Claim Missing Document
Check
Articles

Found 33 Documents
Search

Identifikasi Escherichia coli Penghasil ESBL dari Efluen Rumah Potong Hewan Unggas di Kota Bogor, Jawa Barat Yunindika, Thufeil; Latif, Hadri; Pisestyani, Herwin; Wahyudi, Ading; Ahmad, Hasniah; Susanti, Oli
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol 21, No 1 (2022): Februari 2022
Publisher : Master Program of Environmental Health, Faculty of Public Health, Diponegoro University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jkli.21.1.43-49

Abstract

Latar belakang: Escherichia coli merupakan bakteri enterik komensal yang mudah resistan terhadap antibiotik karena memiliki kemampuan bawaan dalam menghasilkam enzim resistansi antibiotik, salah satunya Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Bakteri ini dapat ditularkan melalui lingkungan, salah satunya melalui cemaran efluen dari rumah potong hewan unggas (RPH-U) dan Tempat Pemotongan Ayam (TPA). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengisolasi, mengidentifikasi, dan mengukur jumlah bakteri E. coli penghasil ESBL dari RPH-U/TPA di Kota Bogor.Metode: Disain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksploratif dengan metode pengambilan sampel secara purposive sampling. Sampel yang diambil berjumlah 12 dari tiga RPH-U/TPA yang memiliki kapasitas pemotongan lebih dari 1000 ekor/hari. Metode yang digunakan adalah ESBL Ec Tricycle dan dilakukan di laboratorium Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan. Data dibahas secara deskriptif dan disajikan berupa gambar dan tabel. Hasil: Escherichia coli penghasil ESBL teridentifikasi dari semua 12 sampel yang berasal dari tiga RPH-U/TPA di Kota Bogor dengan persentase E.coli penghasil ESBL terendah 10,45% dan terbesar yaitu 39,52% dengan rata-rata 17,76%.Simpulan: Escherichia coli penghasil ESBL ditemukan pada efluen dari ketiga RPH-U/TPA di Kota Bogor.  Bakteri tersebut berisiko mencemari lingkungan melalui efluen dan dapat menjadi ancaman kesehatan terutama terhadap masyarakat yang berada di sepanjang aliran sungai. Langkah mitigasi dan pencegahan perlu dilakukan. Title: Identification of  ESBL Producing Escherichia coli  from Poultry Abattoir Effluent in Bogor, West Java Background: Escherichia coli is a commensal enteric bacteria that is easily resistant to antibiotics because it has an innate ability to produce antibiotic resistance enzymes, one of which is Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). These bacteria could been transmitted through the environment from poultry abattoir (RPH-U) and chicken slaughterhouses (TPA) effluent contamination. The purpose of this study was to isolate, identify, and enumerate the number of ESBL-producing E. coli bacteria from RPH-U/TPA in Bogor CityMethod:  The research design used is exploratory research with purposive sampling method. 12 samples were taken from 3 RPH-U/TPA which have a slaughtering capacity of more than 1000 head/day. The method used is the ESBL Ec Tricycle and is carried out in the Center for Quality Testing and Certification of Animal Products laboratory. Data discussed descriptively and presented in the form of pictures and tables.Result: Escherichia coli producing ESBL was identified from all 12 samples from 3 RPH-U/TPA in Bogor City with the smallest ESBL-producing E.coli percentage of 10.45% and the largest 39.52% with an average of 17.76%.Conclusion: Escherichia coli producing ESBL was found in the effluent of the three RPH-U/TPA in Bogor City. These bacteria are at risk of contaminating the environment through effluents and can pose a health threat, especially to people living along the river. Mitigation and prevention measures need to be taken. 
Peningkatan Produksi Susu Sapi Perah di Peternakan Rakyat Melalui Pemberian Katuk-IPB3 sebagai Aditif Pakan Agik Suprayogi; Hadri Latif; . Yudi; Asep Yayan Ruhyana
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 18 No. 3 (2013): Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia
Publisher : Institut Pertanian Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.091 KB)

Abstract

This study was to evaluate the depolarization of katuk leaves (Katuk-IPB3) as a feed additive for increasing dairy cattle milk yield at the farmer condition. Sixteen selected lactating cattles were divided into 4 groups; 4 cattles in each group. One group as a control, and 3 treated groups, namely P100, P150, and P200. P100, P200, and P300 were designated as cattle group given powder of Katuk-IPB3 as much as 100 g/day, 150 g/day, and 200 g/day, respectively. The treatment was executed in the 10 days before pregnancy up to 2 months lactating periods. Katuk-IPB3 showed significant positive response on the produced milk on all dose levels as compared to the control group, i.e. 35, 40, and 34% increased, respectively. The possible reason is that the nonpolar active compounds in the Katuk-IPB3 play an important role to the hormonal and metabolic action in the lactating mammary gland.
Karakteristik, Pengetahuan, Sikap dan Praktik Petugas Karantina Hewan dalam Pengendalian Bruselosis di Sulawesi Selatan . Sumitro; Hadri Latif; Etih Sudarnika
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 2 No. 2 (2014): Juli 2014
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (569.429 KB) | DOI: 10.29244/avi.2.2.62-69

Abstract

Praktik atau perilaku petugas karantina hewan dalam pengendalian bruselosis dipengaruhi oleh faktor internal berupa karakteristik individu yang bersifat khas dan dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa lingkungan, sosial dan budaya. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik individu petugas karantina hewan dan menganalisis pola hubungan karakteristik, pengetahuan, dansikap terhadap praktik petugas karantina hewan dalam pengendalian bruselosis di Sulawesi Selatan. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional study. Metode pengumpulan data melalui wawancara dan pengamatan terhadap 51 orang petugas karantina hewan di dua Unit Pelaksana Teknis Badan Karantina Pertanian di Sulawesi Selatan. Pengumpulan data menggunakan kuisioner terstruktur, dan dianalisis menggunakan path analysis. Hasil studi menunjukkan bahwa karakteristik petugas karantina hewan sebagian besar berusia antara 30-45 tahun, telah bekerja sebagai PNS maupun bekerja di tempat yang sekarang kurang dari lima tahun, pendidikannya SMA/sederajat. Tidak semua petugas karantina hewan adalah pejabat fungsional dan mayoritas belum pernah mengikuti pelatihan terkait bruselosis. Terdapat hubungan yang nyata antara pendidikan dan pengetahuan, pengetahuan dan sikap, serta sikap dan praktik. Pendidikan formal berperan penting dalam terbentuknya pengetahuan, sikap, dan praktik petugas karantina hewan dalam pengendalian bruselosis. Sehingga upaya peningkatan pendidikan formal pada petugas karantina hewan perlu dilakukan.
Kesempurnaan Kematian Sapi setelah Penyembelihan dengan dan tanpa Pemingsanan Berdasarkan Parameter Waktu Henti Darah Memancar Herwin Pisestyani; Nadhear Nadadyanha Dannar; Koekoeh Santoso; Hadri Latif
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 3 No. 2 (2015): Juli 2015
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (106.717 KB) | DOI: 10.29244/avi.3.2.58-63

Abstract

Parameter untuk mengetahui hewan sapi sempurna setelah disembelih yaitu dengan melihat refleks kelopak mata dan atau waktu henti darah memancar. Menurut EFSA (2004) kematian merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan respirasi fisiologis dan sirkulasi darah telah berhenti sebagai akibat dari pusat sistem tersebut di batang otak secara permanen kehilangan fungsi karena kekurangan oksigen dan energi. Waktu henti darah memancar merupakan indikasi bahwa jantung sudah tidak dapat memompa darah keluar dari tubuh karena tidak ada lagi asupan oksigen darah dalam jantung, sehingga hewan tersebut dapat dikatakan mati. Tujuan dari penelitian ini untuk menghitung waktu henti darah memancar pada penyembelihan sapi dengan metode pemingsanan dan tanpa pemingsanan yang dipotong di rumah potong hewan ruminansia besar (RPHRB), sehingga diperoleh data rataan waktu hewan mati sempurna. Tiga puluh ekor sapi Brahman Cross dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan yaitu, sebanyak 15 ekor yang disembelih dengan pemingsanan (kelompok 1) dan sebanyak 15 ekor yang disembelih tanpa pemingsanan (kelompok 2). Waktu henti darah memancar dihitung sesaat setelah hewan disembelih sampai darah berhenti memancar. Hasil dari penelitian diperoleh rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang dipingsankan sebelum disembelih adalah sebesar 3,02 menit dan rataan waktu henti darah memancar pada sapi yang disembelih tanpa pemingsanan adalah sebesar 2,13 menit. Selang waktu henti darah memancar antara sapi yang dipingsankan dengan sapi yang tidak dipingsankan sebelum disembelih adalah 53,4 detik. Waktu henti darah memancar dipengaruhi oleh perlakuan hewan sebelum pemotongan, yaitu dengan atau tanpa pemingsanan.Kata kunci: Pemingsanan, sapi, tanpa pemingsanan, waktu henti darah (The Perfect Cow Died after Slaughtered by Stunning and Non Stunning Methods According to Gushing Blood Downtime)Palpebra reflex and gushing blood downtime can be used as parameters to see animals death after slaughtered. Stop bleeding time was an indication that the heart is unable to pump blood out of the body due to no more oxygen in the blood of the heart, so that the cattle can be said has been dead perfectly. The aims of this study was to calculate the stop bleeding time of cattle slaughtered by stunning and non stunning methods, thus obtained the avaraging data of perfectly death time of animals. Thirty catlles’s Brahman Cross divided into two treatment groups, firstly 15 cattle’s were slaughtered by stunning method (group 1) and the second one 15 cattle’s were slaughtered by non stunning method (group 2). Blood gushing downtime was calculated immediately after the animal is slaughtered until the blood stops radiating. The results showed the average blood gushing downtime in cattles that were stunning before slaughtered is 3.02 minutes and the average time to stop blood gushing in cattles of non stunning group is 2.13 minutes. The interval blood gushing downtime between the cattles slaughtered by stunning and non stunning was 53.4 seconds. Blood gushing downtime was affected by the treatment of animals before they were slaughtered.Keywords: cattle, gushing blood downtime, non stunning, stunning.
Deteksi Residu Hormon Trenbolon Asetat pada Sapi Siap Potong Impor asal Australia Rifky Danial; Hadri Latif; Agustin Indrawati
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 3 No. 2 (2015): Juli 2015
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.149 KB) | DOI: 10.29244/avi.3.2.70-76

Abstract

Trenbolon asetat (TBA) merupakan hormon penggertak pertumbuhan yang diimplankan ke sapi untuk meningkatkan berat badan dan mengefisiensi konversi pakan. Penggunaan TBA dapat meninggalkan residu dalam urin dan dapat menyebabkan efek negatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keberadaan residu TBA dalam urin sapi siap potong impor dari Australia. Ukuran sampel dihitung dengan menggunakan rumus deteksi penyakit dan sampel dipilih secara acak. Sebanyak 60 sampel dianalisis menggunakan enzim-linked immunosorbent assay (ELISA). Tes menunjukkan bahwa sebanyak 100% urin sapi siap potong dari Australia mengandung residu TBA dengan konsentrasi yang bervariasi. Konsentrasi residu TBA < 2 part per billion (ppb) terdeteksi pada 37 sampel (61,67%), konsentrasi residu TBA 2-4 ppb terdeteksi pada 7 sampel (7%), dan konsentrasi residu TBA > 4 ppb terdeteksi pada 16 sampel (26,67%). Hasil positif menunjukkan bahwa sapi potong asal Australia mengandung residu hormon trenbolon asetat (TBA).Kata kunci: ELISA, residu, sapi potong impor, trenbolon asetat, urin (Detection of Trenbolone Acetate Hormone Residues in Imported Slaughter Cattle from Australia)Trenbolone acetate (TBA) is a growth hormone promoter which is implanted into cattle to increase weight gain and feed conversion efficiency. The use of TBA can leave residue in urine and may cause negative effects. The objective of this research was to analyze the presence of the TBA residue in imported slaughter cattle urine from Australia. Cattle urine samples were collected from Animal Quarantine Installation. Sample size was calculated using the formula of detect disease and selected by random sampling. A total of 60 samples of cattle urine were analyzed for level of trenbolone acetate residues by using enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) method. The test showed that positive results in all of urine samples (100%) of slaughter cattle imported from Australia with variation in TBA residues concentrations. The concentration of residual TBA < 2 ppb were detected in 37 samples (61.67%), the residual concentration of TBA 2-4 ppb were detected in 7 samples (7%), and the concentration of residual TBA > 4 ppb were detected in 16 samples (26.67%). Total of 60 urine samples contained TBA residues. The presence of TBA residues with concentration above 4 ppb was 16 samples (26.7%). Positive results in the samples was indicated the Australian cattle contains trenbolone acetate (TBA) residue.Keywords: ELISA, residue, imported slaughter cattle, trenbolone acetate, urine
Pola Resistensi Antibiotik pada Escherichia coli Penghasil ESBL dari Sampel Lingkungan di RPH-R Kota Bogor Ratna Normaliska; Mirnawati Bachrum Sudarwanto; Hadri Latif
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 7 No. 2 (2019): Juli 2019
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.18 KB) | DOI: 10.29244/avi.7.2.42-48

Abstract

Extended spectrum β-lactamase (ESBL) adalah enzim yang dapat menghidrolisis berbagai jenis antibiotik β-laktam termasuk generasi ketiga sefalosporin spektrum luas dan monobaktam. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kepekaan dan resistensi Escherichia coli penghasil ESBL terhadap beberapa antibiotik. Isolat Escherichia coli penghasil ESBL (n=10) diisolasi dari total 80 sampel lingkungan di RPH-R Kota Bogor, sebelum proses produksi, menggunakan metode difusi cakram pada media Mueller Hinton Agar (MHA) dan interpretasi hasil mengacu pada Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI). Hasil pengujian resistensi antibiotik menunjukkan isolat resisten terhadap penisilin 100%, amoksisilin 100%, streptomisin 70%, trimetoprim-sulfametoksasol 60%, dan tetrasiklin 30%. Bakteri E. coli penghasil ESBL di lingkungan RPHR Kota Bogor telah mengalami resistensi terhadap antibiotik dan berpotensi menyebarkan gen resisten tersebut ke bakteri lain. Hasil ini dapat menimbulkan risiko pada kesehatan masyarakat, oleh karena itu diperlukan evaluasi dan pengendalian lebih lanjut.
Identifikasi Penambahan Daging Babi pada Pangan Berbahan Dasar Daging Sapi Menggunakan ELISA dan qPCR Diyan Cahyaningsari; Hadri Latif; Etih Sudarnika
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 7 No. 2 (2019): Juli 2019
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (772.628 KB) | DOI: 10.29244/avi.7.2.17-25

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis penambahan daging babi ternak dan babi hutan baik yang mentah (raw) maupun yang diolah (cooked) di dalam pangan asal hewan berbahan dasar daging sapi menggunakan metode uji enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)  dan real-time PCR (qPCR). Sebanyak 40 sampel yang terdiri dari 20 daging babi ternak dan 20 daging babi hutan dihomogenisasi dengan daging sapi dalam bentuk mentah maupun olahan (bakso). Konsentrasi setiap daging babi ternak dan babi hutan dalam bentuk mentah dan olahan bakso pada campuran daging sapi antara lain 2%, 1%, 0.5%, 0.25%, dan 0.125%. Hasil uji ELISA pada penelitian ini menunjukkan bahwa uji ini mampu mengidentifikasi adanya penambahan daging babi ternak dan babi hutan dalam pangan asal hewan baik dalam bentuk mentah maupun olahan bakso hingga konsentrasi 0.25%. Hasil uji t terhadap nilai optical density (OD) uji ELISA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam mendeteksi spesies babi ternak dengan babi hutan (p≥0.05), tetapi terdapat perbedaan pada sampel bentuk mentah dengan bakso (p<0.05). Hasil uji qPCR mampu mengidentifikasi adanya penambahan daging babi ternak dan babi hutan dalam pangan asal hewan baik dalam bentuk mentah maupun olahan bakso hingga konsentrasi 0.125%. Hasil uji t  terhadap nilai cycle threshold (Ct) uji qPCR menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan dalam mendeteksi spesies babi ternak dengan babi hutan (p≥0.05), tetapi terdapat perbedaan pada sampel bentuk mentah dengan bakso (p<0.05). Metode ELISA dan qPCR dapat dijadikan sebagai metode pengujian untuk mengidentifikasi pencampuran spesies yang tidak dikehendaki, khususnya daging babi pada pangan asal hewan berbahan dasar daging sapi yang beredar di masyarakat.
Resistensi Enterobacteriaceae Terhadap Antibiotik Asal Sisa Makanan dari Sampah Pesawat di Bandara Internasional Soekarno Hatta Julia Rosmaya Riasari; Mirnawati Bachrun Sudarwanto; Agustin Indrawati; Hadri Latif; Navasuriya Radha Krisnan; Herwin Pisestiyani
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 8 No. 1 (2020): Januari 2020
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (679.687 KB) | DOI: 10.29244/avi.8.1.47-54

Abstract

Sampah yang berasal dari pesawat internasional yang datang di Indonesia harus dimusnahkan tanpa kecuali dan berlaku untuk penerbangan dari negara manapun. Pemusnahan dilakukan untuk menghindari risiko penyebaran penyakit dari sampah yang dapat menyerang hewan, tumbuhan dan manusia. Aktivitas penumpang dari mancanegara, migrasi orang dan hewan dari satu negara ke negeri lain serta importasi makanan membuat bakteri yang terbawa masuk, termasuk bakteri yang resisten terhadap antibiotik dapat menyebar. Penelitian mengenai risiko masuknya bakteri resisten terhadap antibiotik melalui sampah pesawat belum pernah dilakukan. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan bakteri resisten terhadap antibiotik pada sisa makanan dari sampel sampah internasional yang diambil dari Terminal 2D BISH. Hasil penelitian yaitu dari 78 sampel yang berasal dari 24 pesawat dan 2 perusahaan penyedia makanan pesawat (in-flight catering), didapatkan 53 sampel (67,95%) positif Enterobacteriaceae. Hasil pengujian isolat resistensi Enterobacteriaceae terhadap antibiotik dalam sisa makanan penerbangan internasional menunjukkan tingkat resistensi yang cukup tinggi, yaitu: Nalidixic Acid (57%), Cefoxitin (32%), Ampicillin (26%), Amoxicillin (15%), Tetracycline (9%), Cefotaxime (5%), Kanamycin (3%), dan terendah adalah Sulfatrimethoprim (1%). Selain itu, bakteri Enterobactriaceae ini juga menunjukkan tingkat intermediate terhadap antibiotik Cefotaxime (37%), Cefoxitin (13%), Tetracycline (6%), Kanamycin (6%), Amoxicillin (4%), Nalidixic Acid (4%), Sulfatrimethoprim (2%), dan Ampicillin (0%).
Salbutamol Residue in Plasma and Urine of Balinese Calves after Single-Dose Administration Yessy Anastasia; Hadri Latif; Lina Noviyanti Sutardi; Raphaella widiastuti
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 9 No. 1 (2021): Maret 2021
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi.9.1.30-35

Abstract

Salbutamol, a short-acting β2-adrenergic receptor agonist, due to illegal use in animal feed, is very dangerous for the safety of animal origin products. The purpose of this study is to determine the residue of salbutamol in plasma and urine of balinese calf after a single-dose administration. Three calves were given of feed fortification of salbutamol (10 mg/kg body weight). The salbutamol concentrations were measured in the plasma and urine. Samples were extracted with perchloric acid and purified by cation exchange solid phase extraction (SPE), then analyzed by High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) with a photodiode array detector using an RP C18 column with a mixed mobile phase of purified water pH 3.0 (adjusted with phosphoric acid) and acetonitrile (90:10, v/v). The highest salbutamol concentration in the plasma sample was 0.28±0.15 μg/mL at 12 hours and decreased after 24 hours after feeding. The highest concentration of salbutamol in urine was 15.85±4.42 μg/mL at 18 hours and decreased gradually starting at 24 hours. This result concluded that salbutamol residues mostly excreted in the urine, and the highest salbutamol residues in plasma samples formed faster but also decreased more rapidly than residues formed in urine. The residue formed in plasma is lower than that in the urine.
Postmortem Changes in pH, Color, Drip Loss, and Non-Protein Nitrogen in Beef Liver and Lungs During Storage in Refrigerator Denny Lukman; Herwin Pisestyani; Hadri Latif; Etih Sudarnika; Mirnawati Bachrum
Acta VETERINARIA Indonesiana Vol. 8 No. 3 (2020): November 2020
Publisher : IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29244/avi.8.3.56-63

Abstract

Beef offal are consumed by people in some countries specifically in Asia. Beef liver and lungs are favorite food which are used as meat in traditional food. The objective of this study was to determine the postmortem changes in pH, color, drip loss, and non-protein nitrogen (NPN) content in beef liver and lungs during storage in refrigerator (3-4 ºC) until 5 d (120 h) after slaughter. The beef liver and lungs were collected from the abattoir and transported in cool box (<7 ºC) to the laboratory within 3 hours. The samples size of beef liver and lungs were 20 for each observation time. In the laboratory the beef liver and lungs were measured directly for pH value, color (L*, a*, and b*), drip loss, and NPN content at 4 h postmortem (pm) and afterwards every beef liver sample was sliced into 5 pieces of 100-120 g and stored in chiller of 3-4 ºC. The measurement of pH, color (L*, a*, and b* values), drip loss, and NPN content were conducted at 4 h, 24 h, 48 h, 72 h, 96 h, and 120 h postmortem. Data were analyzed descriptively and by comparing the 95% confidence interval of mean of each observation. The results showed that pH, color, drip loss, and NPN content in beef lungs were higher than the values in beef liver. The pH of beef liver and lungs declines until 96 h pm and 48 h pm, respectively. The L*, a*, and b* values of beef liver and lungs increased in general during storage. Drip loss and NPN in beef liver and lungs tended to increase significantly during storage. From this study the pH value and NPN can be used to determine the freshness of beef liver and lungs.