Jose RL Batubara
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Published : 38 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 38 Documents
Search

Acanthosis Nigricans dan Hubungannya dengan Resistensi Insulin pada Anak dan Remaja Jose RL Batubara
Sari Pediatri Vol 12, No 2 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp12.2.2010.67-73

Abstract

Acanthosis nigricans (AN) bukan hanya sekedar kelainan kulit saja, tetapi dipandang sebagai petanda adanyapenyakit lain yang mendasari, salah satunya adalah resistensi insulin. Prevalensi AN bervariasi dari 7%pada populasi umum sampai dengan 74% pada orang dengan obesitas. Penelitian terakhir memperlihatkanbahwa derajat beratnya AN berhubungan dengan konsentrasi insulin plasma puasa dan indeks masatubuh (IMT). Tidak ada perbedaan insidens antara laki-laki dan perempuan. Secara garis besar AN dibagimenjadi dua kategori besar yaitu jinak (benign) dan ganas (malignant). Acanthosis nigricans pada sindromresistensi insulin disebabkan karena kadar insulin yang tinggi mampu mengaktifkan fibroblas dermal dankeratinosit melalui reseptor insulin-like growth factor yang ada pada sel-sel tersebut. Sebagai hasilnya terjadipeningkatan deposisi glikosaminoglikans oleh fibroblas di dermal. Hal ini menyebabkan papilomatosis danhiperkeratosis. Acanthosis nigricans dilaporkan sebagai salah satu faktor prediktor hiperinsulinemia yangcukup baik. Skrining adanya AN merupakan alat yang cukup sederhana, cepat, mudah, dan murah untukmendeteksi individu yang berisiko menderita diabetes tipe 2 dan penyakit lain yang berhubungan denganhiperinsulinemia. Skrining AN di klinik dan sekolah untuk mengidentifikasi individu yang berisiko tinggimenderita diabetes tipe 2 memiliki implikasi penting dalam pengembangan strategi intervensi melawanDM, terutama di tingkat layanan primer.Tujuan terapi pada AN adalah untuk mengkoreksi penyakit yangmendasarinya. Koreksi hiperinsulinemia dapat mengurangi derajat lesi hiperkeratosis, begitu juga denganpenurunan berat badan.
Pengobatan Testosteron pada Mikropenis Bambang Tridjaja; Jose RL Batubara; Aman Pulungan
Sari Pediatri Vol 4, No 2 (2002)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (113.99 KB) | DOI: 10.14238/sp4.2.2002.63-6

Abstract

Mikropenis atau hipogenitalism adalah suatu keadaan penis dengan bentuk normalnamun dengan ukuran kurang dari 2.5 SD di bawah rerata menurut umur dan statusperkembangan pubertas. Pengukuran penis dilakukan secara fully stretched, menggunakanspatula kayu yang diletakkan sejajar dengan dorsum penis dan ditekan sampai simfisispubis. Panjang penis adalah jarak dari simfisis pubis sampai ujung glans penis dan tidakdalam keadaan ereksi. Pengobatan mikropenis terhadap 23 anak dengan rerata usia 9.6tahun dilakukan dengan pemberian testosteron ester intramuskular setiap 3 minggusebanyak 4 kali. Pasca terapi penis bertambah panjang 85% dibandingkan sebelum terapi.Tidak terlihat adanya pertambahan usia tulang dengan protokol yang digunakan.
Pubertas Terlambat pada Thalassemia Mayor Diah Pramita; Jose RL. Batubara
Sari Pediatri Vol 5, No 1 (2003)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (684.2 KB) | DOI: 10.14238/sp5.1.2003.4-11

Abstract

Gangguan kelenjar endokrin akibat penimbunan besi pada pasien thalassemia mayorsemakin sering ditemukan seiring dengan meningkatnya harapan hidup. Kegagalanpubertas merupakan komplikasi endokrin yang paling sering diikuti oleh amenoresekunder. Angka kejadian pubertas terambat pada thalassemia mayor bervariasi tergantungjenis kelamin, riwayat transfusi darah dan terapi kelasi besi yang pemah didapat, danusia saat memulai terapi kelasi.Para peneliti mendapatkan kejadian pubertas terlambat lebih sering terjadi pada lakilaki.Secara umum, penyebab pubertas terlambat dikiasifikasikan menjadi gangguantemporer sekresi gonadotropin, dan steroid seks, kegagalan poros hipotalamus-hipofisisdengan defisiensi sekresi gonadotropin dan kegagalan gonad primer. Gangguan tersebutdiakibatkan oleh proses peroksidasi lipid oleh penimbunan besi di dalam sel-sel kelenjarhipofisis dan kerusakan di hipofisis mi menyebabkan sekresi gonadotropin menurun.Secara klinis keterlambatan pubertas pada perempuan umumnya keterlambatanpertumbuhan payudara dan rambut pubis, sedang pada lakilaki terjadi gangguanperkembangan testis. Penting untuk melakukan pemeriksaan hormonal untuk mengetahuifungsi poros hipotalamus-hipofisis-gonad. Tatalaksana thalassemia mayor denganpubertas terlambat selain terapi pengganti hormonal, perlu diperhatikan status nutrisi,dan pemberian transfusi disertai terapi kelasi yang adekuat.
Profil Klinis dan Terapeutik Anak Hiperplasia Adrenal Kongenital Terkait Gizi Lebih dan Obesitas Ivena Susanti; Jose RL Batubara; Najib Advani
Sari Pediatri Vol 16, No 3 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp16.3.2014.201-9

Abstract

Latar belakang. Obesitas pada anak hiperplasia adrenal kongenital (HAK) dapat terjadi akibat penyakit dan terapi glukokortikoid. Di Indonesia, belum diketahui prevalensi gizi lebih dan obesitas pada anak HAK serta faktor-faktor yang berhubungan.Tujuan. Mengetahui prevalensi gizi lebih dan obesitas anak HAK dan faktor yang berhubungan (faktor penyakit, faktor terapi, dan faktor umum).Metode. Uji potong lintang pada anak HAK yang berobat di RSCM dan RS lain di Jabodetabek selama Maret-Juni 2013. Pencatatan data klinis, analisis diet, dan pemeriksaan kadar 17-hidroksiprogesteron (17-OHP) dilakukan pada setiap subjek.Hasil. Empatpuluh sembilan subjek-38 perempuan dan 11 laki-laki, rentang usia 0,4-18,3 tahun-memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek tipe salt wasting (SW) 79,6% dengan median usia awal terapi 2,5 tahun lebih muda dibandingkan kelompok non-SW. Rerata dosis hidrokortison 17,2 (SB 6,4) mg/m2/hari dan median durasi terapi 5,7 (rentang 0,1-18,3) tahun. Sebagian besar subjek memiliki kontrol metabolik undertreatment (36/49) dengan median kadar 17-OHP 19 (rentang 0,2-876) nmol/L. Terdapat 19 subjek sudah pubertas, 6 di antaranya mengalami pubertas prekoks. Ditemukan prevalensi gizi lebih dan obesitas 5,3% pada kelompok usia balita dan 66,7% usia lebih dari 5 tahun. Subjek memiliki asupan gizi lebih dari 62,5%. Subjek dengan usia lebih dari 5 tahun, sudah pubertas, atau mengalami pubertas prekoks lebih berisiko mengalami gizi lebih dan obesitas. Durasi terapi glukokortikoid berkorelasi sedang (r=0,668; p=0,000) dengan indeks massa tubuh (IMT), sedangkan dosis terapi tidak menunjukkan korelasi dengan IMT.Kesimpulan. Prevalensi gizi lebih dan obesitas pada anak HAK adalah 42,9%. Subjek dengan usia lebih dari 5 tahun, sudah pubertas, atau mengalami pubertas prekoks lebih berisiko mengalami gizi lebih dan obesitas. Terdapat korelasi sedang antara durasi terapi glukokortikoid dengan IMT
Adolescent Development (Perkembangan Remaja) Jose RL Batubara
Sari Pediatri Vol 12, No 1 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.324 KB) | DOI: 10.14238/sp12.1.2010.21-9

Abstract

Adolescent atau remaja merupakan periode kritis peralihan dari anak menjadi dewasa. Pada remaja terjadiperubahan hormonal, fisik, psikologis maupun sosial yang berlangsung secara sekuensial. Pada anakperempuan awitan pubertas terjadi pada usia 8 tahun sedangkan anak laki-laki terjadi pada usia 9 tahun.Faktor genetik, nutrisi, dan faktor lingkungan lainnya dianggap berperan dalam awitan pubertas. Perubahanfisik yang terjadi pada periode pubertas ini juga diikuti oleh maturasi emosi dan psikis. Secara psikososial,pertumbuhan pada masa remaja (adolescent) dibagi dalam 3 tahap yaitu early, middle, dan late adolescent.Masing-masing tahapan memiliki karakteristik tersendiri. Segala sesuatu yang mengganggu proses maturasifisik dan hormonal pada masa remaja ini dapat mempengaruhi perkembangan psikis dan emosi sehinggadiperlukan pemahaman yang baik tentang proses perubahan yang terjadi pada remaja dari segala aspek.
Mutasi Gen CYP21 dan Manifestasi Klinis pada Hiperplasia Adrenal Kongenital Ludi Dhyani; Jose RL Batubara; Setyo Handryastuti; Lamtorogung Prayitno
Sari Pediatri Vol 18, No 1 (2016)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp18.1.2016.27-33

Abstract

Latar belakang. Hiperplasia adrenal kongenital (HAK) adalah suatu kelainan genetik yang disebabkan oleh mutasi gen CYP21 yang bersifat autosomal resesif. Lebih dari 90% kasus terjadi akibat defisiensi enzim 21-hidroksilase (21-OHD).Tujuan. Mengetahui manifestasi klinis mutasi CYP21 pada anak dengan HAK.Metode. Studi deskriptif retrospektif dilakukan selama Oktober-Desember 2014. Subjek adalah anak HAK yang terdaftar di Divisi Endokrinologi Anak RSCM dan pernah dilakukan pemeriksaan mutasi gen CYP21. Data diambil dari rekam medis, dan register HAK tahun 2009-2014.Hasil. Didapatkan 45 subjek HAK (37 perempuan, 8 laki-laki) yang yang telah diketahui jenis mutasinya. Manifestasi klinis yang dijumpai adalah tipe salt wasting (SW) 33 subjek, simple virilizing (SV) 10 subjek, dan non-classic (NC) 2 subjek. Median usia saat terdiagnosis HAK pada tipe SW usia 1 bulan (0-3 bulan), tipe SV usia 3 tahun (2-6 tahun), dan tipe NC usia 5 tahun. Keluhanutama terbanyak adalah genitalia ambigus (60%). Dua jenis mutasi (R356W dan I172N) ditemukan pada 21 subjek, mutasi R356W tunggal ditemukan pada 9 subjek, dan mutasi I172N tunggal ditemukan pada 15 subjek. Mutasi I172N ditemukan pada 80% alel, dan mutasi R356W pada 66,7% alel.Kesimpulan.Manifestasi klinis terbanyak pada penelitian ini adalah tipe SW yang memiliki dua jenis mutasi. Pemeriksaan mutasi gen CYP21 bermanfaat untuk konseling genetik, diagnosis prenatal dan tata laksana pada keluarga yang memiliki risiko HAK. 
Gambaran Klinis Kriptorkismus di Poliklinik Endokrinologi Anak RS Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Tahun 1998 - 2002 Wayan Bikin Suryawan; Jose RL Batubara; Bambang Tridjaja; Aman B Pulungan
Sari Pediatri Vol 5, No 3 (2003)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (201.799 KB) | DOI: 10.14238/sp5.3.2003.111-6

Abstract

Latar belakang: kriptorkismus merupakan kelainan organ seksual lelaki yang seringditemukan. Sampai berapa tahun terapi hormonal dan pembedahan dilakukan masihkontroversial.Tujuan: penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur saat berobat pertama kali, asalrujukan, lokasi testis, peran perabaan, penyakit penyerta, dan peran terapi hormonalpada kriptorkismus.Cara kerja: Penelitian dilakukan secara retrospektif dari semua pasien baru yang didiagnosiskriptorkismus di Poliklinik Endokrinologi Anak RSCM selama 5 tahun (Januari 1998 –Desember 2002).Hasil: diteliti 63 pasien baru, 58 pasien diantaranya dengan kriptorkismus murni, dan 5 pasientestis retraktil. Didapat 22,4% kriptorkismus bilateral, 77,6% kriptorkismus unilateral,kriptorkismus kanan dan kiri jumlahnya hampir sama. Pasien yang dirujuk oleh spesialis anak33,3%. Umur pertama datang di poliklinik 9 bulan-2 tahun 24,1%, dan >2 tahun 56,9%.Pada perabaan, lokasi testis paling banyak tak teraba 74,1%, setelah dikonfirmasi dengan USG75% hasilnya sama dengan perabaan. Kriptorkismus disertai skrotum bifidum dan hipospadia12,6%, mikropenis 11,1%, sindrom Prader Willi, sindrom Noonan, sindrom Kallmann masingmasing1,6% dan merupakan penyakit dasar kriptorkismus. Keberhasilan Terapi hormonal65% ( inguinal 77,8% dan pada testis tak teraba 50%) , terapi dimulai sejak umur 9 bulan.Kesimpulan: sebagian besar pasien datang pada umur >2 tahun, sedangkan terapihormonal dimulai pada umur 9 bulan dengan keberasilan 65%. Pemeriksaan fisik samaakurat dibandingkan dengan pemeriksaan USG. Terapi hormonal pada kriptorkismusumur 6 bulan - 2 tahun masih efektif sebelum terapi bedah dilakukan.
Gangguan Perilaku Pasien Diabetes Melitus tipe-1 di Poliklinik Endokrinologi Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Lily Rahmawati; Soedjatmiko Soedjatmiko; Hartono Gunardi; Rini Sekartini; Jose RL. Batubara; Aman B. Pulungan
Sari Pediatri Vol 9, No 4 (2007)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (110.243 KB) | DOI: 10.14238/sp9.4.2007.264-9

Abstract

Latar belakang. Diabetes melitus tipe-1 (DM tipe-1) merupakan penyakit kronis yang dapat mempengaruhiemosi dan perilaku anak dan remaja. Pasien mengalami tekanan yang berhubungan dengan bagaimanamengontrol metabolik dan tumbuh kembang yang sedang berlangsung.Tujuan. Mengetahui gangguan perilaku pasien DM tipe-1 dan faktor-faktor yang berhubungan dengangangguan perilaku.Metode. Penelitian dilakukan secara potong lintang pada bulan Agustus 2006 di poliklinik EndokrinologiDepartemen IKA FKUI RSCM. Subjek penelitian adalah pasien DM tipe-1 umur 4-18 tahun yang diambilsecara purposive sampling. Sumber data diperoleh dari orangtua/ wali responden dengan wawancaraterpimpin, menggunakan Pediatric Symptom Check List-17 (PSC-17) dan Kuesioner Masalah MentalEmosional (KMME).Hasil. Prevalensi gangguan perilaku pasien DM tipe-1 dijumpai kemungkinan gangguan psikososial 45,8%,paling banyak adalah gangguan internalisasi (33,3%). Kemungkinan gangguan mental emosional 41,7%.Lama sakit lebih dari 5 tahun dan pernah mengalami komplikasi memiliki risiko lebih besar mengalamigangguan mental emosional.Kesimpulan. Kemungkinan gangguan perilaku pada diabetes tipe-1 45,8%. Skrining gangguan perilakupada pasien DM tipe-1 perlu dilakukan secara rutin di pusat pelayanan kesehatan sehingga dapat segeradievaluasi lebih lanjut. 
Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1 pada Anak Saat Pertama Kali Datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta Aman B Pulungan; Riza Mansyoer; Jose RL Batubara; Bambang Tridjaja AAP
Sari Pediatri Vol 4, No 1 (2002)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp4.1.2002.26-30

Abstract

Diabetes Mellitus tipe-1 merupakan salah satu penyakit kronis yang sampai saat inibelum dapat disembuhkan. Walaupun demikian, berkat kemajuan teknologi kedokterankualitas hidup pasien DM tipe-1 dapat terpelihara. Sebagian besar kasus DM pada anaktermasuk di dalam DM tipe-1, namun sedikit sekali tulisan di Indonesia mengenaikarakteristik klinis dan laboratorium DM tipe-1. Hal ini mengakibatkan banyak tenagamedis yang tidak mengetahuinya sehingga sering sekali salah dalam mendiagnosis pasienDM tipe-1. Pasien DM tipe-1 sebagian besar mempunyai riwayat perjalanan klinis,dengan poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan yang cepat menurun. Untukmengurangi keterlambatan diagnosis maka kewaspadaan terhadap DM tipe-1 merupakankata kunci. Telah dilakukan penelitian deskriptif retrospektif pada semua pasien DMtipe-1 yang berobat ke Bagian IKA-RSCM antara tahun 1989-1999. Seluruh subyekpenelitian diambil dari catatan medis dan didapat 41 kasus dengan DM tipe-1 dengansebagian besar anak perempuan. Usia terbanyak saat datang pertama kali ke BagianIKA-RSCM pada usia 5-10 tahun (56%). Dari 41 kasus DM tipe-1, hanya 31% yangmempunyai keturunan keluarga DM. Saat datang ke Bagian IKA-RSCM 66% dengankatoasidasis diabetik, 71% menderita gizi kurang dan seluruh pasien datang dengankeluhan poliuria, polidipsia, polifagia dan adanya penurunan berat badan yang progresif.Gangguan kesadaran juga menyertai pasien dengan KAD. Kadar gula darah pasien DMtipe-1 terbanyak antara 300-500 mg/dl (51%). Semua pasien pada saat awal diagnosiskadar HbA1c di atas normal dan C-peptida di bawah normal.
Hipotiroidisme kongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Ciptomangunkusumo Jakarta, tahun 1992-2002 Melda Deliana; Jose RL Batubara; Bambang Tridjaja; Aman B Pulungan
Sari Pediatri Vol 5, No 2 (2003)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp5.2.2003.79-84

Abstract

Gejala klinis hipotiroidisme kongenital pada neonatus seringkali tidak begitu jelas danbaru terdeteksi setelah 6-12 minggu. Diagnosis dini sangat penting untuk mencegahtimbulnya retardasi mental atau meringankan derajat retardasi mental. Penelitian inibertujuan untuk mengetahui gambaran klinis awal, laboratorium dan respons terapiawal natrium levotiroksin pada pasien hipotiroidisme kongenital. Data dikumpulkandari catatan rekam medik kasus-kasus hipotiroidisme kongenital yang berkunjung kePoliklinik Endokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM Jakarta selama kurun waktu1992-2002. Dalam kurun waktu tersebut terdapat 30 pasien baru, 21 anak (70%)perempuan dan 9 anak (30%) laki-laki. Sebagian besar (53,3%) didiagnosis pada umur1-5 tahun. Berdasarkan status antropometri menurut NCHS-WHO ditemukan gizi burukpada 53,3% kasus (berat badan/umur), perawakan pendek paa 90% kasus (tinggi badan/umur), dan pada 70% kasus perbandingan berat badan/tinggi badan adalah normal.Gejala klinis tersering saat diagnosis adalah perkembangan motorik terlambat (83,3%),konstipasi (73,3%), aktivitas menurun (70%), makroglosia (70%), dan pucat (70%).Ditemukan maturasi tulang terlambat (95,5%), gangguan pendengaran (22,7%),gangguan sistem neuromuskular (16,7%), dan retardasi mental (62,5%). Padapemeriksaan skintigrafi dijumpai agenesis tiroid pada 11,1% kasus. Sebagian besar(26,7%) mendapat terapi awal dosis tinggi (8-10 mg/kg/hari). Gejala klinis berkurang(36,7%) dalam 4 minggu dan fungsi tiroid kembali normal (33,3%) dalam 1-3 bulansetelah terapi awal.
Co-Authors Abdul Latief Adji Suranto Agus Firmansyah Aman B Pulungan Aman B Pulungan Aman B Pulungan Aman B Pulungan Aman B Pulungan Aman B Pulungan Aman B. Pulungan Aman B. Pulungan Aman B. Pulungan Aman B. Pulungan Aman Pulungan Angèle JGMGerver-Jansen Angky Tririni Anies Irawati Anna Alisjahbana Ariani Dewi Widodo Arie Purwana Arry Rodjani Arto, Karina Sugih Arwin Akib Arwin AP Akib Arwin AP Akib Atiek Widya Oswari Bachti Alisjahbana Badriul Hegar Bambang Madiyono Bambang Supriyatno Bambang Tridjaja AAP, Bambang Tridjaja Bambang Tridjaya AAP Bernie Endyarni Medise Budiono Budiono christina olly lada Cissy B. Kartasasmita Corry S Matondang Cynthia Rindang Damayanti R. Sjarif Darmawan B. Setyanto Dhyniek Nurul FLA Diah Pramita Diah Pramita Diana Mettadewi Jong Edward Surjono, Edward Ellen P. Gandaputra Erna Mutiara Evita B. Ifran Evita K. B. Ifran H.F. Wulandari Hanifah Oswari Hardiono D Pusponegoro Hartono Gunardi Hartono Gunardi Harun Alrasyid Damanik Henriette A Delemarre–van de Waal Hindra Irawan Satari Hindra Irawan Satari Hindra Satari I Boediman I Made Arimbawa I Wayan Bikin Suryawan Idham Amir Ilham Wahyudi Indra W Himawan Indra W. Himawan Irfan Wahyudi Iswari Setianingsih Ivena Susanti Juhariah Juhariah Kadim S. Bachtiar Kanadi Sumadipradja Kemas Firman Lamtorogung Prayitno Lanny C. Gultom Lily Rahmawati Ludi Dhyani Melda Deliana Melda Deliana Miswar Fattah Muhammad Faizi Mulyadi Mulyadi Munar Lubis Naela Fadhila Najib Advani Nastiti Kaswandani Nia Kuniati Partini P. Trihono Piprim B Yanuarso Pustika Amalia Pustika Amalia Wahidiyat Rini Andriani Rini Sekartini Rini Sekartini Riza Mansyoer Rizki Aryo Wicaksono Ronny Suwento, Ronny Rosalina Dewi Roeslani Rubiana Sukardi Salimar Salimar Saptawati Bardosono Setyo Handryastuti Siska Mayasari Lubis Soedjatmiko Sri Rezeki Hadinegoro Sudigdo Sastroasmoro Sudigdo Sastroasmoro Sudung O Pardede, Sudung O Taralan Tambunan Tjhin Wiguna Tony Sadjimin Toto Wisnu Hendrarto Tya Listiaty Willem J Gerver Woro Indri Padmosiwi Yulniar Tasli Zakiudin Munasir Zakiudin Munasir