Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

Analisis Yuridis Kewenangan Polri dalam Penanganan Tindak Pidana Pemberi Kerja Yang Tidak Membayarkan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja Wibawa , Adhitiya Wahyu; Markoni, Markoni; Helvis, Helvis; Saragih , Horadin; Elawati, Tuti
Almufi Jurnal Sosial dan Humaniora Vol 2 No 2: Juli 2025
Publisher : Yayasan Almubarak Fil Ilmi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.63821/ash.v2i2.491

Abstract

  Masalah tidak dibayarkannya kompensasi PHK kepada pekerja oleh pemberi kerja merupakan bentuk pelanggaran hak normatif pekerja yang berdampak serius terhadap perlindungan hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam konteks ini, penegakan hukum pidana menjadi instrumen penting, terutama ketika mekanisme administratif tidak berjalan efektif. Namun, dalam praktiknya, masih terdapat tumpang tindih kewenangan antara Polri PPNS di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan dalam menangani tindak pidana ketenagakerjaan. Penelitian bertujuan untuk menganalisis kewenangan Polri dalam menangani tindak pidana tidak dibayarkannya kompensasi pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja oleh pemberi kerja dan kedudukan Polri jika dikaitkan dengan PPNS di Kementerian Ketenagakerjaan dalam menangani tindak pidana tidak dibayarkannya uang kompensasi PHK kepada pekerja. Teori yang digunakan adalah teori kewenangan, teori hubungan industrial. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Polri secara yuridis memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana ketenagakerjaan, termasuk tidak dibayarkannya kompensasi PHK. Namun, kewenangan ini perlu dijalankan secara harmonis bersama PPNS yang juga memiliki wewenang serupa berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.  Kesimpulannya praktiknya terdapat kebutuhan untuk penguatan koordinasi dengan PPNS agar penegakan hukum berjalan optimal. Kedudukan Polri dalam relasi dengan PPNS seharusnya bersifat sinergis, bukan hierarkis, sehingga menciptakan sistem penegakan hukum ketenagakerjaan yang adil dan efisien. Sarannya adalah perlu dilakukan penguatan koordinasi kelembagaan antara Polri dan PPNS serta peningkatan kapasitas serta jumlah PPNS agar mampu menjalankan fungsi penyidikan secara profesional dan setara dengan penyidik Polri.
TANGGUNG JAWAB KEPOLISIAN DALAM KASUS SALAH TANGKAP DAN PENETAPAN TERSANGKA  (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bandung Perkara Nomor: 10/Pra.Pid/2024/PN. Bdg) Elawati, Tuti; Pramono, Budi
JUSTLAW : Journal Science and Theory of law Vol. 1 No. 01 (2024): JUSTLAW : Journal Science and Theory of Law
Publisher : Universitas Sains Indonesia Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah tangkap adalah kesalahan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap seseorang yang sebenarnya tidak bersalah dalam hal ini adalah salah tangkap yang dilakukan oleh pihak Kepolisian. Kekeliruan dalam penangkapan terjadi ketika aparat penegak hukum melakukan tindakan penangkapan terhadap seseorang yang sebenarnya tidak bersalah atau bukan merupakan orang yang seharusnya ditangkap. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tanggung jawab kepolisian menurut hukum positif di Indonesia dalam kasus salah tangkap dan penetapan tersangka. Hasilnya bahwa Anggota Polisi yang melakukan salah tangkap dapat dikenakan sanksi yaitu berupa berupa peringatan, penurunan pangkat, mutasi, atau bahkan pemberhentian sementara. Kesimpulannya bahwa anggota Polisi yang melakukan salah tangkap karena mereka melanggar due procces law dan melanggar asas praduga tidak bersalah yang harus dipedomani dan dipatuhi oleh anggota Polisi yang melakukan penyelidikan.
URGENSI PAYUNG HUKUM PEMERINTAH PROVINSI JAKARTA DALAMMEMBANGUN KETAHANAN PANGAN Bahari, Syaiful; Elawati, Tuti; Suparman, Yusup; Mbunai, La Ode; Sinaga, Muhammad Panca Prana Mustaqim
JUSTLAW : Journal Science and Theory of law Vol. 2 No. 01 (2025): JUSTLAW : Journal Science and Theory of Law
Publisher : Universitas Sains Indonesia Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Daerah Khusus Jakarta adalah salah satu provinsi dengan jumlah penduduk besar dan terpadat. Dengan jumlah penduduk yang besar, Pemprov Jakarta harus dapat memenuhi kebutuhan dasar bagi warganya, terutama pangan. Tingkat ketahanan pangan Jakarta sangat rentan, karena Jakarta bukan daerah produsen pangan. Seluruh kebutuhan pangannya bergantung dari luar daerah. Ketergantungan sepenuhnya Jakarta dalam memenuhi kebutuhan pangan bagi warganya, menempatkan kota metropolitan tersebut sebagai provinsi yang sangat rawan dalam ketahanan pangan. Namun sayangnya, sampai sekarang ini Pemda Jakarta belum memiliki kebijakan formil setingkat Peraturan Daerah (Perda) terkait dengan cadangan pangan daerah dan mitigasi darurat pangan jika terjadi krisis. Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat persoalan mendasar dan kebutuhan mendesak bagi Pemprov Jakarta untuk memiliki payung hukum dalam membangun ketahanan dan kedaulatan pangan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal yang diperkuat dengan data primer dan data sekunder. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundangu-ndangan (statue approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach). Kajian melalui pendekatan perundang-undangan difokuskan kepada peraturan perundang-undangan yang mencantumkan norma hukum dalam pembentukan hukum, khususnya Peraturan Daerah (Perda).
ANALISIS YURIDIS VONIS HAKIM TERHADAP PERKARA TINDAK PIDANAKORUPSI (Studi Kasus Putusan Perkara Nomor: 1/PID.SUS-TPK/2025/PT DKI joNomor: 70/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst.) Elawati, Tuti; Putri, Zahra Malinda; Bahari, Syaiful; Suparman, Yusup; Pramono, Budi
JUSTLAW : Journal Science and Theory of law Vol. 2 No. 01 (2025): JUSTLAW : Journal Science and Theory of Law
Publisher : Universitas Sains Indonesia Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi menjadi elemen krusial dalam mewujudkan keadilan dan akuntabilitas publik. Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut tradisi civil law, hakim memiliki kewenangan luas dalam menjatuhkan vonis berdasarkan ancaman pidana yang ditentukan dalam undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kewenangan yudisial dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa kasus korupsi berdasarkan Putusan Perkara Nomor: 1/PID.SUS-TPK/2025/PT DKI jo Nomor: 70/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst., serta mengidentifikasi potensi penyalahgunaan kewenangan hakim dan mekanisme pengawasan yang tersedia. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan teknik analisis kualitatif terhadap putusan pengadilan, peraturan perundang-undangan, dan teori kewenangan hakim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim dalam perkara ini telah menggunakan kewenangannya secara mandiri dengan memperhatikan unsur formil dan materil, namun terdapat celah penilaian subjektif yang berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam penerapan hukum. Di sisi lain, mekanisme pengawasan melalui Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan kontrol publik masih bersifat reaktif dan belum sepenuhnya efektif dalam mencegah penyalahgunaan wewenang yudisial. Oleh karena itu, diperlukan reformasi sistem pengawasan dan penyusunan pedoman pemidanaan yang terstruktur guna menjamin konsistensi, proporsionalitas, dan integritas dalam putusan hakim atas perkara korupsi.
ABOLISI DAN AMNESTI SEBAGAI INSTRUMEN PENGAMPUNAN NEGARA (STUDI KASUS TOM LEMBONG DAN HASTO KRISTIYANTO) Elawati, Tuti; Suparman, Yusup
Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance Vol. 5 No. 1 (2025): Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance
Publisher : Gapenas Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53363/bureau.v5i1.783

Abstract

Abolition and amnesty are instruments of state pardon granted by the President in his capacity as the holder of prerogative rights. In the Indonesian constitutional system, the President’s authority to grant abolition and amnesty is explicitly regulated in Article 14 paragraph (2) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, which stipulates that the President grants amnesty and abolition with due regard to the considerations of the House of Representatives. This provision indicates that the President’s prerogative authority is not absolute, but subject to a check-and-balance mechanism. This study employs a normative juridical method with a statutory approach and a conceptual approach. The findings reveal that the President’s prerogative rights in granting abolition and amnesty embody the principle of state sovereignty, limited by the Constitution and political legitimacy through the House of Representatives. The mechanism of application and granting involves a written request to the President, administrative verification by relevant ministries or institutions, and consideration by the House of Representatives before being finalized in a Presidential decree. Thus, the granting of abolition and amnesty is not solely the President’s prerogative, but also a constitutional instrument that must be exercised prudently, transparently, and oriented toward justice and national interest. 
INOVASI DALAM KEBIJAKAN DAN REGULASI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA Suparman, Yusup; Elawati, Tuti
Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance Vol. 5 No. 1 (2025): Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance
Publisher : Gapenas Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53363/bureau.v5i1.784

Abstract

This study examines innovations in policies and regulations regarding witness and victim protection in Indonesia, with a focus on strengthening the legal framework, institutional capacity, and implementation within the criminal justice system. The Witness and Victim Protection Agency (LPSK), as a non-ministerial government body, plays a strategic role in ensuring justice but continues to face challenges such as weak institutional structure, limited human resources, inadequate facilities and funding, and suboptimal use of information technology. This research employs a normative juridical approach complemented by limited empirical analysis of regulations, institutions, and policy implementation. The findings highlight the urgency of reforming witness and victim protection through revising Law No. 31 of 2014 using an omnibus law approach, formulating a grand design for witness and victim protection 2025–2045, establishing a dedicated trust fund, and developing restorative justice-based protection clinics. Furthermore, optimizing legal structures, enhancing regulatory quality, strengthening legal culture, and advancing digitalization through the national one-data system and electronic-based government system (SPBE) are key strategies. In conclusion, innovation in witness and victim protection policies and regulations in Indonesia must be directed toward institutional strengthening, improving civil service competence toward smart ASN, and ensuring sustainable funding to establish a modern, inclusive, and just national legal system. 
Akibat Hukum Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Dalam Kasus Ekspor Minyak Goreng (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 41/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst) Amran, Yuko; Markoni, Markoni; Judge, Zulfikar; Wdarto, Joko; Elawati, Tuti
Ethics and Law Journal: Business and Notary Vol. 3 No. 4 (2025)
Publisher : CV. Lenggogeni Data Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.61292/eljbn.283

Abstract

The phenomenon of widespread corruption crimes in Indonesia reflects a serious issue in law enforcement. Ironically, perpetrators of corruption are not only found among the executive or legislative branches but also within the judiciary, which should serve as the last bastion for seekers of justice. The bribery case involving a judge in the cooking oil export scandal serves as concrete evidence of how judicial integrity is at stake. This study aims to analyze the legal consequences of bribery committed by a judge in relation to an onslag (acquittal) verdict, using the case study of the Central Jakarta District Court Decision Number 41/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst. The research method employed is normative juridical, utilizing the theories of abuse of power, legal accountability, and corruption. The findings show that the onslag decision rendered by the judge was proven to have been influenced by the bribe received. The study concludes that the act of corruption committed by the judge in the cooking oil export case constitutes a systemic and structured crime involving abuse of authority, bribery, and self-enrichment. The legal consequences include imprisonment, fines, revocation of certain rights, dishonorable dismissal, and the loss of public trust in the judiciary. The study recommends that the Supreme Court, the Judicial Commission, and the House of Representatives strengthen judicial oversight, reform the legal system, and impose stricter sanctions on corrupt judges. Keywords: legal consequences, corruption crime, judge, cooking oil export.   Abstrak Fenomena maraknya tindak pidana korupsi di Indonesia menunjukkan persoalan serius dalam penegakan hukum. Ironisnya, pelaku korupsi tidak hanya berasal dari kalangan eksekutif atau legislatif, tetapi juga dari lembaga peradilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir pencari keadilan. Kasus suap ekspor minyak goreng yang melibatkan hakim merupakan salah satu contoh nyata bagaimana integritas hakim dipertaruhkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis akibat hukum dari suap yang dilakukan oleh Hakim terhadap putusan onslag studi kasus Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 41/Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan teori penyagunaan wewenang, teori pertanggungjawaban hukum, dan teori tentang korupsi. Akibat hukumnya hakim yang memberikan putusan onslaag tersebut terbukti bahwa putusannya itu karena dipengaruhi faktor suap yang diterimanya. Kesimpulan bahwa tindak pidana korupsi yang dilakukan hakim dalam perkara ekspor minyak goreng merupakan kejahatan sistemik dan terstruktur yang meliputi penyalahgunaan wewenang, penerimaan suap, dan upaya memperkaya diri. Akibat hukumnya tidak hanya berupa pidana penjara, denda, dan pencabutan hak tertentu, tetapi juga pemberhentian tidak dengan hormat serta hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Sarannya agar Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, DPR perlu memperkuat pengawasan hakim, mereformasi sistem hukum, memperketat sanksi bagi hakim korup.   Kata kunci: akibat hukum, tindak pidana korupsi, hakim, ekspor minyak goreng.