cover
Contact Name
Achmad Fageh
Contact Email
Ach.fageh@uinsby.ac.id
Phone
+6281553520091
Journal Mail Official
sosioyustisia@uinsa.ac.id
Editorial Address
Twin Towers B 4th Floor Postgraduate – State Islamic University (UIN) of Sunan Ampel Surabaya Jl. Ahmad Yani 117 Surabaya
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
SOSIO YUSTISIA Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial
ISSN : 27764540     EISSN : 27763323     DOI : https://doi.org/10.15642/sosyus.v2i2
Core Subject : Social,
This journal is a forum for academics, observers of law, judges, practitioners, politicians and parliamentary members to embody the results of their researches in the form of scientific articles
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 44 Documents
Kewenangan Gubernur Menetapkan Upah Pasca Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja: Studi Kasus Penetapan UMP dan UMK Tahun 2021 di Jawa Timur Himawan Estu Bagijo
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 1 (2021): May
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (483.876 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i1.63

Abstract

Upah merupakan bentuk penghargaan yang diberikan oleh pemberi kerja terhadap pekerja. Ketentuan tentang pengupahan diatur dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Menteri hingga Peraturan Daerah dan dituangkan dalam bentuk Surat Keputusan. Isu pengupahan di Tahun 2020 menjadi sangat menarik disebabkan karena kondisi pandemic covid-19 dan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Gubernur berwenang untuk menetapakan Upah Minimum Provinsi, Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimi Sektoral. Terhadap UMP Jawa Timur dan UMK Kabupeten/Kota di Jawa Timur, telah ditetapkan oleh Gubernur dengan tidak berpedoman pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan yang pada dasarnya menetapkan besaran yang sama untuk tahun 2021 seperti besaran tahun 2020. Gubernur Jawa Timur menaikkan UMP Jawa Timur dan juga menaikkan UMK Kabupaten/Kota. Dasar pemikirannya adalah penggunaan kewenangan diskresi Gubernur untuk melihat pertumbuhan Jawa Timur dalam sekala year on year dan optimisme atas potensi daerah di tahun 2021. Oleh sebab itu, kondisi pengupahan di Jawa Timur tahun 2021 sangat beragaman untuk UMKnya, dan kenaikan UMP Jawa Timur pun menjadi pertanda adanya harapan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan warga Jawa Timur akan meningkat di tahun 2021.
Relasi Islam-Negara Dalam Pembentukan Hukum di Indonesia Fariz Ulul; Lu'lu'il Maknun; Ulya Ardhia Cahyani Ahmad; Ana Nuriyatul Ilmiah
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 1 (2021): May
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (204.707 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i1.64

Abstract

Pancasila telah dinyatakan kedudukannya oleh para pendiri negara Republik Indonesia sebagai cita hukum (rehtsidee) yang merupakan konstruksi berpikir dan untuk mengarahkan hukum kepada tujuan yang hendak dicapai oleh masyarakat. Cita hukum berfungsi sebagai pemandu tercapainya tujuan masyarakat. Cita hukum juga berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif -baik das sollen maupun das sein. Sejarah menunjukkan bahwa perjuangan menegakkan hukum agama (Islam) di wilayah negara Indonesia sering mengalami masa-masa ketegangan dan tarik ulur kekuatan yang cukup melelahkan. Ketegangan tercipta akibat relasi warga dengan negara; maupun warga dengan negara lain yang berbasis pada pemaknaan agama dalam bernegara. Bentuk relasi agama (Islam) dengan negara dapat dilacak dalam jejak produk peraturan perundangan yang ada maupun dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia. Pada wilayah inilah politik hukum suatu negara memiliki peran penting dalam menentukan pelaksanaan dan warna hukum yang berkembang dalam wilayah negara tersebut. Artikel ini bertujuan untuk meneliti bagaimana hubungan agama dan negara di Indonesia dalam pembentukan hukum sehingga dapat menemukan kesepakatan yang harmonis dan sistemik.
Urgensi Peralihan Dana Desa Untuk Penanggulangan Bencana Covid-19 Selvy Melda Hartanti; Anis Farida; Faizur Rahman; Ulil Manaqib
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 1 (2021): May
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (286.262 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i1.65

Abstract

Penanganan Covid19 melahirkan berbagai kebijakan pemerintah yang bersifat darurat. Artinya, program-program yang telah digariskan dikesampingkan demi keselamatan warga masyarakat. Artikel ini didasarkan pada hasil penelitian yuridis empiris yang mengkaji Kebijakan Peralihan Anggaran Dana Desa dalam Masa Pandemi Covid-19 berdasarkan Permendes No 6 Tahun 2020 di desa Tanjunggunung Kecamatan Peterongan Kab. Jombang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, Kebijakan Peralihan Anggaran Dana Desa pada masa pandemi Covid-19 merupakan hal penting yang harus dilakukan. Data di lapangan menunjukkan selain bahaya pandemic covid-19, masyarakat setempat juga menghadapi ancaman bencana banjir. Anggaran Dana Desa yang semula ditujukan untuk penanganan infrastruktur dialihkan untuk menangani pemeliharaan kesehatan dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemic covid19. Kebijakan Peralihan Anggaran pada masa pandemi Covid-19 menjadi kewajiban sebagaimana diinstruksikan oleh pemerintah pusat dan daerah. Dalam upaya memenuhi instruksi pemerintah daerah, pemerintah desa berupaya menyeimbangkan nilai kemanfaatan realisasi anggaran, khususnya dalam memberikan perlindungan kesehatan warga masyarakat. Prinsip pemerintah desa Tanjunggunung adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dengan tujuan kemaslahatan umat yang berada dalam kondisi darurat kesehatan dan dapat berimbas kepada masalah ekonomi maupun sosial. Untuk itu hak-hak masyarakat diberikan, dalam bentuk pemberian bantuan tunai.
Sistem Pemerintahan di Negara-Negara Rumpun Melayu Nafi Mubarok
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 1 (2021): May
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (321.592 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i1.66

Abstract

Sistem pemerintahan menjadi salah satu faktor penentu keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan tentunya tidak ketinggalan dengan negara-negara rumpun Melayu, diantaranya adalah Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tulisan ini ingin mengetahui bagaimana perkembangan Negara-negara tersebut dari system kenegaraannya, dengan lebih difokuskan pada system pemerintahan yang dianut dari, berupa kedudukan eksekutif dan kedudukan legislative berikut hubungan antara eksekutif dan legislative, dari empat negara tersebut. Diakhir tulisan dapat disimpulkan empat hal, bahwa: pertama: Brunei Darussalam merupakan negara dengan system monarki absolut, dengan Sultan sebagai Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Pemimpin Keagamaan sekaligus menteri pertahanan dan menteri keuangan. Kedua, Indonesia merupakan negara republic kesatuan, dengan Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Ketiga, Malaysia merupakan negara monarki konstitusional, dimana Kepala Negara adalah Yang di-Pertuan Agong, dan kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri. Keempat, Singapura merupakan negara republik parlementer dengan sistem unikameral Westminster, dimana Kepala Negara adalah seorang Presiden dan kepala pemerintahan adalah Perdana Menteri.
Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Non Self Executing Siti Partiah; Anis Farida
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 1 (2021): May
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (202.348 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i1.67

Abstract

Kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili pada tingkat pertama dan terakhir dalam hal menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar diatur dalam pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and mengikat artinya semua pihak harus mentaati dan melaksanakannya. Berkaitan dengan wewenang tersebut Mahkamah Konstitusi mengeluarkan dua jenis putusan yaitu putusan yang bersifat self executing dan non self executing. Tulisan ini hendak menjawab permasalahan tentang implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat non self executing. Mahkamah Konstitusi dapat melakukan judicial order berlandaskan Pasal 10 dan 23 UU No. 15 Tahun 2019 perubahan atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undnagan. Dalam pelaksanaan putusan yang bersifat self executing tercantum pada pasal 10 ayat (1) huruf d tentang pedoman beracara dalam perkara pengujian UU dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 6 Tahun 2005, sedangkan secara tersirat pelaksanaan putusan yang bersifat non self executing tercantum pada Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2019 tentang Produk hukum Mahkamah Konstitusi dan pada BAB III Pasal 27 hingga pasal 31 Peraturan DPR No. 13 tahun 2016 tentang tata cara penyusunan program legislasi nasional. Beberapa aturan tersebut sangat berkaitan erat karena menjelaskan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis yang bersifat non self executing. Setelah putusan, kewenangan tersebut dilimpahkan kepada lembaga legislatif dan Presiden, implementasinya harus sesuai dengan asas-asas pembuatan, pembentukan, dan penetapan produk hukum yang baik dan melalui program legislasi nasional agar tidak adanya kekosongan hukum dan menghambat jalannya politik serta pemerintahan.
Implementasi Nilai Demokrasi Pancasila Dalam Model Kepemimpinan di Indonesia Fahrur Rosi; Priyo Handoko; Elva Imeldatur Rohmah
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 1 (2021): May
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (237.668 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i1.68

Abstract

Negara Indonesia berdasarkan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Agama tidak sebatas sebagai hak pribadi warga negara namun juga tercermin dalam praktek ketatanegaraan. Begitu pula dalam sila ke empat yang merupakan dasar dari sistem pemerintahan Indonesia yang demokratis pada dasarnya tidak bisa lepas dari nilai-nilai keTuhanan Yang Esa. Penelitian ini pada dasarnya membahas tentang nilai-nilai demokrasi pancasila serta implikasi dari nilai demokrasi pancasila dalam model kepemimpinan di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan atau pendekatan konsep. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa demokrasi pancasila merupakan demokrasi yang berdasarkan pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam demokrasi pancasila tidak hanya terdapat pelaksanaan sistem pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat akan tetapi masih ada integrasi dengan kedaulatan Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut merujuk pada penyebutan frasa hikmat dalam rumusan pancasila yang menurut sebagian besar para ahli merupakan sebuah pemahaman akan keesaan Tuhan. Kepemimpinan dengan konsep Berketuhanan Yang Maha Esa merupakan implikasi logis dari sistem pemerintahan demokratis yang disinergikan dengan nilai-nilai ajaran agama.
Fenomena Pengisian Jabatan Pegawai Negeri Sipil Oleh TNI/POLRI Moh Bagus; Afif Hidayatul Mahmudah; Amim Thobary; Faizah Maulidah
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 1 (2021): May
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (161.007 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i1.69

Abstract

Konstitusi mengamanatkan bahwa setiap warga negara wajib ikut serta menjaga dan mempertahankan keamanan dan pertahanan negara baik warga biasa maupun anggota Tentara Nasional Indonesia /Polri. Tulisan ini bertujuan untuk mentelaah terkait alih status atau pengisian jabatan sipil oleh TNI/Polri. Pengisian jabatan sipil oleh Tentara Nasional Indonesia /Polri telah mengurangi kesempatan bagi para ASN untuk turut serta dalam promosi jenjang karir. Peluang yang diberikan kepada anggota Tentara Nasional Indonesia /Polri untuk mengisi jabatan tinggi dalam lingkup sipil tentunya menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pro – kontra tersebut menguat seiring dengan peningkatan jumlah Tentara Nasional Indonesia /Polri yang mendaftar dalam berbagai jabatan sipil pada struktur pemerintahan. Tulisan ini didasarkan pada penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Penulis menganalisis legalitas pengisian jabatan sipil yang tertuang dalam UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, serta PP No. 17 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Selain itu juga mengkaji hakikat dibentuknya Tentara Nasional Indonesia /Polri sebagaimana tercantum dalam naskah komprehensif amandemen UUD NRI 1945. Hasil penelitian menyatakan bahwa: pertama, sebelum diterbitkanya PP No. 11 Tahun 2017 pengisian jabatan sipil oleh Tentara Negara Indonesia /Polri ditegaskan dalam pasal 20 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014. Kedua, setelah diterbitkanya PP No. 11 Tahun 2017 pengisian jabatan sipil oleh Tentara Nasional Indonesia /Polri tidak serta merta dihilangkan, namun hanya dipersulit melalui ketentuan pasal 155 dan 159.
Kepemimpinan Perempuan Yogyakarta Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-XIV/2016 dan Kepemimpinan Dalam Islam Dwi Sakiya Nisvi; Junianto; Firyal Afifah Huda; Moh. Khoirul Umam
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 2 (2021): November
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (659.259 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i2.95

Abstract

Persyaratan untuk menjabat sebagai Gubernur DIY diatur dalam pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumusan dalam pasal tersebut dinilai diskriminatif karena secara tersurat ada frasa “istri” yang menimbulkan tafsir bahwa jabatan Gubernur maupun Wakil Gubernur selalu seorang laki-laki. Artikel ini mengajukan isu hukum tentang putusan MK No 88/PUU-XIV/2016 tentang kepemimpinan politik perempuan di DIY dalam perspektif hukum positif dan perspektif sejarah Islam. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan kasus dan pendekatan sejarah.  Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 18 ayat (1) huruf m UU No. 13 Tahun 2012 menimbulkan pro dan kontra sehingga dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 88/PUU-XIV/2016 memberikan koreksi tentang frasa istri, sehingga dengan dihilangkannya frasa istri, maka laki-laki atau perempuan dapat menjabat sebagai Gubernur DIY.  Sedangkan menurut kepemimpinan dalam Islam pembatasan pemimpin tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan jika ditinjau dari berbagai syarat-syarat imam tidak ada larangan seorang perempuan menjadi pemimpin.
Kebebasan Berekspresi di Media Elektronik Dalam Perspektif Pasal 27 Ayat (3) Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Pelayanan Transaksi Elektronik (UU ITE) Vita Fajrin Jahriyah; Moch. Tommy Kusuma; Kuni Qonitazzakiyah; Muh. Ali Fathomi
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 2 (2021): November
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (641.542 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i2.96

Abstract

Perkembangan teknologi informasi  berdampak  besar pada peradaban manusia. Persebaran informasi berbasis teknologi internet menjadikan kehidupan manusia semakin mudah di satu sisi, namun juga menimbulkan kesulitan dan masalah di sisi lainnya. Salah satu dampak negatif penggunaan internet adalah maraknya kejahatan di dunia maya (cyber crime). Dunia  media sosial memberikan ruang baru dalam interaksi sosial antara anggota masyarakat. Keterbatasan literasi digital pada masyarakat, melahirkan anggapan bahwa individu bebas  mengekspresikan dirinya yakni dengan mengeluarkan pendapat atau kritik terhadap orang lain. Kebebasan berpendapat maupun berekspresi sebagai hak konstitusional diatur dalam pasal 28 F UUD NRI Tahun 1945. Kebebasan sebagai hak, di sisi lain juga membebani kewajiban bagi seorang subyek hukum. Untuk itu pemerintah mengeluarkan peraturan yang mengatur tentang etika dalam penyampaian pendapat yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Undang- Undang No.19 tahun 2016 perubahan atas Undang- Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Pelayanan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dianggap sebagai peraturan yang membatasi seseorang dalam berpendapat karena penafsiran dari rumusan “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” masih rawan untuk disalahgunakan serta tak jarang pasal ini kerap dijadikan untuk mengkriminalisasi seseorang. Dalam realitanya kasus terkait dengan pencemaran nama baik mengalami peningkatan sehingga memunculkan opini dari sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan semangat reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan dalam berekspresi dan menyampaikan pendapat. Adanya pasal tersebut juga dianggap melanggar hak asasi manusia karena tidak sesuai dengan Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang No.39 tahun 1999.
Putusan Mahkamah Konstitusi Sebagai Upaya Perwujudan Keadilan Bagi Warga Negara: (Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015) Elva Imeldatur Rohmah; Gangga Listiawan; Moh. Haidar Ali Al-Hamid; Ayu Sri Astuti
Sosio Yustisia: Jurnal Hukum dan Perubahan Sosial Vol. 1 No. 2 (2021): November
Publisher : Magister Hukum Tata Negara Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (640.737 KB) | DOI: 10.15642/sosyus.v1i2.101

Abstract

Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.  Peraturan tentang grasi sudah ada sejak  pemerintahan kolonial Belanda. Adanya grasi yang dimohon oleh seorang terpidana kepada Presiden merupakan salah satu bentuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum, sebagaimana dijamin dalam pasal 28 D ayat (1)  dan Pasal 28H ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.  Jaminan atas perlakuan yang sama di hadapan hukum merupakan prinsip fundamental dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XII/2015 yang menyatakan bahwa Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat adalah merupakan salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang mampu mewujudkan keadilan dan persamaan hak bagi warga negara serta memulihkan kembali hak konstitusi warga negara (khususnya para narapidana) yang sebelumnya telah dirugikan dengan adanya pasal tersebut.