Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

PEMAHAMAN MENGENAI PERLINDUNG KORBAN PERDAGANGAN ANAK (TRAFFICKING) DAN PEKERJA ANAK DI BAWAH UMUR DI JAWA BARAT Putri, Sherly Ayuna; Takariawan, Agus
Dharmakarya Vol 6, No 4 (2017): Desember
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.372 KB)

Abstract

ABSTRAKBanyak faktor yang menyebabkan terjadinya human trafficking ini, salah satunya yaitu ketidaktahuan masyarakat akan perdagangan manusia ini, karena kebanyakan dari mereka adalah kalangan dari keluarga miskin yang berasal dari pedesaaan atau daerah kumuh perkotaan, mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan terbatas, yang terlibat masalah ekonomi,politik dan sosial yang serius, anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, orang tua meninggal dunia, anak-anak putus sekolah, korban kekerasan fisik, psikis, seksual, para pencari kerja (termasuk buruh migran), perempuan dan anak-anak jalanan, korban penculikan, janda cerai akibat pernikahan dini, mereka yang mendapat tekanan dari orang tua atau lingkungannya untuk bekerja, bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih.Peningkatan materi, pembinaan aparatur dan sarana dan prasarana hukum belum diikuti langkah nyata dan kesungguhan pemerintah dan para aparat hukum untuk menegakan supremasi hukum dan menyebabkan keracuan hukum yang mengakibatkan terjadinya krisis hukum di Indonesia sehingga apabila dihubungkan dengan korban anak dalam perdagangan manusia maka terjadilah ketidakadilan dan tiadanya perlindungan hukum terhadap korban karena para aparat penegak hukum bertindak tidak sepenuhnya berdasarkan Undang-Undang, sehingga banyak terjadinya tindak pidana perdagangan orang ini dan tidak adanya perlindungan hukum sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang perlindungan anak dan Undang-Undang  No.21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.Metode yang dipergunakan dalam kegiatan ini adalah diskusi terarah dengan sasaran masyarakat, diskusi ini diikuti oleh semua unsur yang berkepentingan dengan pemahaman dan untuk pemberantasan juga meminimalisir perdagangan anak dan pekerja anak di bawah umur. 
PERDAGANGAN PEREMPUAN DAN ANAK SERTA TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN TRANSNASIONAL TERORGANISIR BERDASARKAN KONVENSI PALERMO Ayu, Maria Efita; Putri, Sherly Ayuna
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol 3, No 1 (2018): Jurnal Bina Mulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (301.275 KB)

Abstract

ABSTRAKKejahatan terorganisir dalam perdagangan perempuan dan anak yang bersifat transnasional merupakan kejahatan yang serius dan berdampak luas bahkan dapat digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana telah ditegaskan dalam Statuta Roma (1998) yang mengatur pengadilan tetap pidana internasional (International Criminal Court). Sasaran ketentuan dalam protokol ll tersebut adalah organisasi kejahatan yang berada di balik perdagangan perempuan dan anak yaitu dengan menghukum para pelakunya dan melindungi korban-korbannya yaitu perempuan dan anak. Di dalam Konvensi Palermo 2000 ditegaskan mengenai tujuan pokok untuk meningkatkan dan memperkuat kerja sama antara negara pihak dalam rangka mencegah dan memberantas kelima jenis kejahatan yang ada dalam konvensi tersebut. Tulisan merupakan hasil penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan mengkaji dan meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan kasus-kasus yang berkaitan dengan masalah mengenai perdagangan perempuan dan anak. Konvensi Palermo (2000) merupakan suatu terobosan bagi dunia internasional, khususnya negara-negara anggota PBB untuk secara efektif dan efisien mencegah dan memberantas kejahatan terorganisasi transnasional. Terobosan tersebut dapat dilihat dalam kesepakatan mengenai definisi kelompok terorganisasi (criminal group) dan ruang lingkup dari kejahatan transnasional.Kata kunci: kejahatan terorganisir; korupsi; perdagangan perempuan dan anak. ABSTRACTOrganized crime in the transnational trafficking of women and children is a serious and far-reaching crime and can even be classified as crimes against humanity as stated in the Rome Statute (1998) which regulates the permanent international criminal court. The objective of the provisions in protocol II is the criminal organization behind the trafficking of women and children, namely by punishing the perpetrators and protecting their victims, namely women and children. In the Palermo Convention2000) it is emphasized that the main objective is to enhance and strengthen cooperation between states parties in preventing and eradicating the five types of crimes which are the jurisdiction of the convention. This paper is the result of a research useing normative juridical approach by reviewing, and examining secondary data in the form of legislation, legal principles, and cases relating to the problem regarding to the trafficking of women and children. Further in Article 3 subparagraph (a) Appendix II of the Palermo Trafficking Protocol (2000), describes the definition of human trafficking in more detail. The problem regarding corruption acts can no longer be classified as ordinary crimes but has become an extraordinary crime.Keywords: corruption; organized crime; trafficking.DOI :  https://doi.org/10.23920/jbmh.v3n1.5 
Praktik Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Melalui Sidang Keliling Dikaitkan dengan Prinsip dan Asas Hukum Acara Perdata Kusmayanti, Hazar; Putri, Sherly Ayuna; Rahmainy, Linda
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 4, No 2 (2018): Juli – Desember 2018
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (572.234 KB) | DOI: 10.36913/jhaper.v4i2.83

Abstract

The religious court through the mobile court made a breakthrough in applying the principle of cheap, simple and fast in the proceedings. The circuit assembly is carried out to fulfi ll the justice of the community especially those who are lawless and live on the edge of the city. This research is intended to find out the practice of conducting a circuit court in religious courts whether it is in accordance with the principles and legal principles of civil procedure. The method used is normative juridical which focuses on research into applicable legal provisions, namely Law No. 48 of 2009 concerning Judicial Power, Het Herziene Indonesisch Reglement or HIR and Perma No.1 of 2015. The specifi cation of this study is descriptive analytical then analyzed using qualitative normative methods. Based on the research conducted that the practice of mobile courts conducted in the Religious Courts is in accordance with the principles and principles of civil procedural law as stated in, Het Herziene Indonesisch Reglement or HIR and the implementation process is in accordance with Perma No.1 of 2015 concerning Integrated Session Services Around the District Court and Religious Court/Syar’iyah Court in Order to Issue Marriage Deed, Marriage Book, and Marriage Certificate
Praktik Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Agama Melalui Sidang Keliling Dikaitkan dengan Prinsip dan Asas Hukum Acara Perdata Kusmayanti, Hazar; Putri, Sherly Ayuna; Rahmainy, Linda
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 4, No 2 (2018): Juli – Desember 2018
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v4i2.83

Abstract

The religious court through the mobile court made a breakthrough in applying the principle of cheap, simple and fast in the proceedings. The circuit assembly is carried out to fulfi ll the justice of the community especially those who are lawless and live on the edge of the city. This research is intended to find out the practice of conducting a circuit court in religious courts whether it is in accordance with the principles and legal principles of civil procedure. The method used is normative juridical which focuses on research into applicable legal provisions, namely Law No. 48 of 2009 concerning Judicial Power, Het Herziene Indonesisch Reglement or HIR and Perma No.1 of 2015. The specifi cation of this study is descriptive analytical then analyzed using qualitative normative methods. Based on the research conducted that the practice of mobile courts conducted in the Religious Courts is in accordance with the principles and principles of civil procedural law as stated in, Het Herziene Indonesisch Reglement or HIR and the implementation process is in accordance with Perma No.1 of 2015 concerning Integrated Session Services Around the District Court and Religious Court/Syar’iyah Court in Order to Issue Marriage Deed, Marriage Book, and Marriage Certificate
DIRUMAHKANNYA PEKERJA YANG BERUJUNG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK) PADA MASA PANDEMI COVID-19 SECARA SEPIHAK BERDASARKAN PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN SECARA NON LITIGASI Putri, Sherly Ayuna; Karsona, Agus Mulya; Singadimedja, Holyness
ADHAPER: Jurnal Hukum Acara Perdata Vol 8, No 1 (2022): Januari - Juni 2022
Publisher : Departemen Hukum Perdata

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36913/jhaper.v8i1.176

Abstract

Pada awal tahun 2020, Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) telah menjadi masalah kesehatan global yang kemudian ditetapkan sebagai pandemi oleh World Health Organization (WHO) pada tanggal 11 Maret 2020. Pandemi Covid-19 ini menyebar di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia. Telah meninggalkan beberapa permasalahan tidak saja dari sisi perekonomian, sosial, bahkan problematika hukum. Ketika berbagai kegiatan harus dilakukan Work From Home (WFH) berdasarkan instruksi dan berbagai aturan pemerintah pusat dan daerah menyebabkan beberapa perusahaan dengan sangat terpaksa berhenti beroperasi serta merumahkan karyawan (pekerja). Dampak lebih jauh dari merumahkan pekerja adalah dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Penyelesaian PHK menimbulkan polemik lebih jauh dan persepsi yang berbeda diantara para pihak dalam hal ini perusahaan dan pekerja sehingga berujung pada terjadinya sengketa. Penelitian ini bersifat kebaruan dan sesuai dengan kepakaran para peneliti, dengan permasalahan yang hendak diteliti meliputi perlindungan bagi pekerja yang terkena pengrumahan berujung pemutusan hubungan kerja akibat dari adanya pandemi Covid 19 dan solusi penyelesaian sengketa ketenagakerjaan yang dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak akibat pemutusan hubungan kerja pada masa pandemi Covid 19. Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Perlindungan bagi pekerja akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak oleh perusahaan yang mengalami kerugian akibat adanya pandemi Covid-19, maka solusi penyelesaian sengketa ketenagakerjaan terkait PHK sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang dapat menguntungkan dan memberikan rasa keadilan bagi semua pihak. Penyelesaian sengketa ketenagakerjaan melalui perundingan bipartit dapat dijadikan alternatif, oleh para pihak yang berselisih
Pelindungan Rahasia Dagang dalam Industri Jasa Telekomunikasi Ramli, Ahmad M; Dewi, Sinta; Rafianti, Laina; Ramli, Tasya Safiranita; Putri, Sherly Ayuna; Lestari, Maudy Andreana
Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum Vol 15, No 2 (2021): July Edition
Publisher : Law and Human Rights Research and Development Agency

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/kebijakan.2021.V15.215-230

Abstract

Tak dapat disangkal, pesatnya perubahan dunia pada era globalisasi berpangkal dari teknologi informasi yang kian berkembang. Berbaurnya teknologi dengan telekomunikasi menimbulkan revolusi pada sistem informasi. Dahulu, untuk mengakses atau mengolah data dan informasi, manusia membutuhkan proses yang panjang. Kini, dunia seolah diberikan kemudahan dalam mengakses dan terhubung dengan beragam informasi dan data yang tersaji. Lain halnya dengan Rahasia Dagang sebagai bagian dari kekayaan intelektual yang bernilai ekonomi tinggi dalam kegiatan usaha di Indonesia. Nilai ekonomi dari Rahasia Dagang melekat karena adanya informasi yang sengaja untuk tidak diketahui oleh umum. Hal tersebut menjadikan elemen ini termasuk salah satu bagian yang cukup menarik atensi. Mengingat pada era ini, industri jasa telekomunikasi seolah menopang tanggung jawab besar untuk melindungi setiap data yang masuk ke dalam dunia digital. Terdapatnya resiko berupa kebocoran data yang bersifat rahasia menjadi problematika terhadap pelindungan data dalam industri jasa telekomunikasi. Dengan ini, digunakan metode penelitian yuridis normatif melalui pengumpulan data yang dilakukan secara daring. Penelitian ini menghasilkan sebuah rujukan perihal pengaturan yang tepat sesuai kebutuhan Indonesia dalam merespon pelindungan data sebagai rahasia dagang pada jasa telekomunikasi yang belum terakomodir dengan baik saat ini. Melalui optimalisasi keberadaan umbrella regulation dan penyusunan kebijakan khusus dalam sektor telekomunikasi berupa co-regulation atau self-regulation.
The Character of Peace in Judges’ Customary Criminal Receptions as Restorative Justice Kusmayanti, Hazar; Putri, Sherly Ayuna; Fakhriah, Efa Laela; Rajamanickam, Ramalinggam
Journal of Law and Legal Reform Vol. 5 No. 1 (2024): Contemporary Global Issues on Law Reform, Legal Certainty, and Justice
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jllr.vol5i1.2518

Abstract

The idea that restorative justice primarily derives from indigenous communities' beliefs, which have existed for a very long time and have evolved into customary law from generation to generation, gave rise to the term restorative justice in Indonesia. According to Article 5 paragraph (1) of the Judicial Power Law, it is the duty of the judge to investigate, adhere to, and comprehend the legal values and sense of justice that exist in society. The author of this study will examine how judges in courts use restorative justice in the process of interpreting local customary law to avoid conflicts with it. And discover what challenges judges in court face in accepting this customary law. The author's research strategy is normative juridical and is based on primary, secondary, and tertiary legal resources. According to research, district court judges can significantly contribute to the realization of restorative justice in the context of customary criminal law by having a thorough understanding of customary law, employing a mediation approach, enforcing restorative sanctions, offering education and counseling; and placing a high priority on reconciliation. The current national criminal justice system can be viewed as failing to represent the interests of victims. The social background of the judge's origin, the judge's educational background, the judge's ethnicity, and the environment at the time of the hearing are all barriers to judges accepting customary law in their decisions.
Permohonan Perceraian Disertai Kesepakatan Melepaskan Diri Dari Kuasa Asuh Sebagai Ibu Anak Dibawah Umur Dikaitkan Dengan Undang-Undang Perlindungan Anak Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Fricilia, Dzahra Amanda; Komalawati, Veronica; Putri, Sherly Ayuna
Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains Vol 4 No 01 (2025): Jurnal Hukum dan HAM Wara Sains
Publisher : Westscience Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58812/jhhws.v4i01.1762

Abstract

Keluarga dibentuk untuk mempertahankan keturunan. Dengan kelahiran seorang anak, orang tua memiliki tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Kuasa asuh anak ditetapkan apabila saat perceraian terjadi telah memiliki anak. Ibu memiliki kuasa untuk mengasuh anak yang belum cukup umur atau masih di bawah umur dua belas tahun. Namun, ada seorang ibu yang mengajukan perceraian sekaligus melepaskan diri dari tanggung jawab asuhnya untuk menjaga dan membesarkan anaknya. Akibatnya, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kuasa asuh anak di bawah umur setelah perceraian dan akibat hukum dari melepaskan kuasa asuh anak di bawah umur. Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dan analitis untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang subjek penelitian. Untuk mendapatkan hasil penelitian, metode ini digunakan secara yuridis normatif, yang berarti penelitian kepustakaan digunakan untuk menitikberatkan pada data sekunder. Penelitian di lapangan hanya dilakukan untuk mendukung data sekunder ini. Hasil penelitian yang didapatkan setelah perceraian, ayah atau ibu tetap bertanggung jawab untuk mengasuh anak mereka. Menentukan kepada siapa kuasa asuh diberikan akan dilakukan demi kepentingan terbaik bagi anak. Kuasa asuh anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun diberikan kepada ibunya, menurut KHI. Kuasa asuh anak tidak memutuskan hubungan anak dengan orang tuanya yang tidak memiliki kuasa asuh. Sesuai dengan UU Perkawinan dan UU Perlindungan Anak, seorang ibu yang menyerahkan kuasa asuh anaknya tetap memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak-anaknya.
Emoji Thumbs Up Sebagai Bentuk Persetujuan Terhadap Kontrak Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia Sihombing, Eva; Ramli, Tasya Safiranita; Putri, Sherly Ayuna
Jurnal Multidisiplin West Science Vol 3 No 03 (2024): Jurnal Multidisiplin West Science
Publisher : Westscience Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58812/jmws.v3i03.1036

Abstract

Kemajuan teknologi yang terjadi menghasilkan banyak penemuan baru, salah satunya emoji dalam komunikasi. Masyarakat mulai beralih dari komunikasi secara konvensional menuju komunikasi melalui sistem elektronik. Walaupun esensi dari komunikasi tidak berubah signifikan, nyatanya terjadi konflik terkait penggunaan emoji itu sendiri, dalam hal ini terkait emoji thumbs up. Oleh karena itu, diperlukan suatu penelitian komprehensif mengenai relevansi kedudukan emoji thumbs up di Indonesia. Penelitian ini menerapkan metode yuridis normatif yaitu meneliti sumber kepustakaan atau bahan sekunder. Penelitian ini membahas mengenai kedudukan emoji thumbs up itu sendiri serta sejauh mana praktik di Indonesia dapat mengakomodir penggunaan emoji thumbs up di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia belum mengatur mengenai kedudukan emoji thumbs up. Namun, berdasarkan regulasi lainnya yang berkaitan dengan sistem elektronik, kedudukan emoji thumbs up sendiri belum dapat disamakan dengan bentuk-bentuk persetujuan elektronik lainnya.
Implementing Combined Process (Mediation-Arbitration) in Industrial Relations Dispute Resolution: A Legal Justice Perspective Megabriella, Roro; Karsona, Agus Mulya; Putri, Sherly Ayuna
Eduvest - Journal of Universal Studies Vol. 5 No. 12 (2025): Eduvest - Journal of Universal Studies
Publisher : Green Publisher Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59188/eduvest.v5i12.51801

Abstract

Combined Process (Mediation-Arbitration) is an innovative Alternative Dispute Resolution mechanism that unifies mediation’s flexibility and party autonomy with arbitration’s finality and enforceability. This hybrid offers a potentially more effective means of resolving Industrial Relations disputes. Although successfully applied in countries like China, Singapore, and the United States, Indonesia’s legal system lacks explicit provisions for this mechanism, creating uncertainty in its regulation and enforceability. This study aims to examine the use of the Combined Process (Mediation-Arbitration) for resolving industrial relations disputes and analyze it through the principle of legal justice. Using a normative juridical approach, the research reviews relevant laws and regulations to explore how this mechanism is implemented. Indonesia’s Law No. 2 of 2004 governs mediation and arbitration separately but does not explicitly acknowledge the Combined Process, leading to procedural ambiguity and unclear jurisdictional boundaries. This regulatory gap hinders the mechanism’s effective implementation despite its advantages in promoting efficiency and party satisfaction. The study finds that the Combined Process (Mediation-Arbitration) aligns with legal justice principles by fostering balance, transparency, and participation in dispute resolution. However, it requires formal legislative recognition and clear procedural rules to ensure legal certainty and practical effectiveness within Indonesia’s industrial relations framework.