Claim Missing Document
Check
Articles

Found 34 Documents
Search

PENCABULAN SEBAGAI AKIBAT PERBUATAN BERLANJUT Amoi, Novia Fetrisna; Setyorini, Erny Herlin
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 14 Nomor 28 Agustus 2018
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v0i0.1786

Abstract

Anak-anak dibawah umur seringkali menjadi korban pencabulan. KUHP memberikan pengaturan tersendiri terkait tindak pidana pencabulan yang dimuat di dalam Pasal 289 - Pasal 296 UU No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Tetapi ketika pencabulan yng dilakukan berulang kali dengan jarak waktu yang tidak lama hukumannya sama dengan pencabulan yang dilakukan hanya sekali. Untuk diketahui bahwa perbuatan berlanjut diatur di dalam Pasal 64 KUHP. Berdasarkan hasil konsultasi penyidik dan jaksa bahwa tenggang waktu dari perbuatan berlanjut lebih dari 4 hari. Adapun permasalahan dalam penelitian ini diantaranya, bagaimana ketentuan jangka waktu perbuatan berlanjut dalam KUHP, dan bagaimana perlindungan hukum terhadap anak kecil korban tindak pidanna pencabulan sebagai akibat perbuatan berlanjut? Metode penelitian yang telah diambil dalam pembahasan ini adalah meetode penelitian normative. Hasil penulisan menunjukan bahwa KUHP tidak memberikan penjelasan mengenai ketentuan jangka waktu perbuatan berlanjut. Usaha pemerintah untuk melindungi anak dari tindak pidana pencabulan dituangkan didalam UU RI NO. 35/2014 atas perubahan UU RI No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Peraturan ini belum dianggap memadai jika dikaitkan dengan permasalahan pencabulan anak dalam ketegori perbuatan berlanjut diantaranya batasan waktu ketentuan perbuatan berlanjut yang tidak jelas, dan penegakan hukum yang tidak konsisten. Penulis menghimbau agar ketentuan jangka waktu perbuatan berlanjut dituangkan didalam KUHP, sehingga adanya pedoman bagi pihak penyidik dan jaksa penuntut umum.Kata kunci: perlindungan hukum bagi anak, tindak pidana pencabulan, perbuatan berlanjut 
LEGALITAS SURAT KUASA YANG DITERBITKAN SEORANG BURON Gumilang, D.; Yudianto, Otto; Setyorini, Erny Herlin
Jurnal Hukum Magnum Opus Vol 2 No 2 (2019): Agustus 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (186.762 KB) | DOI: 10.30996/jhmo.v2i2.2497

Abstract

Penelitian ini berjudul Legalitas Surat Kuasa yang diterbitkan seorang buron, mengungkap aspek yuridis apakah seorang buron, dalam hal ini seseorang yang termasuk dalam buron/DPO memberikan kuasa yang berbentuk surat kuasa khusus kepada Advokat untuk bertindak sebagai perwakilan kepentingannya sebagai pihak Penggugat di Pengadilan Negeri dilarang secara hukum. Landasan utama yang digunakan untuk menganalisis tulisan penelitian ini yaitu teori hak asasi manusia (HAM), sedangkan aplikasi teori dalam menyoroti keabsahan seorang buron memberikan surat kuasa khusus digunakan teori kontrak. Prinsip equality before the law merupakan essensi hak asasi pada manusia di bidang law yang paling mendasar. Kita dapat menilai kualitas putusan pengadilan apakah sudah sesuai dengan tujuan hukum yang utama yakni keadilan dan hak asasi manusia adalah dari implementasi prinsip persamaan semua manusia di hadapan hukum. Hasil pengamatan menunjukkan adanya konflik norma terkait putusan pengadilan yang melarang seorang berstatus buron yang masuk DPO, dengan ketentuan yang mengatur tentang hak seseorang mem-berikan kuasa berdasarkan teori hak asasi manusia dan teori kontrak.
PEMBENTUKAN KLINIK DESA MERUPAKAN CEGAH DINI TINDAK PIDANA KORUPSI DANA DESA ., Karmani; Setyorini, Erny Herlin; Yudianto, Otto
Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 2, Nomor 2 Agustus 2019
Publisher : Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.936 KB) | DOI: 10.30996/jhbbc.v2i2.1963

Abstract

Program dana desa yang digagas pemerintahan Joko Widodo yang pertama kali diluncurkan tahun 2015 dan setiap tahunnya angka bantuan dana desa selalu meningkat pada Tahun 2018 sudah mencapai sebesar Rp. 60 triliun dan tahun ini ini direncanakan anggaranya hampir mencapai sebesar ± Rp.70 trilun salah satu harapan Pemerintah Pusat mempunyai kewajiban untuk mewujudkan program desa melalui pemberian anggaran dana desa dengan ditindaklanjuti Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN diharapkan segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa dapat diakomodir dengan diberikan kesempatan yang lebih besar bagi desa untuk mengurus tata pemerintahannya sendiri serta pemerataan pelaksanaan pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa, namun belum diikuti dengan persiapan Sumber daya manusia (SDM) baik kepala desa maupun perangkatnya untuk memahami implementasi peraturan yang selalu berkembang sehingga banyak terjadi penyalahgunaan pengelolaan dana desa oleh Kepala Desa dan perangkat desa yang masuk ke ranah hukum ke Aparat Penegak Hukum (APH). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan klinik desa sebagai upaya pencegahan tidak pidana korupsi dana desa. Dalam karya ilmiah ini metode yang digunakan dengan penelitian normatif menitikberatkan pada telaah atau kajian terhadap hukum positif (hukum perundang-undangan) yang bersifat normatif. Hasilnya diharapkan Kepala desa dan perangkat desa mampu memahami dan mengimplementasikan mekanisme pelaksanaan aturan secara benar dalam mengelola keuangan desa, sehingga dapat meminimalisasi bentuk kesalahan baik administrasi maupun pelaksanaan pembangunan desa non administrasi dan memberikan masukan perbaikan dan penyempurnaan pengelolaan dana desa. Diharapkan dengan adanya klinik desa sebagai upaya pencegahan dini tindak pidana korupsi dana desa.
KONSEP KEADILAN RESTORATIF BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Setyorini, Erny Herlin; Sumiati, Sumiati; Utomo, Pinto
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 16 Nomor 2 Agustus 2020
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v16i2.3255

Abstract

AbstractChildren are the next generation of the nation which is very important in a country. For this reason, children must be able to grow and develop as well as they can. Due to several factors, such as poverty, broken families, divorced parents, in their growth and development, children do not always get the best that is expected, sometimes children whose conditions are ready to help follow up. Handling cases of children who are in conflict with the law through the legal process is finished up in prison. This of course can damage the future because it creates a negative stigma in the community. For this reason, Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Justice System was approved, which was approved by diversion, namely the transfer of approval of child cases from court proceedings that leave court proceedings. Article 7 paragraph (2) of the SPPA Law must meet the requirements, namely (1) the crime of safety under 7 (seven) years, and (2) does not constitute a repeat of the crime. In addition, there must be agreement or agreement with the victim and/or responsibility. The handling of cases of children in conflict with the law through diversion is carried out using restorative justice, namely by presenting children and families, victims and defenders, community leaders, social counselors, Social Services, social workers, and other parties Improvements to repairs and not retaliation.Keywords: children; restorative justice AbstrakAnak merupakan generasi penerus bangsa yang keberadaannya sangat penting dalam suatu Negara. Untuk itu, anak harus mendapatkan perlindungan dari orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Kesejahteraan Anak). Oleh karena beberapa faktor, seperti kemiskinan, keluarga yang brokenhome, orang tua bercerai, maka dalam tumbuh kembangnya, anak-anak tidak selalu mendapatkan hal yang terbaik, ia melakukan tindak pidana. Penanganan perkara anak melalui proses hukum seringkali berakhir di penjara. Hal ini tentunya dapat merusak bahkan menghancurkan masa depan anak karena menimbulkan stigma negatif di masyarakat. Untuk itu, dibentuklah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur diversi berdasarkan keadilan restoratif. Penyelesaian perkara anak melalui diversi harus memenuhi syarat, yaitu (1) tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun, dan (2) bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Selain itu, harus ada kesepakatan dengan korban atau keluarganya. Penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum melalui diversi dilakukan dengan pendekatan restorative justice, yaitu dengan menghadirkan anak dan keluarganya, korban dan keluarganya, tokoh masyarakat, pembimbing kemasyarakatan, Dinas Sosial/pekerja sosial, dan pihak-pihak lain terkait guna mencari penyelesaian terbaik dengan tujuan pemulihan pada hubungan membaik kembali dan bukan pembalasan. Penyelesaian perkara anak melalui diversi harus disepakati oleh pelaku dan atau keluarganya dengan korban dan atau keluarga korban. Bila korban dan atau keluarganya tidak sepakat, maka perkara anak diproses melalui sistem peradilan pidana anak.Kata kunci: anak; keadilan restoratif
KONSEP KEADILAN RESTORATIF BAGI ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Setyorini, Erny Herlin; Sumiati, Sumiati; Utomo, Pinto
DiH: Jurnal Ilmu Hukum Volume 16 Nomor 2 Agustus 2020
Publisher : Doctor of Law Study Program Faculty of Law, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30996/dih.v16i2.3255

Abstract

AbstractChildren are the next generation of the nation which is very important in a country. For this reason, children must be able to grow and develop as well as they can. Due to several factors, such as poverty, broken families, divorced parents, in their growth and development, children do not always get the best that is expected, sometimes children whose conditions are ready to help follow up. Handling cases of children who are in conflict with the law through the legal process is finished up in prison. This of course can damage the future because it creates a negative stigma in the community. For this reason, Law Number 11 of 2012 concerning the Juvenile Justice System was approved, which was approved by diversion, namely the transfer of approval of child cases from court proceedings that leave court proceedings. Article 7 paragraph (2) of the SPPA Law must meet the requirements, namely (1) the crime of safety under 7 (seven) years, and (2) does not constitute a repeat of the crime. In addition, there must be agreement or agreement with the victim and/or responsibility. The handling of cases of children in conflict with the law through diversion is carried out using restorative justice, namely by presenting children and families, victims and defenders, community leaders, social counselors, Social Services, social workers, and other parties Improvements to repairs and not retaliation.Keywords: children; restorative justice AbstrakAnak merupakan generasi penerus bangsa yang keberadaannya sangat penting dalam suatu Negara. Untuk itu, anak harus mendapatkan perlindungan dari orang tua, wali atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan sebaik-baiknya. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak. Anak juga berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan (Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Kesejahteraan Anak). Oleh karena beberapa faktor, seperti kemiskinan, keluarga yang brokenhome, orang tua bercerai, maka dalam tumbuh kembangnya, anak-anak tidak selalu mendapatkan hal yang terbaik, ia melakukan tindak pidana. Penanganan perkara anak melalui proses hukum seringkali berakhir di penjara. Hal ini tentunya dapat merusak bahkan menghancurkan masa depan anak karena menimbulkan stigma negatif di masyarakat. Untuk itu, dibentuklah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengatur diversi berdasarkan keadilan restoratif. Penyelesaian perkara anak melalui diversi harus memenuhi syarat, yaitu (1) tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun, dan (2) bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Selain itu, harus ada kesepakatan dengan korban atau keluarganya. Penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum melalui diversi dilakukan dengan pendekatan restorative justice, yaitu dengan menghadirkan anak dan keluarganya, korban dan keluarganya, tokoh masyarakat, pembimbing kemasyarakatan, Dinas Sosial/pekerja sosial, dan pihak-pihak lain terkait guna mencari penyelesaian terbaik dengan tujuan pemulihan pada hubungan membaik kembali dan bukan pembalasan. Penyelesaian perkara anak melalui diversi harus disepakati oleh pelaku dan atau keluarganya dengan korban dan atau keluarga korban. Bila korban dan atau keluarganya tidak sepakat, maka perkara anak diproses melalui sistem peradilan pidana anak.Kata kunci: anak; keadilan restoratif
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL: STUDI: POLRESTABES SURABAYA Defretes, Dwi Astrianti; Setyorini, Erny Herlin
COURT REVIEW Vol 4 No 06 (2024): ILMU HUKUM
Publisher : COMMUNITY OF RESEARCH LABORATORY (KELOMPOK KOMUNITAS LABORATORIUM PENELITIAN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69957/cr.v4i06.1605

Abstract

Nasib bangsa kita ada di tangan generasi mudanya. Dalam kerangka keadilan Indonesia, hak atas keamanan yang sah merupakan salah satu perlindungan khusus bagi anak-anak. Pelestarian nilai dan martabat yang melekat pada anak merupakan persyaratan hukum di Indonesia, negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Konvensi No. 11 Tahun 2012). Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Anak menjabarkan peraturan dan regulasi yang diberlakukan untuk melindungi anak-anak. Merupakan tanggung jawab kita untuk memberikan panduan mengenai masalah hukum dan memperhatikan kepentingan terbaik generasi muda. Seorang anak muda tidak akan mempunyai kemandirian kecuali mereka mempunyai tempat tinggal yang aman. Pengasuhan dan perlindungan yang sejati terhadap seorang anak merupakan kewajiban setiap orang dewasa dalam kehidupan anak tersebut, baik itu orang tua, wali, sahabat, maupun pejabat publik. Meskipun banyak anak-anak di Indonesia yang tinggal di perkotaan, sebagian besar dari mereka mengalami pelecehan seksual, kekerasan fisik, dan bentuk-bentuk penganiayaan paksa lainnya. Kecemasan di jalan pada masa kanak-kanak tanpa asuransi orang dewasa dapat mengubah cara pandang dan tindakan seseorang sepanjang sisa hidupnya. Namun, beratnya hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di kota tersebut dan cakupan tugas negara untuk melindungi korban tersebut masih merupakan dugaan. Dalam hal perlindungan anak, partisipasi hierarki yang kuat sangatlah penting. Kolaborasi antara sektor publik dan swasta, kepatuhan yang ketat terhadap peraturan administratif, dan langkah-langkah lain semuanya diperlukan untuk meluncurkan program keamanan anak secara efektif. Sesuai Peraturan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Asuransi Anak, terdapat konsekuensi berat bagi mereka yang melakukan kebencian seksual terhadap anak di bawah umur. Mutilasi dan pelemahan adalah perilaku lain yang termasuk dalam disiplin ini. Kapasitas pelaku untuk menghentikan orang lain menyakiti anak-anak yang tinggal di kotamadya adalah hal yang paling penting.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI Makin, Oktaviani Reny Muda; Setyorini, Erny Herlin
COURT REVIEW Vol 4 No 06 (2024): ILMU HUKUM
Publisher : COMMUNITY OF RESEARCH LABORATORY (KELOMPOK KOMUNITAS LABORATORIUM PENELITIAN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69957/cr.v4i06.1606

Abstract

Tren kekerasan seksual yang mengganggu di kampus-kampus perguruan tinggi menimbulkan pertanyaan mendasar: mengapa kejahatan ini terus terjadi di tempat-tempat yang mengklaim menyediakan lingkungan yang aman bagi siswa untuk belajar dengan cara yang etis? Bagaimanapun juga, universitas seharusnya menjadi tempat untuk pertumbuhan intelektual dan pelestarian budaya. Namun pada kenyataannya, beberapa perguruan tinggi di Indonesia telah melaporkan adanya insiden kekerasan seksual terhadap mahasiswa, dosen, dan staf. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan kondisi perlindungan terhadap kekerasan seksual bagi mahasiswa. Pasal 12 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi mengatur tentang perlindungan hukum bagi korban pelecehan seksual di kampus. Lebih lanjut, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 14 dan 16 peraturan tersebut, mereka yang melakukan tindakan pelecehan seksual di kampus dapat dikenai hukuman administratif. Sesuai dengan pasal 12 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021, penelitian ini merekomendasikan agar perguruan tinggi dapat dikenai sanksi denda jika gagal menjamin keselamatan korban dan saksi.
RATIO DECIDENDI PUTUSAN NOMOR 30/PID.SUS-ANAK/2022/PN.TNN TENTANG ANAK YANG DIJATUHI PIDANA DENGAN SYARAT Permatasari, Fadilah Dewi Anggun; Setyorini, Erny Herlin
COURT REVIEW Vol 4 No 06 (2024): ILMU HUKUM
Publisher : COMMUNITY OF RESEARCH LABORATORY (KELOMPOK KOMUNITAS LABORATORIUM PENELITIAN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69957/cr.v4i06.1609

Abstract

Dikatakan anak berdasar Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak apabila mereka berusia 12 tahun namun belum berusia 18 tahun. Sebagai halnya termaktub di Putusan Nomor 30/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tnn mengadili anak karena kejahatan yang dilakukan yakni tindak pidana perdagangan orang, diancam berdasar Pasal 2 Ayat (1) UU PTPPO ditentukan pidana penjara dan denda. Kemudian terhadap anak, Hakim tidak mengadili pidana penjara sebaliknya dijatuhi pidana bersyarat yang termaktub berdasar Pasal 73 Ayat (1) dan (6) Undang-Undang SPPA selama 1 tahun dan tidak dapat pula mengerjakan perbuatan pidana sepanjang jalannya pidana bersyarat. Rumusan masalah adalah ratio decidendi Putusan Nomor 30/Pid.Sus-Anak/2022/PN.Tnn tentang anak yang diadili pidana dengan syarat. Metode yang dipakai dengan penelitian hukum normatif. Pendekatan dengan perundang-undangan, dengan konseptual dan dengan kasus. Hasilnya adalah addapun alasan hakim dalam pertimbangannya menjatuhkan pidana dengan syarat berdasarkan atas 4 prinsip utama hak anak yaitu asas kepentingan terbaik atas anak, mendengarkan pendapat anak, hak hidup dan tumbuh perkembangan anak dan non-diskriminasi. Hakim bermaksud memedulikan perlindungan terhadap anak walaupun anak menjadi pelaku dan dalam putusannya hakim memenuhi 2 prinsip yaitu kepentingan terbaik anak , hak hidup serta tumbuh kembang anak.
Legal Protection For Poor People To Get Justice Through Legal Assistance Riza, Faishol; Setyorini, Erny Herlin
International Journal of Education, Information Technology, and Others Vol 7 No 1 (2024): nternational Journal of Education, information technology   and others
Publisher : Peneliti.net

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5281/zenodo.10525376

Abstract

The purpose of this research is to find out the nature of the provision of legal aid for people who cannot afford it and to find out the legal protection for people who cannot afford legal aid from the perspective of justice. In this research, a normative legal research method is used, to explain and examine the issues raised, there are several approaches that need to be taken in order to conduct a comprehensive and detailed research. In this context, researchers use a statutory approach (statue approach). The legal material analysis technique used in this research is normative/prescriptive analysis technique. Based on the results of the analysis conducted, the essence of providing legal aid for the poor is integral in a fair justice system. It is not only about providing financial assistance, but also about providing equal access to the law, protecting human rights, and maintaining justice in the legal system. Ensuring that every individual has equal access to the justice system is a crucial step in maintaining a just and democratic society.
TINDAK PIDANA PENCEMARAN NAMA BAIK Oleh WARTAWAN MELALUI MEDIA SOSIAL Amalia, Rifda; Setyorini, Erny Herlin
Journal Evidence Of Law Vol. 2 No. 2 (2023): Journal Evidence Of Law (Agustus)
Publisher : CV. Era Digital Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59066/jel.v2i2.351

Abstract

Developments regarding technology and information are illustrated by the existence of internet media devices that can be controlled by electronic devices including computers. Technology has an important impact on the understanding of criminal acts, especially schools of criminology which emphasize the object factors in the form of humans, which are seen physically and psychologically. One of the crimes by abusing technological advances that are electronic and information is defamation of the good name of other parties on social media through electronic media devices. Freedom of opinion is seen in Article 28 (1) of the 1945 Constitution of the Unitary State of the Republic of Indonesia. However, there are also prohibitions to prevent defamation. The arrangement is contained in the Criminal Code (KUHP). There are also various laws providing regulations regarding acts of defamation of names. In addition to the lex generalis provisions in criminal law, there are also lex specialis provisions in non-criminal law, namely Law number 19 of 2016 concerning amendments to Law number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions, Law Number 40 of 1999 concerning the Press, and Law Number 32 of the year 2002 Regarding Broadcasting.