Claim Missing Document
Check
Articles

Found 31 Documents
Search

SUBSTANSI MODUL KONSELING SEBAYA DALAM MENGATASI PERMASALAHAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA AKHIR Ismiyati Ismiyati; Deni K. Sunjaya; Susi Susanah
Jurnal Medikes (Media Informasi Kesehatan) Vol 5 No 1 (2018): April
Publisher : Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (444.784 KB) | DOI: 10.36743/medikes.v5i1.1

Abstract

Perilaku seks pranikah pada remaja cukup tinggi. Hal tersebut didasari dari gaya berpacaran yang tidak sehat sehingga dapat melakukan hubungan seks pranikah. Perilaku seks pranikah pada remaja memiliki risiko terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Hasil SKDI 2012 menunjukkan 10% remaja wanita umur 15−19 tahun sudah menjadi ibu, 7% remaja pernah melahirkan, dan 3% sedang hamil anak pertama. Desain penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Informan penelitian kualitatif berjumlah 11 orang. Penelitian dilakukan di Provinsi Banten pada bulan Januari−Juni 2017. Pada saat memberikan konseling seorang konselor harus memahami tentang materi ataupun substansi yang dikonselingkan. Hal ini dibutuhkan untuk memberikan informasi kekonseli. Informasi yang tepat akan membantu konseli menyelesaikan masalahnya. Konseling sebaya pada remaja membutuhkan modul. Substansi yang harus ada dalam modul pada penelitian ini diantaranya adalah tumbuh kembang remaja, kesehatan reproduksi, penyakit seksual, keluarga berencana, dan napza. Substansi tersebut digunakan untuk membantu mengatasi permasalahan yang dialami remaja berkaitan dengan kesehatan remaja.
MODEL MODUL KONSELING SEBAYA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA Ismiyati Ismiyati; Rangga Walessa; Deni K Sunjaya; Susi Susanah
Jurnal Medikes (Media Informasi Kesehatan) Vol 6 No 2 (2019): November
Publisher : Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Banten

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36743/medikes.v6i2.191

Abstract

Perilaku seks bebas menjadi permasalahan remaja yang menjadi perhatian. Perilaku seks bebas dapat menyebabkan permasalahan baru seperti kehamilan remaja, pernikahan remaja, persalinan remaja, dan penyakit menular seksual. Upaya Pemerintah dalam mengatasi permasalahan remaja menggunakan pendekatan teman sebaya melalui PIK R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja). Namun, 50% pengurus PIK mengatakan kurang percaya diri dalam memberikan konseling pada temannya. Sehingga dibutuhkan modul yang sesuai dengan kebutuhannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Jumlah informan yang digunakan sebanyak 11 orang. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Juni 2017 di Provinsi Banten. Modul konseling berisi tentang konseling dan substansi yang dibutuhkan terkait kesehatan reproduksi remaja. Modul harus mampu memberikan gambaran dan mengajarkan Proses konseling, Kompetensi konseling, serta Etika konseling.
Association between 25-Hydroxyvitamin D and Mental-Emotional Status in Children during Their First 1000 Days of Life Maryam Rusli; Susi Susanah; Sri Endah Rahayuningsih; Nelly Amalia Risan; Diah Asri Wulandari; Meita Dhamayanti
Majalah Kedokteran Bandung Vol 54, No 4 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15395/mkb.v54n4.2710

Abstract

Vitamin D receptors are widely expressed in brain tissue, including in the limbic system that plays a role in children's mental and emotional development. This study aimed to analyze the relationship between 25-(OH)-D level and children's mental-emotional development during their first 1000 days of life. A cross-sectional study was conducted on children aged ≤2 years old in Waled and Sukabumi regions using secondary data from previous cohort investigations entitled "The Role of Vitamin D in Efforts to Reduce Maternal and Infant mortality". The measurement of 25-(OH)-D concentration and assessment of the mental-emotional development were performed using the Ages and Stages Questionnaires: Social-Emotional (ASQ-SE) questionnaire. Other child and maternal characteristics, and several laboratory results, were also obtained. Statistical analyses were performed using the Spearman rank, Pearson correlation test, and multivariate linear regression analysis. A total of ninety-two children were included, and the median vitamin D level of the population was 20.17 ng/mL (IQR 4.43–49.97). The correlation analysis showed that no significant relationship between children's mental-emotional scores and the parameters tested, including the concentration of 25-(OH)-D (correlation coefficient 0.08; p=0.446). There was no relationship between the vitamin D concentration and mental-emotional development. Based on these results, it is concluded that there is no correlation between 25-(OH)-D concentration and children’s mental-emotional development during the first 1000 days of life. However, further investigations are recommended to eliminate various confounding factors.
Knowledge towards Thalassemia and Willingness to Screen among Students in Public Senior High School 3 Bandung Rima Destya Triatin; Lulu Eva Rakhmilia; Yunia Sribudiani; Susi Susanah
Althea Medical Journal Vol 9, No 4 (2022)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15850/amj.v9n4.2730

Abstract

Background: Thalassemia carrier screening is a major preventive measure  potentially influenced by the level of knowledge, particularly in adolescents. Therefore, this study aimed to analyze the effect of health education on knowledge of thalassemia in adolescents and its association with their willingness to do thalassemia screening.Methods: A cross-sectional study was conducted using data regarding knowledge of thalassemia before and after health education sessions from 229 students at Public Senior High-School 3 Bandung. All participants attended a one-day health education in July 2019. A questionnaire was filled in to measure their knowledge regarding thalassemia before and after the session, including knowledge on etiology and definition, risk of disease, clinical manifestations, treatment, complication, prognosis, and disease prevention. Only data with complete questionnaire responses were included. These responses were scored quantitatively and analyzed for their association with participants’ willingness to screen. Results: Participants were knowledgeable concerning thalassemia before the health education session (median, range: 60.0, 25.0-90.0), and knowledge was increased significantly after the education session (median, range: 80.0, 35.0-100.0) with an increased median difference=19.99 (p-value <0.001). Although there was no significant association between the overall post-test score on participants’ willingness to screen (p-value >0.05), the willingness was slightly associated with improved knowledge regarding the risk of disease (OR: 1.02; 95%CI: 1.00-1.03; p-value <0.005). Conclusion: Health education regarding thalassemia significantly increases general knowledge of thalassemia. However, improving knowledge is not significant in influencing adolescents’ motivation to take the screening tests.
Tata Laksana Terkini Talasemia Beta: Terapi Target Susi Susanah
Sari Pediatri Vol 24, No 4 (2022)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp24.4.2022.279-85

Abstract

Talasemia beta adalah bentuk hemoglobinopati yang merupakan penyakit monogenik diturunkan terbanyak di dunia ditandai defek yang menyebabkan produksi globin beta berkurang atau tidak ada.  Ketidakseimbangan rantai globin alfa/beta menyebabkan rangkaian proses eritropoesis inefektif dan peningkatan absorpsi besi yang pada akhirnya mengakibatkan anemia hemolitik kronis dan kelebihan besi.  Secara konvensional tata laksana utama talasemia beta berat adalah transfusi darah dan obat kelasi besi yang masih memiliki banyak keterbatasan dan tantangan meskipun telah berdampak pada peningkatan kesintasan dan kualitas hidup penyandang talasemia beta mayor. Pemahaman mendalam terhadap molekular dan patofisiologi talasemia-beta membuka jalan bagi strategi pendekatan terapi baru yang diklasifikasikan atas 3 kategori, yaitu koreksi ketidakseimbangan rantai globin melalui pengembangan transplantasi sumsum tulang dan terapi gen; mengintervensi eritropoesis inefektif sehingga transfusi darah dan kelasi besi berkurang; dan modulasi disregulasi besi untuk mengendalikan kadar besi. Dengan demikian, strategi pendekatan terapi baru menjanjikan penurunan kebutuhan transfusi darah dan kelasi besi yang lebih menyamankan pasien dan diharapkan juga menurunkan biaya tata laksana. 
Risk factors associated with sepsis in children with acute lymphoblastic leukemia and febrile neutropenia Versary, An nieza Dea; Susanah, Susi; Alam, Anggraini
Paediatrica Indonesiana Vol 64 No 3 (2024): May 2024
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi64.3.2024.270-6

Abstract

Background Children with acute lymphoblastic leukemia (ALL), especially those with febrile neutropenia, are susceptible to sepsis. Several factors have been associated with the occurrence of sepsis in children with leukemia. Objective To identify potential risk factors associated with sepsis in children with ALL and febrile neutropenia. Methods This cross-sectional study was done in children with ALL who sought treatment at Dr. Hasan Sadikin General Hospital, Bandung, Indonesia from January 2019 to March 2022. We recorded patients’ gender, age, nutritional status, absolute neutrophil count (ANC), co-infection, prophylactic antibiotic use, and phase of chemotherapy. Results Of 131 subjects, 57.3% were male and 42.8% were wasted. Subjects had a median age of six years old and median ANC of 230 cells/mm3. Furthermore, 48.9% of subjects had co-infections, 87.8% had not received prophylactic antibiotics, and 48.9% were in the induction phase of chemotherapy. Multiple logistic regression analysis revealed that older age [OR 1.16 (95%CI 1.04 to 1.29); ?=0.149; P=0.008] and co-infection [OR 12.9 (95%CI 5.01 to 33.21); ?=2.551; P<0.001] were significantly associated with sepsis in children with ALL and febrile neutropenia. Bronchopneumonia was the most common co-infection (72.5%). Conclusion Older age and co-infection are significantly associated with sepsis in children with ALL and febrile neutropenia.
Reproductive Health Problems in Adolescents in Banten Province Ismiyati, Ismiyati; Sabarudin, Udin; Sapiie, Tuti Wahmurti A.; Husin, Farid; Susanah, Susi; Sunjaya, Deni Kurniadi
Global Medical & Health Communication (GMHC) Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (349.142 KB) | DOI: 10.29313/gmhc.v7i1.3060

Abstract

Teenagers are the next generation that needs to be the center of attention. Physical and mental development in adolescents occurs rapidly. The process of changing times with free association arises causing debate about their reproductive health. The purpose of this study was to determine the reproductive health problems of adolescents in Banten province. This study used a qualitative design and constructivism paradigm. The research method was using the in-depth interview guideline instrument with 11 informants conducted in Banten province in January−June 2017. Qualitative data analysis using content analysis. The results showed that environmental factors such as family, relationships, health workers, and the availability of prostitution practice were trigger teenagers' problems. The environment did not support them to learn about sexuality makes them seek information from sources that cannot be justified. This practice made adolescents have inappropriate knowledge about adolescent reproductive health. The availability of prostitution practice was a unique highlight for those who can channel their curiosity in fulfilling their sexual desires. In conclusions, adolescent reproductive health problems in Banten province consisted of premarital sex behavior, teenage pregnancy, teenage marriage, youth delivery, sexually transmitted diseases, and abnormal sexual behavior. These problems arise due to factors of knowledge, environment, and family economic status. PERMASALAHAN KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA DI PROVINSI BANTENRemaja merupakan generasi penerus yang perlu menjadi pusat perhatian. Perkembangan fisik dan mental pada remaja terjadi secara pesat. Proses perubahan zaman dengan pergaulan bebas memicu timbulnya permasalahan kesehatan reproduksi pada mereka. Tujuan penelitian ini mengetahui permasalahan kesehatan reproduksi remaja di Provinsi Banten. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif dan paradigma konstruktivisme. Metode penelitian menggunakan instrumen wawancara mendalam kepada 11 informan yang dilakukan di Provinsi Banten pada bulan Januari–Juni 2017. Analisis data kualitatif menggunakan analisis konten. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan seperti keluarga, pergaulan, tenaga kesehatan, dan ketersediaan tempat prostitusi memicu permasalahan remaja. Lingkungan yang tidak mendukung mereka untuk belajar tentang seksualitas membuat mereka mencari informasi dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal tersebut membuat remaja memiliki pengetahuan yang tidak tepat tentang kesehatan reproduksi remaja. Ketersediaan tempat-tempat prostitusi menjadi sorotan khusus bagi mereka yang dapat menyalurkan keingintahuan mereka dalam memenuhi hasrat seksualitas. Simpulan, permasalahan kesehatan reproduksi remaja di Provinsi Banten terdiri atas perilaku seks pranikah, kehamilan remaja, pernikahan remaja, persalinan remaja, penyakit seksual, dan perilaku seks menyimpang. Permasalahan tersebut muncul karena faktor lingkungan, pengetahuan, dan ekonomi keluarga.
KEBUTUHAN SUBSTANSI MODUL KONSELING SEBAYA TENTANG KELUARGA BERENCANA DALAM KESEHATAN REPRODUKSI PADA REMAJA Ismiyati, Ismiyati; Sunjaya, Deni k; Susanah, Susi
JPP JURNAL KESEHATAN POLTEKKES PALEMBANG Vol 14 No 1 (2019): JPP (Jurnal Kesehatan Poltekkes Palembang)
Publisher : Poltekkes Kemenkes Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36086/jpp.v14i1.278

Abstract

Latar Belakang: Keluarga Berencana dapat mengurangi proporsi kehamilan yang dianggap berisiko tinggi dan aborsi yang tidak aman karena kehamilan tidak diinginkan. Keluarga Berencana tersebut mencegah penyebab kematian ibu sekitar 28%−30% kehamilan dengan risiko tinggi salah satunya karena hamil pada usia muda. Kehamilan pada usia muda merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi pada usia remaja di Provinsi Banten. Metode: Desain penelitian ini adalah exploratory sequential mixed method. Wawancara dan Focus Group Disscusion dilakukan pada pakar dan remaja. Pada desain kuantitatif, pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan survei pada remaja usia 18–24 tahun. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan permodelan RASCH. Hasil: Substansi modul konseling sebaya dari hasil penelitian terdiri dari gender, mitos, keterampilan hidup (life skill), advokasi dan KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi), serta pendekatan agama dalam kesehatan reproduksi. Sebesar 75% dari total responden menyetujui bahwa seluruh materi (kesehatan reproduksi, napza, pendekatan agama dalam kespro, keterampilan hidup, gender, penyakit seksual, tumbuh kembang remaja, keluarga berencana, advokasi dan KIE, dan mitos) tersebut ada didalam modul dan sebesar 94,4% dari total responden membutuhkan materi Keluarga Berencana. Kesimpulan: Remaja membutuhkan materi tentang tumbuh kembang remaja, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, penyakit menular seksual, Napza, gender, keterampilan hidup, mitos, pendekatan agama dalam kesehatan reproduksi, serta advokasi dan KIE
Osteocalcin expression of platelet-rich fibrin (PRF) and platelet-rich plasma (PRP) added with hydroxyapatite (HA) in rabbit’s post extraction tooth sockets Damayanti, Meta Maulida; Hernowo, Bethy Suryawathy; Susanah, Susi
Padjadjaran Journal of Dentistry Vol 32, No 3 (2020): November 2020
Publisher : Faculty of Dentistry Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/pjd.vol32no3.24848

Abstract

Introduction: Platelets play an important role in wound healing because it is a reservoir for growth factors and cytokines which is important in bone regeneration and soft tissue healing. The purpose of this study was to compare the use of scaffolds in platelet-rich fibrin (PRF) and platelet-rich plasma (PRP) which added with hydroxyapatite (HA) in the socket healing process after tooth extraction in the value of regenerating an alveolar bone tissue. Methods: The research was conducted at biomedical laboratory Bandung Islamic University. Eighteen rabbits (Oryctolagus cuniculus) with extracted anterior and inferior teeth were divided into 2 treatment groups and 3 observation times. The tooth socket is filled with PRF (Group 1) and PRP + HA (Group 2). The observation was conducted on Day 3, Day 7 and Day 14. Immunoexpression Osteocalcin was performed to assess the healing process of alveolar bone. Data was analyzed with the SPSS software program. Analysis of normality data by Shapiro-Wilk test, homogeneity of variance with Levene's test and comparison between treatment groups with the Chi-square test. Results: Group 1 shown the average score was higher than in Group 2 with a strong category of 72.2% for Group 1 and 56.6% for Group 2. Based on statistically,  there was no difference in osteocalcin immunoexpression between Group 1 and Group 2 with the p-value>0.05. Conclusion: Regeneration of rabbit’s alveolar bone tissue by application of PRF and PRP plus HA as scaffolds have results was similar. The use of PRF in post-extraction wound recovery is a better choice because it has an easy procedure and lower cost.
EDUKASI YANG DIPIMPIN PERAWAT UNTUK PERAWATAN AKSES VASKULAR JANGKA PANJANG PADA HEMODIALISIS: SISTEMATIK LITERATURE REVIEW Cahyanto, Heri Nur; Enjelia, Devis; Susanah, Susi; Adja, Hesti; Herwanto, Rio
Jurnal Penelitian Keperawatan Kontemporer Vol 5 No 4 (2025): Juli 2025
Publisher : Program Studi S1 Ilmu Keperawatan dan Ners IKBIS Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59894/jpkk.v5i4.1010

Abstract

Latar belakang: Keberhasilan hemodialisis sangat bergantung pada akses vaskular jangka panjang yang berfungsi baik. Infeksi, trombosis, dan kegagalan maturasi merupakan penyebab utama morbiditas dan rawat inap, yang kerap terkait keterbatasan pengetahuan dan praktik perawatan mandiri. Edukasi yang dipimpin perawat dipandang kunci untuk memberdayakan pasien. Tujuan: Mengevaluasi efektivitas strategi edukasi yang dipimpin perawat terhadap pengetahuan, praktik perawatan mandiri, dan luaran klinis akses vaskular pada pasien hemodialisis. Metode: Tinjauan sistematis mengikuti pedoman PRISMA 2020. Pencarian dilakukan di PubMed, Scopus, dan Cochrane Library untuk publikasi Januari 2010–Desember 2024. Rekaman diimpor ke Covidence untuk deduplikasi, penyaringan dua penelaah, telaah teks penuh, dan pencatatan alasan eksklusi. Kriteria inklusi: uji terkontrol pada pasien hemodialisis dewasa yang mengevaluasi intervensi edukasi dipimpin perawat dengan luaran pengetahuan, perilaku perawatan mandiri, dan/atau luaran klinis (infeksi, trombosis/oklusi, maturasi/patensi, rawat inap). Risiko bias dinilai dengan RoB 2 (RCT) dan ROBINS‑I (studi quasi). Karena heterogenitas tinggi, dilakukan sintesis naratif. Hasil: Termasuk 15 studi dari 9 negara (1.824 pasien): 11 RCT dan 4 studi quasi‑eksperimental terkontrol. Modalitas intervensi meliputi sesi tatap muka terstruktur dan demonstrasi keterampilan, booklet/multimedia/video, dukungan internet/telehealth/aplikasi seluler, serta program latihan pascaoperasi yang diawasi perawat. Sebanyak 13 dari 15 studi melaporkan peningkatan bermakna pada pengetahuan dan/atau perilaku perawatan mandiri (p<0,05). Beberapa studi menunjukkan perbaikan luaran klinis, termasuk penurunan kegagalan maturasi dan percepatan maturasi AVF, serta penurunan infeksi dan trombosis dibanding perawatan standar. Penilaian risiko bias menunjukkan sebagian besar RCT berada pada kategori rendah hingga some concerns, sedangkan studi quasi cenderung moderat hingga tinggi karena keterbatasan perancangan dan pengukuran. Kesimpulan: Bukti yang ada mendukung program edukasi terstruktur yang dipimpin perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku perawatan mandiri, dengan sinyal kuat ke arah perbaikan luaran klinis akses vaskular. Diperlukan standarisasi protokol, pelaporan outcome inti yang seragam, RCT multicenter dengan tindak lanjut ≥6–12 bulan, serta evaluasi biaya‑efektivitas untuk memperkuat generalisasi dan adopsi sebagai standar layanan.