cover
Contact Name
Rahmat Sewa Suraya
Contact Email
mhat_suraya@yahoo.co.id
Phone
+6285395828765
Journal Mail Official
lisani.tradisilisan@uho.ac.id
Editorial Address
Kampus Hijau Bumi Tridharma Universitas Halu Oleo, Gedung Fakultas Ilmu Budaya Lantai II, Jl. H.E.A. Mokodompit, Kelurahan Kambu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara
Location
Kota kendari,
Sulawesi tenggara
INDONESIA
LISANI : Jurnal Kelisanan Sastra dan Budaya
Published by Universitas Halu Oleo
ISSN : 26139006     EISSN : 26224909     DOI : https://doi.org/10.33772/lisani
Jurnal ini berisi tentang hasil penelitian, artikel ilmiah, makalah ilmiah dalam bidang kelisanan dalam bidang sastra dan budaya di Indonesia. Jurnal ini terbuka untuk para peneliti dan para penulis yang berminat dalam kajian tradisi lisan khususnya kelisanan dalam budaya dan sastra di Indonesia.
Articles 126 Documents
TRADISI KANGKILO PADA MASYARAKAT BUTON DI DESA BALO BONE KECAMATAN MAWASANGKA KABUPATEN BUTON TENGAH
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 1 (2019): Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i1.612

Abstract

Tradisi kangkilo adalah tradisi pengislaman/sunatan masyarakat Buton. Tradisi kangkilo sebagai budaya masa lalu tetap dijunjung oleh masyarakat penganutnya karena mempunyai fungsi dan makna tertentu dalam kehidupan seseorang. Ada tiga masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini yakni unsur-unsur kelisanan, makna kelisanan serta fungsi dari tradisi kangkilo. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui pra-lapangan, pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Informan ditentukan dengan teknik purposive sampling serta menggunakan teknik analisis data oleh Miles dan Humbermen yaitu reduksi data, model data, dan penarikan/verifikasi kesimpulan, serta keabsahan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam tradisi kangkilo terdapat unsur-unsur kelisanan yaitu: (1) prosesi kangkilo, (2) doa yang digunakan dalam tradisi kangkilo, dan (3) material yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi kangkilo yaitu pisau, abu, kain putih, pitaha, pelepah pisang, lilin, telur, dan beras. Makna unsur-unsur kelisanan yang terdapat pada tradisi kangkilo terbagi atas tiga yaitu: (1) makna material yang digunakan dalam pelaksanaan tradisi kangkilo yaitu makna pisau, makna abu dapur, makna kain putih, pitaha, makna pelepah pisang, makna lilin, makna telur, makna beras; (2) makna doa yang digunakan pada saat pelaksanaan tradisi kangkilo yaitu makna doa yang digunakan pada saat mandi bagi anak perempuan, doa yang digunakan pada saat mandi bagi anak laki-laki, doa yang dibacakan pada saat mengoleskan bedak, doa yang digunakan ketika menyentuh jenis kelamin dengan pisau, doa yang digunakan ketika menjepitkan pelepah pisang pada jenis kelamin anak laki-laki, doa yang digunakan ketika buang air kecil, makna pembacaan doa (haroa); dan (3) makna pada prosesi tradisi kangkilo. Fungsi tradisi kangkilo yaitu: (1) fungsi kesucian, (2) fungsi kesabaran, dan (3) fungsi sosial.
MAKNA SOSIO-HISTORIS BAJU KURUNG TELUK BELANGA PADA BUSANA PENGANTIN PRIA KESULTANAN JOHOR DARUL TA’ZIM Arie Toursino Hadi; Ade Solihat; Maman Lesmana; Rahmat Sewa Suraya
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 1 (2019): Volume 2 Nomor 1, Januari-Juni 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i1.613

Abstract

Tulisan ini membahas mengenai makna yang terkandung dalam pakaian pengantin pria Kesultanan Johor Darul Ta’zim dilihat dari perspektif sosio-historis. Penelitian ini bertujuan untuk menggali makna yang terkandung dalam pemilihan Baju Kurung Teluk Belanga sebagai pakaian resmi salah satu kesultanan di Malaysia ini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode wawancara dan tinjauan pustaka. Hasil penelitian ini adalah, busana pengantin pria Kesultanan Johor Darul Ta’zim menggunakan Baju Kurung Teluk Belanga, yang berbeda dengan etnis Melayu yang lain, merupakan wujud dari kedaulatan Kesultanan Johor Darul Ta’zim dalam membentuk tradisi yang berlaku di wilayahnya.
EKSISTENSI NILAI TOLONG MENOLONG (ASSITULU-TULUNGENG) PADA PROSES PERNIKAHAN ETNIS BUGIS: (Studi Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana) Muhammad Sabri; La Ode Dirman; Salniwati Salniwati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.736

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk memahami bentuk-bentuk tolong menolong pada proses pernikahan Etnis Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana. (2) Untuk mengetahui Implikasi Tolong menolong pada proses pernikahan Etnis Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana. (3) Untuk mengetahui Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam proses pernikahan Etnis Bugis di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleng Kabupaten Bombana. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini berlokasi di Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana, teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penelitian lapangan (Field work) dengan tujuan untuk memperoleh data secara langsung dilapangan dengan menggunakan teknik pengamatan dan wawancara mendalam serta diperkuat dengan dokumentasi. Hasil penelitian megenai Eksistensi Nilai Tolong Menolong (Assitulu-Tulungeng) Pada Proses Pernikahan Etnis Bugis (Studi Kelurahan Boepinang Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana) menunjukkan bahwa bentuk tolong menolong nampak terlihat mulai dari pembuatan pelaminan, namun tolong menolong tersebut sudah mulai memudar. Hal ini disebabkan banyaknya masyarakat yang lebih memilih untuk menyewa tenda pelaminan atau yang disebut dengan tenda jadi. Adapun implikasi dari adanya penyedia jasa pelaminan tersebut berakibat pada tolong menolong yang mulai memudar. Selain itu, penulis menemukan adanya nilai tolong menolong dalam proses pernikahan etnis bugis. Adapun nilai tersebut meliputi (1) Nilai kekerabatan, (2) Status Sosial, (3) Penghargaan terhadap perempuan. Namun secara umum nilai tolong menolong dalam pernikahan etnis bugis mengandung nilai selaras (orientasi horizontal), nilai loyalitas (orientasi vertikal), nilai konformitas (sama rata sama rasa), dan nilai kebersamaan (saling tergantung) tradisi dalam proses pernikahan masih di pertahankan oleh masyarakat bugis di Kelurahan Boepinag Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana.
RITUAL BANTANG PADA SUKU BAJO DI DESA TASIPI KECAMATAN TIWORO UTARA KABUPATEN MUNA BARAT Riski Hamriani; Sitti Hermina; Salniwati Salniwati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.737

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pelaksanaan ritual bantang, dan mendeskripsikan makna simbolik yang terkandung dalam ritual bantang. Lokasi penelitian yang dipilih adalah di Desa Tasipi Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat. penentuan informan menggunakan teknik purposive sampling. Cara pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung dan ikut terlibat pada saat proses ritual bantang, wawancara mendalam dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskripsi melalui tiga alur yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga tahap pada proses pelaksanaan ritual bantang, yakni tahap awal persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Pada tahap awal persiapan ritual bantang sehari sebelum dilaksanakan pihak keluarga memberitahukan panguleh (sandro atau dukun beranak). Kemudian pihak keluarga menyiapkan media yakni lapa-lapa, ketupat, songkol, bedak kuning, kelapa, cincin emas, kucing, dan sangkineh. setelah itu melakukan baca-baca, lalu dilanjutkan duduk bersilang berhadapan dengan panguleh (dukun beranak). Selanjutnya tahap pelaksanaan mengangkat wadah dan memutarnya tiga kali. Pada tahapan akhir tetangga yang datang dipersilahkan untuk makan. Pada setiap tahap tradisi ini memiliki simbol, pada simbol-simbol tersebut memiliki makna secara umum, yaitu sebagai pengharapan akan adanya pertolongan Allah SWT agar bayi kelak menjadi anak yang memiliki kepribadian yang baik.
TRADISI MALLORO KAPPALA PADA SUKU BUGIS DI KECAMATAN POLEANG TENGGARA KABUPATEN BOMBANA Muh Alkautsar; Wa Kuasa Baka; Salniwati Salniwati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.738

Abstract

Tradisi malloro kappala merupakan tradisi lisan menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Sebagai gambaran keunikan dari ritual menurunkan kapal adalah prosesi ritual yang dijalani pada saat sebelum kapal diturunkan. Dalam kelengkapan ritual terdapat simbol-simbol yang sarat akan makna namun jarang diketahui oleh generasi muda sehingga sangat penting untuk dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan prosesi ritual yang mengiringi malloro kappala (menurunkan kapal), serta untuk menjelaskan makna simbolik yang terkandung dalam tradisi malloro kappala (menurunkan kapal) pada Suku Bugis di Kecamatan Poleang Tenggara Kabupaten Bombana. Penentuan informan yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Metode penelitian secara deskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan dan dokumentasi berupa audio visual dan foto. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif model interaktif yaitu terdiri dari tiga hal utama yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tradisi menurunkan kapal yang dikenal dengan istilah tradisi malloro kappala, ini masih menjadi tradisi dan budaya yang melekat pada masyarakat Bugis. Prosesi ritual malloro kappala pada suku Bugis dibagi dalam tiga tahapan yaitu, ritual mappocci, malloro kappala atau menurunkan kapal, dan ritual massalama. Keseluruhan ritual tersebut terdapat pesan utama yang disampaikan yaitu pengharapan akan keselamatan dan kemudahan rezeki. Pengharapan akan keselamatan dimaksudkan untuk keselamatan para awak kapal, keluarga yang ditinggalkan, maupun keselamatan kapal itu sendiri.
RITUAL MOWUWUSOI PADA ETNIS MORONENE DI DESA HUKAEA LAEA KECAMATAN LANTARI JAYA KABUPATEN BOMBANA Rika Afriana S; La Ode Syukur; Salniwati Salniwati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.740

Abstract

Ritual mowuwusoi merupakan ungkapan kegembiraan dan rasa syukur akan keberhasilan panen musim tanam pada tahun tersebut yang dilakukan secara rutin setiap tahunnya. Hal tersebut diilustrasikan dalam sebuah tarian molulo atau molicu. Di daerah Bombana khususnya desa Hukaea Laea mereka masih meyakini, mempercayai dan menjalani tradisi mowuwusoi tersebut. Ritual mowuwusoi sebagai persembahan sujud syukur atas limpahan alam yang diberikan oleh yang kuasa kepada manusia. Namun generasi muda kurang memahami fungsinya, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pelaksanaan ritual mowuwusoi dan dapat mendeskripsikan fungsi yang terkandung dalam pelaksanaan ritual mowuwusoi pada etnis Moronene yang ada di desa Hukaea Laea. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penentuan informan menggunakan purposive sampling. Informannya terdiri dari ketua adat, tompuro’o, dan dua tokoh masyarakat yang berada di desa Hukaea Laea. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik pengamatan atau observasi, wawancara atau interview, dan dokumentasi. Analisis dilakukan melalui tiga tahap yaitu reduksi data, penyajian data, verifikasi atau kesimpulan data. Hasil penelitian ini meliputi proses ritual mowuwusoi, fungsi yang terkandung dalam ritual mowuwusoi. Adapun proses pelaksanaan ritual mowuwusoi terdiri dari tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir. Tahap persiapannya adalah mengadakan rapat di rumah ketua adat, yang diikuti oleh tompuro’o, tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat setempat yang ada di desa Hukaea Laea, untuk memusyawarahkan proses pelaksanaan ritual mowuwusoi itu seperti apa, menyiapkan alat-alat yang digunakan dalam proses pelaksaan ritual mowuwusoi seperti, kampiri, pae, alu, lesung, nyiru dan gong. Adapun proses pelaksanaan ritual mowuwusoi yaitu (1) meala pae hai kampiri (mengambil padi di lumbung); (2) mengkoko pinuai (membagi gabah menjadi ikatan kecil); (3) medodo (menumbuk padi); (4) mengayak (menapis); (5) melonda (memukul lesung dengan irama); (6) molulo (ungkapan syukur bagi masyarakat Hukaea Laea); (7) Me’a’e (ketua adat akan menyuapi para tamu). Tahap akhir dalam pelaksanaan ritual mowuwusoi adalah mototamai atau penyucian diri. Ritual mowuwusoi mengandung fungsi sosial, fungsi hiburan, fungsi religi dan fungsi ekologi.
RITUAL MEWUHIHA LIMANO BHISA DALAM MENYAMBUT PESTA PANEN PADA MASYARAKAT DESA MORINDINO KECAMATAN KAMBOWA KABUPATEN BUTON UTARA Ilwan Ilwan; La Ode Dirman; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.741

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk, (1) mendeskripsikan proses ritual mewuhiha limano bhisa dalam menyambut pesta panen pada masyarakat Desa Morindino Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara, (2) menguraikan makna simbolik yang terkandung dalam ritual mewuhiha limano bhisa dalam menyambut pesta panen pada masyarakat Desa Morindino Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara, dan (3) mengetahui fungsi ritual mewuhiha limano bhisa dan implikasinya dalam penyambutan pesta panen pada masyarakat Desa Morindino Kecamatan Kambowa Kabupaten Buton Utara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Pengumpulan data, dilakukan dengan teknik pengamatan (observasi), wawancara, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Data dianalisis dengan teknik reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pelaksanaan ritual mewuhiha limano bhisa terdiri dari beberapa tahap pelaksanaan yaitu tahap persiapan diantaranya pengambilan seserahan (kaweti), memasak (mendambai), tahap pelaksanaan yaitu mewuhiha limano bhisa, haroa dan tahap akhir. Adapun setiap simbol memiliki makna khusus sebagai wujud ucapan rasa syukur kepada Allah SWT dan para roh-roh leluhur atas hasil panen pertanian yang didapatkan. Sedangkan fungsi ritual mewuhiha limano bhisa yaitu sebagai ajang silaturahmi dan perlindungan diri dari marabahaya.
RITUAL TUMPEK LANDEP PADA MASYARAKAT SUKU BALI: (STUDI DI DESA PUUDONGI KECAMATAN POLINGGONA KABUPATEN KOLAKA) Saraswati Saraswati; La Niampe; Ajeng Kusuma Wardani
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.753

Abstract

Ritual Tumpek Landep merupakan hari peringatan turunnya kekuatan Sang Hyang Widhi ke dunia, yang dikhususkan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Dewa Senjata atau dengan kata lain ritual Tumpek Landep merupakan rasa syukur umat Hindu terhadap Sang Hyang Widhi yang telah memberikan ketajaman pemikiran kepada manusia, adapun ketajaman itu disimbolkan layaknya senjata yang berbentuk lancip/runcing. Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah, (1) mendeskripsikan prosesi pelaksanaan ritual Tumpek Landep pada masyarakat suku Bali di Desa Puudongi, (2) menguraikan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam ritual Tumpek Landep pada masyarakat suku Bali di Desa Puudongi, (3) menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dalam ritual Tumpek Landep pada masyarakat suku Bali di Desa Puudongi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Pengumpulan data, dilakukan dengan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan dokumentasi. Teknik penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan secara purposive sampling. Data dianalisis dengan teknik sebagai berikut: reduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat suku Bali Desa Puudongi Kecamatan Polinggona Kabupaten Kolaka masih melakukan ritual Tumpek Landep. Karena masyarakat Bali masih percaya bahwa dengan mendoakan setiap benda pusaka dan alat alat yang diupacarai pada ritual Tumpek Landep maka akan membawa keselamatan bagi penggunanya. Adapun prosesi pelaksanaan ritual Tumpek Landep diantaranya (1) tahap persiapan yaitu mengumpulkan seluruh benda atau alat alat yang akan diupacarai, (2) tahap pelaksanaan yaitu menghaturkan doa kepada Sang Hyang Pasupati yang dipimpin oleh manggala upacara, (3) tahap akhir yaitu sembahyang bersama sampai selesai metirtha dan memakai bija. Dalam ritual Tumpek Landep mempunyai nilai-nilai budaya diantaranya (1) nilai budaya religius (2) nilai budaya keselarasan hidup dengan alam dan (3) nilai budaya kerja sama. Kemudian faktor perubahan yang terjadi dalam ritual Tumpek Landep itu disebabkan oleh adanya penemuan baru atau inovasi.
PERUBAHAN KEISTIMEWAAN SULTAN YOGYAKARTA: WACANA POLITIK IDENTITAS Arie Toursino Hadi; Shinta Arjunita Saputri; Nurtikawati Nurtikawati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.754

Abstract

Tulisan ini membahas mengenai perubahan keistimewaan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat dilihat dari wacana politik identitas. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pergeseran makna masyarakat baik yang berada di dalam maupun di luar Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memandang keistimewaan politik yang dimiliki oleh Sultan Yogyakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode tinjauan pustaka. Hasil dari penelitian ini adalah DIY terbentuk dari kontrak politik dengan kolonial Belanda. Pada masa kemerdekaan, Yogyakarta lebih memilih untuk menjadi bagian dari Republik Indonesia, dibandingkan berdiri menjadi kerajaan tersendiri. Wacana keistimewaan ini mendapat banyak tekanan, baik internal maupun eksternal wilayah Yogyakarta. Sebagian orang berpendapat bahwa keistimewaan dapat menjadi modal untuk tetap mempertahankan tradisi Kasultanan Yogyakarta yang sejak awal sudah terbentuk, sementara sebagian yang lain menganggap bahwa keistimewaan merupakan hambatan bagi perkembangan dan integritas penuh dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
TRADISI MOMBOLASUAKO (KAWIN LARI) DALAM PERKAWINAN ADAT TOLAKI DI DESA TIRAOSU KECAMATAN KOLONO KABUPATEN KONAWE SELATAN Sista Sista; La Niampe; Nurtikawati Nurtikawati
LISANI: Jurnal Kelisanan, Sastra, dan Budaya Vol 2 No 2 (2019): Volume 2 Nomor 2, Juli-Desember 2019
Publisher : Jurusan Tradisi Lisan, Fakultas Ilmu Budaya, Univeritas Halu Oleo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33772/lisani.v2i2.755

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk menjelaskan dan mendeskripsikan proses penyelesaian tradisi mombolasuako dalam perkawinan adat suku Tolaki, Untuk memahami faktor penyebab terjadinya perkawinan mombolasuako, Untuk mengetahui implikasi yang disebabkan akibat dari perkawinan mombolasuako. Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif Jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada. Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi (pengamatan), wawancara dan dokumentasi. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif melalui pendekatan ini yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat tahap 1) proses penyelesaian perkawinan mombolasuako (kawin lari), yakni tahap awal mowoka obiri (memberi kabar), tahap mesokei (membentengi), mesambepe (pembahasan uang mahar) dan tahap akhir mowindahako. Dalam perkawinan mombolasuako digunakan kalosara sebagai penyelesaiannya masalah adat istiadat maupun konflik sosial salah satunya perkawinan mombolasuako meskipun dianggap sebagai bentuk pelanggaran adat namun bukan berarti tidak dapat selesaikan secara adat. 2) Faktor penyebab terjadinya perkawinan mombolasuako diantaranya: tidak mendapat restu dari orang tua, menghemat waktu dan biaya, perempuan telah hamil di luar nikah, paksaan atau ditipu. 3) Implikasi yang disebabkan akibat dari perkawinan mombolasuako yaitu: hubungan yang tidak harmonis dengan orang tua, pengaruh pada kondisi rumah tangga sering bertengkar, kesulitan dalam ekonomi dan perceraian.

Page 2 of 13 | Total Record : 126