Claim Missing Document
Check
Articles

ACTIO PAULIANA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN BAGI KREDITOR MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Mantili, Rai
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 6, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v6i2.127

Abstract

Actio Pauliana is the right given to a creditor to cancel the debtor’s agreement with a third party. The purpose of this actio pauliana is to avoid losses from its creditors, by requesting the court to cancel the debtor’s legal action which is deemed to be detrimental to his creditors. Actio Pauliana provisions apart from being regulated in the Civil Code, are also regulated in Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Repayment Obligation (UUKPKPU). However, the two rules have several diff erences. In this paper, the author wants to explain about Actio Pauliana which is regulated in the Civil Code and Actio Pauliana which is regulated in UUKPKPU in order to provide protection for creditors. This writing gives the result that Actio Pauliana’s lawsuit which is regulated in the Civil Code is submitted to the District Court and cannot be justifi ed and can take a long time. Unlike the case with Actio Pauliana which is regulated in the UUPKPU, the fi ling of a lawsuit is made to the Commercial Court and can be proven simply so that it can provide more protection for creditors.
ACTIO PAULIANA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN BAGI KREDITOR MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) Mantili, Rai
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 6, No 2 (2020): Juli - Desember 2020
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v6i2.127

Abstract

Actio Pauliana is the right given to a creditor to cancel the debtor’s agreement with a third party. The purpose of this actio pauliana is to avoid losses from its creditors, by requesting the court to cancel the debtor’s legal action which is deemed to be detrimental to his creditors. Actio Pauliana provisions apart from being regulated in the Civil Code, are also regulated in Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Repayment Obligation (UUKPKPU). However, the two rules have several diff erences. In this paper, the author wants to explain about Actio Pauliana which is regulated in the Civil Code and Actio Pauliana which is regulated in UUKPKPU in order to provide protection for creditors. This writing gives the result that Actio Pauliana’s lawsuit which is regulated in the Civil Code is submitted to the District Court and cannot be justifi ed and can take a long time. Unlike the case with Actio Pauliana which is regulated in the UUPKPU, the fi ling of a lawsuit is made to the Commercial Court and can be proven simply so that it can provide more protection for creditors.
UPAYA PEMANGGILAN PAKSA OLEH BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) TERHADAP PELAKU USAHA YANG TIDAK HADIR DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Mantili, Rai
VYAVAHARA DUTA Vol 13, No 1 (2018): Maret 2018
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25078/vd.v13i1.528

Abstract

One of the authorities of the Consumer Dispute Settlement Agency (BPSK) is to receive both written and unwritten complaints from consumers regarding the occurrence of violations of consumer protection. Article 52 Sub-Article g of the Consumer Protection Law (UUPK) au- thorizes BPSK to summon business actors who allegedly violate consumer protection. However, in practice in the field, BPSK is not authorized to force involuntary calling of business actors so that many business actors refuse to be present at consumer dispute resolution in BPSK. This research is Normative and Analytical Descriptive Research. In this case, it is a Nor- mative Legal Research in the form of research to find the Law of Concreto, the research to find the law for a case in concreto is an attempt to find out whether the appropriate law to apply in cocreto in order to solve a particular case and see the rule of law is found . This research will illustrate various legal issues and other symptoms related to cases concerning consumer protec- tion and BPSK Implementation of consumer protection law enforcement in practice is not yet fully fea- sible. It can be seen apart from awareness of the ability and independence of consumers to protect themselves against the rights and kewajibanya, also can be seen from law enforcement officers who have not performed optimally. efforts that can be made by BPSK after forced calling of business actors who refuse to attend the consumer dispute resolution can make a verdict verdict if the business actor is not present 3 times on the summons of the session by BPSK as stipulated in Article 52 UUPK and Kemendag. 35/2001.
UPAYA HUKUM KEBERATAN ATAS PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN KONSUMEN (BPSK) BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN HUKUM ACARA PERDATA Mantili, Rai
VYAVAHARA DUTA Vol 14, No 2 (2019): SEPTEMBER 2019
Publisher : Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25078/vd.v14i2.1238

Abstract

Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen dilatarbelakangi oleh adanya globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung dengan kemajuan teknologi dan informatika. Disisi lain kemajuan dan kesadaran konsumen masih rendah sehingga terjadi ketidakseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha. Ketidak seimbangan dimaksud diperparah dengan masih rendahnya tingkat kesadaran, kepedulian dan rasa tanggung jawab pelaku usaha tentang perlindungan konsumen baik didalam memproduksi, memperdagangkan maupun mengiklankan. Perlindungan konsumen pada hakekatnya adalah segalaupaya untuk menjamin adanya kepastian hukum. Konsumen yang bermasalah terhadap produk yang dikonsumsi akan dapat memperoleh haknya secara lebih mudah dan efisien melalui peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Selain itu bisa juga menjadi sebuah akses untuk mendapatkan infomasi dan jaminan perlindungan hukum yang sejajar baik untuk konsumen maupun pelaku usaha.Setelah diberlakukannya Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sejak tanggal 20 April 2000, diharapkan dapat dapat melindungi konsumen secara keseluruhan, mendorong tumbuhnya iklim dunia usaha yang sehat, tangguh , jujur dan bertanggung jawab dalam menghadapi era perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan melalui penyediaan produk yang berkualitas. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), merupakan suatu lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan.BPSK dibentuk melalui Keppres No. 90 Tahun 2001 yang diharapkan dapat melaksanakan penyelenggaraan perlindungan konsumen melalui kegiatan penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen secara adil dan seimbang.
Sosialisasi Management / Employee Stock Option Program (MESOP) Bagi Pengurus Serikat Pekerja Di Kabupaten Karawang Dalam Rangka Peningkatan Partisipasi Kepemilikan Dan Kesejahteraan Pekerja Holyness N Singadimedja; Ema Rahmawati; Rai Mantili
Jurnal Pengabdian Dharma Laksana Vol 4, No 1 (2021): JPDL (Jurnal Pengabdian Dharma Laksana)
Publisher : LPPM Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32493/j.pdl.v4i1.13173

Abstract

Management / employee stock option program di Indonesia merupakan program untuk peningkatan kesejahteraan pekerja  menjadi hal yang penting untuk dipahami oleh tenaga kerja di Indonesia. Program MESOP atau ESOP merupakan suatu program perusahaan yang memungkinkan para karyawan untuk turut serta memiliki saham dari perusahaan tempat mereka bekerja. Tujuan dari program ini adalah sebagai sarana bagi perusahaan untuk memberikan apresiasi kepada karyawannya, serta dapat menciptakan keselarasan kepentingan antara pemegang saham perusahaan dengan manajemen dan karyawan perusahaan tersebut. Dalam pengabdian pada masyarakat ini akan memberikan sosialisasi mengenai Program MESOP yang dilaksankan  oleh Tim Pengabdian Kepada Mayarakat (PPM) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Metode yang dipergunakan dalam kegiatan ini adalah diskusi terarah dengan sasaran Pengurus Serikat Pekerja di perusahaan-perusahan, pengurus Serikat Pekerja cabang Kabupaten Karawang, sehingga dapat memahami dan menjalankan program MESOP untuk peningkatan kesejahteraan Pekerja. Hasil Kegiatan Pengabdian Pada Masyarakat ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan pemahaman bagi pengurus serikat pekerja sehingga kedepannya dapat diajukan untuk masuk dalam ketentuan dalam perjanjian kerja bersama sebagai program yang dapat dijalankan oleh perusahaan dan pekerja.
KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN NIAGA SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG Rai Mantili
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 8, No 1 (2022): Januari - Juni 2022
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v8i1.169

Abstract

Pengertian mengenai utang dapat diartikan secara luas dan sempit. Penyelesaian sengketa utang piutang dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri ataupun di Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus. Namun, penyelesaian sengketa utang piutang di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik yang berbeda. Proses penyelesaian perkara utang piutang melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Niaga terletak pada jangka waktu. Proses penyelesaian di Pengadilan Niaga diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Hal berbeda dengan proses di Pengadilan Negeri yang tidak memiliki ketentuan berapa lama penyelesaian perkara tersebut dijatuhi putusan. Kompetensi absolut Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara utang piutang diatur dalam Pasal 300 ayat (1) UUKPKPU. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara perniagaan, termasuk perkara utang piutang (kepailitan)
Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Gugatan Ganti Rugi Immateriil pada Perkara Perbuatan Melawan Hukum (Analisis Putusan Kasasi No. 3215 K/PDT/2001) Rai Mantili; Anita Afriana
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (245.972 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.86

Abstract

Putusan Mahkamah Agung No. 3215 K/PDT/2001 tanggal 30 Agustus 2007 adalah putusan yang mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat H.M. Soeharto melawan Majalah Times Asia selaku Termohon Kasasi/Tergugat. Putusan Mahkamah Agung tersebut Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar ganti rugi (kerugian immateriil) kepada Pemohon kasasi/Penggugat sebesar Rp 1 Triliun Rupiah. Termohon Kasasi/Tergugat diputus membayar ganti rugi immateriil tersebut atas tindakannya yang memberitakan Pemohon Kasasi/Penggugat disebut sebagai diktator korup di Asia selama 32 tahun. Soeharto menjadi presiden di Indonesia dengan kekayaan ditaksir sekitar US$ 15 miliar yang terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya. Putusan Mahkamah Agung No. 3215 K/PDT/2001 berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menolak gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat. Gugatan ganti rugi immateriil sering ditemui dalam suatu gugatan, namun, dibeberapa putusan, gugatan ganti rugi immateriil tidak selalu dikabulkan oleh hakim. Artikel ini disajikan secara deskriptif analitis yang mengedepankan data sekunder, yaitu menggambarkan masalah hukum dan gejala lainnya yang berkaitan dengan kasus mengenai gugatan ganti rugi immateriil. Putusan hakim kasasi yang mengabulkan tuntutan ganti rugi immateriil sebesar Rp. 1 Triliun memang tidak menyalahi aturan dalam hukum acara karena hakim kasasi tidak melebihi tuntutan gugatan immateriil dari Penggugat sebesar Rp. 189 Triliun, namun, ganti rugi sebesar Rp. 1 Triliun tersebut juga seyogyanya memperhatikan keadilan bagi pihak Tergugat.
KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN NIAGA SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA UTANG PIUTANG Rai Mantili
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 8, No 1 (2022): Januari - Juni 2022
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v8i1.169

Abstract

Pengertian mengenai utang dapat diartikan secara luas dan sempit. Penyelesaian sengketa utang piutang dapat diselesaikan di Pengadilan Negeri ataupun di Pengadilan Niaga yang merupakan pengadilan khusus. Namun, penyelesaian sengketa utang piutang di Pengadilan Negeri dan di Pengadilan Niaga mempunyai karakteristik yang berbeda. Proses penyelesaian perkara utang piutang melalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Niaga terletak pada jangka waktu. Proses penyelesaian di Pengadilan Niaga diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan. Putusan Pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan. Hal berbeda dengan proses di Pengadilan Negeri yang tidak memiliki ketentuan berapa lama penyelesaian perkara tersebut dijatuhi putusan. Kompetensi absolut Pengadilan Niaga dalam memeriksa dan memutus perkara utang piutang diatur dalam Pasal 300 ayat (1) UUKPKPU. Dengan kompetensi absolut ini maka hanya Pengadilan Niaga sebagai satu-satunya badan peradilan yang berhak memeriksa dan memutus perkara perniagaan, termasuk perkara utang piutang (kepailitan)
Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Gugatan Ganti Rugi Immateriil pada Perkara Perbuatan Melawan Hukum (Analisis Putusan Kasasi No. 3215 K/PDT/2001) Rai Mantili; Anita Afriana
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 5, No 1 (2019): Januari - Juni 2019
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v5i1.86

Abstract

Putusan Mahkamah Agung No. 3215 K/PDT/2001 tanggal 30 Agustus 2007 adalah putusan yang mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Penggugat H.M. Soeharto melawan Majalah Times Asia selaku Termohon Kasasi/Tergugat. Putusan Mahkamah Agung tersebut Menghukum Termohon Kasasi/Tergugat untuk membayar ganti rugi (kerugian immateriil) kepada Pemohon kasasi/Penggugat sebesar Rp 1 Triliun Rupiah. Termohon Kasasi/Tergugat diputus membayar ganti rugi immateriil tersebut atas tindakannya yang memberitakan Pemohon Kasasi/Penggugat disebut sebagai diktator korup di Asia selama 32 tahun. Soeharto menjadi presiden di Indonesia dengan kekayaan ditaksir sekitar US$ 15 miliar yang terbagi atas nama Soeharto dan keenam anaknya. Putusan Mahkamah Agung No. 3215 K/PDT/2001 berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi yang menolak gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat. Gugatan ganti rugi immateriil sering ditemui dalam suatu gugatan, namun, dibeberapa putusan, gugatan ganti rugi immateriil tidak selalu dikabulkan oleh hakim. Artikel ini disajikan secara deskriptif analitis yang mengedepankan data sekunder, yaitu menggambarkan masalah hukum dan gejala lainnya yang berkaitan dengan kasus mengenai gugatan ganti rugi immateriil. Putusan hakim kasasi yang mengabulkan tuntutan ganti rugi immateriil sebesar Rp. 1 Triliun memang tidak menyalahi aturan dalam hukum acara karena hakim kasasi tidak melebihi tuntutan gugatan immateriil dari Penggugat sebesar Rp. 189 Triliun, namun, ganti rugi sebesar Rp. 1 Triliun tersebut juga seyogyanya memperhatikan keadilan bagi pihak Tergugat.
MODEL OF BUSINESS ACTIVITIESS OF MICROFINANCE INSTITUTIONS IN INDONESIA Etty Mulyati; Kartikasari Kartikasari; Rai Mantili; Nun Harrieti
Diponegoro Law Review Vol 2, No 2 (2017): Diponegoro Law Review October 2017
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (385.268 KB) | DOI: 10.14710/dilrev.2.2.2017.82-97

Abstract

Micro Finance Institutions (LKM) as non-bank financial institutions, are growing very rapidly in Indonesia. A very large number and scope of business in villages/sub-districts and sub-districts or districts can play a role in an inclusive financial program. The existence of LKM operation much help expand employment and improve the welfare and improving the economy and productivity of the people, especially low-income communities. The problem is how to model the business activities of LKM in Indonesia. This research will use normative juridical approach method, with analytical descriptive research specification. In an effort to provide financial services, which are intended for low-income communities and do not have access to bank financial institutions. LKM can bridge the problems of micro business access to capital is needed in business development. LKM has a different character with the other financial sector businesses, because it is not solely intended for profit. LKM business activities can be done in a conventional or sharia, includes loan/financing for micro enterprises for capital needs in business development, and management of deposits in an effort to bring awareness to the community's fond of saving, besides that LKM also provide consulting services for the purpose of business development community empowerment. To provide legal certainty for the LKM service user community, LKM institutions are regulated in LKM Laws, according to the law the LKM must be a legal entity of the Cooperative or Limited Liability Company Fostering, regulating, and supervising and licensing of LKM is performed by the Financial Services Authority (OJK).