Claim Missing Document
Check
Articles

Found 35 Documents
Search

The Completion Pattern of Adultery Case Based on the Customary Law of Sabunese Paulus, Gery Mario; Pello, Jimmy; Sinurat, Aksi
JILS (Journal of Indonesian Legal Studies) Vol 4 No 1 (2019): Penal Policy and The Development of Criminal Law Enforcement
Publisher : Faculty of Law, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (739.947 KB) | DOI: 10.15294/jils.v4i01.26962

Abstract

Adultery, according to Sabu Society is relations between a man who is bound a custom matrimony or religious marriage with a woman who is bound a matrimony or one of them has bound in a matrimony. Adultery, based on the positive law is ruled in chapter 284 book of Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Chapter 284 KUHP has the point that a man or woman who has been married and doing adultery (overspel). The point in chapter 284 KUHP has similarity with the point in customary law of Sabunese, namely adultery is conducted with someone (man or woman) who has been joined in matrimony. Based on the research has been done, it found that the people of Sabu is prefer to completing adultery customarily because of some factors, that is: sanction and serious fine, it is normally using the completion customarily with the people of Sabu,the justice law based on the people of Sabu, the effect of completion and completion pattern. Two patterns of completion which appears in completion process of adultery based on the customary law of Sabu is the completion pattern in kinship way which are preventing and protecting.
TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP PASANGAN YANG BELUM DICATAT DALAM AKTA PERKAWINAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF DI Indonesia Devis Buni Lele; Jimmy Pello; Aksi Sinurat
to-ra Vol. 6 No. 2 (2020): Agustus
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33541/JtVol5Iss2pp102

Abstract

Abstrak Pelaku kekerasan dalam lingkup pasangan yang telah hidup bersama dalam satu rumah yang namanya belum dicatat dalam akta perkawinan. Rumusan masalah penelitian ini yaitu Apakah kekerasan yang terjadi terhadap pasangan telah hidup bersama dalam satu rumah yang namanya belum dicatat dalam akta perkawinan, merupakan bentuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga atau tindak pidana penganiayaan? Penelitian menggunakan Penelitian hukum yuridis normatif dengan Data sekunder. Hasil penelitian menunjukan bahwa pasangan kekerasan dalam pasangan telah hidup bersama yang namanya belum dicatat dalam akta perkawinan masuk dalam bentuk tindak pidana penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Kata Kunci : Tindak pidana kekerasan, pasangan yang belum dicatat dalam Akta perkawinan
The Completion Pattern of Adultery Case Based on the Customary Law of Sabunese Paulus, Gery Mario; Pello, Jimmy; Sinurat, Aksi
JILS (Journal of Indonesian Legal Studies) Vol 4 No 1 (2019): Penal Policy and The Development of Criminal Law Enforcement
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jils.v4i01.26962

Abstract

Adultery, according to Sabu Society is relations between a man who is bound a custom matrimony or religious marriage with a woman who is bound a matrimony or one of them has bound in a matrimony. Adultery, based on the positive law is ruled in chapter 284 book of Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Chapter 284 KUHP has the point that a man or woman who has been married and doing adultery (overspel). The point in chapter 284 KUHP has similarity with the point in customary law of Sabunese, namely adultery is conducted with someone (man or woman) who has been joined in matrimony. Based on the research has been done, it found that the people of Sabu is prefer to completing adultery customarily because of some factors, that is: sanction and serious fine, it is normally using the completion customarily with the people of Sabu,the justice law based on the people of Sabu, the effect of completion and completion pattern. Two patterns of completion which appears in completion process of adultery based on the customary law of Sabu is the completion pattern in kinship way which are preventing and protecting.
PEMANFAATAN BOKHASI, IRIGASI PROBASA, HIDROPONIK PADA TANAMAN HORTIKULURA PADA LAHAN KERING Arnold Christian Tabun; Cardial L.O. Leo-Penu; Aksi Sinurat; Vinni Denivita Tome; Thomas Lapenangga
Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan Vol 1, No 2 (2016): Jurnal Pengabdian Masyarakat Peternakan
Publisher : Jurusan Peternakan Politeknik Pertanian Negeri Kupang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (605.047 KB) | DOI: 10.35726/jpmp.v1i2.163

Abstract

Keterbatasan pengetahuan kelompok tani dan sumber daya air sering menjadi kendala dalam budidaya tanaman hortikultura di lahan sempit dan kering. Untuk mengatasi permasalahan petani tersebut diperlukan sentuhan teknologi budidaya tanaman di lahan sempit dan lahan kering. Metode pengabdian adalah penyuluhan, demplot dan pendampingan.  Kebun contoh tanaman hortikulutura di Kelompok Tani Tunas Baru menggunakan pupuk Bokhasi, mulsa plastik dan irigasi semprot bawah mulsa (Pro-Basa) dapat meningkatkan produksi tanaman hortikultura dan pendapatan petani. Untuk memanfaatkan pekarangan rumah dan lahan yang sempit, dapat menggunakan penanaman secara hidroponik dan polybag sebagai media tanam. Simpulan dari pengabdian adalah tersedianya kebun contoh tanaman semi organik di lahan kering, peningkatan pengetahuan dalam budidaya tanaman hortikultura di lahan kering menggunakan bokhasi, irigasi Pro-basa, aplikasi sistem hidroponik dan pemanfaatana pupuk oranik cair untuk budidaya sayuran di pekarangan sempit serta adanya peningkatan pendapatan petani dalam usaha tanaman hortikultura pada lahan kering
KEWENANGAN BADAN PENGAWASAN KEUANGAN DAN PEMBANGUNAN MENENTUKAN UNSUR KERUGIAN NEGARA TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI Ariance Boboy; Saryono Yohanes; Aksi Sinurat
SIBATIK JOURNAL: Jurnal Ilmiah Bidang Sosial, Ekonomi, Budaya, Teknologi, dan Pendidikan Vol. 1 No. 1 (2021): December
Publisher : PENERBIT LAFADZ JAYA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54443/sibatik.v1i1.17

Abstract

Pengawasan Intern Pemerintah yang menjalankan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional, sedangkan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara merupakan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, pada kenyataannya Aparat Penegak Hukum sering menggunakan Hasil Audit BPKP sebagai barang bukti dalam persidangan kasus tindak pidana korupsi tanpa adanya koordinasi dengan BPK sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang kewenangannya diatur secara konstitusional dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD RI 1945. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan memiliki dua tujuan yaitu untuk menganalisis tentang implikasi yang ditimbulkan oleh kewenangan BPKP dalam pemeriksaan dan penetapan adanya kerugian keuangan dalam tindak pidana korupsi, dan untuk mengkaji dan menganalisis tentang pentingnya penegasan peraturan tentang tugas dan fungsi BPKP dan BPK ditinjau dari asas kepastian hukum. Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Secara yuridis BPKP tidak memiliki kewenangan dalam menilai dan menetapkan kerugian keuangan negara karena hanya terbatas pada bidang pengawasan, dengan adanya penetapan kerugian negara oleh BPKP maka dapat berimplikasi pada adanya ketidakpastian hukum, (2) Hasil audit kerugian keuangan negara oleh BPKP yang dipakai oleh Aparat Penegak Hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi dapat mengakibatkan terjadinya dualisme kewenangan karena tidak sejalan dengan konstitusi. Oleh karena itu, perlu dibuat suatu ketentuan secara tegas untuk membedakan tugas dan fungsi antara lembaga BPKP dan BPK agar Aparat Penegak Hukum (APH), dapat memperhatikan hierarki peraturan yang ada, dalam hal ini lembaga mana yang berwenang menentukan kerugian keuangan negara.
THE MODEL OF CORRUPTION COURT IN THE ARCHIPELAGO PROVINCE WITH LOW COSTS, QUICK, AND SIMPLE PROCESS OF IMPLEMENTATION Sulistyanta Sulistyanta; Aksi Sinurat; Jauhari Effendi; Fatma Ayu Jati Putri
Yustisia Vol 6, No 1: April 2017
Publisher : Faculty of Law, Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/yustisia.v6i1.11594

Abstract

The enactment of Law Number 46 of 2009 about Corruption Court, is authorized to examine and decide the crime of corruption cases proposedby KPK or Prosecutor (State and High). Based on Article 35 paragraph (1) jo paragraph (4) of Law Number 46 of 2009, confirmed that corruption courts (TIPIKOR courts) are only located in each provincial capital whose jurisdiction covers the province concerned. By this provision, the Prosecutor Office in each district/city must transfer the corruption cases to the Corruption Court in the provincial capital. There are the problems as the following: first one, Is the process of criminal justice in the archipelago province like East Nusa Tenggara (NTT) able to fulfill the judicial principle of quick, low cost and simple?; second one, Is this condition not an obstacle in the process of criminal law enforcement in NTT?; The result of this research is that the Corruption Court in Kupang, conducted by several Prosecutor Offices, the samples do not meet the judicial principles of quick, low costs and simple. The obstacles besides spending much expenses, there are other factors such as weather, intentionally neglect the obligation as the experts, witnesses due to long time and high expenses.  Law enforcement becomes less maximal due to the existing budget, and it can only be done by a minimal law enforcement process with a fairly expensive cost.
Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim tentang Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi pada Tingkat Pengadilan yang berbeda Maria Fatima More; Jimmy Pello; Aksi Sinurat
Jurnal sosial dan sains Vol. 3 No. 5 (2023): Jurnal Sosial dan Sains
Publisher : Green Publisher Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59188/jurnalsosains.v3i5.755

Abstract

Latar Belakang : Di permasalahan hukum dalam penelitian ini ditunjukkan dari aspek teoretis, yuridis dan konkret. Secara teoretis dan yuridis elemen unsur materi muatan Pasal 2, Pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 KUHPidana tidak dimengerti secara sempurna oleh hakim sebagai penegak hukum sehingga pada interpertasi dan penerapanya sebagai pasal berlapis berbeda pada tingkat pengadilan negeri dan mahkamah agung. Selanjutnya permasalahan konkrit dalam konteks kasus penelitian ini yakni hakim dalam pertimbangan hukumnya melahirkan putusan yang membebaskan Jonas Salean, S.H., M.Si selaku Walikota Kupang dan menghukum Thomas More, S.H selaku Kepala Kantor Pertanahan Kota Kupang meskipun sesungguhnya ada kerjasama yang utuh dalam konteks kerja sama penyertaan antara keduanya dalam kaitannya dengan pengalihan kepemilikan tanah depan Hotel Sasando. Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis: 1) alasan terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor:2451 K/Pid.Sus/2021., 2)penyertaan Pasal 55 KUHPidana sebagai pasal berlapis dalam pertimbangan hukum majelis hakim terhadap terdakwa. Metode : Metode penelitian ini terdiri dari jenis dan sifat penelitian, aspek penelitian, pendekatan penelitian, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, teknik pengolahan bahan hukum dan teknik analisis bahan hukum. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif (legal research) yang mengkaji permasalahan tindak pidana korupsi melalui Putusan Nomor:40/Pid.sus TPK/2020/PN.KPG dijatuhkan putusan yang berbeda oleh majelis hakim pada tingkat pengadilan yang berbeda. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdakwa dibebaskan di tingkat Pengadilan Negeri Kupang melalui putusan Nomor: 40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun divonis di tingkat Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2451 K/Pid .Sus/2021, karena: perbedaan penafsiran majelis hakim mengenai unsur delik dalam UU Tipikor. Tafsir majelis hakim pada tingkat PN Kupang memandang bahwa unsur delik Pasal 2 dan 3 saling berkaitan dan tidak berdiri sendiri, sedangkan tafsir Majelis Hakim pada tingkat MA memandang bahwa unsur delik pasal 2 dan 3 dapat berdiri sendiri. 2) Pasal 55 KUHP tidak sempurna dimasukkan sebagai konstruksi Pasal berganda terhadap terdakwa dalam pertimbangan hukum majelis hakim baik di tingkat Pengadilan Negeri maupun di tingkat Mahkamah Agung. Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini adalah Terdakwa diputus bebas pada tingkat Pengadilan Negeri Kupang Nomor:40/Pid.Sus.TPK/2020/PN.Kpg, namun dijatuhi pidana pada tingkat pengadilan MA melalui Putusan MA RI Nomor: 2451 K/Pid.Sus/2021, karena: perbedaan penafsiran majelis hakim tentang unsur delik di dalam UU Tipikor. Penafsiran majelis hakim di tingkat Pengadilan Negeri Kupang memandang unsur delik Pasal 2 dan 3 saling berkaitan tidak berdiri sendiri, sedangkan interpertasi Majelis Hakim di tingkat MA memandang unsur delik Pasal 2 dan 3 dapat berdiri sendiri.
Sosialisasi Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Di Desa Oematnunu Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang Aksi Sinurat; Saryono Yohanes; Dhesy Arisandielis Kase; Markus Yohanis Hage; Detji K. E. R Nuban; Hironimus Buyanaya
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 3 No. 06 (2023): COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v3i06.1003

Abstract

Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Desa Oematnunu, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, merupakan upaya penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis bagi semua anggota masyarakat. Beberapa langkah penting yang telah diambil atau bisa diambil dalam konteks ini adalah: 1. Kesadaran dan Pendidikan Masyarakat: Upaya awal dalam penghapusan KDRT adalah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghindari dan melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga. Kampanye edukasi dan pelatihan dapat membantu mengubah norma sosial yang mendukung kekerasan. 2. Pembentukan Layanan Dukungan: Masyarakat dapat membentuk pusat atau lembaga yang menyediakan dukungan psikologis, hukum, dan medis kepada korban KDRT. Ini mencakup konseling, perlindungan fisik, serta bantuan hukum. 3. Kerja Sama dengan Pihak Berwenang: Penting untuk bekerja sama dengan pihak berwenang, seperti polisi dan sistem peradilan, untuk memastikan bahwa pelaku KDRT ditindak secara hukum dan korban mendapatkan perlindungan yang diperlukan. 4. Undang-Undang dan Kebijakan: Mendukung penerapan undang-undang yang melindungi korban KDRT dan menghukum pelaku. Desa Oematnunu dapat mempromosikan dan mendukung perubahan kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan perlindungan korban. 5. Peran Aktif Perempuan: Memotivasi perempuan untuk menjadi agen perubahan dalam komunitas mereka, serta memberdayakan mereka dengan keterampilan dan sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi KDRT. 6. Sosialisasi Positif: Memajukan sosialisasi positif dan mendukung hubungan sehat dalam rumah tangga melalui program-program komunitas, pelatihan keterampilan komunikasi, dan pemahaman tentang konflik. 7. Monitoring dan Pelaporan: Masyarakat Desa Oematnunu dapat membentuk mekanisme pemantauan dan pelaporan KDRT yang efektif untuk memastikan kasus-kasusnya teridentifikasi dan ditangani dengan cepat. 8. Pendanaan dan Sumber Daya: Mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk mendukung semua inisiatif penghapusan KDRT, termasuk pelatihan, penyuluhan, dan layanan dukungan. Dengan mengambil langkah-langkah ini, Desa Oematnunu diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman, sehat, dan mendukung bagi seluruh anggota masyarakatnya, serta mengurangi kasus KDRT secara signifikan.
Penegakan Hukum Pelaku Tindak Pidana Penganiayaan Berat Karena Halusinasi di Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai Marselinus Mardi Anto; Aksi Sinurat; Rudepel Petrus Leo
Deposisi: Jurnal Publikasi Ilmu Hukum Vol. 2 No. 2 (2024): Juni : Jurnal Publikasi Ilmu Hukum
Publisher : Lembaga Pengembangan Kinerja Dosen

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59581/deposisi.v2i2.2975

Abstract

The purpose of this study is to analyze the law enforcement of perpetrators of serious maltreatment due to hallucinations in Satarmese Barat Subdistrict, Manggarai Regency. This research is an empirical juridical research that examines a legal event that occurs through a statute cause approach. Data were collected in two ways, namely interviews and document studies. The data obtained is then presented descriptively qualitatively. The results showed that law enforcement of perpetrators of serious maltreatment due to hallucinations in West Satarmese District, Manggarai Regency in relation to liability that the perpetrators were released from criminal liability by investigators which was not in accordance with Article 44 of the Criminal Code and termination of investigation which was not in accordance with the provisions of Article 109 of the Criminal Procedure Code. The obstacles to law enforcement are influenced by several factors, namely: facilities and infrastructure factors (limited facilities and infrastructure available at Satarmese Police Station), law enforcement factors (inconsistency of investigators with existing regulations), community factors (lack of understanding of community law), and cultural factors (Manggarai community culture is thick with kedi kilo (kinship) in solving problems.
Analisis Yuridis terhadap Tindak Pidana Penganiayaan yang Mengakibatkan Cacat Permanen di Kabupaten Sikka : (Studi Kasus Putusan Nomor: 26/Pid.B/2022/PN.Mme) Theresia Edelweis Putri Nurak; Aksi Sinurat; Orpa G. Manuain
Jurnal Hukum dan Sosial Politik Vol. 2 No. 2 (2024): Mei : Jurnal Hukum dan Sosial Politik
Publisher : Lembaga Pengembangan Kinerja Dosen

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59581/jhsp-widyakarya.v2i2.2867

Abstract

In Decision Number: 26/Pid.B/2022/PN.Mme regarding abuse which resulted in permanent disability, the panel of judges only imposed a criminal sentence on the defendant with a prison sentence of 9 months. The problem to be studied is the basis for the consideration of the Panel of Judges and the imposition of the crime. This research aims to find out the basis for the judge's considerations and the imposition of crimes against perpetrators of abuse. The benefits of this research are theoretical and practical benefits. The type of research that will be used in this writing is a normative legal study. The types of research approaches used include the statutory approach, case approach, conceptual approach and comparative approach. The data sources used in this research use two data sources, namely primary legal materials and secondary legal materials. Whether or not the judge's decision is in accordance with the criminal act charged by the Public Prosecutor, the judge must consider aspects, namely juridical, philosophical and sociological aspects. The sentence imposed on perpetrators of torture is a maximum prison sentence of 5 years, in accordance with the contents of Article 351 paragraph (2) of the Criminal Code. The judge did not take into account the juridical, sociological and philosophical aspects as a basis for consideration in making decisions regarding Decision Number: 26/Pid.B/2022 /PN.Mme. The actual criminal sentence against the defendant is a maximum imprisonment of 5 (five) years), as stated in Article 351 paragraph (1) of the Criminal Code which states "If the action results in serious injury, the guilty person is threatened with a maximum prison sentence of five years".