Claim Missing Document
Check
Articles

Found 39 Documents
Search

IMPLEMENTASI INERANSI DAN HARMONISASI DALAM PENAFSIRAN ALKITAB: MENGANALISIS DIVERGENSI DAN KONVERGENSI TEOLOGIS DALAM KONTEKS PRAKTIS Suratman, Efesus; Pakpahan, Gernaida Krisna R
Jurnal STT Gamaliel Vol 6, No 1 (2024): Jurnal Gamaliel Vol. 6 No. 1 Maret 2024
Publisher : STT Gamaliel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38052/gamaliel.v6i1.259

Abstract

Penafsiran Alkitab merupakan aspek sentral dalam pemahaman teologi dan keyakinan Kekristenan. Penelitian ini mempelajarai peran ineransi dan harmonisasi dalam penafsiran Alkitab dengan fokus pada pemahaman divergensi dan konvergensi teologis. Masalah utama yang dihadapi adalah bagaimana konsep ineransi dan usaha harmonisasi memengaruhi interpretasi Alkitab dan sejauh mana perbedaan teologis dapat disatukan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis deskriptif terhadap tulisan teologis terkait ineransi dan harmonisasi. Tujuan dari penelitian ini untuk mendalami pemahaman tentang dinamika divergensi dan konvergensi teologis dalam penafsiran Alkitab, menggali peran ineransi dan harmonisasi dalam pemikiran keagamaan, dan mengeksplorasi bagaimana konsep-konsep ini memengaruhi persepsi terhadap otoritas Alkitab dan pemahaman iman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ineransi dapat diimplementasikan sebagai landasan yang kokoh dalam menghadapi perbedaan teologis yang signifikan, dan serta harmonisasi berusaha menyatukan perspektif tersebut. Meskipun ada divergensi, terdapat juga konvergensi teologis di antara pemikiran yang beragam.
Eksistensi bahasa lidah dalam perspektif Pentakosta pada gereja masa kini Suparyadi, Zakharia; Pakpahan, Gernaida; Tumbelaka-Wieland, Josephine Mariana
Davar : Jurnal Teologi Vol 4, No 2 (2023): Desember
Publisher : Sekola Tinggi Teologi Sangkakala Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55807/davar.v4i2.109

Abstract

ABSTRACTTongue language (glossolalia) is a spiritual gift that has become a phenomenon in Christian spiritual life. This phenomenon has been associated with almost all revival movements within the Christian church, including the charismatic renewal movement. The use of tongues in worship, not a few frictions lead to divisions; some see it as a sign, while others see it as a mere gift. The focus and objective of this article is to explore the implementation of glossolalia in the contemporary church from the perspective of Pentecostal philosophy. The method used in this study is an analysis of the history of tongues in the early Church era with a qualitative approach. An approach method in philosophy that focuses on proof (verification) where in order for a statement to have meaning it must really be defined (analytical) or provable (synthetic). Pentecost was the beginning of God pouring out the Holy Spirit on the church and 120 of them started speaking in other languages/tongues and continued in the early church in the Acts of the Apostles (ontology). Tongues is a gift of the Holy Spirit which is given according to His will to believers to carry out their functions in the body of Christ according to His call. When someone speaks in tongues, he is not actually speaking himself, but it is the Spirit within him who is speaking (epistemology). The benefits of speaking in tongues are as follows: the language of prayer, as a means of self-development, and building emotional intelligence and to communicate with God (axiology).Keywords: existence, tongues, pentecost, church.ABSTRAKBahasa lidah (glossolalia) merupakan salah satu karunia rohani yang telah menjadi fenomena di dalam kehidupan spiritual kristen. Fenomena ini telah dihubungkan dengan hampir semua gerakan kebangkitan dalam gereja Kristen, termasuk di dalamnya gerakan pembaharuan kharismatik. Penggunaan bahasa lidah dalam ibadah, tidak sedikit friksi berujung pada perpecahan; ada yang menganggapnya sebagi tanda, dan sebaliknya melihatnya sekadar karunia semata. Fokus dan Tujuan artikel ini adalah mengeksplorasi implementasi glosolalia pada gereja masa kini dari sudut pandang Filsafat Pentakosta. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis terhadap sejarah bahasa lidah era Gereja mula mula dengan pendekatan metode Kualitatif. Suatu metode pendekatan dalam filsafat yang memusatkan perhatian pada pembuktian (verifikasi) dimana supaya pernyataan mempunyai arti ia harus benar-benar dapat didefinisikan (analitis) atau dapat dibuktikan (sintetis). Pentakosta merupakan awal Tuhan mencurahkan Roh Kudus ke atas gereja dan 120 dari mereka mulai berbicara dalam bahasa lain /lidah dan terus berlanjut pada gereja mula-mula di Kisah Para Rasul (ontologi). Bahasa lidah merupakan karunia Roh Kudus yang diberikan seturut kehendak-Nya kepada orang percaya untuk menjalankan fungsinya di dalam tubuh Kristus sesuai dengan panggilan-Nya. Seseorang ketika mengucapkan bahasa lidah, sebenarnya ia tidak sedang berbicara sendiri, melainkan Roh yang ada di dalam dirinya itulah yang berbicara (epistemologi). Manfaat bahasa lidah sebagai berikut: sebagai bahasa doa, sebagai sarana membangun diri sendiri, dan membangun kecerdasan emosional dan untuk berkomunikasi dengan Allah (aksiologi).Kata kunci: eksistensi, bahasa lidah, pentakosta, gereja.
Membaca 2 Tawarikh 7:14 dalam Konteks Kebangunan Rohani di Kabupaten Supiori, Papua Ferra Wanggai; Gernaida Krisna R. Pakpahan
EPIGRAPHE (Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani) Vol 8 No 2: November 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Torsina Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study investigates the potential of intercessory prayer, as outlined in 2 Chronicles 7:14, as a transformative strategy for advancing Supiori Regency, recognized as the "Island of the Gospel." Intercessory prayer, which emphasizes humility, seeking God, and collective repentance, is pivotal in addressing the region's social, economic, and spiritual challenges. With a poverty rate nearing 40%, the integration of spiritual transformation through intercessory prayer with local cultural values—such as respect, unity, and mutual cooperation—serves as a foundation for fostering social harmony and community well-being. Employing a descriptive qualitative approach, this study utilizes theological hermeneutic analysis to assess the implementation of Gospel principles in societal governance and administration. The findings reveal that intercessory prayer functions as a catalyst for restoring spiritual connections with God while simultaneously strengthening social solidarity. Moreover, intercessory prayer provides a framework for local leaders to develop policies grounded in justice and communal welfare. The integration of prayer practices with cultural values presents a model for spiritual and social transformation applicable to other regions, aligning with Supiori's vision of becoming a harmonious, inclusive, and empowered society.
Ibadah Sejati di tengah Kemegahan: Mengaktualisasikan Pesan Amos dalam Kehidupan Menggereja di Era Posmodern Sahuleka, Kezia Esther; Maria, Laurentia Donna; Rahmat, Vonny Ovia; Pakpahan, Gernaida Krisna R.
Jurnal EFATA: Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 11, No 1: Desember 2024
Publisher : STT Iman Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47543/efata.v11i1.202

Abstract

This study examines the relevance of true worship from the perspective of the prophet Amos (Amos 5:21-27) in the context of contemporary church worship. Prophet Amos condemned the Israelites’ worship practices, which were outwardly grand but spiritually hollow, neglecting the values of justice and righteousness. A similar phenomenon is observed in modern churches, where emphasis on luxury and ritual symbolism sometimes overshadows the call to serve others and pursue social justice. Using a qualitative descriptive method with a hermeneutic approach, this study explores the historical and theological meaning of Amos’ text, integrating intertextual analysis to provide practical relevance for churches. The findings highlight that true worship is not merely ritual expression but must reflect love, justice, and openness to the world. Churches are called to be transformational communities, bridging faith and practice through tangible acts of service. This study underscores the importance of reexamining the essence of worship in modern churches to align with the prophetic values conveyed by Amos and address contemporary social challenges. Abstrak Penelitian ini mengkaji relevansi ibadah sejati menurut perspektif Nabi Amos (Amos 5:21-27) dengan konteks ibadah gereja masa kini. Nabi Amos mengecam praktik ibadah bangsa Israel yang megah secara lahiriah namun kosong secara spiritual, mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Fenomena serupa terlihat dalam gereja modern, di mana aspek kemewahan dan simbolisme ritual terkadang mengesampingkan panggilan untuk melayani sesama dan memperjuangkan keadilan sosial. Melalui metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan hermeneutik, penelitian ini menggali makna historis-teologis teks Amos, mengintegrasikan analisis intertekstual untuk memberikan relevansi praktis bagi gereja. Hasil penelitian menyoroti bahwa ibadah sejati bukan sekadar ekspresi ritual, tetapi harus mencerminkan kasih, keadilan, dan keterbukaan terhadap dunia. Gereja dipanggil untuk menjadi komunitas transformasional yang menghubungkan iman dan praktik melalui pelayanan nyata. Penelitian ini menegaskan pentingnya meninjau ulang esensi ibadah dalam gereja masa kini agar selaras dengan nilai-nilai profetik yang disampaikan Amos, sekaligus relevan dengan tantangan sosial masyarakat modern.
Resiliensi mental perempuan: Sebuah konstruksi teologis melalui pembacaan 1 Samuel 25 dengan pendekatan hermeneutik feminis Asia Pakpahan, Gernaida Krisna R.
KURIOS Vol. 10 No. 1: April 2024
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v10i1.1004

Abstract

Mental health is both a personal and structural issue in Indonesia. In the context of the increasingly critical issue of women's mental health, particularly when faced with social, cultural, and psychological challenges, the story of Abigail in 1 Samuel 25 provides insights into the wisdom and resilience of women in overcoming challenges and difficulties. Asian feminist hermeneutics is utilized because this perspective offers an analysis from the viewpoint of women, addressing a research gap due to the limited studies in feminist hermeneutics in Asia that specifically explore the theology of women's mental health through biblical narratives. This article aims to construct an Old Testament theology regarding women's mental health in Indonesia. Thus, the story of Abigail in 1 Samuel 25 can be constructed as a theology of mental health that emphasizes personal wisdom with therapeutic potential, where women can assume the role of resilient figures amid mental health issues. AbstrakPermasalahan mental di Indonesia merupakan permasalahan yang personal namun juga strukturral. Dalam konteks isu kesehatan mental perempuan yang semakin penting, terutama dihadapkan pada tantangan sosial, budaya, dan psikologis, kisah Abigail di 1 Samuel 25 menawarkan wawasan tentang kebijaksanaan dan ketahanan perempuan dalam menghadapi tantangan dan kesulitan. Hermeneutik feminis Asia dipakai karena perspektif ini menawarkan suatu analisis dari perspektif perempuan, yang mana di sisi lain gap penelitian terletak pada keterbatasan studi hermeneutik feminis di Asia yang khusus mengkaji teologi kesehatan mental perempuan melalui narasi Alkitab. Artikel ini bertujuan  untuk mengonstruksi teologi Perjanjian Lama terhadap kesehatan mental perempuan di Indonesia. Maka kisah Abigail dalam 1 Samuel 25 dapat dikonstruksi sebagai teologi kesehatan mental yang menekankan pada hikmat personal yang terapeutik di mana perempuan dapat mengambil peran sebagai sosok yang resilien di tengah pemasalahan mental
BIBLE INNERANCY FOR GEN ALFA: BIBLE IS NOT TOO FAR ECHO (Inneransi Alkitab untuk Gen Alfa: Alkitab Bukanlah Gaung yang Jauh) Stefani, Sarah; Pakpahan, Gernaida; Wartono, Yosia
Jurnal STT Gamaliel Vol 7, No 1 (2025): Jurnal Gamaliel Vol. 7 No. 1 Maret 2025
Publisher : STT Gamaliel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38052/gamaliel.v7i1.339

Abstract

Menurut penelitian Bible Society, 60% anak Gen Alfa usia 6-12 tahun tidak pernah membaca, mendengar, atau melihat kisah tentang penciptaan ataupun Tuhan dan mukjizat-Nya. Ada 45% orang tua tidak pernah membacakan Firman Tuhan kepada anak-anak mereka, meskipun 86% orang tua pernah mendengar kisah-kisah Alkitab semasa kecil. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghadirkan inneransi Alkitab bagi anak-anak dalam kemampuan berpikir operasional konkret usia 6-12 tahun. Pendekatan yang digunakan ialah penelitian kualitatif deskriptif dan metode hermeneutika kontekstual, serta literatur terkait. Hasil dari penelitian ini ialah konsep inneransi bagi anak dan cara penyampaiannya. Kini, Alkitab bukan lagi sekadar gaung yang jauh, melainkan realitas konkret dan benar dalam kehidupan mereka. According to research by the Bible Society, 60% of Generation Alpha children aged 6-12 have never read, heard, or seen stories about creation, God, or His miracles. Additionally, 45% of parents have never read God's Word to their children, even though 86% of them had heard Bible stories during their own childhood. The purpose of this study is to present the inerrancy of the Bible to children in the concrete operational thinking stage (ages 6-12). The research method used is descriptive qualitative research and contextual hermeneutics, along with relevant literature. The findings of this study include the concept of inerrancy for children and methods for effectively conveying it. Now, the Bible is no longer a distant echo but a concrete and true reality in their lives.
Raqaf Ruach Yahweh: Urapan, Katekumen, dan Dinamika Pengajaran Roh Kudus dalam Spiritualitas Pentakostal Pakpahan, Gernaida Krisna R.; Tanonggi, Graciela Sharel
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 9, No 2 (2025): April 2025
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v9i2.1521

Abstract

Abstract. Christian education that is solely oriented toward academic aspects without the active involvement of the Holy Spirit loses its transformative power and risks becoming a purely intellectual process. Pentecostal pedagogy emphasizes the simultaneity between spiritual experience and theological learning, rejecting the dichotomy between cognition and faith experience. The concept of Raqaf Ruach Yahweh in Genesis 1:2, Deuteronomy 32:11, and Jeremiah 23:9 illustrates the Holy Spirit's role as an agent of transformation in creation, protection, and character formation. This article studied the concept by conducting theological analysis and literature review, including biblical hermeneutics and reflections on the catechumenal tradition of the early church. The findings indicate that Pentecostal pedagogy must integrate orthodoxy (right doctrine), orthopraxy (right action), and orthopathy (right feeling) within the educational process. Faith testimony in the Pentecostal community is not merely a personal expression but also serves as a pedagogical tool that strengthens the understanding and internalization of Christian teachings.Abstrak. Pendidikan Kristen yang hanya berorientasi pada aspek akademik tanpa keterlibatan aktif Roh Kudus kehilangan daya transformasinya dan berisiko menjadi proses intelektual yang kering. Pedagogi Pentakostal menekankan simultanitas antara pengalaman spiritual dan pembelajaran teologis, menolak dikotomi antara kognisi dan pengalaman iman. Konsep Raqaf Ruach Yahweh dalam Kejadian 1:2, Ulangan 32:11, dan Yeremia 23:9 menunjukkan bahwa Roh Kudus berperan sebagai agen transformasi dalam penciptaan, perlindungan, dan pembentukan karakter. Tulisan ini akan mengkaji konsep tersebut melalui analisis teologis dan kajian literatur, termasuk hermeneutika biblika dan refleksi terhadap tradisi katekumenat gereja mula-mula. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pedagogi Pentakostal harus mengintegrasikan ortodoksi (ajaran yang benar), ortopraksis (tindakan yang benar), dan ortopati (perasaan yang benar) dalam proses pendidikan. Kesaksian iman dalam komunitas Pentakostal bukan sekadar ekspresi pengalaman pribadi, tetapi juga alat pedagogis yang memperkuat pemahaman dan internalisasi ajaran Kristen.
Prinsip Didaktik Pentakostal: Ekstraksi Teologis dan Pedagogis dari Paulo Freire Pantan, Frans; Timadius, Hendrik; Pakpahan, Gernaida K. R.; Cahyono, Heru
Regula Fidei : Jurnal Pendidikan Agama Kristen Vol 6, No 2: September 2021
Publisher : Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan, Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/rfidei.v6i2.120

Abstract

In the past decade, Pentecostal scholars have continued to make improvements in all aspects of human life. This includes the world of education and ecclesiastical. The world of Pentecostal Education has undertaken a process of re-extraction of theology and its pedagogy. This process is carried out by absorbing the values echoed by Paulo Freire about the concept of Education which provides as much space as possible for the development of free thinking. Free thinking is meant by the spirit of social humanism with fellow human beings, not oppressing in the form of verbally or in deeds, and parallels between teachers and students. Whereas in ecclesiastical, the value of humanizing humans to understand humans as a whole is. The method used to collect data is descriptive qualitative with library studies. The results of the study found that the Freire concept was in the process of absorbing and being applied by Bethel School of Theology even though it had been modified into a Pentecostal Catechesis concept. Meanwhile, in an ecclesiastical context, GBI has adopted Freire's values in the form of humanizing training such as the Healing Movement Camp (HMC), I am a Christ Follower (SPK), and Doulos Camp. AbstrakDalam satu dekade terakhir, para cedikiawan Pentakosta terus melakukan pembenahan dalam segala aspek kehidupan umat. Termasuk didalamnya dunia Pendidikan dan gerejawi. Dunia Pendidikan pentakosta melakukan proses reekstraksi akan teologi dan pedagoginya. Proses ini dilakukan dengan menyerap nilai-nilai yang digemakan oleh Paulo Freire akan konsep Pendidikan yang memberikan ruang sebesar-besarnya untuk kepengembangan berpikir bebas. Berpikir bebas yang dimaksud adalah semangat humanisme sosial dengan sesama manusia, tidak melakukan penindasan dalam bentuk verbal maupun perbuatan, dan kesejajaran antara guru dan murid. Sedangkan dalam gerejawi, nilai memanusiakan manusia untuk memahami manusia secara utuh adalah. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kualitatif deskriptif dengan studi perpustakaan. Hasil penelitian menemukan bahwa konsep Freire sedang dalam proses menyerap dan aplikasi oleh Sekolah Tinggi Teologi Bethel meskipun telah dimodifikasi menjadi konsep Katekesis Pentakosta. Sedangkan dalam konteks gerejawi, GBI telah mengadopsi nilai Freire dalam bentuk pelatihan memanusiakan manusia seperti Healing Movement Camp (HMC), Saya Pengikut Kristus (SPK), dan Doulos Camp. 
Meneropong Efek Domino Pendidikan Karakter Imam Eli dan Samuel dalam Perjanjian Lama Tambunan, Tamara Maria Geraldine; Pakpahan, Gernaida Krisna R.
DIDAKTIKOS: Jurnal Pendidikan Agama Kristen Vol. 7 No. 1 (2024): Juni 2024
Publisher : STIPAK Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32490/didaktik.v7i1.209

Abstract

This study explores the parenting styles of Priest Eli and Samuel in the context of the Old Testament and their relevance to contemporary child-rearing practices. Using a qualitative method with a narrative approach and library research, this study examines biblical narratives that depict the interactions and parenting provided by Eli and Samuel to their children. The results show that Priest Eli's failure to discipline his children, Hophni and Phinehas, led to severe consequences in their lives and their service before God. Although Samuel succeeded as a respected spiritual leader, he faced similar failures in raising his children, Joel and Abijah. This study highlights the importance of balanced discipline and affection in parenting and the unique challenges faced by the families of God's servants. The findings are expected to contribute significantly to developing a more effective and comprehensive character education curriculum and inspire educators and policymakers to design educational strategies that shape young generations with strong moral and ethical values.