Articles
Perlindungan Hukum Terhadap Anak dari Bahaya Tembakau di Tinjau dari Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Trie Rahmi Gettari
DATIN LAW JURNAL Vol 3, No 1 (2022): Februari-Juli
Publisher : Universitas Muara Bungo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36355/dlj.v3i1.844
Hak asasi manusia seseorang dibatasi hak asasi orang lain, dalam hal ini hak publik untuk tidak ikut menghisap asap rokok. WHO mengatakan, batasan usia anak antara 0-19 tahun. Kesepakatan penting negara-negara yang berjanji melindungi hak-hak anakterdapat dalam ConventionontheRightoftheChild yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.Jika anak tidak merokok, maka industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus. Dampak dari penggunaan rokok akan dirasakan 15-20 tahun mendatang, yaitu saat anak menginjak usia produktif. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukumdikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atauhukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. Dunia internasional telah mengatur perlindungan hak anak dalam beberapa konvensi, terkhusus masalah rokok dituangkan dalam bentuk FrameworkConventiononTobaccoControl (FCTC) dan Monitor, Protect, Offer, Warn, Enforce, dan Raise (MPOWER)dimana konvensi ini bertujuan untuk melindungi generasi saat ini dan mendatang dari dampak buruk konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi. Salah satu masalah yang masih dihadapi oleh anak-anak di Indonesia salah satunya adalah perlindungan terhadap kesehatan anak. Pemerintah sebagai pengemban amanat pembangunan bangsa sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 berkewajiban menghapus kesenjangan tersebut.Kata kunci : FrameworkConventiononTobaccoControl, Perlindungan Anak, Rokok
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DI INDONESIA
Trie Rahmi Gettari;
Wira Okta Viana;
Meydianto Mene
Ensiklopedia of Journal Vol 5, No 2 (2023): Volume 5 No. 2 Edisi 1 Januari 2023
Publisher : Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (255.155 KB)
|
DOI: 10.33559/eoj.v5i2.1590
Freedom of expression is the right to seek, receive, disseminate information. Through the recognition of the rule of international law in the Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), which in Article 19 states that everyone has the right to freedom to have and express opinions, without interference and to seek, receive and express information and opinions in any way and in the absence of restrictions. Freedom of expression in Indonesia today should be questioned for its implementation considering that there are many problems that occur now, one of which is the silencing of freedom of expression, keep in mind that freedom can basically be limited in accordance with the provisions contained in the human rights law and other provisions. Changes to a constitution require the right time, namely when the articles in the constitution are felt to be no longer in accordance with the developments and needs that exist in society, and when the community has begun to feel that there is no guarantee of legal certainty. The existence of the concept of human rights, including the right to freedom of expression and opinion, is closely related to the concept of the state of law. The goal of democracy is the formation of a political life characterized by democracy.Keywords: Freedom of Expression, Democracy, Human Rights
PERLINDUNGAN PEKERJA DITINJAU DARI KONSEP HUBUNGAN KERJA PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
Khairani Khairani;
Trie Rahmi Gettari;
Sri Arnetti
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): UNES Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.372
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan pekerja dengan adanya beberapa perubahan konsep hubungan kerja sejak berlakunya UU Cipta Kerja. sebagaimana diketahui hubungan kerja merupakan patokan dasar dari perlindungan para pihak. Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara subjek hukum dalam perjanjian yang berkaitan dengan pekerjaan. Pada dasarnya hubungan kerja terjadi antara pemberi kerja dengan pekerja, yang berisi aturan tentang hak dan kewajiban dan syarat-syarat kerja sehingga jelas apa hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja. Berlakunya UU Cipta Kerja membawa perubahan terhadap jenis hubungan kerja, terjadi perluasan model hubungan kerja dan perubahan konsep perjanjian penyediaan jasa pekerja menjadi alih daya. Dengan perubahan tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimanakah perlindungan terhadap para pihak dalam hubungan kerja dan bagaimana prinsip hubungan industrial dapat diciptakan menurut UU Cipta Kerja. Penelitian ini bersifat yuridis ormatif dan deskriptif analisis. Data yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil kajian menunjukkan bahwa jenis hubungan kerja yang terdapat pada UU Cipta Kerja selain masih berlaku Perjanjian Kerja tetap dan Perjanjian kerja waktu tertentu, ada perjanjian kerja fleksibilitas yaitu perjanjian yang didasarkan pada selesainya pekerjaan/paruh waktu, perjanjian penyediaan jasa pekerja hanya mengubah istilah menjadi alih daya, sedangkan konsep hubungan kerjanya masih sama dengan Konsep hubungan kerja sebelumnya yakni menyimpang dari konsep hubungan kerja yang seharusnya karena terdapat 3 pihak dalam perjanjian tersebut yakni pemberi kerja, penyedia jasa dan pekerja. Dengan demikian konsep hubungan kerja yang terdapat pada UU Cipta Kerja didasarkan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja. Dapat dikatakan bahwa kontrol negara terhadap hubungan kerja dikurangi, hal itu menyebabkan makin sulit menciptakan hubungan industrial karena hubungan hukum para pihak lebih diarahkan kearah privat dan semakin mengurangi campur tangan pemerintah. Konsekuensinya menyebabkan perlindungan dan kepastian hukum sulit diperoleh oleh pekerja ditengah persaingan mendapatkan pekerjaan.
JASAD ANAK BUAH KAPAL DAN KONSEP KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
Trie Rahmi Gettari;
Yudha Prasetyanov;
Khairani Khairani
Ensiklopedia of Journal Vol 5, No 4 (2023): Vol. 5 No. 4 Edisi 3 Juli 2023
Publisher : Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33559/eoj.v5i3.1893
A fisherman is a seafarer because "seafarer means any person who is employed or engaged or works in any capacity on board a ship to which this Convention applies" defined in Indonesian is "seafarer means any person employed or involved or working in any capacity on board a ship where this law applies", so that fishermen can also be referred to as seafarers. The affidavit also notes that consent from both parents has been obtained, and the contract will not cause legal problems or involve the police in Indonesia. This statement letter is made voluntarily in good health without any coercion from any party, and is considered valid after being signed on a stamp in accordance with applicable law in Indonesia. But it is also not uncommon for an agreement to be included in the work contract of the crew because of limited space on the ship to accommodate the body. However, it is important to dig deeper and examine the position of the confinement clause in the ABK employment contract.Keywords: Crew, Corpse, Confinement.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak dari Bahaya Tembakau di Tinjau dari Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Trie Rahmi Gettari
DATIN LAW JURNAL Vol 3, No 1 (2022): Februari 2022
Publisher : Universitas Muara Bungo
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.36355/dlj.v3i1.844
Hak asasi manusia seseorang dibatasi hak asasi orang lain, dalam hal ini hak publik untuk tidak ikut menghisap asap rokok. WHO mengatakan, batasan usia anak antara 0-19 tahun. Kesepakatan penting negara-negara yang berjanji melindungi hak-hak anakterdapat dalam ConventionontheRightoftheChild yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.Jika anak tidak merokok, maka industri akan bangkrut sebagaimana sebuah masyarakat yang tidak melahirkan generasi penerus. Dampak dari penggunaan rokok akan dirasakan 15-20 tahun mendatang, yaitu saat anak menginjak usia produktif. Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukumdikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atauhukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas. Dunia internasional telah mengatur perlindungan hak anak dalam beberapa konvensi, terkhusus masalah rokok dituangkan dalam bentuk FrameworkConventiononTobaccoControl (FCTC) dan Monitor, Protect, Offer, Warn, Enforce, dan Raise (MPOWER)dimana konvensi ini bertujuan untuk melindungi generasi saat ini dan mendatang dari dampak buruk konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau terhadap kesehatan, sosial, lingkungan dan ekonomi. Salah satu masalah yang masih dihadapi oleh anak-anak di Indonesia salah satunya adalah perlindungan terhadap kesehatan anak. Pemerintah sebagai pengemban amanat pembangunan bangsa sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 berkewajiban menghapus kesenjangan tersebut.Kata kunci : FrameworkConventiononTobaccoControl, Perlindungan Anak, Rokok
PERLINDUNGAN PEKERJA DITINJAU DARI KONSEP HUBUNGAN KERJA PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA
Khairani Khairani;
Trie Rahmi Gettari;
Sri Arnetti
UNES Journal of Swara Justisia Vol 7 No 2 (2023): Unes Journal of Swara Justisia (Juli 2023)
Publisher : Program Magister Ilmu Hukum Universitas Ekasakti
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.31933/ujsj.v7i2.372
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan pekerja dengan adanya beberapa perubahan konsep hubungan kerja sejak berlakunya UU Cipta Kerja. sebagaimana diketahui hubungan kerja merupakan patokan dasar dari perlindungan para pihak. Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara subjek hukum dalam perjanjian yang berkaitan dengan pekerjaan. Pada dasarnya hubungan kerja terjadi antara pemberi kerja dengan pekerja, yang berisi aturan tentang hak dan kewajiban dan syarat-syarat kerja sehingga jelas apa hak dan kewajiban pemberi kerja dan pekerja. Berlakunya UU Cipta Kerja membawa perubahan terhadap jenis hubungan kerja, terjadi perluasan model hubungan kerja dan perubahan konsep perjanjian penyediaan jasa pekerja menjadi alih daya. Dengan perubahan tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimanakah perlindungan terhadap para pihak dalam hubungan kerja dan bagaimana prinsip hubungan industrial dapat diciptakan menurut UU Cipta Kerja. Penelitian ini bersifat yuridis ormatif dan deskriptif analisis. Data yang dipergunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil kajian menunjukkan bahwa jenis hubungan kerja yang terdapat pada UU Cipta Kerja selain masih berlaku Perjanjian Kerja tetap dan Perjanjian kerja waktu tertentu, ada perjanjian kerja fleksibilitas yaitu perjanjian yang didasarkan pada selesainya pekerjaan/paruh waktu, perjanjian penyediaan jasa pekerja hanya mengubah istilah menjadi alih daya, sedangkan konsep hubungan kerjanya masih sama dengan Konsep hubungan kerja sebelumnya yakni menyimpang dari konsep hubungan kerja yang seharusnya karena terdapat 3 pihak dalam perjanjian tersebut yakni pemberi kerja, penyedia jasa dan pekerja. Dengan demikian konsep hubungan kerja yang terdapat pada UU Cipta Kerja didasarkan pada mekanisme kesepakatan para pihak, seperti soal batas waktu PKWT dan hak istirahat panjang yang bisa disepakati dalam perjanjian kerja. Dapat dikatakan bahwa kontrol negara terhadap hubungan kerja dikurangi, hal itu menyebabkan makin sulit menciptakan hubungan industrial karena hubungan hukum para pihak lebih diarahkan kearah privat dan semakin mengurangi campur tangan pemerintah. Konsekuensinya menyebabkan perlindungan dan kepastian hukum sulit diperoleh oleh pekerja ditengah persaingan mendapatkan pekerjaan.
ASPEK HUKUM BISNIS WARALABA DI ERA GLOBALISASI
Letri, Dilla Ayuna;
Gettari, Trie Rahmi;
Yunimar, Yunimar
Ensiklopedia of Journal Vol 6, No 3 (2024): Vol. 6 No. 3 Edisi 3 April 2024
Publisher : Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33559/eoj.v6i3.2351
Salah satu kegiatan ekonomi khususnya di bidang perdagangan yang saat ini sedang mendapat perhatian khususdari pemerintah, bahkan sedang berkembang pesat adalah bisnis dengan sistem waralaba. Bisnis dengan sistem waralaba pada dasarnya adalah sebuah metode pendistribusian barang dan jasa kepada masyarakat konsumen. Bisnis waralabaadalah tren bisnis masa depan dengan risiko kegagalan yang kecil dimana pertumbuhannya sangat pesat dan memberi warna tersendiri dalam perekonomian Indonesia. Popularitas bisnis waralaba sebagai suatu cara pemasaran dan distribusibarang dan jasa memang semakin meningkat. Sebagai salah satu sistem pemasaran yang efektif, keberadaan waralaba dianggap mampu menjangkau pangsa pasar suatu jenis produk ke seluruh Indonesia. Besarnya peluang bisnis waralaba di Indonesia menjadikan waralaba baik asing maupun lokal bermunculan dan mengalami peningkatan yang sangat luarbiasa. Untuk seorang pemula dalam dunia bisnis, bentuk waralaba ini merupakan alternatif untuk memulai sebuah bisnis.
Legal Protection For Notaries By The Notary Honorary Council as A Witness in The Case Of Identity Forgery By The Parties Making The Deed
Khairani;
Putra Finalo, Argi;
Gettari, Trie Rahmi
Ekasakti Journal of Law and Justice Vol. 2 No. 2 (2024): December
Publisher : Master of Law Program, Ekasakti University
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.60034/e5zk0q74
Notary is a legal profession whose rights and obligations have been regulated in such a way in Law Number 30 of 2004 concerning the Notary Position (hereinafter referred to as UUJN). Where in Article 1 of the UUJN states "Notary is a public official who is authorized to make authentic deeds and other authorities as referred to in this Law". However, in terms of carrying out his professional duties, it is not uncommon for a notary to stumble into legal cases such as being a witness in an authentic deed dispute that he has made due to identity forgery by the parties who made the deed. Therefore, the existence of a Notary as a witness in a court hearing requires legal protection, especially from the Notary Honorary Assembly. Departing from this problem, this study has two problem formulations, First: What is the Role of the Notary Honorary Assembly towards Notaries as Witnesses in the Case of Identity Forgery by the Parties Making the Deed?, Second: What is the Legal Protection for Notaries as Witnesses in the Case of Identity Forgery by the Parties Making the Deed?. So to answer these problems, this study uses a juridical-normative research method. The results of this study state that the UUJN has given birth to one of the legal protection instruments for notaries, namely the Notary Honorary Assembly Institution, where one of the main tasks is to give approval or rejection of the request for approval to summon notaries to attend investigations, prosecutions and judicial processes. However, in practice this is still often ignored so that there are many notaries who are harmed by a criminal case.
PELANGGARAN HAM BERAT DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA DALAM PENEGAKAN HUKUM INTERNASIONAL
Gettari, Trie Rahmi;
Faisal, Muhammad
Ensiklopedia of Journal Vol 7, No 2 (2025): Vol. 7 No. 2 Edisi 2 Januari 2025
Publisher : Lembaga Penelitian dan Penerbitan Hasil Penelitian Ensiklopedia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.33559/eoj.v7i2.2870
Abstract: Gross human rights violations, such as genocide, crimes against humanity, and war crimes, constitute serious challenges in international law. States have an obligation to prevent, punish, and provide reparations to victims of gross human rights violations in accordance with international legal instruments such as the Geneva Conventions and the Rome Statute. However, challenges such as impunity for state officials, the limitations of the International Criminal Court (ICC) jurisdiction, and international political influence hinder the enforcement of justice. This study uses a qualitative descriptive method to analyze the state's efforts in fulfilling its responsibilities related to gross human rights violations. The results show that despite the continued development of international efforts, significant obstacles remain, including political protection of perpetrators and the limitations of the ICC's jurisdiction. Therefore, increased international cooperation is needed to ensure justice for victims and accountability for perpetrators of gross human rights violations.Keywords: Gross human rights violations, State responsibility, International Criminal Court.
Penegakan Hukum terhadap Anak sebagai Korban Tindak Pidana Pornografi Dalam Lingkup Keluarga
Suryani, Wami Irma;
Gettari, Trie Rahmi
El-Ahli : Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol 6 No 1 (2025): EL-AHLI : Jurnal Hukum Keluarga Islam
Publisher : Program Studi Hukum Keluarga Islam STAIN Mandailing Natal
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.56874/el-ahli.v6i1.2377
This article aims to examine the extent to which legal enforcement mechanisms protect children who are victims of pornographic crimes within the family context. It highlights the gaps in current legal responses to intra-familial pornography-related offenses involving minors and proposes a child-sensitive legal model to address these challenges. Such offenses become particularly complex when they occur within the family structure, as they involve intricate power dynamics, emotional bonds, and legal relationships. The article analyzes the enforcement of laws concerning children as victims of pornography-related crimes within familial settings. This study employs a normative juridical method with a statute and case study approach. The findings reveal that, despite the existence of a robust legal framework, the enforcement of laws against perpetrators who disseminate pornographic content still faces significant challenges—ranging from legal and technological constraints to cultural attitudes within society. Accordingly, enhanced synergy among law enforcement agencies, state institutions, and civil society is crucial in fostering a safe and healthy digital environment, especially for children who are vulnerable to such crimes.