Articles
182 Documents
PROSEDUR PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA
Seftia Azrianti;
Tuti Herningtyas;
Agus Riyanto;
Indra Sakti
PETITA Vol 3, No 2 (2021): PETITA Vol. 3 No. 2 Desember 2021
Publisher : Universitas Riau Kepulauan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (209.876 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v3i2.3832
ABSTRAKPeradilan tata usaha Negara merupakan salah satu peradilan yang diakui keberadaannya di bawah naungan Mahkamah Agung selain daripada Peradilan Negeri, Peradilan Agama, Peradilan Milter. Eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia di akui dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Hukum ACara Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam artikel ini akan dibahas terkait mekanisme eksekusi terhadap putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh hakim. Prosedur eksekusi putusan peradilan tata usaha Negara merupakan suatu fenomena hukum ynag bersifat umum. Mekanisme eksekusi yang ditempuh masih mengambang, tidak terdapat penyelesaian akhir dalam pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, permasalahan berikutnya adalah terkait dengan uang paksa, terhadap uang paksa belum diketahui secara jelas berapa jumlah yang harus dibayarkan, dan dari manaasal pembiayaannya jika dibebankan kepada badan pemerintah Pejabaat Tata Usaha Negara
ANALISIS YURIDIS TERHADAP WANPRESTASI PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DI KOTA BATAM (Studi Kasus Nomor : 26/Pdt.G/2011/PN.BTM)
Pramithasari, Karina
PETITA Vol 3, No 2 (2016): Vol 3 No 2 Desember 2016
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v3i2.670
Berbagai sengketa sering terjadi didalam masyarakat baik antara individu ataupun kelompok masyarakat dengan perusahaan, bahkan antara masyarakat dengan pemerintah. Apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai, maka salah satu pihak yang merasa haknya diganggu pihak lain terpaksa membawa perkara atau mengajukan tuntutan haknya ke Pengadilan guna memperoleh penyelesaian sengketa secara hukum yang diputus oleh hakim yang berwenang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sesuai denganUndang-undang atau hukum yang berlaku. Penelitian bertujuan untuk mengethui bagaimanakah tinjauan yuridis terhadap wanprestasi perjanjian jual beli tanah menurut KUHPerdata? Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara pada kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM tentang wanprestasi dalam perjanjian jual beli tanah di Kota Batam berdasarkan kitab undang-undang hukum perdata.Tinjauan Yuridis Terhadap Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Tanah Yang Terjadi Di Kota Batam. Peraturan pelaksanaan pembuatan akte tanah di Kota Batam hanya mengatur tentang peralihan tanah dan jual beli dengan sertipikat sedangkan peralihan tanah yang belum bersertipikat tidak diatur di dalamnya. Jual beli tanah menggunakan dokumen-dokumen alokasi tanah (Belum bersertipikat) beserta surat persetujuan Otorita Batam (ijin peralihan hak) merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum dalam lingkup perdata. Dalam hukum perdata, transaksi jual beli merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan adanya hak dan kewajiban hukum yang meliputi untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).Pertimbangan Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Pada Kasus Nomor : 26 / Pdt.G / 2011 / PN.BTM Tentang Wanprestasi Dalam Perjanjian Jual Beli Tanah Di Kota Batam Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menimbang, bahwa petitum angka 4 dan angka 5 harus dikabulkan oleh karena telah menjadi fakta bahwa setelah menerima uang dari Penggugat tersebut, Tergugat I tidak memenuhi kewajibannya dan tidak juga mengembalikan uang yang diterimanya kepada Penggugat, hingga akhirnya ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan NELSON PAKPAHAN (Tergugat I) terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan uang milik Penggugat sebesar Rp.600.000.000,-, akan tetapi pembayaran bunga dihitung sejak tanggal Tergugat I melakukan wanprestasi yaitu sejak tanggal 31 Maret 2009.
PROSEDUR HUKUM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA ATAS TERJADINYA WANPRESTASI DALAM SEWA MENYEWA RUMAH MENURUT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 1994 TENTANG PENGHUNIAN RUMAH OLEH BUKAN PEMILIK
Seftia Azrianti
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (349.819 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4043
Perumahan atau permukiman seperti yang disebutkan diatas tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya, dan menampakkan jati dirinya. Rumah yang telah dibeli atau dibangun dapat dijual kembali atau disewakan kepada orang yang membutuhkan tentunya dengan harga yang diinginkan oleh si pemilik rumah. Hal ini dapat menambah pemasukan keuangan bagi pemilik rumah. Sehingga tidak heran jika banyak orang pada golongan ekonomi mapan dapat memiliki rumah lebih dari satu unit. Tujuannya bukan lagi untuk menunjukkan style atas kekayaan seseorang sehingga mengoleksi banyak rumah, melaikan sebagai lahan mendapatkan keuntungan berupa uang. Penelitian ini melihat Prosedur Hukum Upaya Penyelesaian Sengketa Atas Terjadinya Wanprestasi Dalam Sewa Menyewa Rumah Menurutperaturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1994 Tentang Penghunian Rumah Oleh Bukan Pemilik”. Upaya penyelesaian sengketa dalam perjanjian sewa menyewa rumah tersebut dapat dilakukan dengan cara kekeluargaan baik itu dengan teguran lisan atau dengan cara mensomasi pihak yang dianggap merugikan. Namun apabila cara kekeluargaan tidak juga dipenuhi, maka penyelesaian melalui jalur hukum baik itu secara perdata dapat dilakukan dengan memenuhi syarat dan isi gugatan/tuntutan. Penghunian rumah oleh bukan pemilik dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama adalah penghunian rumah dengan cara sewa menyewa, yang mana cara penghunian seperti itu didasarkan kepada suatu perjanjian tertulis atas kesepakaan bersama untuk mengikatkan diri antara pemilik rumah dan penyewa rumah yang menerangkan mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak, batas waktu perjanjian, serta larangan-larangan bagi masing-masing pihak. Dan yang kedua adalah penghunian rumah dengan cara bukan sewa menyewa, yang mana penghunian ini merupakan bentuk sukarela dari pemilik rumah memberikan rumah untuk dihuni tanpa dipungut biaya dengan batasan-batasan yang telah ditentukan dalam suatu perjanjian tertulis, baik itu mengenai hak dan kewajiban para pihak, serta batas waktu penghunian rumah. Namun, apabila tidak dituangkan dalam perjanjian tertulis, berakhirnya penghunian rumah tersebut sesuai dengan isi kesepakatan.
Kesejahtaraan Masyarakat vs Kerusakan Lingkungan Dalam Pengelolaan Pertambangan di Kabupaten Sumenep
Novita, Dian;
Zainuri, Zainuri
PETITA Vol 2, No 2 (2020): PETITA, 2 Desember 2020
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v2i2.2852
Kekayaan alam di bumi Indonesia khususnya di kabupaten Sumenep sangatlah melimpah ruah, hal tersebut bisa kita lihat dari banyaknya kekayaan alam yang tersimpan di bumi kabupaten Sumenep, adapun kekayaan alam yang banyak tersimpan di bumi Sumenep diantaranya adalah bahan bahan galian C yaitu berupa pasir, batuan, kerikil, tanah, dll. kegiatan pertambangan di bumi kabupaten Sumenep bisa dikatakan seperti buah simalakama, disatu sisi kegiatan pertambangan tersebut dapat menjadi salah satu mata pencaharian penduduk di sekitar lokasi pengelolaan pertambangan, namun di sisi lain kegiatan pertambangan tersebut dapat mengancam kerusakan lingkungan yang dapat membahayakan keselamatan jiwa pada masyarakat lingkar tambang. Dari fenomena buah simalakama dalam kegiatan pengelolaan pertambangan ternyata di tambah dengan respon pihak pemerintah daerah kabupaten Sumenep yang dirasa kurang maksimal terhadap proteksi pada kegiatan pertambangan yang ada di wilayah teritorial kabupaten Sumenep. Hal ini dapat dilihat dari sistem perijinan yang di kantongi oleh masyarakat pengelola pertambangan ternyata 99,9 persen mereka tidak memiliki ijin untuk beroperasi dalam pengelolaan pertambangan namun walaupun tanpa ijin resmi dari pihak pemerintah masyarakat tetap melakukan kegiatan pengelolaan pertambangan masyarakat pengelola pertambangan memaknai perijinan terhadap apa yang mereka lakukan cukup hanyalah ijin dari kepala desa setempat tampa harus melalui ijin dari pemerintah daerah dan respon dari pihak pemeirntah daerah kabupaten sumenep melihat kondisi tersebut terkesan membiarkan saja hal tersebut terjadi selama bertahun tahun bahkan pengelola pertambangan tersebut beralih kepada generasi berikutnya. Padahal pihak pemerintah daerah kabupaten Sumenep telah memiliki dasar hukum berupa peraturan daerah nomor 13 tahun 2003 tentang perijinan bahan galian C di kabupaten Sumenep. Dan jika pihak pemerintah kabupaten sumenep mau menjalankan secara serius apa yang di atur dalam peraturan daerah tersebut maka akan menambah PAD ( pendapatan Asli Daerah ). Pembiaran terhadap masalah perijinan kegiatan pertambangan itu berlangsung bertahun tahun sampai dengan saat ini.
IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TANAH TERLANTAR ATAS PENGALOKASIAN LAHAN OLEH BADAN PENGUSAHAAN KAWASAN PERDAGANGAN DAN PELABUHAN BEBAS BATAM
Handayani, Pristika
PETITA Vol 1, No 1 (2014): Vol. 1 No 1 Juni 2014
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i1.682
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak bijaksana, tidak ekonomis, dan tidak berkeadilan, juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus dijalankan para pemegang hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses sosial- ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah serta terusiknya rasa keadilan dan harmoni social.
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP UPAH MINIMUM SEKTORAL (UMS) KOTA BATAM
Rahmanidar Rahmanidar;
Ferizone Ferizone
PETITA Vol 1, No 2 (2019): PETITA Vol. 1 No. 2 Desember 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (204.097 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v1i2.4055
Kebijakan upah minimum hingga saat ini masih menjadi acuan pengupahan bagi pekerja/ buruh di Kota Batam. Upah Minimum Sektoral dapat terdiri atas Upah Minimum Sektoral Propinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/ Kota (UMSK). Penerapan upah minimum sektoral dikota Batam khususnya pada perusahaan- perusahaan shipyard dikawasan industri Tanjung Uncang, harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam penerapan upah minimum sektoral ini. Penerapan upah minimum sektoral di Kota Batam dibawah pengawasan Dinas Tenaga Kerja Kota Batam. Untuk mendapatkan penghasilan hidup yang layak sehinga memenuhi kebutuhan hidup pekerja/ buruh maupun bagi keluarganya, hal yang paling penting dari penerapan upah minimum adalah terjaganya keseimbangan antara pengusaha dan pekerja/ buruh.
EFEKTIFITAS ATAS GUGATAN SEDERHANA BAGI PERKARA PEERDATA DITINJAU DARI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 4 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MAHKAAMAH AGUNG NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN GUGATAN SEDERHAANA
Hasibuan, Syamsir
PETITA Vol 2, No 2 (2020): PETITA, 2 Desember 2020
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v2i2.2879
Dalam hal gugatan sederhana ini PERMA No. 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Seederhana yang meeenetapkan jangka yang waktuu penyelesaian maksiimal adalah 25 (duaa puluuh lima) hari yang telah diputuskan dengan hakim tunggal dan nilai yang objek gugatannyaa dibawah Rp.200.000.000,- (duaa ratuus juutaa), seeperti yang gugaatan perdata biasaa, dasar gugatan sederhana ini menetapkan yang pada kriteria perkara terhjadi ciidera janji (wanprestasii) dan atau ada perbuaatan yang melawan huukum (PMH). Apabila kenaikan nilai gugatan sederhana maksimal Rp500.000.000,- (limaaa ratuus juuuta rupiah) dengan mempertimbangkan perkkara yang ada di luar Jakarta.
PERANAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT SEBAGAI SOSIAL KONTROL PEMBANGUNAN INDUSTRI YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN HIDUP DI TINJAU DARI HUKUM KONSTITUSI INDONESIA
Rabu Rabu
PETITA Vol 2, No 1 (2020): PETITA Vol. 2 No. 1 Juni 2020
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (262.94 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v2i1.4017
Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup sebagai sosial kontrol pembangunan baik pemerintah maupun yang bergerak di bidang industri yang dilakukan oleh pihak swasta dengan prinsip pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup yang telah di atur dalam Undang-undang Lingkungan Hidup Nomor 32 tahun 2009, sebagai payung hukum, masalah pengelolaan lingkungan yang di anggap sebagai salah satu penyebab rusaknya lingkungan hidup, dengan adanya pembangunan yang dilakukukan tanpa memperhatikan faktor keseimbangan lingkungan yang pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa pencemaran, kerusakan, ekosistem bagi masyarakat. Akibat dari pencemaran dan kerusakan lingkungan itu dapat dilakukan gugatan Class Action dan Legal Standing, serta juga dapat dilakukan kepada pemerintah maupun badan hukum yang melakukan rusaknya lingkungan hidup berupa sanksi yang dapat diberikan, aspek secara administrasi, secara perdata, dan secara pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara indonesia.
JAMINAN FIDUSIA DALAM PENYELESAIAN KREDIT MACET DI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN PT. BFI FINANCE INDONESIA, TBK. CABANG KOTA BATAM
sirait, richa;
HANDAYANI, PRISTIKA
PETITA Vol 1, No 1 (2019): PETITA Vol.1 No.1 Juli 2019
Publisher : PETITA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (26.402 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v6i1.1887
Pengertian Jaminan Fidusia Lembaga jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang secara yuridis formal diakui sejak berlakunya Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Sebelum Undang-undang ini dibentuk, lembaga ini disebut dengan bermacammacam nama. Zaman Romawi menyebutnya ”Fiducia cum creditore” Asser Van Oven menyebutnya “zekerheids-eigendom” (hak milik sebagai jaminan), menyebutnya “bezitloos zekerheidsrecht” (hak jaminan tanpa penguasaan), Kahrel memberi nama “Verruimd Pandbegrip” (pengertian gadai yang diperluas), A. Veenhooven dalam menyebutnya “eigendoms overdracht tot zekergeid” (penyerahan hak milik sebagai jaminan) sebagai singkatan dapat dipergunakan istilah “fidusia” saja. Fidusia dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Dalam terminologi Belandanya sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa Fiduciare Eigendoms Overdracht (FEO), sedangkan dalam bahasa Inggrisnya secara lengkap sering disebut istilah Fiduciary Transfer of Ownership. Sedangkan pengertian fidusia berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik.Implementasi Kegiatan pembiayaan konsumen merupakan pengadaan barang konsumsi yang dibutuhkan oleh konsumen dengan cara pembayaran secara angsuran. Jadi apabila seseorang tidak mempunyai dana yang cukup untuk memberi kendaraan bermotor secara tunai maka ia dapat mengajukan permohonan kredit kepada perusahaan pembiayaan pembiayaan.
REFORMASI DI BIDANG BIROKRASI UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DALAM HUKUM KEBIJAKAN PUBLIK
Rabu Rabu;
Emy Hajar Abra
PETITA Vol 3, No 2 (2021): PETITA Vol. 3 No. 2 Desember 2021
Publisher : Universitas Riau Kepulauan
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (128.735 KB)
|
DOI: 10.33373/pta.v3i2.3827
Negara merupakan organisasi tertinggi dalam kehidupan masyarakat dalam suatu wilayah. Sebagai sebuah organisasi, negara, memiliki tujuan yang dimuat dalam konstitusi negara. Guna merealisasikan apa yang menjadi tujuan negara maka perlu dibentuk sebuah susunan pemerintahan. Dalam konteks kekinian negara tidak hanya sekedar bertindak sebagai penjaga malam yakni hanya sekedar menjaga ketertiban dan melaksanakan hukum tetapi lebih dari itu negara memiliki tugas untuk mensejahterakan rakyatnya. Reformasi birokrasi telah dikenal luas di Indonesia baik dalam tataran konsep maupun praktis. Istilah reformasi birokrasi dikenal dengan sebutan reformasi administrasi negara yaitu sebuah terminologi yang mencakup domain politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya hingga pertahanan dan keamanan; legislatif, eksekutif, dan yudikatif.