Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Walisongo Law Review (Walrev)

Blasphemy as a Criminal Offence: Legal Transformation in Indonesia from Colonial Era to Modern Rokhmad, Abu; Saifudin, Saifudin; Sunandar, Sunandar; Nurdin, Nazar
Walisongo Law Review (Walrev) Vol. 6 No. 1 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/walrev.2024.6.1.22667

Abstract

This paper was written to answer three important questions, namely knowing the narrative trend and the transformation model for blasphemy offenses in Indonesian legislation. Religious offenses are the only state instrument to crackdown on perpetrators of blasphemy. The implementation of the blasphemy offense in practice has been criticized, especially in relation to human rights violations. The results of this study confirm three things, firstly, religious offenses were first regulated through a Circular Letter of the Supreme Court in 1964 and PNPS Number 1 1965 which were designed to prevent the deviation of religious teachings and to protect religious peace. Blasphemy offenses were included in the Criminal Code in the New Order, then strengthened in the Reformation Era by incorporating blasphemy offenses into Law No. 11 of 2008. Second, the transformation of religious offenses stems from the British code applied in India, adopted by the Dutch colonial government and used in the region. Dutch East Indies because there are many similarities in cultural diversity between India and Indonesia. Third, the conception of religious offenses in KUHP makes religious blasphemy the basis for criminal acts. Religion is not the only element of a crime, but as an element that is an important part of a crime. Implementation of the guarantee of freedom of religion is indeed not easy to do because of differences in the definition of religion and freedom of religion; different definitions of human rights; and differences in the meaning of human rights protection. Tulisan ini ditulis untuk menjawab tiga pertanyaan penting, yakni mengetahui tren narasi dan model transformasi tindak pidana penodaan agama dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Delik agama merupakan satu-satunya instrumen negara untuk menindak pelaku penodaan agama. Penerapan tindak pidana penodaan agama dalam praktiknya banyak menuai kritik, terutama terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hasil penelitian ini menegaskan tiga hal, pertama, delik keagamaan pertama kali diatur melalui Surat Edaran Mahkamah Agung tahun 1964 dan PNPS Nomor 1 Tahun 1965 yang dirancang untuk mencegah penyimpangan ajaran agama dan menjaga ketentraman umat beragama. Delik penodaan agama dimasukkan dalam KUHP pada masa Orde Baru, kemudian diperkuat pada Era Reformasi dengan memasukkan delik penodaan agama ke dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Kedua, transformasi delik keagamaan bermula dari KUHP Inggris yang diterapkan di India, yang diadopsi oleh KUHP. Pemerintah kolonial Belanda dan digunakan di wilayah tersebut. Hindia Belanda karena banyak kesamaan keanekaragaman budaya antara India dan Indonesia. Ketiga, konsepsi delik agama dalam KUHP menjadikan penodaan agama sebagai dasar tindak pidana. Agama bukan satu-satunya unsur suatu kejahatan, namun sebagai unsur yang menjadi bagian penting dalam suatu kejahatan. Implementasi jaminan kebebasan beragama memang tidak mudah dilakukan karena adanya perbedaan definisi agama dan kebebasan beragama; definisi hak asasi manusia yang berbeda; dan perbedaan makna perlindungan hak asasi manusia
Blasphemy as a Criminal Offence: Legal Transformation in Indonesia from Colonial Era to Modern Rokhmad, Abu; Saifudin, Saifudin; Sunandar, Sunandar; Nurdin, Nazar
Walisongo Law Review (Walrev) Vol. 6 No. 1 (2024)
Publisher : Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/walrev.2024.6.1.22667

Abstract

This research is motivated by the persistence of religious offenses, which serve as the state’s primary legal instrument for prosecuting acts of blasphemy. This situation raises fundamental conceptual issues regarding the definition and application of blasphemy as a criminal offense. The study aims to examine the historical development and transformation of blasphemy offenses within Indonesia’s legislative framework, from the colonial period to the modern era. The enforcement of blasphemy laws in practice has drawn substantial criticism, particularly concerning potential violations of human rights and freedom of religion. The findings indicate that religious offenses are regulated under the Supreme Court Circular Letter of 1964 and Law No. 1 of 1965 on the Prevention of Religious Deviations and the Maintenance of Religious Harmony. Blasphemy crimes are further codified in the Indonesian Criminal Code and Law No. 11 of 2008 on Electronic Information and Transactions. The concept of blasphemy in the Criminal Code establishes it as a core element of criminal liability, wherein religion is not merely incidental but a constitutive element of the offense itself. The protection of religious freedom is influenced by the plurality of definitions of religion, interpretations of human rights, and the evolving understanding of legal safeguards for fundamental freedoms. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keberlanjutan pengaturan tindak pidana agama yang berfungsi sebagai instrumen hukum utama negara dalam menuntut pelaku penodaan agama. Kondisi ini menimbulkan persoalan konseptual mendasar mengenai definisi dan penerapan penodaan agama sebagai tindak pidana. Studi ini bertujuan untuk menelusuri perkembangan historis dan transformasi pengaturan tindak pidana penodaan agama dalam kerangka legislasi Indonesia, mulai dari masa kolonial hingga era modern. Penerapan hukum penodaan agama dalam praktiknya banyak menuai kritik, terutama terkait potensi pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak pidana agama diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Tahun 1964 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama serta Pemeliharaan Kerukunan Hidup Antar Uat Beragama. Selain itu, tindak pidana penodaan agama juga dikodifikasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Konsep penodaan agama dalam KUHP menempatkan agama bukan sekadar unsur tambahan, tetapi sebagai elemen konstitusi dari tindak pidana itu sendiri. Perlindungan terhadap kebebasan beragama dipengaruhi oleh keragaman definisi agama, interpretasi hak asasi manusia, serta pemahaman yang terus berkembang terhadap jaminan hukum bagi kebebasan fundamental. Keywords: Blasphemy; Criminal Offense; Religious Crime; Legal Transformation