Articles
TRANSPLANTASI HUKUM MEREK DALAM MELINDUNGI INDIKASI GEOGRAFIS KOPI KINTAMANI (KAJIAN PADA MASYARAKAT BALI)
Simona Bustani;
Christine S.T. Kansil;
Rosdiana Saleh
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (339.194 KB)
|
DOI: 10.25105/hpph.v4i1.12578
Setiap negara memiliki potensi yang berbeda dengan negara lain, misalnya Indonesia sebagai negara yang memiliki kekayaan alam dan nilai kekerabatan yang erat. Di era globalisasi negara maju menerapkan transplantasi hukum merek untuk menstandarkan hukum merek dalam menunjang kepentingan mereka di pasar bebas. Salah satunya, perlindungan indikasi geografis yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Bagaimana transplantasi hukum dalam melindungi indikasi geografis kopi Kintamani untuk meningkatkan nilai ekonomi produknya? dan bagaimana upaya berbagai pihak di Kabupaten Bangli Bali dalam melestarikan lingkungan geografis kopi Kintamani? Jenis penelitian ini bersifat normatif dengan pendekatan budaya terhadap masyarakat dan menggunakan data sekunder serta dianalisis secara kualitatif. Transplantasi hukum berjalan seiring dengan budaya hukum masyarakat penghasil kopi. Hal ini, dapat dilihat dari pemahaman masyarakat dalam pengelolaan kopi yang dilindungi indikasi geografis dan upaya melestarikan geografisnya. Upaya masyarakat menjaga lingkungan geografisnya didukung oleh hubungan kekerabatan yang erat. Terpelihara lingkungan geografis merupakan salah satu syarat mempertahankan perlindungan indikasi geografis. Pemerintah Daerah dan berbagai pihak berupaya mempromosikan dan memasarkan produk kopi Kintamani. Namun, untuk meningkatkan nilai ekonomi dan menguasai pangsa pasar, perlu diupayakan untuk pendaftaran merek kolektif bagi produk kopi Kintamani. Kata Kunci: Transplantasi Hukum Merek, Indikasi Geografis Kopi Kintamani
BUDAYA HUKUM PENERAPAN PERLINDUNGAN VARIETAS TANAMAN DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN INDONESIA DI ERA GLOBAL
Simona Bustani;
Rosdiana Saleh;
Christine S.T. Kansil
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 4 No. 2 (2022): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (195.282 KB)
|
DOI: 10.25105/hpph.v4i2.14765
Budaya hukum menjadi salah satu unsur penting dalam menentukan bekerjanya hukum. Salah satu aspek yang sering menjadi hambatan dalam melaksanakan peraturan perlindungan varietas tanaman adalah rendahnya budaya hukum internal. Untuk mengkaji budaya hukum internal dapat dilihat dari putusan hakim pengadilan dalam menyelesaikan sengketa varietas tanaman. Oleh karenanya, isu yang diangkat: Bagaimana budaya hukum dalam menerapkan perlindungan pihak terkait dengan mengembangkan varietas tanaman untuk mewujudkan kedaulatan pangan di era global? dan bagaimana perlindungan yang dapat menyeimbangi kepentingan para pihak di bidang varietas tanaman untuk mewujudkan kedaulatan pangan di era global? Penelitian ini merupakan tipe penelitian normatif dengan pendekatan peraturan perundangundangan dan pendekatan kasus. Data sekunder sebagai data utama, yang terdiri bahan hukum primer, yaitu UU PVT, UU Paten, UU Sistem Budidaya Tanaman dan beberapa Putusan hakim atas kasus terkait. Data juga dikaji dari bahan hukum sekunder. Seluruh data dianalisis secara kualitatif. Berdasarkan teori sistem hukum dari Freidman yang terdiri dari unsur substantif, dimana peraturan yang ada memiliki kelemahan dalam melindungi kepentingan petani kecil. Hambatan lain, adalah budaya hukum intern dalam menerapkan peraturan untuk tetap menjaga keseimbangan berbagai pihak terkait. Upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mempersiapkan peraturan pelaksana untuk memudahkan bagi para pelaksana hukum dalam menerapkan peraturan yang sesuai dengan kasusnya. Selain itu, perlu adanya peningkatan budaya hukum bagi pelaksana hukum, diantaranya hakim, aparat pemerintah dan pihak lain yang terkait. Hal ini dirasakan perlu agar tercipta hukum yang efektif, baik dari segi substantif, struktur dan budaya hukum masyarakat. Kondisi ini perlu didukung kelengkapan sarana serta prasarana agar hukum dapat bekerja maksimal dalam melindungi pihak pemulia, inventor maupun petani.
Kebijakan Hukum Untuk Meningkatkan Daya Saing Produk UKM Unggulan Indonesia Dalam Rangka ASEN Economic Community
Rosdiana Saleh
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 5 No. 1 (2015): Jurnal Hukum Prioris Volume 5 Nomor 1 Tahun 2015
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (1121.463 KB)
|
DOI: 10.25105/prio.v5i1.391
ASEAN Economic Community bertujuan untuk mencapai Competitive Economic Region di kawasan ASEAN dengan mengacu pada ASEAN Economic Community Blueprint yang memuat empat pilar utama. Pilar Kedua menginginkan ASEAN sebagi kawasan ekonomi yang memiliki daya saing tinggi dan Pilar Ketiga menginginkan ASEAN sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi yang merata melalui antara lain pengembangan Small and Medium Enterprises atau Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Permasalahannya adalah apakah kebijakan hukum yang dibuat pemerintah Indonesia sebagai angota ASEAN mampu untuk meningkatkan daya saing produk UKM unggulan? Tulisan ini menggunakan data sekunder berupa bahan hukum dengan pendekatan ekonomi. Kebijakan hukum yang dibuat Indonesia belum optimal untuk melindungi dan meningkatkan daya saing produk UKM unggulan Indonesia dalam rangka ASEAN Economic Community.
DILEMA PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL SISTEM PERTANIAN SUBAK DALAM PERSPEKTIF KEKAYAAN INTELEKTUAL KOMUNAL
Simona Bustani;
Rosdiana Saleh;
Christine S.T. Kansil
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 5 No. 1 (2022): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25105/hpph.v5i1.15875
Dilema perlindungan “pengetahuan tradisional” terjadi, karena perbedaan budaya dan filosofi masyarakat dari negara industri dan negara agraris. Subak pertanian di Bali yang dikuasai masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sistem ini memiliki keunikan karena tidak hanya mengenai teknologinya tetapi juga kekerabatannya. Ketidak adanya peraturan yang optimal menyebabkan terjadi pembajakan tradisional melalui rezim paten. Issunya bagaimana perlindungan pengetahuan tradisional pada sistem pertanian subak Bali dalam perspektif kekayaan intelektual komunal? dan bagaimana mengantisipasi hilangnya pengetahuan tradisional sistem pertanian subak Bali melalui rezim paten? Tipe penelitiannya normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan konseptual.Datanya sekunder yang dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh gambaran implementasi perlindungan "pengetahuan tradisional" subak Bali. Saat ini perlindungan pengetahuan tradisional diadopsi pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, secara khusus mengenai subak di Perda Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Subak. Namun, peraturan ini masih terlalu sumir dan belum ada peraturan pelaksananya. Untuk itu perlu diantisipasi dengan perlindungan positif, yaitu peraturan perlindungan “pengetahuan tradisional”dan mekanisme penerapannya khususnya benefit sharingnya bagi masyarakat adat selaku kustodiannya. Perlindungan ini bertujuan untuk memperoleh manfaat bagi rakyat, baik dari segi pelestarian maupun segi komersialnya. Selain itu perpu adanya pendampingan dalam menerapkannya bagi para pihak terkait, baik pemerintah, swasta dan petani bersangkutan.
PERBANDINGAN SISTEM HUKUM INDONESIA DAN AUSTRALIA TERKAIT KEWENANGAN PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA
Masyitoh Yahya Sinaga;
Rosdiana Saleh
Citra Justicia : Majalah Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol 24, No 1 (2023): Februari 2023
Publisher : Universitas Asahan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36294/cj.v24i1.3140
Indonesia dan Australia menerapkan sistem hukum yang berbeda, Indonesia menerapkan civil law - meski saat ini Indonesia sudah tidak murni lagi menganut civil law namun lebih pada sistem campuran antara civil law, hukum Islam dan hukum adat - sedangkan Australia menerapkan common law. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan membandingkan bagaimana Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) dan Australian National Audit Office (ANAO) berperan berdasarkan wewenang yang dimiliki dalam pelaksanaan audit keuangan negara. Permasalahannya adalah apa persamaan dan perbedaan kewenangan BPK RI dan ANAO dan apa yang menjadi faktor penyebab perbedaan kewenangan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode normatif dengan pendekatan undang-undang. Penelitian dilakukan dengan studi literatur menggunakan data sekunder, terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dari hasil penelitian terdapat persamaan dan perbedaan antara BPK RI dan ANAO. Perbedaan tersebut merupakan pengaruh perbedaan sistem hukum yang digunakan. Karakteristik sistem hukum common law dan civil law mempengaruhi wewenang yang dimiliki oleh BPK dan ANAO. Sistem hukum common law didasarkan pada yurisprudensi, mengutamakan hukum kebiasaan dan berjalan dinamis. Sistem hukum civil law dengan karakteristik adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada preseden sehingga peraturan perundang- undangan menjadi sumber hukum yang utama.
PERLINDUNGAN HUKUM ATAS INDIKASI GEOGRAFIS (STUDI PERBANDINGAN HUKUM INDONESIA DENGAN AUSTRALIA)
Sry Rahayu Eka Pratiwi Neoe;
Rosdiana Saleh
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.375
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (UU Merek) merupakan dasar hukum perlindungan indikasi geografis. Pada UU Merek ini aturan mengenai indikasi geografis hanya terdiri dari beberapa Pasal, sehingga membuat aturan mengenai indikasi geografis menjadi tidak jelas. Karena aturan mengenai indikasi geografis masih bergabung dengan UU Merek, sehingga Pasal mengenai merek dan Pasal mengenai indikasi geografis menjadi saling bertentangan. Aturan yang tidak jelas dan saling bertentangan menjadi penyebab tidak tumbuhnya perlindungan indikasi geografis di Indonesia. Keberagaman respon atas kewajiban TRIPs untuk memberikan perlindungan indikasi geografis (IG) dalam hukum nasional negara anggota, menyebabkan penerapan MFN tidak berjalan secara sempurna. Negara maju (termasuk negara Australia) menerapkan perlindungan IG secara mengetat (hanya terhadap minuman wine dan spirit) sedangkan negara berkembang (termasuk negara Indonesia) menerapkan perlindungan IG secara meluas. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui faktor pembeda dan menganalisis pengaturan IG antara Indonesia dengan Australia serta mengidentifikasi penerapan prinsip standar minimum dan/atau pengaturan yang lebih ekstensif beserta pengadopsiannya dalam perundang-undangan Indonesia dan Australia. Metode penulisan dalam jurnal ini adalah bersifat normatif, dengan mengkomparasikan peraturan perlindungan IG Indonesia dengan Australia. Faktor pembeda pengaturan IG antara Indonesia dan Australia terletak pada (1) Kewenangan mendaftarkan IG dan (2) Kewenangan badan yang melakukan registrasi. Dalam pengadopsian peraturan TRIPs, Indonesia belum memasukkan unsur reputasi di perundang-undangannya, sedangkan Australia mensyaratkan reputasi sudah ada terlebih dahulu dalam negaranya sebelum didaftarkan.
DILEMA PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL SISTEM PERTANIAN SUBAK DALAM PERSPEKTIF KEKAYAAN INTELEKTUAL KOMUNAL
Simona Bustani;
Rosdiana Saleh;
Christine S.T. Kansil
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 5 No. 1 (2022): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25105/hpph.v5i1.15875
Dilema perlindungan “pengetahuan tradisional” terjadi, karena perbedaan budaya dan filosofi masyarakat dari negara industri dan negara agraris. Subak pertanian di Bali yang dikuasai masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sistem ini memiliki keunikan karena tidak hanya mengenai teknologinya tetapi juga kekerabatannya. Ketidak adanya peraturan yang optimal menyebabkan terjadi pembajakan tradisional melalui rezim paten. Issunya bagaimana perlindungan pengetahuan tradisional pada sistem pertanian subak Bali dalam perspektif kekayaan intelektual komunal? dan bagaimana mengantisipasi hilangnya pengetahuan tradisional sistem pertanian subak Bali melalui rezim paten? Tipe penelitiannya normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan konseptual.Datanya sekunder yang dianalisis secara kualitatif untuk memperoleh gambaran implementasi perlindungan "pengetahuan tradisional" subak Bali. Saat ini perlindungan pengetahuan tradisional diadopsi pada Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, secara khusus mengenai subak di Perda Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Subak. Namun, peraturan ini masih terlalu sumir dan belum ada peraturan pelaksananya. Untuk itu perlu diantisipasi dengan perlindungan positif, yaitu peraturan perlindungan “pengetahuan tradisional”dan mekanisme penerapannya khususnya benefit sharingnya bagi masyarakat adat selaku kustodiannya. Perlindungan ini bertujuan untuk memperoleh manfaat bagi rakyat, baik dari segi pelestarian maupun segi komersialnya. Selain itu perpu adanya pendampingan dalam menerapkannya bagi para pihak terkait, baik pemerintah, swasta dan petani bersangkutan.
Perbandingan Sistem Hukum Indonesia dan Australia Tentang Pengaturan Pertimbangan Bisnis (Business Judgement)
Muninggar, Roro Ajeng;
Saleh, Rosdiana
UNES Law Review Vol. 6 No. 3 (2024): UNES LAW REVIEW (Maret 2024)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31933/unesrev.v6i3.1821
The legal systems adopted by Indonesia and Australia have differences, Indonesia adheres to civil law while Australia adheres to common law. The author in this study intends to conduct a comparative study of the legal system between Indonesia and Australia regarding business judgment arrangements. The issues studied are about the similarities and differences between business judgment arrangements in Indonesia and Australia, as well as the factors that cause these similarities and differences. The author uses normative methods by using a legal approach in the preparation of this study. The results of the comparison of legal systems between Indonesia and Australia have similarities, namely in terms of legal rules where both already have written legal rules, and the second in terms of regulating business judgment for the Board of Directors, while the differences that are seen are different legal systems, implementation of written rules, origin of rules, substance of rules, and position of jurisprudence. The factors that cause these similarities and differences include historical factors of the country, thinking characteristics, and economics.
SAFEGUARDS ATAS IMPOR BENANG DARI SERATSTAPEL SINTETIK DAN ARTIFISIAL BERDASARKANPERATURAN SAFEGUARDS: Safeguards on the Import Of Yarn Products of Synthetic And Artificial Staple Fibers Under Safeguards Regulations
Qonita, Leilani Tertia;
Saleh, Rosdiana
AMICUS CURIAE Vol. 1 No. 3 (2024): Amicus Curiae
Publisher : Faculty of Law, Universitas Trisakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25105/tmdcjc89
The imposition of safeguards on the import of yarn products of synthetic and artificial staple fibers is based on regulations in the field of safeguards. Safeguards can be imposed if there is a surge in imported productsthat threatens the domestic industry. The problems in this research is: how is the evidence conducted by KPPI against the threat of serious injury or serious injury of products that are considered competitive andextension of safeguards on the import of import of yarn products of synthetic and artificial staple fibers.The method is qualitaive with the main data being secondary data through library research and supported by interviews which were then analyzed qualitatively and conclusions were drawn using the deductivemethod. The conclusion of this study is: it is proven that there is a threat of serious injury experienced by the domestic industry which is determined by analyzing all related indicators. An investigation into the extension of the BMTP is carried out in accordance with regulations in the field of safeguards. It is better for domestic industrial business actors and the government to work together to improve quality of the industry for the BMTP action period and the BMTP extension that has been determined so that a domestic industry is created that avoids the threat of serious injury or serious injury.
MENINGKATKAN PEMAHAMAN TENTANG ASPEK HUKUM PERKAWINAN CAMPURAN BEDA KEWARGANEGARAAN: BERDASARKAN HUKUM INDONESIA DAN JEPANG
Abrianti, Sharda;
Sugiastuti, Yunita;
Saleh, Rosdiana;
Supartono, Sugeng;
Kerti, Renti Maharaini
Jurnal AKAL: Abdimas dan Kearifan Lokal Vol. 5 No. 2 (2024): Jurnal AKAL : Abdimas dan Kearifan Lokal
Publisher : Universitas Trisakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25105/akal.v5i2.19824
Mixed marriages between spouses of different nationalities present a number of legal issues. As mixed marriages involve two different legal systems, it is important to understand which system applies. This understanding is important for the diaspora of Indonesians in Japan, given that the number of Indonesian citizens in Japan continues to increase, according to data from the Japanese Ministry of Home Affairs and Communications. This situation increases the potential for mixed marriages between Indonesian and Japanese citizens. This community service activity aims to provide legal insight on how to determine the applicable law and the conditions for mixed marriages. The method employed in this legal counselling is descriptive. Answers to questions asked are based on legislation and principles of private international law. Legal counselling on the legal aspects of mixed marriages for the Indonesian diaspora community in Japan can be said to be effective and appropriate. The participants indicated that there had been no previous legal counselling on the subject of mixed marriages, particularly in the context of comparing Indonesian and Japanese laws. They expressed hope that further legal counselling activities could be conducted via Zoom facilities on other legal issues.