Claim Missing Document
Check
Articles

Found 24 Documents
Search

HUBUNGAN PRENATAL YOGA DENGAN TINGKAT KECEMASAN DAN KUALITAS TIDUR PADA IBU HAMIL TRIMESTER III Gunawan, Andra Destyan; Novia Fransiska Ngo; Nur Khoma Fatmawati
Jurnal Kebidanan Mutiara Mahakam Vol 8 No 1 (2020)
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mutiara Mahakam

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36998/jkmm.v8i1.67

Abstract

Quite a few women experienced anxiety and fear during pregnancy and nearing the labor process, while one of the effects of this situation can reduce sleep quality. One of the efforts that can be done to overcome these inconveniences is prenatal yoga. Based on preliminary studies, it was found that pregnant women who have been doing yoga experience a reduction of the complaints that they feel. This study aims to determine the relationship between prenatal yoga with anxiety level and sleep quality in third-trimester pregnant women. This research is observational research using pretest-posttest with control group design. The sampling method used was purposive sampling in accordance with the specified inclusion and exclusion criteria. This research samples were 32 respondents who were divided into 2 groups, which are the intervention group and control group. Data collection was carried out using a questionnaire to determine the level of anxiety and sleep quality of the respondents. Based on the bivariate results, there were differences of anxiety levels before and after prenatal yoga (p-value = 0.001), there were differences in sleep quality before and after prenatal yoga (p-value = 0,000), there was a relationship between prenatal yoga and anxiety levels (p-value = 0,001), and there was a relationship between prenatal yoga and sleep quality (p-value = 0,000). There were differences of anxiety level and quality of sleep before and after prenatal yoga. There was a relationship between prenatal yoga with anxiety levels and sleep quality.
HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN DERAJAT RETINOPATI DIABETIK Aprian Aprian; Nur Khoma Fatmawati; Rahmat Bakhtiar
Jurnal Kedokteran Mulawarman Vol 8, No 2 (2021): Jurnal Kedokteran Mulawarman
Publisher : Fakultas Kedokteran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/j.ked.mulawarman.v8i2.6388

Abstract

Retinopati diabetik merupakan komplikasi neurovaskular yang terjadi pada diabetes baik diabetes tipe 1 maupun diabetes tipe 2. Retinopati diabetik terdiri dari retinopati diabetik non proliferatif (RDNP) dan retinopati diabetik proliferatif (RDP). Kejadian retinopati diabetik dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah indeks massa tubuh. Beberapa penelitian terkait indeks massa tubuh terhadap derajat retinopati diabetik masih memberikan hasil yang tidak konsisten. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan indeks massa tubuh dengan derajat retinopati diabetik. Penelitian ini bersifat analitik observasional dengan metode cross sectional yang dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2021 di Klinik Mata SMEC Samarinda. Data diperoleh dari 52 pasien retinopati diabetik yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil dengan teknik purposive sampling. Penelitian ini dilakukan dengan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk menilai indeks massa tubuh secara langsung serta lembar rekam medik untuk melihat derajat retinopati diabetik. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi-Square dan diperoleh nilai p=0,746 (p>0,05). Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan tidak adanya hubungan antara indeks massa tubuh dengan derajat retinopati diabetik.
GAMBARAN JARAK ANTAR PUPIL BERDASARKAN USIA, JENIS KELAMIN DAN SUKU DI KLINIK MATA SMEC SAMARINDA Laila Fatimatus Zahro; Danial Danial; Nur Khoma Fatmawati; Riries Choiru Pramulia Yudia; Siti Khotimah
Jurnal Kedokteran Mulawarman Vol 8, No 2 (2021): Jurnal Kedokteran Mulawarman
Publisher : Fakultas Kedokteran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/j.ked.mulawarman.v8i2.6440

Abstract

Antropometri adalah salah satu cabang antropologi dan berkaitan dengan pengukuran tubuh manusia. Jarak antar pupil merupakan jarak antara dua pupil mata yang diukur dalam satuan mm. Pengukuran jarak antar pupil merupakan salah satu pengukuran antropometri dan berhubungan dengan berbagai aspek klinis, seperti: pada pasien yang mengalami kelainan refraksi dan perlu dikoreksi menggunakan kacamata, manajemen bedah trauma maksilofasial dan juga membantu menegakkan diagnosis beberapa sindrom. Nilai normal jarak antar pupil berkisar antara 55-70 mm dan jarak antar pupil diketahui bervariasi menurut usia, jenis kelamin dan suku. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur perbedaan nilai jarak antar pupil berdasarkan usia, jenis kelamin dan suku di klinik mata SMEC Samarinda. Desain penelitian ini bersifat analitik observasional dengan pendekatan cross sectional.  Data penelitian berasal dari rekam medik seluruh pasien klinik mata SMEC Samarinda pada tahun 2020. Sampel penelitian sebesar 3.552 sampel. Hasil penelitian menunjukkan jarak antar pupil pada subjek yang berusia 17-50 tahun sebesar 63,98 mm dan pada subjek berusia >50 tahun sebesar 64,18 mm (p = 0,156). Nilai jarak antar pupil pada laki-laki 65,33 mm dan pada perempuan 62,98 mm (p < 0,001). Jarak antar pupil pada suku Batak 65,05 mm, Sunda 64,29 mm, Jawa 64,25 mm, Banjar 64,05 mm, Kutai 64,00 mm, Dayak 63,84 mm, Toraja 63,60 mm dan suku Bugis 63,27 mm (p = 0,222)
PENURUNAN TEKANAN INTRAOKULAR PASCA OPERASI KATARAK DENGAN TEKNIK FAKOEMULSIFIKASI DI KLINIK MATA SMEC SAMARINDA Gracecika Marthgareth Harianja; Nur Khoma Fatmawati; Sulistiawati Sulistiawati
Jurnal Kedokteran Mulawarman Vol 7, No 3 (2020): Jurnal Kedokteran Mulawarman
Publisher : Fakultas Kedokteran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/j.ked.mulawarman.v7i3.4941

Abstract

Masalah penglihatan akibat katarak masih merupakan masalah serius secara global. Katarak menduduki peringkat pertama penyebab kebutaan dunia, diikuti dengan glaukoma. Angka kejadian katarak yang terus meningkat berimplikasi pada kebutuhan melakukan prosedur operasi. Prosedur operasi fakoemulsifikasi yang saat ini menjadi pilihan utama pada katarak, memiliki pengaruh terhadap tekanan intraokular (TIO). Pemeriksaan TIO sebelum dan setelah operasi penting dilakukan sebagai upaya deteksi dini komplikasi yang mungkin timbul akibat operasi. Penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan TIO sebelum dan setelah operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi di Klinik Mata SMEC (Sumatera Eye Center) Samarinda. Penelitian menggunakan data sekunder yang diperoleh dari rekam medis pasien katarak yang telah menjalani operasi fakoemulsifikasi serta melakukan pemeriksaan TIO sebelum dan pada saat kontrol satu bulan setelah operasi. Responden berjumlah 119 pasien yang berusia 20-83 tahun. Dari hasil uji beda Wilcoxon didapatkan adanya perbedaan bermakna TIO setelah operasi dibandingkan sebelum operasi dengan p value 0,000. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat penurunan TIO setelah dibandingkan dengan sebelum operasi katarak dengan teknik fakoemulsifikasi di Klinik Mata SMEC Samarinda.
The Difference Of Visual Acuity And Macular Thickness Post Bevacizumab Therapy In Secondary Macular Edema Retinal Vein Occlusion Citra Rahmadani; Nur Khoma Fatmawati; Rahmat Bakhtiar
Journal of Agromedicine and Medical Sciences Vol 4 No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, University of Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19184/ams.v4i2.7875

Abstract

Retinal vein occlusion is the second most common cause of blindness in retinal vascular disease after diabetic retinopathy and may lead to complications of macular edema. Bevacizumab is an influential treatment as an anti vascular endothelial growth factor (VEGF). This study aims to determine the difference of visual acuity and macular thickness before and after treatment of Bevacizumab. This is a quasi experimental study in patients with secondary macular edema retinal vein occlusion who meets the inclusion criteria. Visual acuity and macular thickness were evaluated after one month of treatment. This study was conducted for two months since May-June 2017 by collecting secondary data from medical record at SMEC Samarinda from January 2016 – June 2017. Data were analyzed using Wilcoxon. Sixteen eyes from 16 patients were diagnosed with macular edema secondary retinal vein occlusion given bevacizumab treatment. The mean visual acuity before therapy was 1.106 LogMAR ± 0.509 and increased to 0.889 logMAR ± 0.608 (p = 0.116) after treatment while the mean macular thickness before therapy was 504.06 μm ± 301.273 and decreased to 348.81 μm ± 181.17 (p = 0.017) after treatment. There was a significant effect on the decrease in macular thickness but no significant effect on visual acuity improvement in patients with macular edema secondary retinal vein occlusion at SMEC Samarinda. Keywords: Retinal vein occlusion, macular edema, bevacizumab
Hubungan Derajat Miopia Dengan Kejadian Degenerasi Lattice Nuraniar Bariq Kinayoh; Nur Khoma Fatmawati; Sulistiawati Sulistiawati
Jurnal Kedokteran Universitas Lampung Vol 1, No 3 (2017): JK UNILA
Publisher : Fakultas Kedokteran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.23960/jk unila.v1i3.1669

Abstract

Degenerasi lattice merupakan degenerasi retina perifer yang terjadi akibat peregangan pada retina dan koroid sehingga terjadi penurunan sirkulasi darah serta penipisan pada retina, terutama retina perifer. Degenerasi lattice lebih sering terjadi pada mata miopia daripada mata non-miopia. Mata miopia yang disertai dengan lesi degenerasi lattice merupakan faktorrisiko penting dalam terjadinya ablasio retina yang jika tidak ditangani dapat menyebabkan kebutaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui presentase derajat miopia yang mengalami degenerasi lattice dan mengetahui hubungan antara derajat miopia dengan kejadian degenerasi lattice. Metode penelitian ini menggunakan penelitian observasionalanalitik dengan desain cross-sectional. Penelitian dilakukan di klinik mata SMEC Samarinda dari bulan April - Juni 2016 dengan responden penelitian sebanyak 66 mata miopia dari 35 pasien berusia 20-40 tahun. Miopia terbagi menjadi derajat ringan (< 3 D), derajat sedang (3-6 D), dan derajat berat (> 6 D). Seluruh responden penelitian dilakukan pemeriksaan koreksi refraksi dan pemeriksaan oftalmoskopi indirek oleh dokter spesialis mata. Penelitian ini didapatkan kejadian degenerasi lattice pada mata miopia sebesar 36,4% (24 mata dari 66 mata). Degenerasi lattice pada mata miopia derajat ringan ditemukan sebesar 15,6% (5 mata dari 32 mata). Pada mata miopia derajat sedang sebesar 47,6% (10 mata dari 21 mata ), dan sebesar 69,2% (9 mata dari 13 mata) degenerasi lattice pada miopia derajat berat. Hasil analisis menunjukkan adanya hubungan antara derajat miopia dan kejadian degenerasi lattice dengan nilai p=0,001 (p<0,05). Dapat disimpulkanbahwa terdapat hubungan antara derajat miopia dengan degenerasi lattice.Kata Kunci : Degenerasi Lattice, Miopia.
Association Of Myopia And Axial Length With Risk Of Lattice Degeneration Nuraniar Bariq Kinayoh; RIZA TRANSMISIA SARI; Nur Khoma Fatmawati
Jurnal Biosains Pascasarjana Vol. 24 No. 1 (2022): VOL 24, NO 1 (2022): JURNAL BIOSAINS PASCASARJANA
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/jbp.v24i1.2022.15-22

Abstract

Lattice degeneration is an abnormal condition of the peripheral retina caused by stretching and thinning of the peripheral retina layer. This condition could increassed risk of retinal detachment that can cause blindness. Lattice degeneration is often found on myopic eyes with increases axial length. This study is aimed to evaluate the relationship and risk ratio between lattice degeneration with axial length and myopia among Samarinda college students. This was a cross-sectional study through purposive sampling. All subject underwent ophthalmologic examination including refractive correction, IOLmaster and indirect ophthalmoscopy by an ophthalmologist. A total of 66 myopic eyes were studied. Lattice degeneration was significantly associated with axial length (P=0.002) and myopia degree (P=0.001). Lattice degeneration was more common in high myopia (69,2%) and in axial length >26 mm (68,76%). Increasing lattice degeneration was associated with high myopia (OR:2,754, P=0.026) and axial length (OR:2.290, P=0.278). Conclusion: high myopia and axial length can increase the risk of lattice degeneration.
Hubungan Status Refraksi dengan Tekanan Intraokular Pada Pasien Glaukoma Muhammad Wahyu Al-Fajri; Nur Khoma Fatmawati; Mona Zubaidah
Jurnal Medika : Karya Ilmiah Kesehatan Vol 7 No 2 (2022): Jurnal Medika Karya Ilmiah Kesehatan
Publisher : ITKES Wiyata Husada Samarinda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35728/jmkik.v7i2.1030

Abstract

Refractive status is the ability of the eye to refract light on an objective or subjective refraction examination. Refractive status is divided into two category, emetropia and ametropia. Emetropia is normal refractive status and ametropia is refractive error include myopia, hypermteropia and astigmatism. Refractive error in Indonesia has become the most common disease in the eye. The factors that influence the changes in intraocular pressure (IOP) are refraction status, gender, diabetes mellitus (DM), hypertension and diurnal variation. Intraocular pressure is the main risk factor that causes glaucoma. Purpose of this study to investigate the correlation between refractive status and intraocular pressure in glaucoma patients at SMEC (Sabang Merauke Eye Center) Eye Clinic Samarinda. This research used analytical observational method with cross-sectional approach. 79 Samples were selected, consisting of 38 POAG patients, 18 PACG patients, and 23 NTG patients from the medical records at SMEC Samarinda. The data were gathered from the medical records using purposive sampling method. Glaucoma occurred mostly in female patients aged 40 years old and above. Astigmatism is the refractive status with the highest average of IOP observed in this research. The Chi-Square test showed that there was no correlation between refractive status and intraocular pressure, indicated by p-value of 0.374. There is no correlation between refractive status and intraocular pressure in glaucoma patients.
Perbedaan Tajam Penglihatan Pascaoperasi Fakoemulsifikasi Antara Pasien Katarak dengan Diabetes Mellitus dan Tanpa Diabetes Mellitus Muhaammad Afiq Izzuddin; Nur Khoma Fatmawati; Hary Nugroho
Jurnal Medika : Karya Ilmiah Kesehatan Vol 7 No 2 (2022): Jurnal Medika Karya Ilmiah Kesehatan
Publisher : ITKES Wiyata Husada Samarinda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35728/jmkik.v7i2.995

Abstract

Fakoemulsifikasi diketahui sebagai salah satu modalitas utama dalam terapi katarak untuk memperbaiki tajam penglihatan pasien. Hasil tajam penglihatan pasien pascaoperasi belum tentu selalu baik, hal ini dapat dipengaruhi oleh riwayat penyakit terdahulu, salah satunya ialah diabetes mellitus (DM). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perbedaan tajam penglihatan pascaoperasi fakoemulsifikasi pada pasien katarak dengan DM dan tanpa DM di Klinik Mata SMEC Samarinda. Desain penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Didapatkan sebanyak total 110 sampel yang terdiri dari 55 sampel katarak dengan DM dan 55 sampel katarak tanpa DM dari rekam medis di Klinik Mata SMEC Samarinda. Dari hasil uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan signifikan hasil tajam penglihatan pascaoperasi fakoemulsifikasi antara pasien katarak dengan DM dan tanpa DM dengan nilai p adalah 0.509. Dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan signifikan hasil tajam penglihatan pascaoperasi fakoemulsifikasi antara pasien katarak dengan DM dan tanpa DM.
RETINAL DETACHMENT EKSUDATIF SEBAGAI EFEK SAMPING PEMBERIAN KEMOTERAPI PADA KANKER PAYUDARA Dessy Vinoricka Andriyana; Nur Khoma Fatmawati
Jurnal Kedokteran Mulawarman Vol 9, No 3 (2022): Jurnal Kedokteran Mulawarman
Publisher : Fakultas Kedokteran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30872/jkm.v9i3.9039

Abstract

Penggunaan agen-agen kemoterapi sebagai terapi pada kanker memiliki banyak efek samping. Efek samping kemoterapi timbul karena obat kemoterapi tidak hanya menghancurkan sel kanker melainkan menyerang sel-sel yang sehat. Berdasarkan data dari Kemenkes tahun 2019, kejadian penyakit kanker pada perempuan tertinggi adalah kanker payudara. Toksisitas kemoterapi yang dapat timbul salah satunya pada mata. Efek samping pada mata yang ditimbulkan oleh agen kemoterapi meskipun relatif jarang dapat bergejala ringan sampai berat, hingga dapat menyebabkan hilangnya penglihatan. Laporan kasus ini bertujuan untuk menampilkan kasus jarang yaitu efek samping penggunaan kemoterapi kanker payudara yang menimbulkan terjadinya retinal detachment eksudatif.