Hukum positif Indonesia tidak secara spesifik menetapkan jumlah maupun batas nafkah anak setelah perceraian orang tuanya, sehingga jumlahnya ditentukan berdasarkan putusan hakim. Penelitian ini membahas mengenai pertimbangan hukum hakim serta implementasi hak nafkah anak pasca perceraian pada putusan tersebut ditinjau dari Teori Keadilan dan Teori Kepentingan Terbaik Bagi Anak. Penelitian ini berfokus pada analisis Putusan Pengadilan Agama Surabaya Nomor 285/Pdt.G/2025/PA.Sby secara yuridis normatif. Hasil penelitian ini, diketahui bahwa nafkah anak pada putusan tersebut dibebeankan kepada ayah kandungnya dengan dasar pertimbangan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dengan jumlah yang disesuaikan dengan kebutuhan anak dan kemampuan ayah kandung dengan merujuk pada rata-rata biaya rumah tangga dan upah minimum kota Surabaya. Hakim memutuskan nafkah ini tidak termasuk biaya pendidikan dan biaya Kesehatan serta bertambah 10% setiap tahun menyesuaikan laju inflasi serta fluktuasi kebutuhan anak berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Putusan tersebut sejalan dengan Teori Keadilan Gustav Radburch, dimana telah memenuhi keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum dengan didasarkan pada hukum positif dan cita-cita hukum; juga sejalan dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak untuk mendukung anak melangsungkan hidup serta untuk bertumbuh dan berkembang.