cover
Contact Name
Alice Whita Savira
Contact Email
alicewhitasavira@usd.ac.id
Phone
-
Journal Mail Official
suksma@usd.ac.id
Editorial Address
Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma Kampus III Paingan, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55581
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma
ISSN : 14129426     EISSN : 27454185     DOI : doi.org/10.24071/suksma
Core Subject : Humanities,
Jurnal Suksma adalah jurnal open access yang bertujuan untuk mendiseminasikan penelitian di bidang ilmu psikologi. Jurnal suksma menerima naskah dalam area Psikologi Sosial, Psikologi Industri Organisasi, Psikologi Klinis, Psikologi Pendidikan, Psikologi Perkembangan, Psikologi Kognitif, dan Psikometri dengan berbagai metodologi riset yang sesuai dengan standar publikasi jurnal. Target pembaca jurnal ini adalah akademisi, mahasiswa, praktisi, dan profesional lain yang tertarik dengan bidang ilmu psikologi.
Articles 91 Documents
Pola Komunikasi Guru-Murid di Kelas dalam Perspektif Teori Empat Wacana Lacan Augustinus Supratiknya; Victorius Didik Suryo Hartoko; Maria Magdalena Nimas Eki Suprawati; Albertus Harimurti
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i1.5500

Abstract

The essence of education is communication between educators and students. Teaching as a school education practice has two aspects, namely informative in the framework of forming skills and formative in the context of forming the personality of students. This current study aims to reveal the formative aspects of teacher-student communication patterns in the context of learning subjects in class based on Lacan's Theory of the Four Discourses. The research participants consisted of teachers and students of grades IV and V as class units who were carrying out Social Sciences lessons in three elementary schools in Yogyakarta. Data were collected through audio recordings of teacher-student communication in class. Data were transcribed and analyzed by four researchers separately, the results were discussed to find emerging themes derived from Lacan's Theory of the Four Discourses. The results showed that three types of Lacanian discourse emerged in teacher-student communication in the three schools studied, namely Discourse of the Master, Discourse of the University, and Discourse of the Analyst. This research will be followed up with research on the types of Lacanian discourse that are applied in writing textbooks for subjects in elementary schools including but not limited to Social Sciences.
Posisi Obskur Psikologi Kualitatif Albertus Harimurti
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i1.6245

Abstract

Pada mulanya adalah perihal obskur. Psikologi Kualitatif diposisikan seperti anak tiri dalam Psikologi. Secara teoretis dan metodologis, pendekatan kualitatif tidak diragukan eksistensinya. Namun secara praktis penelitian, pendekatan kualitatif tampak dan terdengar seperti wilayah yang jauh dan teramat asing, setidaknya dalam peta psikologi mainstream. Sejak awal kelahiran Psikologi, pendekatan kualitatif telah eksis sebagai sebuah tradisi berpikir tersendiri, yang misalnya dicomot dari tradisi fenomenologi. Bahkan, dalam karya-karya Wilhelm Wundt (1832-1920) dan William James (1842-1910) – dua tokoh awal Psikologi – kedudukan unsur subjektif dan objektif telah menjadi bagian dalam pembahasan risalah intelektual. Kedua tokoh tidak luput membicarakan makna, budaya, dan identitas yang kerap kali menjadi diskusi serius dalam tradisi kualitatif. Selain itu, apabila dicermati dengan sungguh, psikoanalisis yang dikembangkan Sigmund Freud (1856-1932) memanfaatkan wawancara dan serakan data remeh sebagai dasar dalam memahami psikologi subjek. Namun, mengapa pendekatan kualitatif seolah-olah begitu obskur?Menurut Danziger (1990), keberadaan pendekataan kualitatif sebagai “the excluded” dalam Psikologi dimulai dari penelitian-penelitian yang dianggap menjadi ciri khas Psikologi. Dalam sejarah keilmuan Psikologi sejak 1800an hingga hari ini, terjadi pergeseran dalam cara kerja penelitian yang tadinya dipraktikkan dengan pencatatan lewat observasi kemudian direduksi menjadi respons diri yang bersifat naif. Dalam eksperimen, yang dicatat si peneliti adalah respons perilaku dan bukan mental (mind) manusia. Oleh karena itu, intensi Psikologi untuk menangkap dan mengeksplorasi “mind” berubah menjadi pencatatan respons perilaku. Artinya, penelitian Psikologi cenderung menjadi ilmu mengenai mind terhadap mindless individual (Rogers Willig, 2017).Apa yang ditunjukkan di atas adalah cara manusia untuk menjawab bagaimana dan apa yang bisa diketahui. Dalam tradisi keilmuan, hal demikian diperdebatkan melalui Epistemologi. Cabang Filsafat tersebut upaya untuk menjawab mengenai bagaimana suatu pengetahuan diperoleh. Dalam tradisi Psikologi yang dominan (mainstream psychology), epistemologi yang bekerja adalah positivis (Rogers Willig, 2017; Willig 2008, 2013). Epistemologi positivis dalam keilmuan dapat ditelusur secara historis untuk kemudian akan ditemukan beberapa modelnya, yakni positivisme klasik, positivisme kritis, dan positivisme logis (Rogers Willig, 2017). Secara umum, dalam ketiga model positivisme tersebut, subyektivitas, sejarah, dan masyarakat menjadi tidak relevan untuk menentukan kebenaran pengalaman. Seorang peneliti perlu melakukan isolasi terhadap manusia agar kebenaran dapat diperoleh. Apa yang digagas Karl Popper (1902-1994) sebagai rasionalisme kritis juga memiliki asumsi serupa, sehingga sekalipun ia memberi kritik terhadap positivisme, tetapi ia dianggap sebagai seorang positivis (Ormerod, 2009).Secara dominan, Teo (2018) menunjukkan bahwa tradisi berpikir ala Popper direproduksi dengan keyakinan dari filsafat pengetahuan yang menunjukkan bagaimana suatu pernyataan keilmuan dapat dijustifikasi atau disebut dengan konteks justifikasi (context of justification). Karena penekanan pada justifikasi, maka konteks penemuan (context of discovery) atau pertanyaan mengapa suatu ilmu berminat pada suatu pertanyaan, bukan lagi menjadi hal yang menjadi perhatian serius. Sebagai implikasi, peneliti akan cenderung berminat pada kecanggihan metodologi alih-alih asal-usul sosiohistoris disiplin Psikologi, termasuk di dalamnya adalah subyektivitas peneliti. Ketiadaan dimensi sosiohistoris tersebut akan membatasi peneliti psikologi untuk tidak melibatkan minat personal dalam rangka mengarahkan cara pandang terhadap dunia (Willig, 2013). Problem yang muncul kemudian adalah ketidakmungkinan untuk netral secara murni, seseorang senantiasa melakukan penciptaan makna mengenai objek tertentu yang terbangun selama pengalaman hidupnya.Tradisi berpikir positivis dengan berbasis pada konteks justifikasi tersebut kemudian dikritik oleh seorang pemikir bernama Thomas Kuhn (1922-1996) yang menyatakan bahwa dalam proses keilmuan terdapat elemen yang melampaui-yang-logis dan melampaui-yang-rasional yang kemudian nantinya akan berujung pada sejarah dan sosiologi ilmu pengetahuan dalam cabang Epistemologi. Secara khusus, kelemahan dari perspektif positivis adalah absennya sejarah, budaya, dan masyarakat dalam upaya menjelaksan serta memahami dunia. Menurut Teo (2018), proses dalam keilmuan tidak hanya konteks justifikasi, melainkan juga konteks penemuan, konteks interpretasi (context of interpretation), dan konteks aplikasi (context of application). Bahkan, konteks justifikasi sendiri nyatanya tidak luput dari subjektivitas peneliti. Letak Psikologi sebagai ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial mestinya juga memposisikan Psikologi tidak hanya berfokus pada kecanggihan metodologi untuk memotret kehidupan individual, melainkan juga menempatkan pengalaman subjektif individual dalam tegangan antara subjek dengan sistem (Keucheyan, 2011).Bergeser dari tradisi positivis, tokoh Psikologi asal Jerman, yakni Klauz Holzkamp (1927-1995), menyebut tradisi dalam Psikologi dengan istilah yang sangat tepat, yakni realisme naif (naive realism) (Holzkamp, 1972). Realisme naif berupaya menggambarkan penelitian empiris sebagai cerminan dunia luar dengan meminimalisasi bias, menanggalkan gagasan sebelumnya (purifikasi), dan melakukan penetralan metodologi. Dengan melakukan purifikasi tersebut, maka tradisi berpikir Psikologi mengasumsikan tidak terdapat dimensi societal atau historis. Persoalannya kemudian adalah bahwa sebuah persepsi beroperasi secara selektif dan orang bisa melihat satu hal dengan cara yang berbeda, tergantung dari tujuan pengamatan yang dilakukan (Rogers Willig, 2017).Selain tradisi positivis dan realisme naif, problem lain yang ditunjukkan dalam filsafat ilmu adalah hypothethico-deductivism (Willig 2008, 2013). Gagasan tersebut dimulai dari kritik Popper tehadap induktivisme yang tidak bisa memberikan pernyataan kategoris seperti “a mengikuti b”. Dalam induktivisme, tidak dapat dipastikan bahwa kejadian selanjutnya akan mengikuti pola “a mengikuti b”. Karena tidak tertebak, maka akan muncul kesulitan untuk melakukan verifikasi. Lantas Popper mengusulkan bahwa sebuah ilmu sebaiknya menganut sistem deduksi dan falsifikasi, misalnya dengan membuat hipotesis di awal. Dengan adanya falsifikasi, maka akan bisa ditentukan mana yang benar dan tidak benar.Kontras dengan tradisi positivis dan realisme naif, Henwood (2014) menyatakan bahwa seorang peneliti kualitatif mensyaratkan keterlibatan aktif peneliti pada dunia yang sedang dipelajari. Oleh karena itu, peneliti kualitatif mestinya melakukan pengamatan yang jeli, mendengarkan, merekam, dan mengkontekstualisasikan pengalaman nyata, pikiran, tindakan, dan refleksi manusia untuk kemudian melakukan interpretasi terhadap data yang diperoleh dari hasil proses tersebut. Sekalipun demikian, proses interpretasi ini bukan “barang” baru dalam penelitian Psikologi. Sebagaimana ditunjukkan dalam oleh Danziger (1990) proses interpretasi (atau yang lebih subtil, yakni introspeksi) tergeser dan terdominasi oleh penelitian eksperimen dan survei yang tadinya peneliti menjadi subjek pengamat menjadi pencari respons. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa selama kurun waktu satu abad lebih sejarah ilmu Psikologi, pendekatan kualitatif cenderung tersembunyi (hidden) dalam berbagai hasil penelitian.Sifat tersembunyi atau obskur tersebut muncul sebagai gejala methodolatry dalam Psikologi. Methodolatry merupakan kecenderungan untuk menghindari teori dan mengidolakan metode yang dianggap bisa menggambarkan keahlian tertentu dari peneliti (Rogers Willig, 2017). Kecenderungan methodolatry ini kemudian membuat keilmuan dalam ranah para ahli saja. Dengan demikian, rezim ilmu pengetahuan sebagai digagas Foucault (1969/2002), dengan terang-terangan menampilkan diri pada perkembangan penelitian Psikologi. Apabila dicermati, struktur jurnal Psikologi cenderung memberi porsi bagian diskusi yang cukup minim, artinya proses interpretasi dan kemungkinan untuk membuka ruang alternatif terhadap pemahaman suatu fenomena bukan menjadi perkara yang penting untuk dielaborasi.Agaknya, kecenderungan methodolatry tersebut mengalami perlawanan yang cukup sengit dari para pemikir yang tidak puas dengan penjelasan kuantitatif. Setidaknya, ada dua palingan yang secara pelan tapi pasti berupaya untuk melakukan resistensi dengan pendekatan yang terlampau realisme naif. Palingan tersebut adalah palingan bahasa (language turn) dan palingan interpretasi (interpretation turn) (Rogers Willig, 2017). Kedua paling tersebut bermula dari metode interpretasi dan kesadaran sebagai subjek studi yang dikesampingkan oleh Psikologi mainstream. Sebagai contoh adalah kelahiran Psikologi Feminis yang berupaya mempertanyakan mengapa dalam penelitian Psikologi (juga penelitian sosial) cenderung menemukan atau mengkonfirmasi kemampuan intelektual dan karakter moral perempuan yang digambarkan inferior. Oleh karena itu, persoalannya bukan sekadar inferioritas perempuan, melainkan lebih pada inferiorisasi perempuan (Gilligan, 1982; bdk. Žižek, 2009).Pada palingan pertama, yakni palingan bahasa, ditunjukkan bahwa bagaimana cara seseorang berbicara dan merepresentasikan realitas berkontribusi dalam mengekspresikan mentalitas orang tersebut. Dalam palingan bahasa, seorang peneliti akan berfokus pada konstruksi makna. Palingan ini muncul secara gradual sejak 1930an dalam gerakan ilmu kemanusiaan dan seni surealisme (Roudinesco, 1993/1997) – yang kemudian berpuncak di Psikologi pada sekitar 1980an dan 1990an (Rogers Willig, 2017). Sumbangan besar palingan bahasa adalah membawa kesadaran bahwa bahasa bukanlah produk kultural yang netral. Dalam kajian ilmu yang lain, palingan bahasa ini disebut dengan palingan budaya (cultural turn). Sifat kultural dari bahasa menunjukkan bahwa wicara atau produk yang diekspresikan oleh seseorang merupakan interseksi dari subjek dan sistem sosial yang lebih luas. Palingan bahasa ini membuka kemungkinan untuk suatu analisis yang mempertimbangkan konteks atau saat dan tempat ketika seseorang mengekpresikan gagasannya mengenai dunia.Sebab sebuah makna dikonstruksi sebagaimana diyakini palingan bahasa, maka kemudian dalam palingan interpretasi penekanan pada penciptaan makna (meaning-making) menjadi pusat analisis (Rogers Willig, 2017). Dalam sejarah pendekatan kualitatif, ada dua cara memahami bahasa. Pertama adalah bahwa peneliti meyakini bahwa bahasa merupakan ekspresi jujur dan murni dari kesadaran. Cara pertama ini ditampilkan dalam model fenomenologi deskriptif. Bahwa apa yang disampaikan subjek penelitian merupakan suatu kebenaran yang tidak lagi perlu melalui interpretasi, peneliti cukup melakukan pengelompokkan tema untuk kemudian mendeskripsikan pengalaman. Cara kedua adalah sebagaimana dimanifestasikan oleh fenomenologi interpretatif dan tradisi konstruksionisme. Bahwa suatu ungkapan atau bahasa muncul dari konteks yang menghadirkan subjek pewicara. Dalam cara kedua ini, peneliti akan mendemonstrasikan analisis yang berbasis data (grounded in data) sekaligus konsisten scara teoretis (theoretically driven). Menurut Rogers dan Willig (2017), apa yang membedakan model deskriptif dan interpretatif adalah bahwa penelitian interpretatif berupaya memproduksi pemahaman mengenai bagaimana seseorang mengalami dunia dan dirinya dengan cara yang khusus. Oleh karena keunikan pengalaman ini, maka diasumsikan ada fenomena sosial yang perlu diidentifikasi dan dijelaskan dengan detail. Fenomena sosial inilah yang dianggap tersembunyi dan perlu diuraikan untuk memahami (bukan sekadar menjelaskan) cara pandang terhadap dunia, perilaku, dan pengalaman seseorang. Bahkan interpretasi ini bukanlah perkara yang sudah final, sebuah interpretasi perlu membuka ruang kemungkinan bahwa ada alternatif interpretasi lain. Kekeliruan diasumsikan akan senantiasa membayangi analisis yang dianggap benar dan bahwa kebenaran itu sendiri tidak bisa dipastikan tunggal. Lantas, dalam model interpretatif, tantangannya adalah melampaui apa yang tampak, dengan harapan bisa menyingkap dimensi tersembunyi sekaligus tidak memaksakan makna yang mendasari suatu fenomena psikologis.Persoalan palingan bahasa, palingan budaya, maupun palingan interpretasi ini kemudian dalam perkembangan kontemporer mulai melirik pada palingan afek (affective turn) yang diinisiasi oleh Brian Massumi (1987, 2015) dan Patricia Clough (2008). Palingan afek ini menampilkan bahwa afek merupakan pengalaman fisiologis yang bersifat pra-subjektif sebelum rasionalitas dan intensionalitas hadir. Dalam afek, bahasan seperti kenikmatan (pleasure and joy), luka dan duka (pain and mourning), serta hasrat (desire) menjadi fokus yang dieksplorasi. Meskipun demikian, afek juga bukan sesuatu yang bersifat alamiah. Kesenangan atau hasrat seseorang senantiasa tidak berada dalam ruang kosong. Artinya, aspek fluiditas dan keterikatan pada konteks menjadi bagian yang tidak bisa tidak untuk dipahami dalam sebuah penelitian (Gough, 2017).Pemahaman pada konteks yang dipadu dengan posisionalitas peneliti ini kemudian juga membuka ruang baru untuk melakukan penelitian yang sifatnya tidak eksploitatif dan justru membebaskan manusia, misalnya gerakan decolonializing psychology (dekolonisasi Psikologi) (Bhatia, 2017). Dekolonisasi merupakan upaya untuk melakukan pergeseran dari etic menjadi emic (insider’s perspective) sebagaimana juga terjadi dalam pendekatan budaya dalam Psikologi (Matsumoto Juang, 2013; Ratner, 2006). Tradisi berpikir dekolonial ini agaknya juga perlahan menjadi tren yang tengah berlangsung dalam penelitian psikologi yang berfokus pada “kebutuhan akan keragaman, keadilan, dan inklusi dalam konten ilmiah serta mengambil langkah untuk memperbaiki praktik yang rasis dan berprasangka selama berdekade lamanya” (Santoro, 2023 hlm. 50). Warisan kolonialisme, orientalisme, maupun Eurosentris yang tampil dalam subjek penelitian Western, Educated, Industrialized, Rich and Democratic (WEIRD) nyatanya tidak memuaskan untuk menjelaskan konteks negara global belahan bumi Selatan (Global South) maupun komunitas yang tersingkir (Santoro, 2023).Model psikologi yang inklusif dan berkeadilan demikian berupaya untuk menempatkan diri bahwa penelitian dan interpretasi bukan hal yang netral dan secara etis justru berimplikasi semakin memangkirkan mereka yang tersingkir. Bahkan, dalam perkembangan di Psikologi, penelitian kuatitatif nyatanya juga membuka arena baru bernama QuantCrit (Quantitative Critical Theory) yang meyakini bahwa angka tidak netral, kategori tidak natural, data tidak bisa berbicara sendiri dan membutuhkan penyuaraan, serta kebutuhan untuk mempertimbangkan keadilan (sosial). Lantas, alih-alih sekadar berfokus pada metodologi yang digunakan, sebuah penelitian pertama-tama perlu untuk berfokus pada episteme atau logika yang mungkin saja pincang sedari peneliti membangun problematisasi. Dengan demikian, refleksivitas menjadi hal yang senantiasa diperlukan dalam proses penelitian dengan harapan bahwa ada kejelian dan ketelatenan proses penelitian, entah batasan apa yang dimiliki peneliti, kemungkinan adil-tidaknya cara berpikir, atau bahkan implikasi dari temuan penelitian.Berbarengan dengan tren global perkembangan disiplin Psikologi, Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol. 4, No. 1 kali ini didominasi oleh pendekatan yang bersifat eksploratif dengan memanfaatkan data kualitatif. Pemanfaatan data kualitatif tersebut selaras gagasan Arellano (2022) yang menyatakan bahwa berbagai jurnal hasil penelitian yang tersaji perlu membuat perubahan transformasional dengan mendengarkan cerita pengalaman dari para subjek. Orang perlu terhubung pada ranah emosi manusia yang (kebetulan) hanya dapat diperoleh lewat data kualitatif. Secara detail, terdapat enam tulisan bernuansa kualitatif, dengan detail sebanyak lima penelitian berbasis pada pengambilan data terhadap para informan dan satu tulisan berbasis studi arsip.Pada tulisan pertama, Supratiknya dkk. (2023) berupaya mengungkap aspek formatif dalam pola komunikasi guru-siswa dalam konteks pembelajaran di Sekolah Dasar (SD). Berbasis pada gagasan Empat Wacana (Four Discourses) yang diinisiasi oleh Jacques Lacan (1901-1981), seorang psikoanalis Perancis, tulisan tersebut mengidentifikasi tipe wacana yang digunakan dalam proses komunikasi di kelas. Lacan merupakan figur besar psikoanalisis yang kembali ke Freud (return to Freud) dengan pendekatan Hegelian dan semiologi. Rahim interdisiplin yang dikembangkan Lacan ini menandai bahwa cara pandang Psikologi yang dikawinkan dengan pendekatan keilmuan lain berpotensi untuk memberi kesegaran pemahaman terhadap pengalaman komunikasi di kelas, terlebih dalam kajian mengenai formasi subjek.Tulisan kedua mengembangkan gagasan komunikasi di kelas pada level Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan memanfaatkan pengolahan data Analisis Tematik (Thematic Analysis) tipe realis. Ketiga penulis, yakni Justin, Widiyanto, dan Kristiyani, memanfaatkan analisis tematik dengan harapan bisa menangkap dan mengeksplorasi pengalaman komunikasi dengan tidak mengesampingkan perkembangan komunikasi secara daring. Penelitian tersebut menemukan bahwa pengalaman komunikasi secara langsung (luring) menciptakan ekosistem yang membuat transmisi pengetahuan guru-siswa menjadi lebih efektif dan nyaman.Selanjutnya, dalam tulisan ketiga, Putri dan Hidajat mengeksplorasi pengalaman dukacita yang dialami oleh individu dewasa awal yang mengalami kehilangan sanak-saudara selama pandemi Covid-19. Dalam eksplorasi tema secara kualitatif yang dilakukan, kedua peneliti secara khusus berfokus pada pertumbuhan pasca-trauma (post-traumatic growth). Melalui penelitian ini, Putri dan Hidajat menemukan bahwa dalam ruminasi kedukaan, makna dan perbedaan kepribadian menjadi aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses intervensi terhadap rasa duka yang dialami para informan.Melalui Analisis Fenomenologi Interpretif (Interpretative Phenomenological Analysis), tulisan keempat akan mengeksplorasi mengenai pandangan petani terhadap lembaga pendidikan. Tulisan Handayani dilatarbelakangi oleh fakta obyektif bahwa tingkat pendidikan di daerah pedesaan cenderung lebih rendah daripada orang-orang yang tinggal di perkotaan. Bagi para petani yang tinggal di area pedesaan, Handayani mengungkapkan bahwa pada kenyataannya sekolah juga dianggap sebagai ruang penting untuk dinikmati oleh keluarga mereka. Bahkan, keluarga petani di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah mempersepsikan sekolah sebagai ruang transformasional bagi para agen yang mengenyam pendidikan di dalamnya.Kemudian, dalam tulisan kelima, Hartoko memanfaatkan kombinasi merodologi kuantitatif dan kualitatif dengan perspektif representasi sosial guna mencermati cara orang muda dalam memahami demokrasi. Perspektif representasi sosial, yang digagas Serge Moscovici (1925-2014) berusaha untuk menangkap strukturasi gagasan yang diyakini para subjek. Melalui pengambilan data survei kualitatif, Hartoko mengidentifikasi gagasan orang muda mengenai demokrasi yang tercermin dalam kebebasan berpendapat, keberagaman dan kesetaraan, serta keadilan. Ketiga gagasan tersebut menunjukkan nilai-nilai dasar pembentukan kewargaan dan kebutuhan orang muda untuk berpartisipasi sekaligus independen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Tulisan keenam, atau terakhir, memanfaatkan studi arsip untuk melihat perkembangan wacana pendidikan dan layanan psikologi. Dalam tulisan tersebut, Justin dan Supratiknya berupaya menawarkan orientasi pendidikan psikologi profesional di Indonesia. Secara khusus, kedua penulis mengeksplorasi dan melakukan komparasi kurikulum program profesi dan program akademik. Studi arsip ini kemudian menampilkan beberapa usulan kompetensi mengenai program profesi yang perlu diperhatikan dalam merencanakan dan menyusun kurikulum program profesi.Kembali pada bagian awal mengenai sejarah dan perkembangan Psikologi Kualitatif dan disiplin ilmu Psikologi, keenam tulisan yang terkumpul agaknya menjadi simptom yang menunjukkan bahwa ada semacam gerakan yang pelan tapi pasti menuju pada model Psikologi yang sifatnya eksploratif dan jauh dari pendekatan arus utama yang cenderung positivistik. Sekalipun kecenderungan tersebut dirayakan secara kecil-kecilan dan obskur, tidak bisa dipungkiri bahwa ada transgresi yang melekat dalam tubuh disiplin Psikologi. Transgresi tersebut dilakukan melalui membuka celah-celah baru dalam penelitian yang tidak melulu bersifat realisme naif dan empirisis serta memanfaatkan data kualitatif.Meskipun demikian, gagasan keterikatan pada konteks (context-bound), fluiditas fenomena, dan aspek posisionalitas peneliti belum secara khusus memperoleh ruang analisis yang tebal dan mendalam (thick description) dalam keenam tulisan yang tersaji. Pada akhirnya, bukan sesuatu yang muluk-muluk apabila berbagai tulisan dalam terbitan Suksma kali ini diharapkan menciptakan riak dalam keilmuan Psikologi yang selama ini didominasi oleh problem abstraksi dan kuantifikasi. Struktur kekuasaan dalam pengetahuan dan praktik hidup sehari-hari sebagaimana direpresentasikan memalui keenam tulisan barangkali juga telah digemakan beberapa dekade lalu: “Di mana ada kekuasaan,” ungkap Foucault (1978), “di sanalah hadir resistensi.”
Proses Posttraumatic Growth pada Perempuan Dewasa Awal dengan Melihat Sifat Kepribadian dan Ruminasi Kedukaan Evita Pamela Putri; Lidia Laksana Hidajat
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i1.5789

Abstract

The Covid-19 pandemic and the changing circumstances that followed can disrupt grieving process and lead to maladaptive grief. Emerging adults who experience parental death are vulnerable since loss at this age tends to be unanticipated and potentially disrupt the development process. Nevertheless, a loss can produce positive changes called posttraumatic growth (PTG) as a result of the struggle facing adversity. This study examines the process of PTG by looking at personality traits and grief rumination and using a qualitative approach. Three emerging adults aged 25-26 years who experienced parental death during the pandemic were involved and selected using purposive sampling. Data was collected mainly by semi-structured interviews and analyzed by thematic analysis. Results indicated that PTG is a complex process, unique to each individual, and involving substantial cognitive processing. The dynamics of personality traits and grief rumination also play a role. Positive and reinforcing personality traits, such as conscientiousness, openness to experience, extraversion, and agreeableness, can help participants overcome grief and experience positive changes after loss. Meanwhile, neuroticism was found to hinder PTG. Furthermore, meaning in grief rumination plays the most prominent role to determine the process of PTG in the participants of this study. The ability to see a positive meaning from the loss helps to achieve PTG and conversely the tendency to think of the negative meaning can inhibit PTG. Thus, intervention given to emerging adults who have lost their parents should target grief rumination, especially aspect of meaning, and take into account differences in individual personality traits.
Komunikasi Guru-Siswa di Indonesia dalam Perspektif Guru dan Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Ernest Justin; Yohanes Baptista Cahya Widiyanto; Titik Kristiyani
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i1.5413

Abstract

Communication in education, especially that occurs between teachers and students, has been shown to have an impact on many educational outcomes, both individual and communal. Communication relates to the cultural context, based on some literatures about teacher-student communication, there are also variations according to the cultural context in which communication occurs. For this reason, this study aims to find out how the concept of teacher-student communication is in Indonesian school context. This type of research is qualitative. Participants in the study were teachers and students at the junior high school (SMP) level. The data collection method was a survey using an open questionnaire. Data analysis used thematic content analysis. The results show that direct and indirect (online) communication has different dynamics. Students tend to feel more comfortable when communicating directly.
Persepsi Masyarakat Petani Tentang Sekolah Luluk Dewi Handayani; Indah Prihatin
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i1.5833

Abstract

School is expected to provide knowledge and opportunities for students. However, the data showed that the level of education in rural areas is lower than in urban areas. This study aims to explore the perception of farmers about school as an institution. A qualitative approach with an Interpretative phenomenological analysis (IPA) is used as the analytical method. Interviews were used as a way of collecting data. This study involved three informants in an in-depth interview process. Those are farmers from Temanggung Regency (Central Java); SP (57), ER (49), D (42). This study found that school considered as social transformation agent and practical functional institution. The school activities are habit for farmer families, but on the other hand they realize that schools are social transformation agent for them.
Demokrasi di Mata Anak Muda: Studi Representasi Sosial Victorius Didik Suryo Hartoko
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 1 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i1.6049

Abstract

How do young people understand democracy? This study tries to find out the ideas of young people about democracy and its basic structure using the Social Representation approach. Young people aged between 17 to 33 years (N = 237 people) participated in this study. Data collection was carried out using a survey technique by asking them what they thought about democracy and what values they saw as the basic values of democracy. The three main ideas of young people about democracy are freedom of opinion (63.98%), plurality and equality (62.03%) and justice (48.52%). These three ideas are basic values for the formation of assertive citizens and at the same time reflect the need for young people to be independent and participate. Multidimensional scaling statistical techniques are used to summarize and capture the basic structure of 13 ideas about democracy. There are two main dimensions found. The first dimension describes democracy as a tension between the ideas of liberal democracy (freedom of opinion and equality-plurality) and the idea of integralism (prosperity, unity, law and order, responsibility and honesty). The second dimension describes democracy as the tension between the principles of justice and the principles of people's sovereignty (people's sovereignty, deliberations, general elections and togetherness). These two dimensions may reflect the history of the democratic experience of the Indonesian people who have experienced various trials of applying different ideas about democracy.
Taksonomi Kewenangan Psikolog Supratiknya, Augustinus
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i2.5766

Abstract

Law number 23 of 2022 concerning “psychology education and services” stipulates that the division of qualifications among Psikolog Umum, Psikolog Spesialis, and Psikolog Subspesialis should be regulated in a specific Peraturan Pemerintah. This article proposes a Taxonomy of Qualifications of Psychologists based on the goals of the provision of psychological intervention (promotion, prevention, cure, rehabilitation, and palliation) as well as the degrees of the psychological problems (normal, mild, and severe) of clients.
Rumus Slovin : Panacea Masalah Ukuran Sampel ? Santoso, Agung
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i2.6434

Abstract

Slovin’s formula was a popular formula employed to calculate sample size in psychological research in Indonesia. There were not many Indonesian academic publications in Psychology discussing the use of the formula. Most of discussion regarding the use of the formula were conducted in social media platform, which were incomplete or inaccurate at their best. The current article was written to provide a deeper look at the formula and its limitation. One simulation study was conducted to provide empirical basis for evaluating the use of the formula in different contexts. It was concluded that the application of Slovin’s formula was limited to a very specific research context and that employing the formula for calculating sample sizes in different contexts may result in lower precision of parameter estimation.
Kesepian dan Regulasi Emosi pada Emerging Adulthood Theja, Vanessa; Witarso, Laurentius Sandi
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i2.6454

Abstract

Abstract. Emerging adulthood is marked by the stage of experiencing intimacy vs isolation where they need to establish intimate relationships with their surroundings. Failure in establishing close relationships with those around him can make they feel lonely and will experience a variety of negative emotions. Emotion regulation is one way for individuals to control the emotions. Research on loneliness and emotion regulation needs to be studied further because there is a lot of focus on elderly subjects. The purpose of this study was to determine the relationship between loneliness and emotion regulation including cognitive reappraisal and expressive suppression on early adulthood individuals. The research was conducted using a quantitative method with a correlational design. Participants in this study are 138 people with an age range of 18-25 years. Researchers used the convenience sampling method and used the third version of the UCLA Loneliness Scale and the Emotion Regulation Questionnaire (ERQ). Data were analyzed using Pearson's correlation to examine the correlation between the two variables. The results showed that loneliness in early adulthood was correlated with expressive suppression (r = 0.35, n = 138, p 0.05, two-tailed). Early adulthood individuals tend to use expressive suppression as an emotion regulation strategy when experiencing loneliness. Meanwhile, loneliness did not correlate with cognitive reappraisal because it is suspected that individuals tend to have good well-being  (r = 0.05, n = 138, p 0.05, two-tailed). Future research can examine other factors that can influence the relationship between the two variables in early adulthood.   
Gambaran Perilaku Komunikasi Guru Sekolah Menengah Pertama berdasarkan Konstruk Teacher Communication Behaviour Questionnaire (TCBQ) Suprawati, M.M Nimas Eki; Savira, Alice Whita; Rosita, Febriana Ndaru
Suksma: Jurnal Psikologi Universitas Sanata Dharma Vol 4, No 2 (2023)
Publisher : Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24071/suksma.v4i2.6775

Abstract

This study aims to describe communication behavior of Indonesian junior high school teachers based on the construct of the Teacher Communication Behavior Questionnaire (TCBQ). It was conducted in response to the need to develop teacher communication measurement with a clear construct to improve the quality of teacher communication research in Indonesia. Culture plays an important role in affecting communication behavior. It is necessary to study whether TCBQ's constructs are also found in teacher communication in Indonesia. Teacher communication behavior is important for learning, especially for students in early adolescence. This research used qualitative descriptive. Eleven junior high school teachers participated in this study using naturalistic observation obtained through video recording in the classroom. The results showed that according to the TCBQ perspective, participants perform four types of communication behavior: (1) challenging; (2) encouraging-praise; (3) understanding-friendly; and (4) controlling.

Page 5 of 10 | Total Record : 91