cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. aceh besar,
Aceh
INDONESIA
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana
ISSN : -     EISSN : 25976893     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana merupakan jurnal berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, dengan durasi 4 (empat) kali dalam setahun, pada Bulan Februari, Mei, Agustus dan November. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana menjadi sarana publikasi artikel hasil temuan Penelitian orisinal atau artikel analisis. Bahasa yang digunakan jurnal adalah bahasa Inggris atau bahasa Indonesia. Ruang lingkup tulisan harus relevan dengan disiplin ilmu hukum Yang mencakup Bidang Hukum Pidana.
Arjuna Subject : -
Articles 434 Documents
Disparitas Putusan Pidana Tambahan Terhadap Perampasan Barang Bukti Milik Pihak Ketiga Dalam Tindak Pidana Kehutanan Cut Anggiya Fitri; Mohd. Din
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (573.691 KB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab terjadinya disparitas putusan pidana tambahan terhadap perampasan barang bukti milik pihak ketiga dalam tindak pidana kehutanan, serta untuk mengetahui pertimbangan hakim mengembalikan dan merampas barang bukti milik pihak ketiga dalam tindak pidana kehutanan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yang menggunakan data sekunder sebagai sumber utama, yaitu mengacu pada putusan pengadilan, buku-buku, dan peraturan perundang-undangan, serta dilengkapi dengan data primer yaitu wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa disparitas putusan pidana tambahan terhadap perampasan barang bukti milik pihak ketiga terjadi karena substansi Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak jelas atau tegas, adanya perbedaan penafsiran hakim terhadap bunyi Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, adanya kebebasan hakim berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan persepsi hakim tentang keadilan yang berbeda. Hakim mengembalikan barang bukti milik pihak ketiga karena pihak ketiga tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan tindak pidana, dan hakim merampas barang bukti milik pihak ketiga karena hakim memandang ketentuan Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bersifat imperatif (harus dilaksanakan). Disarankan agar pembuat kebijakan hendaknya mempertegas substansi Pasal 78 ayat (15) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran hakim terhadap bunyi pasal tersebut.
Kekuatan Alat Bukti Keterangan Saksi Anak Dalam Pembuktian Perkara Pidana Saiful Anwar; Rizanizarli Rizanizarli
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.21 KB)

Abstract

Berdasarkan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diatur bahwa anak yang belum berumur 18 tahun dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan secara signifikan mengenai batasan umur anak yang boleh disumpah untuk memberikan kesaksian yang sah. Namun dalam pelaksanaannya hakim menentukan batasan umur anak dapat disumpah atau tidak disumpah yang berdampak terhadap penilaian hakim dalam pembuktian suatu perkara pidana. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan kekuatan keterangan saksi anak sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana, dan menjelaskan karakteristik kasus yang melibatkan kesaksian anak dalam perkara pidana, menjelaskan perlindungan hukum terhadap anak yang memberikan kesaksian dalam perkara pidana. Metode penelitian artikel ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan. Data sekunder diperoleh dengan cara membaca dan menganalisis peraturan perundang-undangan, buku, serta artikel yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan responden dan informan. Hasil penelitian kekuatan keterangan saksi anak sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana dapat diterima sebagai alat bukti yang sah dilihat dari batasan umur untuk disumpah (diatas 15 tahun) atau tidak disumpah (dibawah 15 tahun), tidak dilakukan pembagian  karakteristik perkara baik itu pidana biasa maupun pidana khusus namun terdapat beberapa perbedaannya dalam memperoleh keterangan dari anak saksi atau sebagai saksi korban, perlindungan saksi anak yang menyebutkan jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun social belum terlaksana sepenuhnya. Disarankan kepada pemerintah untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang No.11 Tahun 2012 mengenai batasan umur saksi anak yang disumpah, kepada lembaga terkait untuk melakukan pendampingan  kepada saksi anak tanpa membuat pembatasan terhadap tindak pidana biasa dan khusus, Supaya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat meningkatkan  dalam proses kinerja  dalam upaya perlindungan saksi anak.
Tinjauan Yuridis Terhadap Pemberian Layanan Seks Dalam Tindak Pidana Gratifikasi Muji Dimarza Kesuma; Dahlan Ali
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (223.122 KB)

Abstract

Tindak Pidana Gratifikasi diatur dalam pasal 12 huruf (b) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seiring  dengan perkembangan nya zaman muncul tindak pidana gratifikasi dalam bentuk pemberian layanan seks yang disebut dengan istilah “gratifikasi seks”. Namun Tindak Pidana Pemberian Layanan Seks tersebut sepenuhnya belum diatur dalam Pasal 12 huruf (b) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Tujuan penulisan artikel ini untuk mengetahui dan menjelaskan Tindak Pidana Pemberian Layanan Seks tersebut masuk ke dalam tindak pidana korupsi serta untuk mengetahui dan menjelaskan urgensi Pengaturan Tindak Pidana Pemberian Layanan Seks termasuk kedalam Gratifikasi. Untuk memperoleh data dalam penulisan artikel ini dilakukan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder yaitu Bahan Hukum Primer, Norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar serta Bahan Hukum Sekunder,buku teks, artikel hukum, tesis, jurnal ilmiah, surat kabar. Hasil penelitian dari Tindak Pidana Pemberian layanan Seks bisa di kategorikan ke dalam tindak pidana korupsi karena di dalam Pasal 12 huruf (b) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dikaitkan dengan “fasilitas lainnya” karena pemberian jasa layanan seks oleh wanita kepada penerima layanan seks tersebut yang berhubungan dengan jabatan atau pejabat negara sebagai penerima Pemberian layanan seks. Pengaturan terhadap Pemberian layanan seks penting dimasukan kedalam gratifikasi mengingat latar belakang dan faktor berjalannya hukum. Pemberian layanan seks tersebut sudah menjadi modus baru dalam melobi upaya untuk mecapai tujuan yang berhubungan dengan jabatan pegawai negeri atau penyelanggara Negara. Disarankan kepada pemerintah perlu adanya revisi mengenai Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Pasal 12 huruf (b) mengenai gratifikasi agar Pemberian layanan seks tersebut diatur dengan jelas dan berkekuatan hukum tetap dan para aparat penegak hukum bersungguh-sungguh agar tercapai penegakan hukum yang maksimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak Pidana Pencurian Yang Disertai Dengan Kekerasan Hafiz Dwisyah Putra; Nurhafifah Nurhafifah
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 1: Februari 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (268.564 KB)

Abstract

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan faktor penyebab terjadinya tindak pidana pencurian dengan kekerasan, untuk menjelaskan upaya yang harus dilakukan dalam menanggulangi tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan serta hambatan yang di terdapat di dalam upaya penanggulangan pencurian dengan kekerasan. Data dalam artikel ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan guna memperoleh data sekunder yang bersifat teoritis. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer melalui wawancara dengan responden dan informan.Hasil penelitian diketahui bahwa faktor penyebab pelaku melakukan pencurian dengan kekerasan antara lain karena adanya faktor ekonomi , faktor kelalaian korban, Faktor pendidikan, faktor pengangguran, faktor lifestyle, dan faktor pergaulan. Upaya penanggulangan terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan ini yang dilakukan adalah melakukan himbauan dengan bersosialisasi kepada masyarakat, dan setelah terjadinya kejahatan upaya yang dilakukan adalah memberi respon yang cepat terhadap setiap laporan atau pengaduan dari masyarakat. Hambatan yang dihadapi adalah pelaku yang tertangkap tangan sering memberikan keterangan yang berbelit dan masih kurangnya kesadaran hukum oleh masyarakat.
Kajian Viktimologi Terhadap Korban Tindak Pidana Pencabulan Di Tempat Umum (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Polsek Syiah Kuala) Nellyta Afrila Sari; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (573.878 KB)

Abstract

Dalam Pasal 289 KUHP dikatakan, barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesususilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Hasil penelitian menjelaskan bahwa alasan para korban tidak melakukan pengaduan dalam proses pengaduan korban ke para penyidik, yaitu: kejadian tersebut merupakan aib, korban takut ceritanya tidak dipercayai oleh orang-orang termasuk aparat hukum, proses hukum yang setengah-setengah/berhenti ditengah jalan, korban merasa khawatir akan adanya ancaman dikemudian hari, korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban, korban menyepelekan/memandang sebelah mata terhadap aparat hukum. Penyidik hanya mendapatkan bukti dari keterangan warga setempat dan bukan korban yang merupakan saksi terjadinya peristiwa kasus tersebut, sehingga penyidik mengalami kesulitan dalam melakukan penyidikan. Dengan alasan ini maka korban tidak ada yang melapor ke pihak yang berwajib. Proses viktimisasi terhadap korban terjadi dengan dua modus, yaitu korban di ikuti oleh pelaku pengendara bermotor dan langsung melancarkan aksinya, dan pelaku sengaja memamerkan alat vital nya dihadapan korban untuk mencari kepuasan. Dampak dari viktimisasi terhadap korban yaitu seperti trauma fisik, stress, malu, minder atau kurangnya rasa percaya diri. Diharapkan adanya upaya penanggulangan yang dilakukan oleh aparat hukum, yaitu, Meningkatkan upaya sosialisasi kepada masyarakat dan penjelasan akan pentingnya melakukan pencegahan terhadap tindak pidana percabulan dan dampak hukum yang akan diberikan kepada pelaku tindak pidana percabulan (upaya preventif). Memberikan hukuman yang sesuai dan memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana pencabulan. Dan bagi para korban agar dapat melaporkan kejahatan yang dialaminya kepada yang berwajib agar dapat diproses sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia (upaya refresif).
Penanggulangan Tindak Pidana Desersi Yang Dilakukan Oleh Anggota Prajurit TNI AD Dedi Wijaya; Mohd. Din
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (254.594 KB)

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan faktor penyebab anggota prajurit TNI AD melakukan tindak pidana desersi. Menjelaskan upaya penanggulangan tindak pidana desersi TNI yang dilakukan oleh anggota prajurit TNI AD. Data dalam penulisan ini melalui penelitian kepustakaan berupa membaca referensi dari buku-buku, peraturan perundang-undangan, artikel pada surat kabar, Media Internet, sementara penelitian lapangan dilakukan dengan mewawancarai responden dan informan. Data tersebut kemudian di analisis dan disusun secara deskriptif untuk menjelaskan permasalahan penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, faktor penyebab terjadinya tindak pidana desersi yaitu faktor mental (psikologi), faktor keluarga, faktor tidak bisa mengelola keuangan dengan baik (faktor ekonomi), faktor pergaulan (lingkungan). Upaya penanggulangan terhadap pelaku tindak pidana desersi terdiri dari upaya preventif berupa pengawasan serta penyuluhan hukum tentang kewajiban dan larangan yang berlaku di lingkungan TNI AD yang sifatnya secara terus-menerus dan berkelanjutan. Upaya represif berupa penjatuhan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun sampai paling lama 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan serta penjatuhan pidana tambahan pemecatan apabila melakukan pengulangan tindak pidana desersi. Disarankan kepada setiap anggota prajurit TNI AD agar dapat memahami serta memapatuhi isi dari Sumpah Prajurit, Sapta Marga dan Delapan Wajib TNI sebagai pedoman sikap dan berprilaku seorang anggota prajurit TNI AD. Kepada setiap satuan TNI AD wajib mengadakan evaluasi faktor penyebab terjadinya tindak pidana desersi secara bertahap dan menyeluruh serta pengawasan internal sebagai salah satu fungsi komando TNI AD. Menindak secara tegas siapa pun anggota TNI AD yang terlibat perkara tindak pidana dengan ketetentuan hukum yang berlaku.
Kualifikasi Ahli Dalam Sistem Pembuktian Pidana Indonesia Fadhlurrahman Fadhlurrahman; Mohd. Din
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 1: Februari 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.826 KB)

Abstract

Keterangan ahli dalam sistem pembuktian pidana Indonesia merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Keterangan ahli dapat disampaikan mulai tahap penyidikan hingga persidangan. Pada tahap pemeriksaan perkara di pengadilan keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang dapat menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pidana. Akan tetapi dalam undang-undang tersebut tidak memberikan batasan yang jelas mengenai kualifikasi keahlian seorang ahli. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan mengenai ahli yang diminta memberikan keterangan dalam proses pembuktian pidana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimankah pengaturan mengenai ahli dalam sistem hukum di Indonesia, bagaimana kualifikasi seorang ahli dalam memberikan keterangannya pada penyelesaian perkara pidana, dan mengetahui kualifikasi ahli di negara-negara maju seperti Amerika dan Inggris. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif yang mencakup sistimatika hukum dan perbandingan hukum. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa tidak ada batasan yang jelas mengenai kualifikasi ahli, baik itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana maupun dalam undang-undang lain yang menjadikan ahli sebagai salah satu alat bukti yang sah yang dapat menyelesaikan perkara. Keterangannya digunakan oleh hakim sebagai pertimbangan untuk menjatuhkan hukuman atau vonis. Amerika Serikat dan Inggris menganggap ahli sebagai hal yang sangat peting sehingga kualifikasi ahli diatur secara khusus. Amerika Serikat mengatur keterangan dan kualifikasi ahli dalam Federal Rule Of Evidence, sedangkan Inggris mengatur ketentuan mengenai ahli dalam Criminal Procedure Rule. Disarankan kepada lembaga yang terkait (DPR, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman) untuk membuat suatu regulasi mengenai kualifikasi ahli yang dapat digunakan atau diterapkan di semua bidang keahlian yang memiliki kemungkinan untuk membantu proses peradilan pidana. Selain itu diharapkan kepada pihak yang berkepentingan dalam melakukan pemanggilan ahli hendaklah melakukan kerjasama dengan lembaga terakreditasi yang menaungi ahli seperti perguruan tinggi ataupun lembaga penelitian.
Tindak Pidana Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Narkotika Golongan I Bukan Tanaman Dan Penerapan Hukumnya (Suatu Penelitian di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kota Langsa) Fajarul Imam; Ainal Hadi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (358.629 KB)

Abstract

Ketentuan Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengatur setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122, Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, Pasal 127 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), dan Pasal 129 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. Namun pada kenyataannya di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kota Langsa masih ada yang melakukan tindak pidana dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika golongan I bukan tanaman dan penerapan hukumnya. Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjelaskan alasan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika golongan I bukan tanaman serta pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara yang bervariasi terhadap terdakwa yang melanggar Pasal 131 Undang-Undang Narkotika.Data diperoleh melaluipenelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari buku-buku dan undang-undang yang ada hubungannya dengan judul artikel ini. Sedangkan penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer, dengan cara mewawancarai responden dan informan. Diketahui dari hasil penelitianbahwa alasan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku karena hakim menilai bahwa perbuatan pelaku dianggaptidak mendukung program pemerintah dalam memberantas narkoba inilah yang dijadikan alasan kuat bagi hakim untuk menghukum pelaku.Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana penjara yang bervariasi terhadap terdakwa  dilihat dari fakta-fakta dipersidangan, pada kasus ini disparitas yang terjadi karena terpidana T.Nur Chalis terlibat dalam kasus ini yang dimana pelakunya hanya pemakai berbeda dengan Samsul Kamal dan Afni Nurita yang kasusnya melibatkan Pengedar sekaligus pemakai sehingga hakim memutuskan hukuman keduanya lebih berat dari T.Nur Chalis.Diharapkan kepada hakim untuk lebih bijaksana dalam menentukan hal-hal yang memberatkan bagi pelaku, karena pada kasus ini hakim hanya melihat satu faktor pemberat dalam menghukum pelaku. Diharapkan juga kepada seluruh instansi penegak hukum agar lebih maksimal dalam melakukan upaya penanggulangan terhadap tindak pidana ini dengan aktif melakukan sosialisasi dan penyuluhan hukum terkait adanya aturan dalam Undang-Undang Narkotika.
Tindak Pidana Penyalahgunaan Pengangkutan Dan Niaga Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi Jenis Minyak Tanah Di Simeulue Rini Anggriani M; Adi Hermansyah
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (251.393 KB)

Abstract

Tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan niaga bahan bakar minyak bersubsidi jenis minyak tanah, diatur dalam ketentuan  Pasal 55 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, perbuatan pengangkutan, pendistribusian, penampungan, penimbunan hingga penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM). Pasal 55 UU No.22 Tahun 2001 menyebutkan bahwa: “Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga Bahan Bakar Minyak yang disubsidikan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).” Namun pada kenyataannya masih ada masyarakat yang melakukan penyalahgunaan pengangkutan dan niaga bahan bakar minyak tanah bersubsidi. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan niaga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis minyak tanah, serta menjelaskan upaya yang dilakukan untuk mencegah dan menangulangi terjadinya penyalahgunaan pengangkutan dan niaga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jenis minyak tanah. Data dalam penulisan artikel ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder dilakukan dengan cara mempelajari peraturan perundang-undangan, literatur-literatur yang ada hubungannya dengan masalah dibahas. Penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data primer dilakukan dengan cara mewawancarai para responden dan informan. Hasil penelitian diketahui bahwa faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana penyalahgunaan pengangkutan dan niaga bahan bakar minyak (BBM) Bersubsidi jenis minyak tanah yaitu faktor ekonomi, faktor mudahnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM), dan faktor kurangnya pengawasan dari BPH Migas. Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi terjadinya tindak pidana penyalahgunaan dan niaga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis minyak tanah adalah upaya preventif dan represif. Saran dari artikel ini adalah, Diharapkan kepada pihak BPH migas dan pihak kepolisian untuk meningkatkan razia-razia ditempat yang rawan terjadi tindak pidana serta memasang spanduk ditempat rawan terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan distribusi BBM yang berisi tentang himbauan kepada masyarakat agar dapat berpartisipasi aktif dalam rangka upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan distribusi BBM.
Upaya Pemenuhan Hak Atas Pelayanan Kesehatan Dan Makanan Bagi Narapidana Di Cabang Rutan Blangkejeren Kabupaten Gayo Lues Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan Arman Arman; Adi Hermansyah
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Pidana Vol 2, No 3: Agustus 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (293.984 KB)

Abstract

Jurnal ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana penerapan hak atas pelayanan kesehatan dan makanan bagi narapidana dalam Cabang Rutan Blangkejeran, upaya apa yang dilakukan mengenai pemenuhan pelayanan kesehatan dan makanan, faktor-faktor yang menjadi penghambat terlaksananya hak-hak narapidana untuk mendapatkan pelayanan  kesehatan dan makanan yang layak. Data dalam penulisan artikel ini diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data yang bersifat teoritis dengan cara mempelajari buku-buku teks, pendapat para sarjana, makalah peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain, sedangkan penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer melalui wawancara dengan responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan hak atas pelayanan kesehatan dan makanan narapidana belum berjalan secara maksimal karena tidak adanya petugas medis seperti dokter/perawat dan fasilitas kesehatan obat-obatan yang tidak tersedia di poliklinik kurangnya ketersediaan air bersih maupun air minum. Mengenai upaya yang pernah dilakukan adalah pengajuan permohonan kepada atasan pemindahan Cabang Rutan Blangkejeren karena kapasitas rutan sudah melebihi untuk menampung narapidana akan tetapi sampai sekarang belum ada tanggapan dari atasan. Faktor yang menjadi penghambat terjadinya over kapasitas di Cabang Rutan Blangkejeren, hal ini dibuktikan dengan jumlah penghuni 165 per februari 2016 maka huniannya melampaui batas dari standar kapasita yang semestinya yaitu 62 orang dan dana yang terbatas juga menjadi kendala yang dihadapi pihak Cabang Ruan Blangkejeren, dalam pemenuhan hak-hak narapidana. Karena dengan anggaran dana yang belum cukup membuat proses program  pembinaan tidak berjalan dengan baik dan lancar. Saran menambahkan tenaga medis seperti dokter, perawat, mobil ambulan dan fasilitas obat-obatan lainnya di poliklinik, agar pelayanan kesehatan berjalan secara maksimal. Dan kepada pemerintah Daerah Kabupaten dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dapat memberikan masukan kepada Lembaga Legeslatif untuk menaikkan anggaran kesehatan dan makanan narapidana di Cabang Rutan Blangkejeran.

Page 6 of 44 | Total Record : 434