Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search
Journal : Interdisciplinary Explorations in Research Journal (IERJ)

Politik Islam di Zaman Pra-Kemerdekaan Sharfina Permata Noor, Erla; Hasan, Ahmadi; Umar, Masyithah; Khasyi'in, Nuril
Interdisciplinary Explorations in Research Journal Vol. 2 No. 2 (2024)
Publisher : PT. Sharia Journal and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ierj.v2i2.571

Abstract

Abstract This research examines the politics of Islam during the pre-independence period in Indonesia and its role in the nation's struggle. Islamic politics during that period had a significant impact on Indonesia's history of struggle. Prior to the independence in 1945, Indonesia experienced more than three centuries of colonization by the Netherlands. Islamic politics became a major force in organizing society and fighting for independence. Islamic political movements emerged as a response to the colonization and modernization efforts carried out by the Dutch colonial government. Islamic politics during the pre-independence period in Indonesia were grounded in a strong religious spirit. Islam played a central role in the lives of Indonesian society, and Islamic figures at that time viewed politics as a means to advocate for justice, freedom, and the welfare of the Muslim community. Islamic politics were also influenced by global political shifts at that time. Islamic organizations such as Sarekat Islam, Muhammadiyah, and Nahdlatul Ulama played a crucial role in coordinating the political, social, and cultural struggles of the Muslim community in Indonesia. Islamic political parties such as the Masyumi Party also played a significant role in shaping Islamic political perspectives and influencing the national political direction of Indonesia. Additionally, it showcases the role of Islamic politics in the national awakening movement towards achieving independence. Keywords : Politics of Islam, Pre-independence Era, Islamic Organizazion Abstrak Penelitian ini membahas politik Islam pada masa pra-kemerdekaan Indonesia dan perannya dalam perjuangan bangsa. Politik Islam pada periode tersebut memiliki dampak yang signifikan dalam sejarah perjuangan Indonesia. Sebelum kemerdekaan pada tahun 1945, Indonesia mengalami penjajahan oleh Belanda selama lebih dari tiga abad. Politik Islam menjadi kekuatan utama dalam mengorganisir masyarakat dan memperjuangkan kemerdekaan. Gerakan politik Islam mulai muncul sebagai respons terhadap penjajahan dan modernisasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. Politik Islam pada masa pra-kemerdekaan Indonesia didasarkan pada semangat agama yang kuat. Agama Islam memainkan peran sentral dalam kehidupan masyarakat Indonesia, dan tokoh-tokoh Islam pada masa itu melihat politik sebagai sarana untuk memperjuangkan keadilan, kebebasan, dan kesejahteraan umat. Politik Islam juga dipengaruhi oleh pergeseran politik global pada saat itu. Organisasi Islam seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama menjadi kekuatan penting dalam mengoordinasikan perjuangan politik, sosial, dan budaya umat Islam di Indonesia. Partai politik Islam seperti Partai Masyumi juga memainkan peran penting dalam merumuskan pandangan politik Islam dan mempengaruhi arah politik nasional Indonesia. Selain itu juga memperlihatkan peran politik Islam dalam moment kebangkitan nasional untuk mencapai kemerdekaan. Kata Kunci : Politik Islam, Pra-Kemerdekaan, Organisasi Islam
Menggugat Khilafah: Reaktualisasi Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq Syahir, Ahmad; Hasan, Ahmadi; Umar, Masyithah; Khasyi'in, Nuril
Interdisciplinary Explorations in Research Journal Vol. 2 No. 2 (2024)
Publisher : PT. Sharia Journal and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ierj.v2i2.575

Abstract

Abstract Among Islamic thinkers, the relationship between Islam and the state is still a matter of debate which has implications for the birth of typologies, namely integralistic, symbiotic, and secularistic. The three paradigms of the relationship have the same goal, namely finding reconciliation between religious ideality and political reality, which is the main task of Islamic political thinkers. Ali Abdul Raziq as one of the Islamic thinkers, also colored the debate, even arguably became a trendsetter, especially his thoughts on the khilafah. This paper raises Raziq's thoughts on the khilafah, one of whose goals is to actualize it in the midst of the unfinished debate of Islamic intellectuals. The results of the study show that the khilafah is seen as having no basis in the Qur'an, Sunnah, or Ijma'. Islam is seen as not demanding its people to determine the type or form of government, this is more appropriate to be left to the people based on logic and experience. Keywords: khilafah, paragidma, fundamental, moderate, liberal. Abstrak Di kalangan pemikir Islam, hubungan Islam dan negara masih menjadi perdebatan yang berimplikasi pada lahirnya tipologi, yaitu intgralistik, simbiotik, dan sekularistik. Ketiga paradigma hubungan tersebut memiliki tujuan yang sama, yaitu menemukan rekonsiliasi antara idealitas agama dan realitas politik yang menjadi tugas utama para pemikir politik Islam. Ali Abdul Raziq sebagai salah satu pemikir Islam, turut mewarnai perdebatan tersebut, bahkan dapat dibilang menjadi trendsetter, khususnya pemikirannya tentang khilafah. Tulisan ini mengangkat pemikiran Raziq tentang khilafah yang salah satu tujuannya adalah untuk mengaktualisasi ke tengah-tengah perdebatan para intelektual Islam yang belum tuntas. Dari hasil kajian menunjukkan bahwa khilafah dipandang tidak memiliki landasan dalil di dalam al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Islam dipandang tidak menuntut umatnya untuk menentukan jenis atau bentuk pemerintahan, hal ini lebih tepat diserahkan kepada umat berdasarkan logika dan pengalamannya. Kata Kunci: khilafah, paragidma, fundamental, moderat, liberal.
Pemikiran Politik Al-Farabi Sa’adi, Gusti Muslihuddin; Hasan, Ahmadi; Umar, Masyithah; Khasyi'in, Nuril
Interdisciplinary Explorations in Research Journal Vol. 2 No. 2 (2024)
Publisher : PT. Sharia Journal and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ierj.v2i2.577

Abstract

Abstract Al-Farabi, a renowned philosopher of the medieval period, contributed significantly to political thought with his concepts on the ideal state, which he termed "al-madinah al-fadhilah". He was honored with the title "al-mu'allim ats-tsani" (the second teacher) after Aristotle. This study aims to explore Al-Farabi's philosophical objectives for the establishment of a state and the individual contributions of citizens towards nation-building. Additionally, it seeks to understand Al-Farabi's concepts of the ideal state and the ideal leader. The research is qualitative and literature-based, employing a philosophical approach. The primary source is Al-Farabi's book "Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah", supplemented by relevant books and journals. The findings reveal that, according to Al-Farabi, the purpose of a state is to achieve happiness in both the worldly and the hereafter. He views the state as a form of devotion to God, aligning well with religious-based nations like Indonesia. The ideal leader, according to Al-Farabi, is someone perfect in physical form, wisdom, and spiritual maturity, as he mentioned as a philosopher resembling a prophet. Such a leader becomes the central figure in governance, education, and character development of the citizens. Al-Farabi describes the ideal state as one where the leader and the people collaborate to achieve happiness in this world and the next. Conversely, non-ideal states include the Ignorant State, the Immoral State, the Transformed State, and the Misguided State. Keywords: Al-Farabi, Ideal State, Leadership Abstrak Al-Farabi merupakan filosof masyhur di abad pertengahan yang mempunyai banyak produk pemikiran, ia diberi gelar al-mu’allim ats-tsani setelah Aristoteles, di antara produk pemikirannya adalah tentang konsep bernegara. Pemikiran Al-Farabi tentang konsep Negara ideal, yang disebutnya sebagai al-madinah al-fadhilah telah memberikan sumbangan penting dalam pemikiran politik dunia, khususnya negara-negara yang berasaskan agama. Peneltian ini bertujuan untuk mengetahui tujuan filosofis dari berdirinya suatu Negara dan kontribusi individual masyarakat dalam membangun Negaranya menurut Al-Farabi. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui konsep Negara ideal dan pemimpin ideal menurut Al-Farabi. Penelitian ini merupakan penelitan pustaka yang bersifat kualitatif dengan pendekatan filosofis, sumber utama penelitian ini adalah buku Al-Farabi yang berjudul Ara Ahl al-Madinah al-Fadilah yang didukung dengan sumber-sumber lain baik berupa buku ataupun jurnal yang relevan dengan penelitian. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa menurut Al-Farabi, tujuan bernegara adalah mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Menurutnya Negara merupakan bentuk pengabdian kepada Tuhan, sehingga menurut penulis konsep Al-farabi sesuai dengan Negara yang berlandaskan agama, seperti Indonesia. Pemimpin ideal menurut Al-Farabi adalah seseorang yang sempurna secara fisik, bijaksana, dan matang secara spiritual, yang ia sebut sebagai filosof yang menyerupai Nabi. Pemimpin ini menjadi pusat pemerintahan, pendidikan, dan pembentukan karakter warga negara. Al-Farabi menggambarkan negara ideal adalah suatu Negara di mana pemimpin dan rakyatnya bekerja sama mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Negara yang tidak ideal meliputi Negara Kebodohan, Negara Fasik, Negara yang Berubah, dan Negara yang Tersesat Kata kunci: Al-Farabi, Negara Ideal, Kepemimpinan
Pergerakan Islam dan Demokrasi di Indonesia Muhamad Shadiq, Gusti; Hasan, Ahmadi; Umar, Masyithah; Khasyi'in, Nuril
Interdisciplinary Explorations in Research Journal Vol. 2 No. 2 (2024)
Publisher : PT. Sharia Journal and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ierj.v2i2.578

Abstract

Abstract This research discusses the relationship between the movement of Islam and democracy in Indonesia, as well as how these two concepts influence and contribute to the country's social and political development. Although democracy is not explicitly mentioned in the Qur'an or Hadith, the principles of democracy are substantially reflected in Islamic teachings such as equality, deliberation (shura), cooperation (ta'awun), and good practices (taghyir). The experiences of Prophet Muhammad also provide an ethical and moral foundation that correlates with the basic principles of modern democracy. These Islamic values have become an integral part of Indonesia's constitution, including Pancasila and various laws governing the principles of democracy and divinity. Islam holds an important position in the Indonesian government, reflecting the majority Muslim population and the historical struggle for independence closely linked with the Muslim community. The influence of Islamic values in the Indonesian constitution has been achieved through the active participation of Indonesian Muslims in the democratization process, demonstrating that Islam and democracy can support each other and are not mutually exclusive. The conclusion of this research emphasizes that the integration of Islamic teachings and state policies is key to the success of democracy in Indonesia, avoiding conflict and strengthening harmony in national and state life.Keywords: khilafah, paragidma, fundamental, moderate, liberal. Keywords: Islam, Democracy, Indonesia, Constitution, Deliberation Abstrak Penelitian ini membahas hubungan antara pergerakan Islam dan demokrasi di Indonesia, serta bagaimana kedua konsep tersebut saling mempengaruhi dan berkontribusi terhadap pembangunan sosial dan politik negara. Meskipun secara tekstual demokrasi tidak disebutkan dalam Al-Qur’an atau Hadits, prinsip-prinsip demokrasi secara substansial tercermin dalam ajaran Islam seperti kesetaraan, musyawarah (syura), kerjasama (ta’awun), dan kebiasaan baik (taghyir). Pengalaman Nabi Muhammad juga memberikan landasan etika dan moral yang berkorelasi dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi modern. Nilai-nilai Islam ini kemudian menjadi bagian integral dari konstitusi Indonesia, termasuk Pancasila dan berbagai undang-undang yang mengatur prinsip-prinsip demokrasi dan ketuhanan. Islam menempati posisi penting dalam pemerintahan Indonesia, mencerminkan mayoritas penduduk yang beragama Islam dan sejarah perjuangan kemerdekaan yang erat kaitannya dengan umat Islam. Pengaruh nilai-nilai Islam dalam konstitusi Indonesia dicapai melalui partisipasi aktif umat Islam dalam proses demokratisasi, yang menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi dapat saling mendukung dan tidak saling bertentangan. Kesimpulan dari penelitian ini menegaskan bahwa integrasi antara ajaran Islam dan kebijakan negara adalah kunci keberhasilan demokrasi di Indonesia, menghindari konflik dan memperkuat harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.. Kata Kunci: Islam, Demokrasi, Indonesia, Konstitusi, Musyawarah
Politik Islam Masa Orde Baru dan Masa Reformasi Adim, Abd.; Hasan, Ahmadi; Umar, Masyithah; Khasyi'in, Nuril
Interdisciplinary Explorations in Research Journal Vol. 2 No. 2 (2024)
Publisher : PT. Sharia Journal and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ierj.v2i2.583

Abstract

Abstract This research discusses the correlation between Islamic politics during the New Order and Reformation era, how the Islamic movement influenced politics in Indonesia, and how these two political concepts influenced each other and contributed to the development and growth of the country even though there was political upheaval during the transition period from the New Order to the Reformation era. Islam first taught politics as a scientific discipline with the science of siyasah which consists of political concepts and principles in Islam such as Siyasah Dusturiyyah, Siyasah Dauliyyah, Siyasah Maliyyah, Siyasah Amiriyah, Siyasah Khalifah, and Siyasah Imamah. In general, Islamic politics has a very large movement, but when it was faced with government politics, Islamic politics is not able to dominate movements on the political stage in Indonesia. However, some of the Islamic values ​​can be embedded in the development of the country, even on a small scale as a reflection that the majority of the population is Muslim. Muslim who has always been involved in politics in Indonesia from time to time. Keywords: Politics, Islam, New Order Era, and Reformation Era Abstrak Penelitian ini membahas tentang korelasi antara politik Islam pada masa Orde Baru dan Reformasi, bagaimana pergerakan Islam pada perpolitikan di Indonesia, serta bagaimana kedua konsep politik tersebut saling mempengaruhi dan berkontribusi terhadap perkembangan dan pertumbuhan negara meskipun terjadi pergolakan politik di masa transisi yaitu politik di masa Orde Baru menuju masa Reformasi. Sedangkan Islam terlebih dahulu mengajarkan tentang politik sebagai sebuah disiplin ilmu yaitu ilmu siyasah yang terdiri dari konsep dan prinsip politik dalam Islam seperti Siyasah Dusturiyyah, Siyasah Dauliyyah,, Siyasah Maliyyah, Siyasah Amiriyah, Siyasah Khalifah, dan Siyasah Imamah. Secara garis besar politik Islam sangat besar pergerakannya di Indonesia, namun jika dihadapkan dengan politik pemerintah, politik Islam tidak mampu mendominasi pergerakan di panggung perpolitikan di Indonesia, meskipun demikian sebagian dari nilai-nilai Islam bisa ditanamkan pada pembangunan negeri, walaupun dalam skala kecil sebagai cerminan bahwa mayoritas penduduk Islam beragama Islam yang selalu membersamai perpolitikan di Indonesia dari masa ke masa. Kata kunci: Politik, Islam, Orde Baru, dan Reformasi
Sistem Ketatanegaraan Ideal Menurut Ibnu Abi Rabi’ Gafur, Abdul; Hasan, Ahmadi; Umar, Masyithah; Khasyi'in, Nuril
Interdisciplinary Explorations in Research Journal Vol. 2 No. 2 (2024)
Publisher : PT. Sharia Journal and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ierj.v2i2.591

Abstract

Abstract Ibn Abi Rabi's perspective on the concept of the state fundamentally differs from the thoughts of Greek philosophers like Plato and Aristotle, primarily due to the strong integration of the Islamic worldview in his thinking. While Ibn Abi Rabi’ agrees with Plato that a leader should be someone respected in society, he prefers monarchy as the best system of governance. He argues that leadership by a single king or ruler can maintain political stability and unity better than other forms of government such as aristocracy, oligarchy, democracy, and demagoguery, which can lead to chaos if citizens irresponsibly exercise their political rights. According to Ibn Abi Rabi’, the basis of a king's authority stems from religious teachings, particularly the Qur’an (QS. al-An’am: 165), which states that a king's power and authority are a mandate from God. He sets forth six criteria for an ideal king: paternalistic ties to the previous king, noble aspirations, precise and strong vision, resilience in facing challenges, substantial wealth, and loyal assistants, without emphasizing Quraysh lineage. Ibn Abi Rabi’ also identifies four main pillars in the formation of a state: the head of state, justice, the people, and management. By fulfilling these four pillars, he believes that the state will achieve political stability and strength. Keywords: system, constitutional, ideal, ibnu Abi Rabi' Abstrak Pandangan Ibn Abi Rabi’ mengenai konsep negara memiliki perbedaan mendasar dengan pemikiran para filosof Yunani seperti Plato dan Aristoteles, terutama karena integrasi kuat dari worldview Islam dalam pemikirannya. Ibn Abi Rabi’ sependapat dengan Plato bahwa pemimpin haruslah seseorang yang dihormati di masyarakat, namun ia lebih memilih bentuk pemerintahan monarki sebagai sistem yang terbaik. Menurutnya, kepemimpinan oleh satu orang raja atau penguasa tunggal mampu menjaga kestabilan dan persatuan politik negara, dibandingkan dengan sistem pemerintahan lainnya seperti aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan demagogi yang dapat menyebabkan kekacauan jika warga negara menyalahgunakan hak politiknya. Dasar otoritas raja menurut Ibn Abi Rabi’ bersumber dari ajaran agama, khususnya Al-Qur’an QS. al-An’am: 165, yang menyatakan bahwa kekuasaan dan otoritas raja adalah mandat dari Tuhan. Ia menetapkan enam syarat bagi calon raja yang ideal, yaitu hubungan paternalistik dengan raja sebelumnya, aspirasi luhur, pandangan yang tepat dan kuat, ketahanan dalam menghadapi tantangan, kekayaan besar, dan pembantu setia, tanpa menekankan keturunan Quraisy. Ibn Abi Rabi’ juga mengemukakan empat pilar utama dalam pembentukan negara: kepala negara, keadilan, rakyat, dan pengelolaan. Dengan terpenuhinya keempat pilar tersebut, ia meyakini bahwa negara akan menjadi stabil dan kuat secara politis. Kata kunci : sistem, ketatanegaraan, ideal, ibnu Abi Rabi’
Rationality, Spirituality, and Social Well-Being in the Thought of Ibnu Tufail Sholihah , Mida Mar`atus; Hasan, Ahmadi; Umar, Masyithah; Khasyi`in, Nuril
Interdisciplinary Explorations in Research Journal Vol. 2 No. 2 (2024)
Publisher : PT. Sharia Journal and Education Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ierj.v2i2.597

Abstract

Abstract This study examines the political thought of the Andalusian philosopher Ibn Tufail, whose seminal work Hayy ibn Yaqzan presents a philosophical discourse on the potential of human rationality in shaping societal welfare. Using a qualitative, hermeneutical approach, this research analyzes the conceptual framework underpinning Ibn Tufail’s perspectives on politics, economy, and spirituality. The findings suggest that Ibn Tufail’s political philosophy emphasizes the centrality of individual rational faculties in guiding human behavior, ethical conduct, and the organization of the polity. His narrative of Hayy, a self-taught man who develops a sophisticated understanding of the natural world and social dynamics through the power of reason alone, serves as a thought experiment to demonstrate the sufficiency of human intellect in attaining societal well-being. Furthermore, the study highlights Ibn Tufail's views on the management of scarce economic resources and the importance of aligning individual pursuits with the collective welfare. His ideas on the harmonious integration of material, intellectual, and spiritual realms provide a holistic framework for governing a just and prosperous society. The insights gleaned from this research contribute to a deeper understanding of the philosophical foundations of Ibn Tufail's political thought, which can inform contemporary discussions on the role of reason in addressing challenges in governance, social policy, and community development. The study also underscores the continued relevance of this Andalusian thinker's perspectives in the ongoing discourse on the relationship between the individual, the state, and the pursuit of the common good. Keywords: rationality, spirituality, social, ibnu Tufail Abstrak Penelitian ini mengkaji pemikiran politik filsuf Andalusia Ibnu Tufail, yang dalam karya monumentalnya Hayy ibn Yaqzan menyajikan wacana filosofis tentang potensi rasionalitas manusia dalam membentuk kesejahteraan masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif-hermeneutis, penelitian ini menganalisis kerangka konseptual yang mendasari perspektif Ibnu Tufail tentang politik, ekonomi, dan spiritualitas. Temuan menunjukkan bahwa filsafat politik Ibnu Tufail menekankan sentralitas fakultas rasional individu dalam membimbing perilaku manusia, etika, dan organisasi sistem politik. Narasi tentang Hayy, seorang manusia yang belajar sendiri dan mengembangkan pemahaman canggih tentang dunia alam dan dinamika sosial melalui kekuatan akal semata, berfungsi sebagai eksperimen pemikiran untuk mendemonstrasikan kecukupan intelek manusia dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut, studi ini menyoroti pandangan Ibnu Tufail tentang pengelolaan sumber daya ekonomi yang langka dan pentingnya menyelaraskan tujuan individual dengan kesejahteraan kolektif. Ide-idenya tentang integrasi harmonis antara ranah material, intelektual, dan spiritual menyediakan kerangka holistik untuk memerintah masyarakat yang adil dan makmur. Wawasan yang diperoleh dari penelitian ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih mendalam tentang landasan filosofis pemikiran politik Ibnu Tufail, yang dapat menginformasikan diskusi kontemporer tentang peran akal budi dalam mengatasi tantangan dalam tata kelola pemerintahan, kebijakan sosial, dan pembangunan masyarakat. Studi ini juga menekankan relevansi yang berkelanjutan dari perspektif pemikir Andalusia ini dalam wacana yang sedang berlangsung tentang hubungan antara individu, negara, dan pencapaian kebaikan bersama. Katakunci: rasionalitas, spiritualitas, sosial, ibnu Tufail