Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies

Islam and the Changing Meaning of Spiritualitas and Spiritual in Contemporary Indonesia Muttaqin, Ahmad
Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies Vol 50, No 1 (2012)
Publisher : Al-Jamiah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2012.501.23-56

Abstract

Spiritualitas, an Indonesian term derived from English word’s spirituality, and spiritual from English’s spiritual, are now commonly used in Indonesian discourses. This paper traces earliest usages of the term spiritualitas and spiritual and then explores their changing meaning in contemporary Indonesia. Unlike in the past, where Indonesian government broadly used the terms to refer indigenous mystical legacies of the Aliran Kepercayaan or Kebatinan designing them as not religion but merely cultural legacy (adat, budaya spiritual), the current usage of the terms indicates a growing trend of Indonesian world religions, mainly Islam, in absorbing and acquiring the terms as kind of religious expressions. This trend is quite different from that happen in the West; while the growing of spirituality is correlated to the declining of Western affiliation and participation in religion, mainly Christianity; in Indonesia, world religions, especially Islam, seem to be the sponsor of spirituality. Thus, instead of spirituality will silently take over religion as predicted by Jaremy Carrette and Richard King (2005), the mainstream religious groups seem to take over spirituality.[Istilah spiritual dan spiritulitas akhir-akhir ini banyak digunakan di Indonesia, merujuk tidak hanya pada ekspresi spiritual di luar agama, namun juga yang ada dalam tradsi keagaamaan. Tulisan ini menelaah awal mula penggunaan istilah spiritual dan spiritualitas dalam khazanah literatur pasca kemerdekaan serta fase-fase perubahan makna dari istilah tersebut pada masa-masa sesudahnya. Pada fase awal, pemerintah Indonesia secara massif menggunakan istilah spiritual untuk menunjuk tradisi keberagamaan di luar agama-agama resmi yang berbasis pada mistisisme agama-agama lokal seperti Aliran Kepercayaan dan Kebatinan. Hal ini mengisyaratkan bahwa istilah spiritual tersebut digunakan untuk menekankan bahwa tradisi beragamaan lokal tersebut bukan agama, hanya warisan budaya atau adat istiadat. Namun, kecenderangan baru sejak akhir 1990an hingga saat ini menunjukkan bahwa agama-agama resmi, terutama Islam, secara massif telah menggunakan istilah spiritual maupun spiritualitas sebagai padanan dari ekspresi batin keberagamaan (inner religious expression). Trend semacam ini cukup unik bila dibandingkan dengan yang terjadi di Barat, sebab tumbuh suburnya gerakan spiritual di Barat terjadi pada saat menurunnya tingkat afiliasi publik terhadap agama-agama besar, terutama Kristen; sedangkan di Indonesia agama-agama besar dunia, terutama Islam, menjadi sponsor utama populernya istilah spiritual dan spiritualitas serta munculnya gerakan-gerakan spiritual berbasis agama. Oleh karena itu, prediksi Jaremy Carrete dan Richard King yang menyatakan “pengambil alihan peran agama oleh spiritualitas” sebagaimana yang terjadi di dunia Barat, tidak terjadi di Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi di Indonesia adalah agama-agama besar dunia telah mengambil alih peran dan fungsi spiritualitas.]
Ethnicity-Based Religiousity: Multi-Faceted Islam in Miami, USA, in the Age of War on Terrorism Muttaqin, Ahmad; Maarif, Samsul
Al-Jamiah: Journal of Islamic Studies Vol 44, No 2 (2006)
Publisher : Al-Jamiah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2006.442.275-294

Abstract

Minoritas muslim seringkali menunjukkan perilaku yang ambigu. Satu sisi mereka mendambakan pengakuan dan perlakukan yang tidak diskriminatif dari kalangan mayoritas-non Muslim, namun di sisi lain ada “keengganan” untuk berbaur dengan kelompok mayoritas. Tulisan ini menguraikan dua tipe minoritas Muslim di Miami, Florida, Amerika Serikat, Muslim imigran dan Muslim kelahiran Amerika, serta menjelaskan berbagai faktor keengganan mereka dalam berbaur dengan mayoritas non Muslim. Di antara faktor keengganan tersebut adalah kesulitan mereka mencari rujukan ajaran Islam yang melegitimitasi “etika proaktif ” minoritas terhadap mayoritas, segmentasi etnis, kebangsaan dan paham keagamaan minoritas Muslim, serta beban psikis mereka yang merasa belum sepenuhnya menjadi warga negara Amerika Serikat. Dibandingkan kaum Muslim imigran yang sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan Pakistan, kaum Muslim keturunan Afrika yang lahir di Amerika cenderung lebih terbuka dan aktif berbaur dengan kelompok mayoritas non-Muslim. Sikap ini ternyata berkorelasi positif dengan perlakukan yang mereka peroleh pasca tragedy 9/11. Kelompok pertama merasa selalu menjadi target operasi anti teror pemerintah Amerika, sedangkan kelompok kedua justru menekankan bahwa mereka adalah korban dari terorisme tersebut.
Islam and the Changing Meaning of Spiritualitas and Spiritual in Contemporary Indonesia Ahmad Muttaqin
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies Vol 50, No 1 (2012)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2012.501.23-56

Abstract

Spiritualitas, an Indonesian term derived from English word’s spirituality, and spiritual from English’s spiritual, are now commonly used in Indonesian discourses. This paper traces earliest usages of the term spiritualitas and spiritual and then explores their changing meaning in contemporary Indonesia. Unlike in the past, where Indonesian government broadly used the terms to refer indigenous mystical legacies of the Aliran Kepercayaan or Kebatinan designing them as not religion but merely cultural legacy (adat, budaya spiritual), the current usage of the terms indicates a growing trend of Indonesian world religions, mainly Islam, in absorbing and acquiring the terms as kind of religious expressions. This trend is quite different from that happen in the West; while the growing of spirituality is correlated to the declining of Western affiliation and participation in religion, mainly Christianity; in Indonesia, world religions, especially Islam, seem to be the sponsor of spirituality. Thus, instead of spirituality will silently take over religion as predicted by Jaremy Carrette and Richard King (2005), the mainstream religious groups seem to take over spirituality.[Istilah spiritual dan spiritulitas akhir-akhir ini banyak digunakan di Indonesia, merujuk tidak hanya pada ekspresi spiritual di luar agama, namun juga yang ada dalam tradsi keagaamaan. Tulisan ini menelaah awal mula penggunaan istilah spiritual dan spiritualitas dalam khazanah literatur pasca kemerdekaan serta fase-fase perubahan makna dari istilah tersebut pada masa-masa sesudahnya. Pada fase awal, pemerintah Indonesia secara massif menggunakan istilah spiritual untuk menunjuk tradisi keberagamaan di luar agama-agama resmi yang berbasis pada mistisisme agama-agama lokal seperti Aliran Kepercayaan dan Kebatinan. Hal ini mengisyaratkan bahwa istilah spiritual tersebut digunakan untuk menekankan bahwa tradisi beragamaan lokal tersebut bukan agama, hanya warisan budaya atau adat istiadat. Namun, kecenderangan baru sejak akhir 1990an hingga saat ini menunjukkan bahwa agama-agama resmi, terutama Islam, secara massif telah menggunakan istilah spiritual maupun spiritualitas sebagai padanan dari ekspresi batin keberagamaan (inner religious expression). Trend semacam ini cukup unik bila dibandingkan dengan yang terjadi di Barat, sebab tumbuh suburnya gerakan spiritual di Barat terjadi pada saat menurunnya tingkat afiliasi publik terhadap agama-agama besar, terutama Kristen; sedangkan di Indonesia agama-agama besar dunia, terutama Islam, menjadi sponsor utama populernya istilah spiritual dan spiritualitas serta munculnya gerakan-gerakan spiritual berbasis agama. Oleh karena itu, prediksi Jaremy Carrete dan Richard King yang menyatakan “pengambil alihan peran agama oleh spiritualitas” sebagaimana yang terjadi di dunia Barat, tidak terjadi di Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi di Indonesia adalah agama-agama besar dunia telah mengambil alih peran dan fungsi spiritualitas.]
Ethnicity-Based Religiousity: Multi-Faceted Islam in Miami, USA, in the Age of War on Terrorism Ahmad Muttaqin; Samsul Maarif
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies Vol 44, No 2 (2006)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2006.442.275-294

Abstract

Minoritas muslim seringkali menunjukkan perilaku yang ambigu. Satu sisi mereka mendambakan pengakuan dan perlakukan yang tidak diskriminatif dari kalangan mayoritas-non Muslim, namun di sisi lain ada “keengganan” untuk berbaur dengan kelompok mayoritas. Tulisan ini menguraikan dua tipe minoritas Muslim di Miami, Florida, Amerika Serikat, Muslim imigran dan Muslim kelahiran Amerika, serta menjelaskan berbagai faktor keengganan mereka dalam berbaur dengan mayoritas non Muslim. Di antara faktor keengganan tersebut adalah kesulitan mereka mencari rujukan ajaran Islam yang melegitimitasi “etika proaktif ” minoritas terhadap mayoritas, segmentasi etnis, kebangsaan dan paham keagamaan minoritas Muslim, serta beban psikis mereka yang merasa belum sepenuhnya menjadi warga negara Amerika Serikat. Dibandingkan kaum Muslim imigran yang sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan Pakistan, kaum Muslim keturunan Afrika yang lahir di Amerika cenderung lebih terbuka dan aktif berbaur dengan kelompok mayoritas non-Muslim. Sikap ini ternyata berkorelasi positif dengan perlakukan yang mereka peroleh pasca tragedy 9/11. Kelompok pertama merasa selalu menjadi target operasi anti teror pemerintah Amerika, sedangkan kelompok kedua justru menekankan bahwa mereka adalah korban dari terorisme tersebut.
Expanding Religious Freedom Through Organizational Forms: Kebatinan, Sufism and The Global Growth Movement in Indonesia’s Spiritual Training Industry Muttaqin, Ahmad; Sulistiyanto, Priyambudi
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies Vol 62, No 2 (2024)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2024.622.363-385

Abstract

In Indonesia, the practice of religious freedom remains deeply contested, with marginal spiritual movements often subject to stricter limitations than their officially recognized counterparts. This paper investigates two hybrid spiritual groups in contemporary Indonesia, Bhakti Nusantara and Bionergi, based in Yogyakarta, which integrate elements of Javanese spiritual traditions (Kebatinan), Sufism, and facets of the Global Growth Movement. Despite their syncretic practices, these organizations occupy a distinctive social position that grants them greater latitude in religious and spiritual expression. By comparing them with other fringe spiritual movements that have faced criticism and blasphemy charges, this paper argues that their status as spiritual or religious corporations enables them to enjoy broader freedoms. This distinction highlights the complexities of religious freedom and its dynamic governance in Indonesia, where the legal and social treatment of spiritual groups can vary significantly depending on their organizational shape and social location.[Di Indonesia, praktik kebebasan beragama tetap menjadi isu yang masih sering diperdebatkan dan gerakan spiritual marginal sering kali mendapat tantangan yang lebih berat dibandingkan kelompok keagamaan resmi. Makalah ini mengkaji dua kelompok spiritual hibrida di Indonesia kontemporer, Bhakti Nusantara dan Bionergi, yang berbasis di Yogyakarta, yang mengintegrasikan elemen tradisi spiritual Jawa (Kebatinan), Tasawuf, dan elemen-elemen dari Global Growth Movement. Meskipun bersifat sinkretik, dua kelompok ini mempunyai posisi sosial unik. Konfigurasi organisasi yang unik memberi mereka kebebasan yang lebih luas dalam mengekspresikan praktik keagamaan dan spiritual. Dibandingkan dengan gerakan-gerakan spiritual pinggiran lain yang sering mendapat kritik dan tuduhan penodaan agama, dua kelompok ini dengan status sebagai korporasi spiritual mendapat kebebasan yang lebih luas. Temuan ini menandakan kompleksitas dan dinamika tata kelola kebebasan beragama di Indonesia, bahwa ragam perlakukan kebebasan yang didapat secara sosial dan legal suatu kelompok spiritual turut ditentukan oleh bentuk organisasi dan lokasi sosialnya.]