Claim Missing Document
Check
Articles

RESENSI BUKU : Pollock, John L. and Joseph Cruz 2003. Contemporary Theories of Knowledge, Second Edition. Rowman & Littlefield: Lanham Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 4 No. 2 (2010): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.458 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v4i2.5842

Abstract

Bahwa dalam edisi pertama buku ini langsung digolongan menjadi buku klasik, menunjukkan kualitas isinya yang tinggi. Sedangkan edisi kedua ini, selain digunakan sendiri oleh John L. Pollock –profesor filsafat dan ilmu pengetahuan kognitif di Universitas Arizona—untuk mata kuliah Theory of Knowledge (Teori tentang Pengetahuan) yang dia asuh, buku ini juga digunakan di universitas-universitas lain. Telah puluhan buku lain yang menggunakan citasi dari buku ini. Bahkan banyak yang menyatakan bahwa buku ini jauh lebih bagus dalam menerangkan teori-teori pengetahuan dibandingkan dengan buku-buku serupa, bahkan yang terbit beberapa tahun kemudian, misalnya Introduction to ContemporaryEpistemology (1985) karya Jonathan Dancy, Groundless Belief edisi kedua (1999) dan Problems of Knowledge: A Critical Introduction toEpistemology (2001) karya Michael Williams, Epistemology: Classic Problems and Contemporary Responses (2002) karya Laurence BonJour, dan Knowledge (2001) karya Michael Welbourne (Traiger 2004).
Percobaan Pembangunan Partisipatif dalam Otonomi Daerah Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 2 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (199.293 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v3i2.5867

Abstract

As part of governing mechanism, local participation has already been practiced by numerous ethnic groups of Indonesia since centuries. In modern era, the idea of participation, that was at the outset integrated into development thought as desentralisation, was introduced in 1950s-1960s. In the 1980s, Non-Government Organization adopted participatory development to control government and donor agencies. Since 1990s, donor and developed countries adopted paticipatory development as single approach to operationalize development measures. In Indonesia, participatory development practices need to pay attention on two sub-structures, i.e., program and budget arrangements. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang) is a participatory-based planning mechanism is run stretching from rural upto national level and is considered to be very central for nation-wide development measures. The mechanism needs to be criticed since it just increases efficiency and effectiveness of development actions, but it fails to expand participaton space of the lowest social layers of rural communities
Kritik Ekologi Poskolonial : Dari Kontrol Pembangunan yang Berkelanjutan menuju Praksis Ekologi Bersama Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 3 No. 1 (2009): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (231.585 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v3i1.5872

Abstract

Kebijakan pembangunan yang berkelanjutan paling tepat dipahami sebagai konstruksi kebijakan ekologi yang disusun oleh Utara untuk mendominasi Selatan. Konsep pembangunan yang berkelanjutan pertama kali muncul di Eropa, kemudian sejak dekade 1990-an dijadikan komoditas utang luar negeri bagi Selatan. Diskursus pembangunan yang berkelanjutan dikuatkan dan dimaterialisasikan melalui lembaga-lembaga pendidikan, ekonomi, hingga teknologi. Artikel ini mengajukan ruang kritik baru melalui susunan baru matriks teori-teori ekologi. Untuk mengatasi kontrol Utara tersebut diajukan hibriditas sebagai basis kebijakan ekologi. Hibriditas memungkinkan solidaritas lintas kelas dan teritorial lokal hingga internasional, mengatasi penyekatan yang tersusun semula, sekaligus mengembangkan sifat dinamis kebijakan sebagai proses “menjadi” secara terus menerus.
BEDAH BUKU : Teori Kekuasaan, Teori Sosial, dan Ilmuwan Sosial Indonesia Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 2 No. 2 (2008): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.063 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v2i2.5881

Abstract

Upaya untuk menggabungkan pembahasan ketiga buku ini (Dhakidae, 2003; Stewart, 2001; Hadiz dan Dhakidae, eds, 2005) sekaligus didasari tiga kebutuhan berikut. Pertama, buku Stewart membahas perkembangan konsep kekuasaan (power) dari masa modernitas sampai masa modernitas akhir. State of the art tentang konsep kekuasaan ini bisa menjadi metode untuk menyoroti isi buku Dhakide serta Hadiz dan Dhakidae (eds.) secara lebih kritis. Dalam konteks ini, dari karya Stewart terutama akan diambil pelajaran tentang beragam konsep kekuasaan, bukan konsep kekuasaan menurut pandangan Stewart sendiri. Hal ini disebabkan, Stewart memposisikan dirinya dalam kelompok sosiolog modern, sementara saya lebih menyetujui posisi sosiolog pasca modern dalam menggunakan konsep kekuasaan. Dari sini mungkin akan tumbuh kritik pembacaan yang berbeda tentang perkembangan konsep kekuasaan, minimal dalam pembahasan tentang lokalitas dan kebutuhan suatu ketunggalan pandangan mendasar. Kedua, ketiga buku tersebut merupakan karya-karya ilmiah terbaru (di atas tahun 2000), sehingga sudah selayaknya dibedah lebih lanjut untuk memperkaya pengetahuan kritis tentang topik kekuasaan, perkembangan ilmu sosial, dan perkembangan posisi ilmuwan sosial (yang menjadi warganegara) Indonesia. Seorang kolega, ketika membicarakan buku Dhakidae serta Hadiz dan Dhakidae (eds.), berkata, ”Tanpa membaca kedua buku ini, kesimpulan umum dari keduanya sudah bisa kita ketahui atau kita ramalkan, yaitu bahwa ilmu sosial dan ilmuwan sosial dikoooptasi oleh kekuasaan negara. Tapi kita ingin mengetahui rincian argumen yang dibangun di dalamnya. Dan untuk itulah kita perlu membacanya secara detil”. Ketiga, saya khawatir penulisan buku Dhakidae serta Hadiz dan Dhakidae (eds.) masih dihinggapi oleh konsep modern tentang kekuasaan, yang mengimpitkan konsep kekuasaan itu dengan konsep dominasi. Mungkin ini didasari argumen, bahwa kondisi modernitas akhir (atau pascamodernitas) memang sudah terjadi di Eropa dan Amerika Serikat, namun belum terjadi di Indonesia. Menurut saya sendiri, argumen ini lemah, karena para penulis yang menjadi akademisi ini sudah merupakan sosok-sosok yang masuk ke dalam ruang dan waktu modernitas akhir (kelas menengah) di tengah-tengah masyarakat (terutama pedesaan dan wilayah terpencil) yang masih berkutat pada ruang dan waktu modernitas. Olah karenanya, saya masih heran membaca Dhakidae (2003) menggunakan juga kerangka teori modern, yaitu neofasisme, bersama-sama dengan arkeologi pengetahuan ala Foucaoult, untuk menganalisis posisi cendekiawan semasa Orde Baru. Dalam Hadiz dan Dhakidae (eds.), mungkin karena merupakan kumpulan tulisan dari banyak ilmuwan sosial dengan beragam posisi mazhab keilmuan, memang sudah ada yang menggunakan konsep kekuasaan ala modernitas akhir, misalnya pada Ariel Heryanto. Namun di sinipun, konsep kekuasaan masih dipraktekkan sebagai kekuasaan yang meliputi (power over) sesuatu atau seseorang, yang akan berujung pada konsep kekuasaan sebagai dominasi. Begitu pula Meutia Ganie-Rohman hendak mengemukakan resistensi ilmuwan sosial yang tergabung dalam LSM (lembaga swadaya masyarakat, NGO=non-government organization), namun di dalamnya kekuasaan tetap hanya diandaikan sebagai dominasi. Di dalam karya Stewart, definisi kekuasaan ini berada di sisi yang berlawanan (bahkan mungkin dianggapnya sudah ketinggalan jaman jika dirunut dari state of the art konsep kekuasaan) dari konsep kekuasaan sebagai pemberdayaan (empowerment). Pada konsep terakhir, muncul kekuasaan terhadap (power to) sesuatu atau seseorang, yang memungkinkan pemerdekaan diri (oleh lapisan bawah)
Desa Tertinggal di Indonesia Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 1 No. 2 (2007): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (152.166 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v1i2.5929

Abstract

Tulisan ini membuka debat desa tertinggal di Indonesia , karena hasil perhitungan ini telah digunakan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) tahun 2005. Namun secara teoritis muncul dilema antara menggunakan kategorisasi desa tertinggal versi terdahulu dalam rangka membanding angka desa tertinggal antar tahun, dan memperkaya kategori tersebut dengan variabel tambahan yang muncul menjadikannya sulit dibandingkan dengan data-data sebelumnya. Ternyata jumlah desa tertinggal di Indonesia saat ini 11.258 desa, atau 10.758 desa jika NAD tidak dimasukkan. Data ini berbasis Potensi Desa 2003 terbaru. Kategorisasi pengolahan desa tertinggal memiliki bias pada desa pertanian, serta belum mencakup desa-desa hasil pemekaran sejak 2003. Jika desa tertinggal hendak digunakan sebagai indikasi kantong kemiskinan, perlu disadari bahwa dominasi rumahtangga miskin hanya terdapat pada 51 persen desa tertinggal
Production Orientation within Poverty Reduction in Indonesian Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6 No. 2 (2012): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.843 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v6i2.6087

Abstract

Diskursus kemiskinan terbesar saat ini diletakkan di atas metafora proses produksi. Diskursus terbangun dari pemikiran dikotomis, yaitu dikotomi kaya-miskin, produktif-tidak produktif, organisasi lokal-global.Diskursus ini dibangun oleh lembaga global, dan diimplementasikan pada tingkat nasional, daerah, hingga desa.Diskursus tersebut dibangun melalui standardisasi, normalisasi, dan pendisiplinan.Formalisasi diskursus dilaksanakan melalui pelatihan dan penyusunan dokumen-dokumen formal.Arena diskursus berisikan orang miskin, keluarga mereka, pemanfaat, pengusaha mikro, dan orang desa.Dengan konstruksi demikian, program pengurangan kemiskinan seharusnya menentukan secara khusus pemanfaatnya adalah orang miskin dan keluarganya. Kata kunci: diskursus, dikotomi, habitus kemiskinan, arena pengurangan kemiskinan.
Gender Analysis in Women’s Group Saving and Loans Program (SPP) Indah Lestari, Novia; Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 1 No. 2 (2013): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (357.08 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v1i2.9397

Abstract

Program simpan pinjam untuk kelompok perempuan (SPP) merupakan program pengembangan ekonomi yang diimplementasikan bagi perempuan. Analisis gender yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Teknik Analisis Harvard untuk menganalisis profil aktivitas atau curahan waktu kerja responden berdasarkan kegiatan produktif, sosial, dan reproduktif, dan menganalisis profil akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan didukung dengan data kualitatif. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis curahan waktu kerja laki-laki dan perempuan serta pola pengambilan keputusan terhadap pemanfaatan dana pinjaman dan pengelolaan usaha pada rumah tangga, mengetahui pengaruh karakteristik responden terhadap curahan waktu kerja dan pola pengambilan keputusan rumah tangga terhadap pemanfaatan dana pinjaman dan pengelolaan usaha, menganalisis kondisi sosial-ekonomi rumah tangga peserta SPP sebelum dan sesudah mengikuti program, dan mengetahui pengaruh curahan waktu kerja serta pola pengambilan keputusan rumah tangga terhadap pemanfaatan dana pinjaman dan pengelolaan usaha peserta SPP terhadap kondisi sosial-ekonomi. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tipe pengambilan keputusan dalam peminjaman dan pengelolaan usaha didominasi oleh perempuan. Kata kunci : Kondisi Sosial Ekonomi, Simpan Pinjam untuk Kelompok Perempuan, Teknik Analisis Harvard
The Exploitation Reserve Army of Labour in The Rural Capitalism: Oil Palm Plantation StudyIn Bualemo District, Banggai Regency, Central Sulawesi Province Ichwal Moidady, Nuzulul; Soetarto, Endriatmo; Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 5 No. 3 (2017): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (957.654 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v5i3.19391

Abstract

ABSTRACTThe objective of this study is to describe and examine how reserve army of labour exploitation and mobilization conducted by plantation (oil palm) torural labour. This research was took mobilization laobur analyzis such asrecruitment and disciplined. Subsequently, exploitation theory have to analyzesthrough labour time, wages, and means of production use. The results showe that casual labour day(Buruh Harian Lepas) recruit by foreman(mandor) and plantation assistant. Moreover, they are then disciplined in a certain way, i.e settledfrom their homes to the plantation afdeling camp. On the other hand, the exploitation is done through the application of long working time (surplus labour time)and low wage when doing nursery and cultivation. Beside that, they used simple production tools (non mechanization) such, dodos (harvester), axe, and means of transporters (truck and dump)to carry out fresh fruit bunch (Tandan Buah Segar). They used input of production such, sprayer (mechanization), fertilizer (NPK) and herbicide (chemical) with the intensive working day.Keyword: exploitation, reserve army of labour, means of productionABSTRAKPenelitian ini bertujuan menguraikan dan membuktikan bagaimanapengerahan dan eksploitasi tenaga kerja cadangan dilakukan oleh perkebunan skala besar (kelapa sawit) terhadap rakyat pekerja di pedesaan.Penelitian ini mengunakan analisispengerahan tenaga kerja yang meliputi: rekrutmen dan pendisiplinan tenaga kerja. Kemudian, teori eksploitasi dianalisis melalui: waktu kerja, pengupahan, dan pengunaan alat-alat produksi.Hasil penelitian menunjukan buruh harian lepas (pekerja tidak tetap) direkrut oleh mandor dan asisten kebun.Mereka kemudian didisiplinkan melalui cara tertentu, yaitu dimukimkan di camp kerja afdeling perkebunan. Pada sisi yang lain, tindakan eksploitasi dilakukan melaui penerapan waktu kerja yang panjang dan upah harian yang rendah pada saat mengerjakan pembibitan dan penanaman.Selain itu,buruh harian lepas juga menggunaan alat-alat produksi sederhana(non mekanisasi)seperti dodos(alat panen), kampak, dan alat pengangkut (truck dan bak penampung)untuk mengerjakan panen tandan buah segar (TBS). Mereka juga menggunakan input produksi sprayer (mekanisasi), pupuk NPK dan herbisida (kimia) dengan waktu kerja yang intensif.Kata Kunci: eksploitasi, tenaga kerja cadangan, alat-alat produksi
The Role of Swadesa Marketing Institutions in Increasing Farmers Income Ar-Rozi, Ahmad Makky; Kolopaking, Lala M; Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 7 No. 1 (2019): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (487.911 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v7i1.21269

Abstract

One of The main problem faced by rice farmers is the marketing of agricultural products. To overcome these problems, Village Owned Enterprises (BUMDes) form a marketing agency, namely 'Swadesa' with on-line (e-commerce) and off-line (shop) systems. This study aims to analyze the role of Swadesa marketing institutions in improving the income of rice farmers. This research used qualitative and quantitative approaches  (mix method). The research was conducted in Panggungharjo Village, Sewon District, Bantul Regency, Yogyakarta in March to October 2017. The results showed that this marketing agency could not run properly, so the purpose to increase farmer's income has not been achieved. Various obstacles that hinder the development of these marketing institutions, among others: lack of capital, lack of human resources (HR), low interest of farmers to sell crops, and digital iliteracy in rice farmers. Operational policies are needed in terms of increasing marketing agency access to capital sources; e-commerce utilization training; and more intensive socialization about the advantages of an on-line based marketing system.
Class and Structural Inequality of fishing communities in Ambon City Attamimi, Gadri Ramadhan; Kinseng, Rilus A; Agusta, Ivanovich
Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6 No. 3 (2018): Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan
Publisher : Departement of Communication and Community Development Sciences, Faculty of Human Ecology

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (305.07 KB) | DOI: 10.22500/sodality.v6i3.22607

Abstract

Social class is a social phenomenon that often occurs in every social group including the fishing communities. The structural inequality of fishing communities is characterized by the imbalance in ownership of production equipment and income distribution among fishermen. This research was conducted in one of the  Fishermen Village (Negeri) in Ambon City, called Negeri Latuhalat. Type of research used in this study is post-positivism paradigm using qualitative approach supported by quantitative research. The purpose of this research is to analyze the level of imbalance between Ambon City fishermen. The results showed the formation of fishermen social classes which consist of masnait fishermen, tanase fisherman laborer, small fishermen, middle fishermen and tenant fisherman (capitalist). The gini index of fishermen in the research location shows a figure of 0.74, meaning that it shows a high imbalance between fisherman classes. The ratio of kuznets or the average comparison between fishermen received by 33% of the top group of Rp. 8,404,567, - and 25% of the lowest group of Rp. 2.040.000, -. Measurements using the World Bank also show the same thing with the results of gini index measurements that illustrate the portrait of inequality income distribution in the study sites. This condition illustrates that there has been an imbalance between fishermen classes, as much as 75% are only able to receive 8.72% of total income while as much as 25% of tenant fishermen (capitalist) enjoy and control 91.73% of total income.