Claim Missing Document
Check
Articles

Found 32 Documents
Search

PENELUSURAN HISTORIS PEMIKIRAN USUL AL-FIQH MUHAMMAD AL-KHUDLORI BIK Yasin, Noer
DE JURE de JURE (Vol. 1, No. 2
Publisher : syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Ujian  epistemologis  ilmu  hukum tidak  seperti  zaman  Rasul, dimana kefiguran beliau menjadi simbol penataan sistem hukum yang berlaku di masyarakat. Di masa Rasul, umat Islam tidak memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar‘i, karena semua  permasalahan  dapat  langsung merujuk kepada  Rasul melalui penjelasan beliau mengenai al-Quran, atau melalui sunah. Para sahabat menyaksikan turunnya al-Quran, berinteraksi Langsung dengan Rasul dan mengetahui dengan baik sunah beliau. Di samping itu mereka adalah para ahli bahasa dan pemilik kecerdasan berpikir serta kebersihan fitrah yang luar biasa, sehingga sepeninggal Rasul mereka pun tidak memerlukan perangkat teori (kaidah) ijtihad, karena kaidah-kaidahnya secara tidak tertulis telah ada dalam dada-dada mereka yang dapat mereka gunakan ketika diperlukan.
PENELUSURAN HISTORIS LANDASAN PEMIKIRAN USUL FIQH MUHAMMAD AL-KHUDLARI BIK Yasin, Noer
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 1, No 1: Juni 2009
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v1i1.322

Abstract

The history of Islamic law witnesses the development of Islamic legal methodology, known widely as usul al-fiqh, which aims at discovering God’s intention through sound judg-ment. Usul fiqh is considered responsible for the dynamism of Islamic jurisprudence (fiqh). Every school of thought (madzhab) has its own method of deducing law from its source, which might be different from the other. Initially intending to combine two conflicting methods existent in his time, al-Syafi’i has established his own method upon which arose new school of legal thought. This paper aims at depicting the development of usul al-fiqh from the time of al-Syafi’i up to that of Khudlari Bik in modern time.Sejarah hukum Islam membuktikan bahwa perkembangan usul al-fiqh  bertujuan untuk menemukan maksud Tuhan melalui hukum yang  yang dikaji secara mendalam. Usul Fiqh dianggap bertanggung jawab terhadap dinamika  fiqh. semua Madzhab memiliki metode masing-masing dalam pengambilan dasar hukum yang mungkin berbeda satu sama lain. pada awalnya, Syafi’i bertujuan untuk mengkombinasikan two metode yang berbeda yang ada pada masanya, beliau membentuk metode sendiri yang kemudian berdiri sendiri sebagai madzhab baru. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan perkem-bangan usul fiqh dari masa al-Syafi’i sampai khudlari Bik pada masa modern.Keywords: Yurisprudensi Islam, Usul Fiqh, Madzhab
THE BEGINNING OF ISLAMIC MONTHS DETERMINATION IN INDONESIA AND MALAYSIA: Procedure and Social Condition Wahidi, Ahmad; Yasin, Noer; Kadarisman, Ali
ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam Vol 20, No 2 (2019): Islamic Politics and Society
Publisher : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (472.998 KB) | DOI: 10.18860/ua.v20i2.5913

Abstract

Determination procedure of the beginning of Islamic months in Indonesia is done through isbat convened by Ministry of Religious Affairs. The result is considered as the official decision of government. In Malaysia, the determination is preceded by the execution of ru’yah set by the officials of Keeper of the Rulers’ Seal. The falak data are prepared by the Falak Unit at the Department of Islamic Development, the Mufti Members of the States of Malaysia as the practitioners. The results are announced by appointed officers from Mufti and Falak experts. The effort of the Indonesian Government on the unification of beginning of Islamic months determination is by establishing the Organization of Ḥisâb Ru’yah. One of its tasks and functions is to seek the unification of the beginning of Islamic months’ determination through several programs. Whereas Malaysian Government does it by synchronizing understanding about the beginning of Islamic months’ determination and after that relying on King’s decision whether there will be strict sanction related to dissimilarity of the beginning of Islamic months’ determination.
Implementasi Kebijakan Pemenuhan Hak Beragama Penyandang Disabilitas oleh Negara Perspektif Maqashid Syariah Yasin, Noer
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 13, No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v13i2.14462

Abstract

Abstract: The fulfillment of the rights of persons with disabilities is a public concern. Various regulations have been issued to guarantee the rights of persons with disabilities. One of them is the right to have a body in the public space. However, the implementation of these regulations has not run optimally. This article aims to analyze the implementation of the policy on the religious rights of persons with disabilities and the factors that hinder its fulfillment. In addition, this article also describes what solution steps need to be taken in order to provide legal protection for the fulfillment of the right of worship accessibility for persons with disabilities in Malang City from a maqashid sharia perspective. This article is a doctrinal law research with a sociological approach. Primary data were obtained directly through interviews, while secondary data were obtained through documentation. The results of this study indicate that the state has protected the rights of persons with disabilities through Law Number 39 of 1999, Law Number 8 of 2016, Regional Regulation of Malang City Number 2 of 2014, Regional Regulation Number 4 of 1997. However, the implementation of this regulation encountered obstacles. because of the lack of socialization and coordination between the government and the community. The fulfillment of the right of accessibility for persons with disabilities in carrying out worship at the Malang City Mosque is part of the primary sharia maqashid, in particular maintaining religion (hifz al-din) and honoring persons with disabilities as human beings.Keywords: disabilites; religious right; maqashid syariah.Abstrak: Pemenuhan hak penyandang disabilitas menjadi perhatian masyarakat. Berbagai regulasi telah dikeluarkan untuk menjamin hak-hak penyandang disabilitas. Salah satunya adalah hak beribadan di ruang public. Namun, implementasi peraturan tersebut belum berjalan maksimal. Artikel ini bertujuan menganalisis pelaksanakaan kebijakan hak beragama penyandang disabilitas dan faktor-faktor penghambat pemenuhannya. Selain itu, artikel ini juga mendeskripsikan langkah solutif apa yang perlu diambil dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi pemenuhan hak aksesibilitas ibadah bagi penyandang disabilitas di Kota Malang perspektif maqashid syariah. Artikel ini merupakan penelitian hukum doctrinal dengan pendekatan sosiologis.  Data-data yang bersifat primer diperoleh secara langsung melalui wawancara sedangkan data sekunder diperoleh melalui dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa negara telah melindungi hak-hak penyandang disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang Nomor 8 Tahun 2016, Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 2 Tahun 2014, Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1997. Namun implementasi regulasi ini menemui kendala karena kurangnya sosialisasi dan koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat. Pemenuhan hak aksesibilitas bagi penyandang disabilitas dalam melaksanakan ibadah di Masjid Kota Malang adalah merupakan bagian dari maqashid syariah primer, khususnya memelihara agama (hifz al-din) dan kehormatan penyandang disabilitas sebagai manusia.Kata Kunci: disabilitas; hak beragama; maqashid syariah.
Metode Cina dalam Mengatasi Covid-19; Analisis dengan Menggunakan Teori The Law of non Transferability of Law Muhammad Asadurrohman; Fakhruddin Fakhruddin; Noer Yasin
SALAM: Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i Vol 8, No 4 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/sjsbs.v8i4.21081

Abstract

AbstractThe ups and downs of COVID-19 were motivated by the neglect of the rule of law. China was the first country to be affected by COVID-19 as well as a country that managed to overcome it. This success is the result of the hard work of the Chinese government and its people. The theory initiated by Seidman emphasizes the existence of a good legal culture, but every rule of law that is successfully enforced in one place cannot necessarily be applied elsewhere. The purpose of this study was to find out the methods of preventing the spread of COVID-19 used by China and their relevance to other countries in the application of these methods. This is done by using Seidman's theory as an analytical knife. This research method is qualitative-normative literature-based. The results showed that China implemented a system of lockdown and Chinese Medicine (CM).Keywords: Coping with COVID-19, legal culture, Seidman's theory. AbstrakPasang-surut COVID-19 dilatarbelakangi adanya pengabaian aturan hukum. Cina merupakan negara yang pertama kali terkena dampak COVID-19 sekaligus sebagai negara yang berhasil menanggulanginya. Keberhasilan tersebut merupakan hasil dari adanya kerja keras yang dilakukan oleh pemerintah Cina dan masyarakatnya. Teori yang digagas oleh Seidman menekankan adanya budaya hukum yang baik, namun setiap aturan hukum yang berhasil diberlakukan di suatu tempat tidak semerta-merta bisa terapkan oleh tempat lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui metode pencegahan penyebaran COVID-19 yang digunakan oleh Cina dan relevansinya dengan negara-negara lain dalam penerapan metode tersebut. Demikian dilakukan dengan menggunakan teori Seidman sebagai pisau analisis. Metode penelitian ini adalah kualitatif-normatif yang berbasis kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cina menerapkan sistem lockdown dan Chinese Medicine (CM).Kata Kunci: Penanggulangan COVID-19, budaya hukum, teori Seidman.
THE AUTHORITY RATIONALIZATION PHILOSOPHY OF THE INDONESIA COMPETITION COMMISSION: The Due Process of Law and Maqashid Sharia Perspectives Noer Yasin
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 13, No 1 (2022): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v13i1.15873

Abstract

The Indonesia Competition Commission (ICC) is a super body institution in enforcing business competition law in Indonesia. There are three subsystems of authority in the said law, namely the authority to investigate and observe, the authority to prosecute and the authority to adjudicate. The ICC is full of conflicts of interest in performing its functions, thus, impartiality is not an easy task. This is normative research with statutory and conceptual approaches. The primary, secondary, and tertiary legal materials were obtained through literature study and analyzed using extensive interpretation. The research focus is, first, rationalization in the due process of law perspective guarantees the impartiality of the ICC in executing its authority. Second, in the maqashid sharia perspective, ICC can realize justice and protect citizens’ property. In the second perspective, this rationalization is included at the primary level by separating the prosecution and the adjudication authorities. The government should provide a clear policy so the ICC stands as a prosecution agency with more authority to conduct a search to obtain the needed evidence. Meanwhile, the authority to adjudicate is on the Commercial Court, a special court in the General Court. This article contributes thoughts on Business Competition Law and the authority of the KPPU in the legal process and the perspective of Maqashid sharia.Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan lembaga superbody dalam menegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia. Dalam hukum tersebut, terdapat tiga subsistem kewenangan, yaitu kewenangan penyelidikan dan penyidikan, kewenangan penuntutan, dan kewenangan mengadili. KPPU sarat dengan konflik kepentingan dalam menjalankan fungsinya, karenanya, imparsialitas sulit ditegakkan. Artikel ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier diperoleh melalui studi kepustakaan dan dianalisis menggunakan penafsiran ekstensif. Fokus penelitian, pertama, rasionalisasi dalam perspektif due process of law menjamin imparsialitas KPPU dalam melaksanakan kewenangannya. Kedua, dalam perspektif maqashid syariah, KPPU dapat mewujudkan keadilan dan perlindungan harta benda warga negara. Dalam perspektif maqashid syariah, rasionalisasi ini masuk pada jenjang primer dengan memisahkan kewenangan penuntutan dan mengadili. Hendaknya pemerintah dapat memberikan kebijakan yang jelas agar KPPU berdiri sebagai lembaga penuntut dengan penambahan kewenangan untuk melakukan penggeledahan dalam upaya mendapatkan bukti-bukti yang dibutuhkan. Sedangkan, kewenangan mengadili ada pada Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus dalam Pengadilan Umum. Artikel ini memberikan kontribusi pemikiran mengenai Hukum Persaingan Usaha serta kewenangan KPPU dalam proses hukum dan perspektif Maqashid sharia.
Pemikiran Hukum Ibnu Hazm Noer Yasin
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 7, No 1 (2005): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1079.683 KB) | DOI: 10.18860/el.v7i2.4655

Abstract

The works of Ibnu Hazm, i.e. al Muhalla bi al Atsar, an encyclopedia of fiqh of mazhab zhahiri which is also a result of ‘istinbath’ and ‘ijtihad’ of Ibnu Hazm in Fiqh, becomes the most substantial reference because of the scarcity of written source of mazhab zhahiri. Another important work of his is al Ihkam fi Ushul al Ahkam becomes the only primary source of ijtihad method of the same mazhab. The birth of the greatest works gives the influential position for Ibnu Hazm and his works in this mazhab. Talking about mazhab zhahiri’s position and role in its development, he is well known as the most prominent figure after Daud al Ashbihani. Even, he is more radical compared to his ancestors and is called as the founder of two mazhab, Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat fi Tarikh al Mazahib, al Fiqhiyyat. Karya Ibnu Hazm seperti al Muhalla bi al Atsar, sebuah ensiklopedi fikih mazhab zhahiri yang sekaligus merupakan hasil istinbath dan ijtihad Ibnu Hazm di bidang Fikih, menjadi buku referensi terpenting di tengah kelangkaan sumber tertulis tentang mazhab zhahiri. Demikian pula karyanya al Ihkam fi Ushul al Ahkam menjadi satu-satunya sumber primer metode ijtihad karya ulama mazhab ini. Munculnya karya-karya besar ini telah menempatkan Ibnu Hazm dan karya-karyanya pada mazhab ini. Tak heran jika kedudukan dan peranan yang amat penting dalam sejarah dan perkembangan mazhab ini, ia dikenal sebagai tokoh yang paling menonjol dalam mazhab zhahiri setelah Daud al Ashbihani. Bahkan ia lebih radikal disbanding pendahulunya itu dan disebut sebagai pendiri kedua mazhab ini, Muhammad Abu Zahrah, Muhadharat fi Tarikh al Mazahib, al Fiqhiyyat.
Aspek Perlindungan Hak Spiritual Konsumen dalam Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Pembiayaan Murabahah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 Noer Yasin
Al-Huquq: Journal of Indonesian Islamic Economic Law Vol. 4 No. 2 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/alhuquq.v4i2.7005

Abstract

Penelitian dilatarbelakangi realitas putusan Mahkamah Konstitusi 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Adapun fokus kajiannya adalah aspek perlindungan hak spiritual konsumen dalam penyelesaian sengketa wanpretasi pembiayaan murabahah. Untuk membahasnya digunakan metode penelitian dengan jenis penelitian hukum doktrinal yang bertumpu pada tiga bahan hukum, yaitu primer, sekunder dan tersier yang didapat melalui studi pustaka dan dianalisa secara deksriptif kualitatif. Adapun hasil penelitian ini adalah bahwa penyelesaian sengketa wanprestasi pembiayaan murabahah berdasarkan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 dapat dilakukan: (a) di luar pengadilan secara musyawarah. Pada konsteks ini agar konsumen terlindungi hak spiritualnya dapat dilakukan secara hybrid mediasi-arbitrase pada badan arbitrase syariah atau pada Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS SJK), namun karena kedua lembaga ini tidak mudah diakses konsumen, maka Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dapat diberi kewenangan terhadapnya dengan kewajiban menerapkan prinsip syariah dalam kasus sengketa wanprestasi pembiayaan syariah. Kedua, dapat dilakukan di pengadilan agama dengan melalui mekanisme gugatan sederhana. (The research is motivated by the reality of the decision of the Constitutional Court 18/PUU-XVII/2019 regarding the review of Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees. The focus of the study is on the aspect of protecting the spiritual rights of consumers in the settlement of the murabahah financing default dispute. To discuss this research method is used with the type of doctrinal legal research that relies on three legal materials, namely primary, secondary and tertiary obtained through literature study and analyzed descriptively qualitatively. The results of this study are that the settlement of the murabahah financing default dispute based on the Constitutional Court Decision No. 18/PUU-XVII/2019 can be carried out: (a) out of court by deliberation. In this context, so that consumers' spiritual rights can be protected, hybrid mediation-arbitration can be carried out at the sharia arbitration body or at the Financial Services Sector Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS SJK), but because these two institutions are not easily accessible to consumers, the Consumer Dispute Resolution Agency (BPSK) ) may be given authority over it with the obligation to apply sharia principles in the case of a sharia financing default dispute. Second, it can be done in a religious court through a simple lawsuit mechanism.)
Telaah Kritis terhadap Pemikiran Maqasid shari‘ah al-Shatiby tentang Wasiat Wajibah Zainal Arifin; Tutik Hamidah; Noer Yasin
Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol 25 No 1 (2022): Al-Qanun, Vol. 25, No. 1, Juni 2022
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/alqanun.2022.25.1.112-127

Abstract

The development of Islamic law in Indonesia from time to time shows relatively rapid developments, one of which is the obligatory will listed in the Compilation of Islamic Law (KHI) Article 209 Paragraphs 1 and 2. The obligatory will refers to taking property from adoptive parents to adopted children or from adopted children to adoptive parents through a mandatory court decision, whether the person who died said or wrote a will while alive. This KHI is a set of Islamic laws which is the product of Indonesian scholars to answer issues that occur in society and become an official reference for judges. This article uses a library research approach and a qualitative-juridical-philosophical method. Then it is analyzed using maqasid shari'ah al-Shatiby, in terms of problems that align with the goals of shari'ah. The objective of the writing is to find out whether the concept of the obligatory will listed in the KHI is in accordance with the purposes of the shari'a to create the benefit of the ummah or not.   Abstrak: Perkembangan hukum islam di Indonesia dari masa ke masa menunjukkan perkembangan yang cukup pesat, salah satunya adalah wasiat wajibah yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 209 Ayat 1 dan 2. Wasiat wajibah yang di maksud dalam KHI ini adalah pengambilan harta dari orang tua angkat untuk anak angkat atau dari anak angkat untuk orang tua angkat melalui keputusan pengadialan yang bersifat wajib, baik orang yang meninggal tersebut mengucapkan atau menulis wasiat Ketika hidup atau tidak. KHI ini adalah merupakan sekumpulan hukum islam yang merupakan hasil produk ulama Indonesia untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat dan menjadi rujukan hakim secara resmi. Artikel ini menggunakan pendekatan library reserch dan metode kualitatif-yuridis filosofis, kemudian di analisis menggunakan maqasid syari’ah al-Shatiby, dilihat dari segi maslahah yang sesuai dengan tujuan syari’at. Apakah konsep wasiat wajibah yang tercantum dalam KHI sudah sesuai dengan tujuan syariat untuk menciptakan kemaslahahan ummat atau tidak.  
Gadai Sawah Tradisional dan Ketentuannya dalam Hukum Positif Menurut Ulama NU Banyuwangi Salsabila Mutiara Rimba; Noer Yasin
Peradaban Journal of Law and Society Vol. 1 No. 2 (2022)
Publisher : Pustaka Peradaban

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.195 KB)

Abstract

The people of Benculuk Village, Banyuwangi, have a tradition of pawning rice fields with the condition that the rice fields are used by the pawn recipient (the creditor). Utilization of the collateral continues without a time limit. Even though the provisions regarding the use of mortgaged agricultural land have been regulated in positive law, the community ignores them. The article aims to find out how the positive law regarding pawning rice fields applies and find out what the NU ulema think about pawning practices in the Benculuk Village community. The study was carried out using a qualitative approach with data collection methods in the form of interviews and documentation. The study found that the provisions for pawning rice fields are regulated in Article 7 No. 56/PRP/Tahun 1960, which determines the maximum time limit for the use of pawned rice fields is seven years. The study also found that from the perspective of NU Ulema, the practice of pawning in the area is not following Islamic law. on the other hand, they also agree with the law regarding the limits on the use of mortgaged rice fields. This regulation is expected to reduce tyranny in existing pawning practices.   Masyarakat Desa Benculuk, Banyuwangi mempunyai tradisi menggdaikan sawah dengan ketentuan bahwa sawah itu dimanfaatkan dan diambil hasilnya oleh penerima gadai (kreditur). Pemanfaatan jaminan itu berlangsung tanpa batasan waktu, selama debitur belum mampu membayar pinjamanya maka lahan pertanoian akan terus dimanfaatkan kreditur. Walaupun ketentuan tentang pemanfaatan lahan pertanian yang digadaikan telah diatur dalam hukum positif namun, masyarakat tidak menghirauakanya. Artikel bertujuan untuk mengetahui bagaimana ketentuan hukum positif tentang gadai sawah yang berlaku dan juga untuk mengetahui bagaimana pendapat ulama NU tentang praktik gadai dalam masyarakat Desa Benculuk dan ketentuan hukum positif mengenai gadai lahan pertanian. Kajiaan dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa wawancara dan dokumentasi. Kajian menemukan bahwa ketentuan gadai sawah diatur dalam Pasal 7 No 56/PRP/Tahun 1960, yang menentukan batas waktu maksimal pemanfaatan sawah yang digadai adalah selama tujuh tahun. Kajian juga menemukan bahwa dalam perspektif Ulama NU praktig gadai di daerah tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam. di sisi lain mereka juga setuju dengan peraturan Undang-Undang mengenai batas pemanfaatan sawah yang digadaikan. Peraturan tersebut diharapkan dapat mengurangi kedzaliman didalam praktik gadai yang ada.