Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
REFLEKSI HUKUM is a peer-review scholarly Law Journal issued by Faculty of Law Satya Wacana Christian University which is purported to be an instrument in disseminating ideas or thoughts generated through academic activities in the development of legal science (jurisprudence). REFLEKSI HUKUM accepts submissions of scholarly articles to be published that cover original academic thoughts in Legal Dogmatics, Legal Theory, Legal Philosophy and Comparative Law.
Articles
160 Documents
KEPASTIAN HUKUM KASASI PERKARA TATA USAHA NEGARA YANG DIKELUARKAN OLEH PEJABAT DAERAH
Yohanes Pattinasarany
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 6 No 2 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v6.i2.p203-224
Cassation in state administrative cases is a legal remedy against judex factie court decisions, but not all judex factie court decisions can be appealed. There are restrictions on the cassation of state administrative cases as stipulated in Article 45A paragraph (2) Letter c of Law No. 5 of 2004 concerning Amendments to Law No. 14 of 1985 concerning the Supreme Court, that state administrative cases that are exempt from legal proceedings for cassation are state administrative cases whose object of a lawsuit is a decision issued by a regional official whose decision range is valid in the region concerned. However, there is a cassation decision on state administrative case no. 174 K/TUN/2013, the object of which is the Mayor's Decree concerning the Ratification of the Village Head, and the Cassation Decision on State Administrative Cases No. 176 K/TUN/2020, of which the object of the lawsuit is the Regent's Decree concerning the Ratification of the Head of the State Government (customary village head). The two cassation decisions belong to the category of state administrative cases, which are limited to legal cassation because the two objects of the lawsuit are the decisions of the regent and mayor, who are regional officials. The scope of the regent and mayor's decision also only applies to the area concerned and does not apply. In other places, the cassation decisions of the two cases in question do not provide legal certainty to the limitation of cassation in administrative cases. In addition, those decisions may have legal consequences that they will eliminate the implementation of cassation in State administrative cases and give rise to the right for each party to appeal even though the filing of the lawsuit is issued by a regional official and the scope of its application is only in the region.
PEMBOCORAN RAHASIA BANK SEBAGAI PELANGGARAN HAK PRIVASI DAN DATA PRIBADI ELEKTRONIK NASABAH BANK
Sudjana - Sudjana
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 6 No 2 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v6.i2.p247-266
Pembocoran rahasia bank merugikan hak privasi dan data pribadi elektronik nasabah, karena itu kajian ini membahas masalah perlindungan nasabah terhadap pembocoran rahasia bank sebagai pelanggaran hak privasi dan data pribadi elektronik nasabah bank dan tanggung jawab pihak lain, direksi serta pegawai bank. Hasil kajian menunjukkan perlindungan nasabah pembocoran rahasia bank tidak eksplisit disebutkan dalam UU Perbankan tetapi berdasarkan penafsiran gramatikal dan sistematik merupakan pelanggaran hak privasi dan data pribadi elektronik nasabah bank. Tanggung jawab pihak lain yang memaksa bank untuk membocorkan rahasia bank adalah liability based on fault principle; tanggung jawab direksi bank terhadap perbuatannya dalam membocorkan rahasia bank berdasarkan strick liability dan atau vicarious liability apabila pelakunya pihak yang berada di bawah pengawasannya; dan tanggung jawab pegawai bank melalui prinsip presumption of liability.
DISRUPSI LAYANAN KESEHATAN BERBASIS TELEMEDICINE: HUBUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB HUKUM PASIEN DAN DOKTER
Abigail Prasetyo;
Dyah Hapsari Prananingrum
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 6 No 2 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v6.i2.p225-246
Technological developments from various aspects currently running in society are a reality, and the law must be able to regulate these changes. Technological developments also occur in health services, from conventional to telemedicine. Telemedicine is an electronic-based health service, so doctors and patients do not meet face-to-face. During the COVID-19 pandemic, telemedicine services are an alternative for patients to consult their doctors. This article describes the legal relationship and legal responsibility in telemedicine. The legal relationship between doctor and patient is created through a standard agreement; in this case, it is a therapeutic agreement. Therapeutic agreements still occur even though doctors and patients do not face each other directly. Regarding the form of accountability, in telemedicine, the absolute responsibility of doctors for their patients is known. In the end, it should be realized that there are still many weaknesses for doctors and patients and providers in telemedicine services.
PROBLEMATIKA REGULASI MENGENAI DALUWARSA GUGATAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DI INDONESIA
Mohammad Fandrian Hadistianto
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p1-18
Sumber hukum positif yang mengatur mengenai ketentuan daluwarsa pengajuan gugatan perselisihan hubungan industrial (PHI) saat ini tersebar di banyak produk hukum dan diantaranya terdapat benturan norma sehingga dalam pelaksanaannya bagi pekerja maupun pengusaha sulit mendapatkan kepastian hukum. Benturan norma tersebut dapat ditemui dalam hal daluwarsa gugatan perselisihan hak yang pemaknaannya berbeda antara satu dengan lainnya sehingga terjadi benturan norma hukum dalam hal penentuan daluwarsa pengajuan gugatan PHI sebagaimana dapat dilihat pemaknaan ketentuan Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbeda antara Putusan MK No. 100/PUU-X/2012 dengan SEMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Penelitian ini mengkaji jenis dan perbedaan aturan daluwarsa gugatan yang saat ini berlaku sebagai hukum positif dan merekomendasikan penyederhanaan ketentuan daluwarsa pengajuan gugatan P. Kesimpulan dari hasil penelitian ini yaitu mengenai daluwarsa gugatan PHI harus dimaknai tidak diatur batasannya sepanjang belum terjadinya pembubaran dari perusahaan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 142 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
DINAMIKA PENGATURAN KRITERIA PENGALIHFUNGSIAN LP2B SAMPAI DENGAN BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
Anggita Mustika Dewi
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p83-102
Artikel ini bertujuan untuk menganalisis dinamika pengaturan kriteria pengalihfungsian LP2B, sebelum dan setelah berlakunya UU CK, serta setelah adanya Putusan MK yang menyatakan UU CK inkonstitusional bersyarat. Artikel ini menunjukkan bahwa terdapat tiga fase dinamika pengaturan kriteria pengalihfungsian LP2B. Fase Pertama, yakni sebelum berlakunya UU CK, terdapat dua kriteria pengalihfungsian LP2B, yaitu bencana dan 18 bidang kegiatan kepentingan umum. Fase Kedua, yakni setelah berlakunya UU CK terdapat tiga kriteria pengalihfungsian LP2B, yaitu bencana dengan tiadanya perubahan substansi, perluasan kriteria pengalihfungsian LP2B menjadi 24 bidang kegiatan kepentingan umum, dan penambahan kriteria baru berupa PSN. Sedangkan pada Fase Ketiga, yakni setelah adanya Putusan MK yang menyatakan UU CK inkonstitusional bersyarat, kriteria pengalihfungsian LP2B sebagaimana diatur dalam UU CK ditangguhkan pemberlakuannya sampai dengan selesainya perbaikan UU CK.
ESSENTIAL FACILITIES DOCTRINES PADA PENGUASAAN PASAR OLEH BADAN USAHA MILIK NEGARA
Siti Anisah
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p37-62
Kegiatan usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) acapkali menguasai essential facilities sehingga menimbulkan penguasaan pasar. Dalam perkara-perkara penguasaan pasar, studi ini menemukan bahwa dalam dua kasus dengan objek yang sama, Majelis Komisi memiliki pertimbangan dan putusan yang berbeda. Dalam suatu putusan, Majelis Komisi tidak membenarkan penguasaan pasar secara monopolistis oleh BUMN atas dasar Essential Facilities Doctrine (EFD), namun dalam putusan lain Majelis Komisi terlihat membenarkan penguasaan pasar secara monopolistis oleh BUMN atas dasar Pasal 33 UUD NRI 1945 sehingga ini dikategorikan sebagai monopoly by law. Artikel ini hendak mempertahankan argumen bahwa EFD sepatutnya dipertimbangkan Majelis Komisi pada setiap perkara penguasaan pasar oleh BUMN yang menguasai essential facilities, dalam hal ini, aspek penguasaan pasar oleh BUMN dalam menjalankan kegiatan usahanya masih jarang dianalisis berdasarkan doktrin persaingan usaha tentang essential facilities. Studi ini berfokus pada pertanyaan bagaimana penguasaan pasar oleh BUMN berdasarkan EFD? Dengan metode penelitian normatif, studi ini menemukan bahwa berdasarkan EFD, setiap perusahaan yang memiliki kontrol atas suatu essential facility termasuk BUMN berkewajiban untuk menyediakan akses pada kompetitor dengan persyaratan wajar.
MENILIK PEMENJARAAN TERPIDANA SKIZOFRENIA DALAM PERSPEKTIF TUJUAN PEMIDANAAN
Y.A. Triana Ohoiwutun;
Dodik Prihatin A.N.;
Samuel Saut Martua Samosir;
Godeliva Ayudyana Suyudi
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p63-82
Skizofrenia termasuk gangguan jiwa golongan psikotik. Dalam beberapa kasus pidana, hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara terhadap pelaku skizofrenia. Ketepatan pemenjaraan terhadap seorang skizofrenia merupakan fokus dari tulisan ini. Metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kasus putusan pengadilan digunakan dalam menganalisis pokok permasalahan. Penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap ODGJ di dalam Hukum Pidana Indonesia menganut gemischte methode dengan sistem deskriptif normatif. Keterangan ahli jiwa, tidak mengikat hakim di dalam memutus perkara, dan hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara berdasarkan keyakinannya, meskipun terdakwa seorang skizofrenia. Pemenjaraan terhadap seorang skizofrenia paranoid kronik berorientasi pada teori tujuan retributif, sedangkan pemenjaraan terhadap seorang skizofrenia fase remisi berorientasi pada teori teleologis. Mengingat sifat berbahayanya seorang skizofrenia, seharusnya sebelum dan selama menjalani sanksi pidana penjara memerlukan pemeriksaan kesehatan jiwa. Pemenjaraan terhadap seorang skizofrenia setidaknya dapat memberikan perlindungan terhadap sesama narapidana dan petugas lembaga pemasyarakatan selama terpidana menjalani sanksi.
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PADA KEGIATAN PERTAMBANGAN UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
Syofiarti Syofiarti
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p19-36
Tulisan ini mengkaji tentang peran serta masyarakat pada kegiatan tambang. Di satu sisi tambang memberikan keuntungan bagi pendapatan negara, di sisi lain berdampak pada lingkungan dan masyarakat. Karenanya kegiatan tambang seharusnya melibatkan masyarakat yang terkena imbas dari kegiatan. Lahirnya UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 dan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja semakin membatasi ruang bagi masyarakat untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan, yakni pembatasan pada; penetapan wilayah tambang, AMDAL, dan perizinan. Ini merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan pada Pasal 10 Deklarasi Rio yaitu democracy and public participation. Untuk itu seharusnya regulasi yang ada memberikan penguatan terhadap peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan pada kegiatan tambang. Adanya penguatan peran serta masyarakat merupakan bentuk penerapan hukum yang responsif, dimana hukum harus mampu menyerap aspirasi masyarakat luas serta mampu mengakomodasikan kebutuhan masyarakat dan bukan dibuat untuk kepentingan segelintir para elit. Disamping itu perlu juga diatur tentang; hak gugat masyarakat, penguatan peran serta masyarakat hukum adat, dan hak gugat warga negara.
PENDEKATAN NEGARA HUKUM KRISIS EKONOMI: UPAYA MENDAMAIKAN PERTENTANGAN ANTARA PEMBATASAN DAN PELONGGARAN HUKUM DAN DISKRESI BAGI PRESIDEN (EKSEKUTIF)
Yafet Yosafet W. Rissy
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p103-122
Pendekatan negara hukum dalam keadaan normal dan krisis sering kali dipertentangkan. Untuk mengurangi ketegangan ini, diperlukan pendekatan alternatif yang mendamaikan kedua kutub. Untuk itu, artikel ini menganalisis pendekatan negara hukum yang tepat untuk diterapkan dalam keadaan krisis ekonomi atau pendekatan negara hukum krisis ekonomi (The Economic Crisis Rule of Law Approach). Dalam pendekatan ini, diargumentasikan adanya dua pendekatan yang berdampingan (coexist) yakni mentaati prinsip negara hukum sekaligus memberi peluang fleksibel bagi Presiden (eksekutif) dalam memitigasi krisis ekonomi. Untuk itu, sekalipun dalam keadaan darurat ekonomi, ada kebutuhan untuk tetap mematuhi prinsip-prinsip dasar dalam negara hukum tetapi pada saat bersamaan ber-negara hukum dalam darurat ekonomi idealnya perlu tetap rasional, efisien, menciptakan kepastian, menjamin prediktabilitas, bersifat prospektif dan mencegah perilaku opportunistik dan moral hazard. Tujuan utama pendekatan negara hukum dalam krisis ekonomi ialah tercapainya pemulihan krisis dengan cepat tetapi juga sekaligus membantu pencapaian tujuan utama negara hukum substantif yakni perlindungan harkat dan martabat manusia, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan sosial.
YURISDIKSI INDONESIA SEBAGAI NEGARA PANTAI DALAM PROTEKSI KAPAL KARAM SEBAGAI WARISAN BUDAYA BAWAH LAUT
Sakina Fakhriah;
Arie Afriansyah
Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum Vol 7 No 1 (2022): Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Universitas Kristen Satya Wacana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.24246/jrh.2022.v7.i1.p123-142
Artikel ini membahas hak dan kewajiban negara pantai atas pencarian, pemanfaatan, dan perlindungan benda-benda bersejarah bawah air yang diamanatkan oleh hukum internasional yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS 1982) dan Konvensi Warisan Budaya Bawah Laut (UCH Convention). Tulisan ini melihat bahwa perlindungan UCH di Indonesia menjadi tidak maksimal dikarenakan regulasi nasional yang disharmonis dan inkonsisten. Temuan lain adalah Indonesia belum meratifikasi UCH Convention karena adanya perbedaan prinsip dasar UCH Convention dengan kepentingan Indonesia. Artikel ini menggunakan metode perbandingan terhadap sejumlah regulasi nasional. Pada akhirnya, artikel mencoba untuk memaparkan langkah-langkah terbaik bagi instansi terkait dalam menyusun strategi perlindungan dan pengelolaan UCH yang efektif, dengan cara memaparkan kendala dan langkah strategis yang dapat pemerintah Indonesia terapkan tanpa harus melakukan ratifikasi UCH Convention. Salah satu upayanya adalah dengan melakukan reformasi regulasi melalui penguatan kedaulatan Indonesia, pengetatan izin dan peningkatan kontrol dan pengawasan yang lebih terstruktur, serta peningkatan koordinasi antar-instansi.