The combination of the two dimensions forms four types of proximal withdrawal states, namely enthusiastic leavers, reluctant stayers, reluctant leavers, and enthusiastic stayers. Job satisfaction, which has a significant negative relationship with intention to quit (Masum et al., 2016), proved to be more accurate in predicting turnover when analyzed with proximal withdrawal states (Li et al., 2016).This study aims to determine the effect of job satisfaction on proximal withdrawal states in banking company employees. This study uses descriptive non-experimental research method, with purposive sampling technique. 273 banking company employees who participated in this study. The results of the analysis using multinominal logistic regression testing showed the effect of job satisfaction on proximal withdrawal states for banking employees. The higher the level of job satisfaction of banking employees, the greater the tendency for employees to become enthusiastic stayers or reluctant stayers, both of whom have a desire to remain in the company. Bank memiliki peran penting bagi perekonomian negara. Namun bank menghadapi berbagai tantangan dalam memenuhi tujuannya. Salah satu tantangan yang dihadapi beberapa bank adalah tingkat turnover karyawan yang tinggi. Terkait dengan turnover, terdapat konsep baru mengenai proximal withdrawal states yang diusulkan oleh Hom, Mitchell, Lee, dan Griffeth (2012) sebagai faktor (prediktor) yang paling dekat dan lebih akurat untuk memprediksi turnover dibandingkan intention to leave (Li, Lee, Mitchell, Hom, & Griffeth, 2016). Proximal withdrawal states adalah kondisi motivasi seseorang terhadap perusahaan di mana ia bekerja, yang terdiri dari dua dimensi yaitu (a) preferensi untuk keluar atau menetap di perusahaan (intention to leave) dan (b) kendali atas keinginan tersebut (perceived control over preference). Perpaduan kedua dimensi tersebut membentuk empat jenis proximal withdrawal states, yaitu enthusiastic leavers, reluctant stayers, reluctant leavers, dan enthusiastic stayers. Kepuasan kerja, yang memiliki hubungan signifikan negatif dengan intention to quit (Masum et al., 2016), terbukti semakin akurat dalam memprediksi turnover ketika dianalisis dengan proximal withdrawal states (Li et al., 2016). Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh kepuasan kerja terhadap proximal withdrawal states pada karyawan perusahaan perbankan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian non eksperimental deskriptif, dengan teknik purposive sampling. Terdapat 273 karyawan perusahaan perbankan yang menjadi partisipan dalam penelitian ini. Hasil analisis dengan pengujian regresi logistik multinominal menunjukkan adanya pengaruh kepuasan kerja terhadap proximal withdrawal states pada karyawan perbankan. Semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan perbankan, maka semakin besar peluang karyawan untuk menjadi enthusiastic stayers ataupun reluctant stayers, di mana keduanya memiliki keinginan untuk menetap di perusahaan.
RANCANGAN KUESIONER LIMA ASPEK MINDFULNESS BAHASA INDONESIA Mutiara, Raden; Suyasa, P. Tommy Y.S.
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 5, No 2 (2021): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v5i2.11783.2021

Abstract

The Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) is one of the most widely used mindfulness measurement instruments due to the ability of the instrument to assess not only how the individual is at present, but also provides accurate conclusions about the impact of each mindfulness practice that has been practiced before. Unfortunately, the Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) is not available in Indonesian. The study was conducted to redesign the Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) developed by Baer et al. (2006) in English which consisted of 39 items representing 5 aspects, namely acting with awareness, non-assessing experiences, observing, non-reactivity of inner experiences, and describing in words. The questionnaire redesign in Indonesian version and developed into 40 items consisting of 8 items representing acting with awareness, 9 items representing non-judging of experience, 8 items representing observing, 7 items representing non-reactivity of inner experiences, and 8 items represent describing with words. The questionnaire was arranged in a submitted rating scale format with choices that had  been arranged in semantic differential format where response options are presented on a bipolar scale. Kuesioner lima aspek mindfulness atau yang lebih dikenal Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) adalah salah satu instrumen pengukuran mindfulness yang paling banyak digunakan disebabkan oleh kemampuan instrumen ini menilai bukan hanya bagaimana individu pada saat ini, namun juga memberikan penilaian yang akurat tentang dampak dari setiap praktik mindful yang telah dipraktekkan sebelumnya. Sayangnya saat ini instrumen Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) belum tersedia dalam bahasa Indonesia. Penelitian dilakukan untuk membuat rancangan kuesioner lima aspek mindfulness atau Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ) yang telah dikembangkan oleh Baer et al. (2006) menggunakan bahasa Inggris yang terdiri dari terdiri dari 39 butir yang mewakili 5 aspek yaitu acting with awareness, non-judging of experience, observing, non-reactivity of inner experience, dan describing with words. Kuesioner tersebut yang dirancang kembali dalam bahasa Indonesia dan berkembang menjadi 40 butir yang terdiri dari 8 butir pernyataan mewakili aspek acting with awareness, 9 butir pernyataan mewakili aspek non-judging of experience, 8 butir pernyataan mewakili aspek observing, 7 butir pernyataan mewakili aspek non-reactivity of inner experience dan 8 butir pernyataan mewakili aspek describing with words. Kuesioner disusun dalam format submitted rating scale dengan pilihan respon disusun dalam format semantic differential dimana pilihan respon disajikan dalam skala bipolar.
HUBUNGAN KEPUASAN KERJA DENGAN INTENSI KELUAR KERJA (STUDI META-ANALISIS) Jessica, Jessica; Y. S. Suyasa, P. Tommy
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 6, No 1 (2022): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v6i1.9990.2022

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepuasan kerja dan intensi keluar kerja. Penelitian ini dilakukan dengan metode meta-analisis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa artikel penelitian diambil dari website resmi APA, PsycINFO. Sebanyak 22 artikel berhasil dikumpulkan sebagai data penelitian dan dari artikel tersebut didapatkan 33 studi. Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja dan intensi keluar kerja memiliki hubungan negatif. Hal tersebut menjelaskan bahwa semakin tinggi kepuasan kerja yang didapatkan karyawan, maka tingkat intensi keluar kerja akan menjadi semakin rendah. Berlaku juga hal sebaliknya, jika kepuasan kerja rendah, maka intensi keluar kerja yang terjadi akan semakin tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesimpulan dari keseluruhan artikel yang digunakan menyatakan bahwa kepuasan kerja masih berperan cukup besar dalam memprediksi intensi keluar kerja.
PENGARUH RASA TIDAK AMAN BEKERJA TERHADAP SUBJECTIVE WELL-BEING DAN KUALITAS TIDUR DENGAN JOB EMBEDDEDNESS SEBAGAI MODERATOR Theresia Meirosa Purba; P. Tommy Y.S. Suyasa
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 1 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i1.3556

Abstract

Perubahan adalah suatu hal yang tidak terelakkan. Perubahan yang terjadi dalam organisasi bahkan disebut dapat menjadi salah satu sumber stress pada karyawan. Adanya gejala stress yang dialami karyawan tampak dari rasa tidak aman mengenai masa depan ataupun kelanjutan pekerjaannya. Bahkan rasa tidak aman bekerja diprediksi dapat berpengaruh terhadap kondisi emosi dan kualitas tidur karyawan. Dengan mengembangkan penelitian terdahulu, penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh dari rasa tidak aman bekerja terhadap subjective well-being dan kualitas tidur pada karyawan Perusahaan X, dengan job embeddedness sebagai variabel moderator. Sebagai suatu gejala stress, rasa tidak aman bekerja (job insecurity) diartikan sebagai ancaman kehilangan pekerjaan yang dirasakan individu serta rasa khawatir yang berkaitan dengan ancaman tersebut. Dampak dari rasa tidak aman tersebut tampak pada subjective well-being yang diartikan sebagai penilaian keseluruhan individu terhadap pengalaman emosional, serta tampak pula pada kualitas tidur, yaitu aspek kuantitatif dan subyektif dari pengalaman tidur individu. Job embeddedness sebagai moderator didefinisikan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk bertahan pada pekerjaan dan organisasi atau perusahaan. Penelitian ini berbentuk studi kuantitatif non-eksperimental dengan melibatkan 110 karyawan tetap dari Perusahaan X. Pengambilan data dilakukan melalui metode survey dengan menyebarkan e-form. Kemudian data dianalisis dengan metode regresi linear melalui program SPSS 24.0. dan menunjukkan hasil di mana secara umum job embeddedness tidak menunjukkan peran sebagai moderator pada pengaruh dari rasa tidak aman bekerja terhadap subjective well-being maupun kualitas tidur. Namun demikian, job embeddedness pada level tertentu akan menunjukkan peran sebagai moderator. Change is inevitable Changes that occur in an organization might even be a stressor for employees. One symptom of stress experienced by employees is the insecurity about the future or the continuation of their employment. This feeling of work insecurity is predicted to affect the emotional condition and quality of sleep of employees. By improving on previous research, this study aims to identify the effect of work insecurity on subjective well-being and sleep quality in Company X employees, with job embeddedness as a moderating variable. As a symptom of stress, job insecurity is defined as the threat of job loss felt by individuals as well as the worry associated with said threat. The impact of insecurity on subjective well-being is defined as an overall individual assessment of emotional experience, which is reflected on the quality of sleep, namely the quantitative and subjective aspects of individual sleep experience. Job embeddedness as the moderator is defined as the factors that influence a person's decision to stay with the job and organization or company. This research is a non-experimental quantitative study involving 110 employees from Company X. Data was collected through a survey by distributing e-forms. Then, the data were analyzed using linear regression method on SPSS 24.0. which shows that, in general, job embeddedness does not serve as moderator of the influence of work insecurity on subjective well-being and sleep quality. However, job embeddedness, at a certain level serves as moderator.
PERAN KETERIKATAN KERJA SEBAGAI MEDIATOR EFIKASI DIRI DALAM MEMPREDIKSI INTENSI KERJA Kevin Djasa; P. Tommy Y.S. Suyasa; Bonar Hutapea
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 1 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i1.7564.2020

Abstract

Lecturers are considered important workforce for a university or in any highgrade education institutions. University X had experienced a decrease in educational manpower due to system changes which creates a significant problem towards the university management in fulfilling the needs and demands of lecturers that are needed to accommodate the large ammount of students that are increasing exponentially. To address this problem, the university need to encourage lecturers who had high intentions to quit to be involved more in their professional practices and believe in their skills as a lecturer in the field of teaching, researching and community service. The aim of this research is to understand the role of Work Engagement as a mediator of Self-efficacy in predicting Turnover Intention of lecturers working in a university. This research is an analytic correlational research which uses quantitative approach of Non-experimental method. Data regarding levels of self-efficacy, work engagement and turnover intention of participants are collected via questionnaire links. The number of participants in this research were 163 lecturers. Self-efficacy and work engagement within the lecturers are categorized as high, besides that turnover intention within the lecturers are categorized as medium. The hypothesis testing used the Spearman Rank with a 95% trust level. Results show that self efficacy is significant towards turnover intention (r=-0,408; p<0,000). Results also show thatself-efficacy is significant towards work engagemen t(r=0,617; p<0,000). Work engagement fully mediated the relationship between self-efficacy and turnover intention. Dosen merupakan tenaga kerja penting dalam sebuah institusi pendidikan tinggi atau universitas. Universitas X mengalami penurunan dalam aspek sumber daya dosen akibat pergantian sistem baru sehingga menimbulkan permasalahan bagipengelolauniversitas dalam memenuhi tuntutan jumlah dosen yang cukup untuk mengakomodasi jumlah mahasiswa yang semakin banyak. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, universitas harus berupaya melibatkan dosen yang memiliki intensi keluar yang tinggi untuk lebih melibatkan mereka dalam praktek profesi dan meningkatkan keyakinan kemampuan mereka dalam mengajar, melakukan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran keterikatan kerja sebagai mediator efikasi diri dalam memprediksi intensi kerja pada dosen yang bekerja di universitas. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik korelasi dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode non-experimental. Data tingkat efikasi diri, keterikatan kerja dan intensi kerja responden dikumpulkan dengan link kuesioner. Subyek penelitian berjumlah 163 dosen yang bekerja di Universitas X. Rata-rata tingkat efikasi diri dan keterikatan kerja dosen dalam kategori tinggi, sementara rata-rata tingkat intensi kerja dosen dalam kategori sedang. Uji hipotesis untuk setiap variabel menggunakan Spearman Rank dengan tingkat kepercayaan 95%. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri dan intensi kerja (r = -0,408; p<0,000). Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara efikasi diri dan keterikatan kerja (r = 0,617; p<0,000). Kerikatan kerja memiliki peran signifikan sebagai mediator sempurna antara efikasi diri dan intensi kerja.
APAKAH BEKERJA SECARA FLEXTIME MENDUKUNG CONTEXTUAL PERFORMANCE KARYAWAN? Lilies Nuraini; P. Tommy Y.S. Suyasa
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 3, No 2 (2019): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v3i2.3520

Abstract

Semakin majunya teknologi telekomunikasi dan digital memungkinkan karyawan untuk dapat bekerja secara flextime. Pilihan ini disikapi secara pro dan kontra di banyak perusahaan karena studi tentang dampak dari bekerja secara flextime masih jarang ditemukan dan menjadi perdebatan. Penelitian ini bertujuan untuk melanjutkan penelitian sebelumnya tentang benefit penggunaan flextime terhadap affective well-being dan untuk melihat peran lebih lanjut pada contextual performance (CP) karyawan di PT A. Penggunaan flextime didefinisikan sebagai sejauh mana karyawan memiliki kontrol untuk mengatur jam kedatangan, kepulangan, frekuensi istirahat dan durasi waktu istirahat dalam 1 (satu) hari kerja. Contextual performance adalah frekuensi karyawan melakukan perilaku yang mendukung organisasi secara sosial dan psikologis dalam pelaksanaan fungsi utama perusahaan. Affective well-being mengacu pada frekuensi dan intensitas emosi positif/ negatif dan mood partisipan dalam 1 (satu) bulan terakhir. Work-nonwork boundaries mengacu pada perilaku yang selama ini dilakukan untuk memisahkan mental (psikologis) karyawan antara peran di pekerjaan dan di rumah. Partisipan pada studi ini sebanyak 323 orang karyawan. Hasil pengujian dengan path analysis menggunakan SPSS menyatakan bahwa penggunaan flextime memiliki peran terhadap CP karyawan. Hal ini berarti semakin sering karyawan bekerja dalam mekanisme flextime, CP karyawan akan lebih baik, dan begitu pula sebaliknya. Beberapa temuan penting dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya dijelaskan dalam kesimpulan, termasuk menyoroti perbedaan budaya responden. Untuk penelitian lebih lanjut, dapat menggunakan sampel dengan unit kerja yang lebih spesifik, dan/ atau menganalisa berdasar bentuk lain fleksibilitas kerja (flexplace dan temporal flexibility). The advancement of telecommunication and digital technology allows employees to work flextime. This option is still perceived differently by many companies because studies of the effects of working flextime are scarce and still being debated. This study aims to continue previous research on the benefits of using flextime for affective well-being and to further see its role in the contextual performance (CP) of employees of PT A. The use of flextime is defined as the extent to which employees can alter their starting and finish times, break frequency and break time duration in 1 (one) working day. Contextual performance is the frequency of employees performing behaviors that support the organization socially and psychologically in the implementation of the company's main functions. Affective well-being refers to the frequency and intensity of positive / negative emotions and moods of participants in the past 1 (one) month. Work-nonwork boundaries refer to behaviors done to separate employees' mental (psychological) state between roles at work and at home. Participants in this study were 323 employees. Path analysis test results using SPSS states that the implementation of flextime plays a role in employee CP. This means that the more often employees work flextime, the better their CP will be, and vice versa. Some important findings and differences with previous research are explained in the conclusions, including a highlight on the cultural differences of respondents. Further research can utilize samples with more specific work units, and / or analyze based on other forms of work flexibility (flexplace and temporal flexibility).
PERAN SELF EFFICACY SEBAGAI MEDIATOR ANTARA JOB RESOURCES DAN WORK ENGAGEMENT PADA DOKTER HEWAN Puspa Putri Sajuthi; Raja O. Tumanggor; P. Tommy Y.S. Suyasa
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 2 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i2.3495.2020

Abstract

This study explores the role of self-efficacy as a mediator between job resources and work engagement among veterinarians. Self-efficacy is seen as the degree of confidence of the veterinarian in performing their duties. Job resources is an aspect of work that individuals can use to handle the demands and challenges of their work. Job resources in this study includes opportunities for professional development and skills discretion. Opportunties for professional development refers to the opportunities provided for veterinarians to enroll in courses that can develop their veterinary knowledge. Skills discretion refers to the extent to which veterinarians acquire the opportunity to apply all their skills, both as a veterinarian and other skills such as negotiation and creativity. Participants included 32 veterinarians from X Veterinary Clinic, Jakarta. The analysis methods used were regression and bootstrapping. The results showed that self-efficacy is proven to act as a partial mediator in explaining the relationship between skills discretion and work engagement. Penelitian ini mengeksplorasi peran self efficacy sebagai mediator antara job resources dan work engagement pada dokter hewan. Self efficacy digambarkan sebagai derajat keyakinan dokter hewan dalam melakukan pekerjaannya. Job resources merupakan aspek pekerjaan yang dapat digunakan individu untuk menangani tuntutan dan tantangan pekerjaannya. Job resources pada penelitian ini digambarkan dengan opportunities for professional development dan skills discretion. Opportunties for professional development mengacu pada kesempatan yang diberikan bagi para dokter hewan untuk mengikuti kursus yang dapat mengembangkan ilmunya sebagai dokter hewan. Skills discretion mengacu pada sejauh mana dokter hewan memeroleh kesempatan untuk menerapkan segenap keterampilan yang dimilikinya baik keterampilan sebagai dokter hewan maupun keterampilan lainnya seperti negosiasi dan berkreasi. Partisipan adalah 32 orang dokter hewan di Klinik Hewan X, Jakarta. Metode analisis yang digunakan adalah regresi dan bootstrapping. Hasil penelitian menunjukkan bahwa self efficacy teruji berperan sebagai mediator parsial dalam menjelaskan hubungan antara skills discretion dan work engagement. 
PERAN JOB DEMANDS DAN JOB RESOURCES TERHADAP WORK-FAMILY ENRICHMENT PADA GURU DI SEKOLAH X Florensia Louhenapessy; Rita Markus Idulfilastri; P. Tommy Y.S. Suyasa
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol 4, No 2 (2020): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v4i2.8818.2020

Abstract

The teacher plays two main roles in his life, namely the role in work and in the family. The implementation of these two roles does not always cause conflict, but can improve the quality of life of teachers. Teacher job conflicts are closely related to job demand and job resources. Therefore, the purpose of this study is to see how the role of job demands and job resources on work-family enrichment in teachers. Work-family enrichment is enrichment obtained from individual experiences at work towards the welfare of family life, or vice versa. Job demands are defined as identical job demands with various pressures on the job (job stressor). Examples of job demands on teachers are the number of students who exceed the capacity in the classroom, the addition of subject matter outside of the teacher's interest / competence, the demand to adjust science to the times. Job resources are physical, social, and organizational aspects that serve as support or resources to achieve work goals. With the existence of job resources, job demands can be resolved. Psychologically, solving work demands based on available resources will stimulate the individual to grow and develop personally, in this case the personal growth of the individual has implications for increasing his welfare in working / family life. Participants in this study were 43 teachers in School X. Analysis of research results using multiple regression showed that job demands and job resources together played a role in predicting an increase in work-family enrichment by 12.5%. The implication of the results of this study is that various demands on work supported by resources at work can improve welfare in working life / family life. Guru menjalankan dua peran utama dalam kehidupannya yaitu peran di pekerjaan dan keluarga. Menjalankan dua peran tersebut tidak selalu menimbulkan konflik, namun justru bisa meningkatkan kualitas hidup guru. Konflik pekerjaan guru sangat berhubungan dengan job demand dan job resources. Oleh karena itu, tujuan penelitian adalah untuk melihat bagaimana peran job demands dan job resources terhadap work-family enrichment pada guru. Work-family enrichment merupakan pengayaan yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman individu di pekerjaan terhadap kesejahteraan kehidupan berkeluarga, atau sebaliknya. Job demands didefinisikan sebagai tuntutan-tuntutan pekerjaan yang indentik dengan berbagai tekanan dalam pekerjaan (job stressor). Contoh dari job demands pada guru adalah jumlah siswa yang melebihi kapasitas di dalam kelas, penambahan materi pelajaran di luar minat/kompetensi guru, tuntutan untuk menyesuaikan ilmu pengetahuan dengan perkembangan zaman. Job resources adalah aspek-aspek fisik, sosial, maupun organisasi yang berfungsi sebagai pendukung atau sumber daya untuk mencapai tujuan pekerjaan. Dengan adanya job resources maka job demands dapat terselesaikan. Secara psikologis, penyelesaian job demands berdasarkan job resources yang dimiliki akan menstimulasi individu untuk bertumbuh dan berkembang secara personal, dalam hal ini pertumbuhan personal yang dimiliki individu berimplikasi pada work-family enrichment. Partisipan pada penelitian ini adalah guru yang berjumlah 43 orang di Sekolah X. Analisis hasil penelitian yang menggunakan multiple regression menunjukan bahwa job demands dan job resources bersama-sama berperan memprediksi peningkatan work-family enrichment sebesar 12,5%.  Implikasi dari hasil penelitian ini bahwa berbagai tuntutan dalam pekerjaan yang di dukung dengan sumber daya dalam pekerjaan dapat meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan berkerja dan berkeluarga. 
Co-Authors Agung, Nicolette Kevin Rose Albertha Haga Ciptaningtyas Alexander Abraham Daeng Kuma Amala Fahditia Angelina Alvina Ayuprilani Appulembang, Yeni Anna Ariyanti, Tita Aulia Aurelia S. Djuanto Bonar Hutapea Cecilia Tiara Putri Debora Basaria Dewi, Fransisca I. R. Dian Ardianti Dinah Kartana Djuanto, Aurelia S. Fahditia, Amala Fakkar, Elisabeth Juliarti Felita Oktaviani Felita Oktaviani Felycia Klaviera Mulyana Florencia Irena Florensia Louhenapessy Fransisca I. R. Dewi Fransisca Iriani Dewi Hanna Christina Uranus Harsoyo, Tania Talitha Hayfatunisa, Gea I Made Budiana Ignatius Roni Setyawan Ismoro Reza Prima Putra Jap Tji Beng Jessica Jessica Jessica Jessica Jessyca Jessyca Jessyca, Jessyca Joyce Natalia Setiawan Kevin Djasa Lahdji, Mona Lie, Daniel Lie, Daniel Lilies Nuraini Linda Wati Lukas Juliano Luthfiyah, Sahla Ikhlasul Maghfira, Naya Astri Masita, Danny Mirda Sari Ningtyas Dara Pertiwi Mona Lahdji Mulyatri, Lydia Mutiara, Raden Naomi Margaretha Hutahaean* Naomi Soetikno Nurcintame, Nydia Putri Oktaviani, Felita Puspa Putri Sajuthi Rae, Olivia Beatrix Rahaditya, R. Raja O. Tumanggor Rasai Tumcala, Gabi Manuru Riana Sahrani Riska Umami Lia Sari Rita Markus Idulfilastri Rizki Dwi Prasetya Sagunda Nur F, Valentin Sari, Meylisa Permata Sartika Zumria Sebastiaan Rothmann Sihotang, Fitriana Nursinta Siti Djauharoh Stephanie Angelina Stephanus Arbi Setyastoro Suci Fadhla Hasanah Sugiarto, Winoto Taruman, Evangel Chloe Theresia Meirosa Purba Tumanggor, Raja O. Tumanggor, Raja Oloan Vallerie Meijer Venesia, Venesia Wibisono Ghany Fitriadi Wijaya, Erik Yenike Margaret Isak Yuliana Yuliana Yunita Christiana Zamralita Zamralita