Claim Missing Document
Check
Articles

PENERAPAN PRINSIP AKUNTABILITAS (ACCOUNTABILITY) DAN PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN (RESPONSIBILITY) GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) TERKAIT PERJANJIAN SRIWIJAYA AIR TRAVEL PASS (SJTP) Maheswari, Ayunda Gayatri; Murwadji, Tarsisius; Suwandono, Agus
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 1 (2020): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/hermeneutika.v4i1.3273

Abstract

Penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) mengarahkan perusahaan untuk membentuk tata kelola manajemen perusahaan yang bersih, transparan, dan professional. Penerapan prinsip GCG di Indonesia masih tergolong rendah, berakibat pada munculnya salah satu kasus yaitu mengenai Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) terkait Perjanjian Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP) dan apakah penerapannya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pengaturan lainnya, dan menganalisis akibat hukum apabila tidak diterapkannya prinsip tersebut di PT. Sriwijaya Air. Metode penelitian yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode pendekatan yuridis implementatif, yaitu metode penelitian hukum yang mencari kesesuaian fakta di lapangan dengan peraturan yang mengaturnya, dalam hal ini  prinsip Good Corporate Governance (GCG) di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang akan menjadi dasar yuridis terkait perjanjian keanggotaan Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP) serta peraturan perundang-undangan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa maskapai Sriwijaya Air belum menerapkan prinsip Akuntabilitas (Accountability) dan prinsip pertanggungjawaban (Responsibility) Good Corporate Governance (GCG) di dalam peraturan internal perusahaan dan secara otomatis tidak pula diterapkan di dalam perjanjian Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP) sehingga pihak maskapai Sriwijaya Air memiliki kewajiban untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen/anggota Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP).
IMPLIKASI PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN JASA KEUANGAN DIKAITKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Agus Suwandono
Perspektif Vol 21, No 1 (2016): Edisi Januari
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (378.475 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v21i1.175

Abstract

Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UUOJK), membawa harapan dan kepastian hukum bagi perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan di Indonesia. Namun demikian sebelum pemberlakuan UUOJK, telah terdapat pengaturan mengenai perlindungan konsumen, yakni dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Ruang lingkup pengaturan UUPK pada dasarnya juga mencakup perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan yakni perbankan, lembaga pembiayaan dan asuransi. Metode penelitian merupakan metode yuridis normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode normatif. Berdasarkan hasil dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa pengaturan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan dalam UUOJK pada dasarnya merupakan peraturan khusus yang mengatur mengenai perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan. Namun karena adanya perbedaan definisi konsumen dalam UUPK dan UUOJK maka secara umum UUPK bukan merupakan lex generalis dari UUOJK. UUOJK dapat dipandang sebagai lex specialis dari UUPK sepanjang mengenai konsumen dalam pengertian konsumen menurut UUPK.Enforcement of the Act No. 21 Year 2011 on the Financial Services Authority (UUOJK) brings hope and legal certainty for consumer protection in the financial service sector in Indonesia. However, there has been a regulation on consumer protection, namely in Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection (UUPK) before the enactment of UUOJK. The scope of UUPK regulation also basically includes consumer protection in the financial service sector which are banking, finance and insurance institutions. This study is a normative legal research which studies library materials or secondary data. The study is analytical descriptive that uses normative methods. Based on the results and discussion, it is concluded that regulation of consumer protection in the financial service sector written in UUOJK is basically special rules governing consumer protection in the financial service sector. However, UUPK is generally not a lex generalis of UUOJK due to different definition of consumer in UUPK and UUOJK. In the case of term consumer according to UUPK, UUOJK can be regarded as lex specialis of UUPK.
Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Peer To Peer Lending Atas Perbuatan Melawan Hukum Yang Dilakukan Oleh Debt Collector Deza Pasma Juniar; Agus Suwandono; Helitha Novianty Muchtar
Widya Yuridika Vol 3, No 2 (2020): Widya Yuridika: Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Widya Gama Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31328/wy.v3i2.1505

Abstract

The Financial Services Authority (OJK) in carrying out the regulatory function has regulated peer to peer lending in POJK No.77 / POJK.01/ 2016 (POJK LPMUBTI), but in the POJK LPMUBTI does not regulate the use of third parties or debt collector when collecting loans to consumers. This is only regulated in the Code of Conduct created by AFPI and there are still infringement by third parties or debt collectors peer to peer lending to consumers when collecting loans to consumers. This research is to analyse the regulation of the use of third parties or debt collectors in peer to peer lending when collecting loan to consumers and dispute resolution that can be done by consumers against debt collectors who commit unlawful acts in collecting loans. The method used in this article is normative juridical approach, which focuses on examining the implementation of written legal regulations and literatures. The results of this research shows that the Financial Services Authority has not yet regulated about the regulation of the use of debt collectors in peer to peer lending, it is only regulated in the Code of Conduct prepared by AFPI, so that it does not have a legal position thereby causing legal uncertainty. And it also shows that consumers can do dispute resolution in two steps, first complaint through the peer to peer lending providers and the second is through litigation process or non litigation process such as through the Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS) provided by the OJK. 
Implementasi Besaran Bunga Peer to Peer Lending Berdasarkan Asas Itikad Baik dalam Pemanfaatan Teknologi Informasi Serta Pengawasannya Anita Khoirunisa; Agus Suwandono; Helitha Novianty Muchtar
Widya Yuridika Vol 3, No 1 (2020): Widya Yuridika: Jurnal Hukum
Publisher : Universitas Widya Gama Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (554.038 KB) | DOI: 10.31328/wy.v3i1.1294

Abstract

Peer to Peer Lending (“P2P Lending”) is one of financial technology products as financing alternative for public. The execution of P2P Lending is under supervision of OJK which regulated in POJK Number 77/POJK.01/2016. OJK appointed AFPI as OJK’s strategic partner who is authorized to make regulations on the execution of P2P Lending for Providers which accommodated in Code of Conduct formed by AFPI. In brief, this Code of Conduct contains rules that have not been accommodated in POJK Number 77/POJK.01/2016, which interest rates regulation is a part of the Code of Conduct. Interest rates in P2P Lending only accommodated in Code of Conduct, but it has not been well obeyed by the Providers because there are still infringement in determining the interest rates which exceed the predetermined standard with the unclear interest rate information notice. Therefore, this article aims to analyse the application of P2P Lending interest rates which only regulated in Code of Conduct. Furthermore, researcher will also analyse the utilization of information technology in P2P Lending to find out whether the implementation of P2P is in accordance with the good faith principle of the use of information technology in Law Number 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions. The results of this legal research indicate that OJK are expected to set loan interest rates in P2P Lending individually so that it can provide legal certainty for each party in P2P Lending which impacts on the implementation of P2P Lending.
Penyelenggaraan Umrah Dalam Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen Pasca PMA No. 8 Tahun 2018 Agus Suwandono; Susilowati S. Dajaan
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 10 No. 2 (2020): Oktober
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/ad.2020.10.2.170-200

Abstract

To give better protection to the prospective participant of the Islamic pilgrimage (‘umrah), the Minister of Religious Affairs has just added consideration to the Consumer Protection Law in enacting the Minister of Religious Affairs’ Regulation No. 8 of 2018. According to the Consumer Protection Law, this research studies the qualification of the Islamic Pilgrimage’s prospective participant and organizer. It also looks at the recourse obtained by the prospective participants from the perspective of the consumer protection law, after the enactment of the Minister of Religious Affairs’ Regulation No. 8 of 2018. This research is using a juridical-normative approach by specifying the study in a descriptive-analytical manner. The result shows that the Consumer Protection Law’s provision qualifies the prospective participant of Islamic pilgrimage (‘umrah) as a consumer, whereby its organizer as a business actor. From the perspective of the Consumer Protection Law, the enactment of the Minister of Religious Affairs’ Regulation No. 8 of 2018 has not yet fully safeguarded the prospective participant’s interests. In conclusion, after bearing into mind that their rights have not yet wholly fulfilled, particularly at the time of departure cancellation. Pemberlakuan PMA No. 8 Tahun 2018 dengan mempertimbangan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan hal baru diharapkan dapat lebih memberikan perlindungan terhadap calon jemaah umrah. Penelitian ini mengkaji bagaimanakan kualifikasi calon jemaah umrah serta PPIU berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta bagaimanakah perlindungan calon jemaah umrah dalam perspektif perlindungan konsumen pasca pemberlakuan PMA No. 8 Tahun 2018. Penelitian ini merupakan penelitian yurudis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa calon jemaah umrah dapat dikualifikasikan sebagai konsumen dan PPIU juga dapat dikualifikasikan sebagai pelaku usaha berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Perlindungan calon jemaah umrah dalam perspektif perlindungan konsumen pasca pemberlakuan PMA No. 8 Tahun 2018 belum sepenuhnya memberikan perlindungan bagi calon jemaah umrah, mengingat pemenuhan akan hak-hak para calon jemaah umrah tidak dapat terpenuhi terlebih dalam hal terjadinya gagal berangkatnya calon jemaah umrah.
KEDUDUKAN LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA SEKTOR JASA KEUANGAN DALAM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN Agus Suwandono; Deviana Yuanitasari
Jurnal Bina Mulia Hukum Vol. 1 No. 1 (2016): Jurnal Bina Mulia Hukum Volume 1 Nomor 1 September 2016
Publisher : Faculty of Law Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

AbstrakKeberadaan Lembaga Alternaf Penyelesaian Sengketa (LAPS) sektor jasa keuangan telah membawa kepasan hukum penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Namun keberadaan LAPS sektor jasa keuangan juga menimbulkan ke dakjelasan mengenai kedudukan dan pilihan forum penyelesaian sengketa konsumen terkait keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam kerangka hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Metode peneli an yang digunakan merupakan metode yuridis normaf dengan menggunakan data sekunder. Spesifikasi penelian bersifat deskripf analis. Analisa data menggunakan normaf kualitaf, dengan metode deduksi dan dianalisis secara yuridis kualitaf. Kedudukan Lembaga Alternaf Penyelesaian Sengketa (LAPS) dinjau berdasarkan hukum perlindungan konsumen di Indonesia merupakan lembaga penyelesaian sengketa yang ditujukan khusus untuk konsumen di sektor jasa keuangan, yang memiliki karakterisk permasalahan-permasalahan di sektor jasa keuangan. Hak konsumen dalam penentuan pilihan forum dalam penyelesaian sengketa konsumen sektor jasa keuangan merupakan hak konsumen. Dalam hal konsumen memilih penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, konsumen sektor jasa keuangan yang merupakan konsumen akhir dapat memilih penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK maupun melalui LAPS. Namun bagi konsumen sektor jasa keuangan yang bukan merupakan konsumen akhir, hanya dapat memilih penyelesaian sengketa konsumen melalui LAPS. Perlu adanya harmonisasi dan sinkronisasi pengaturan dan kewenangan lembaga penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yakni BPSK maupun LAPS.Kata kunci: jasa; kedudukan; keuangan; lembaga; penyelesaian.
HARMONISASI DAN SINKRONISASI PENGATURAN KELEMBAGAAN SERTIFIKASI HALAL TERKAIT PERLINDUNGAN KONSUMEN MUSLIM INDONESIA Susilowati Suparto; Djanurdi D; Deviana Yuanitasari; Agus Suwandono
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 28, No 3 (2016)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (646.587 KB) | DOI: 10.22146/jmh.16674

Abstract

AbstractIndonesia is a country with a majority Muslim population is responsible for the comfort and certainty to consume halal products. Halal assurance of any product in Indonesia has been delegated by the State to LPOM MUI. In a further development based on Law No. 33 2014 On Halal Product Guarantee, that the authority for the implementation of halal certification in Indonesia is conducted by BPJPH. The purpose of this research is to determine and analyze the arrangement of the halal certification management organization in Indonesia associated with the Act No. 33 of 2014 On Halal Product Guarantee and to determine and analyze how should halal certification management organization modelsby BPJPH. The results of this study, the first in the halal certification management organization held by BPJPH, but the Act of JPH provide 3 years for the establishment of BPJPH in accordance with the Act of JPH, as a  result until now the halal certification management organization is still held by LPPOM MUI, which both models of BPJH in the management of halal certification under the Act of JPH still involve collaboration with other agencies and institutions.IntisariIndonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bertanggung jawab terhadap kenyamanan dan kepastian untuk mengkonsumsi produk yang halal. Jaminan atas kehalalan setiap produk yang ada di Indonesia selama ini di delegasikan oleh Negara kepada LPOM MUI. Dalam perkembangan selanjutnya berdasarkan UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal, bahwa kewenangan untuk penyelenggaraan sertifikasi halal di Indonesia dilaksanakan oleh BPJPH. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan kelembagaan penyelenggaraan  sertifikasi halal di Indonesia  dikaitkan dengan UU No. 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal dan untuk mengetahui dan menganalisis bagaimakah sebaiknya model kelembagaan penyelenggaran sertifikasi halal oleh BPJPH. Hasil dari penelitian ini, yang pertama dalam penyelenggaraan kelembagaan sertifikasi halal dipegang oleh BPJPH, namun UU JPH memberikan waktu 3 tahun untuk berdirinya BPJPH yang sesuai dengan UU JPH, sehingga sampai saat ini kelembagaan penyelenggaraan sertifikasi halal masih dipegang oleh LPPOM MUI, yang kedua model BPJH dalam penyelenggaraan sertifikasi halal berdasarkan UU JPH  tetap melibatkan kerjasama dengan instansi dan lembaga terkait.
Pendekatan Holistik Transportasi Berbasis Aplikasi dalam Kerangka Hukum Perlindungan Konsumen Agus Suwandono
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 31, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (364.305 KB) | DOI: 10.22146/jmh.33848

Abstract

AbstractRegulations of transportation based applications still get a rejection, while the government as the regulator may concern to provide protection for public transport providers and consumers. This research method is the juridical normative with descriptive analytical specifications. The results showed that the regulations of the transportation-based application should pay attention to the interests of consumers, businessperson and the government. In addition, there are no regulation abaut ojek online causes the absence of legal certainty to the existence of ojek online. Legal protection of the consumer transportation based applications in some aspects have fulfilled this aspect of consumer protection, by remaining attentive to the rights of other consumers. IntisariPengaturan transportasi berbasis aplikasi masih saja mendapatkan penolakan, sementara pemerintah selaku regulator berkepentingan untuk memberikan perlindungan bagi angkutan konvensional dan konsumen. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan spesifikasi deskriftif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaturan transportasi berbasis aplikasi harus memperhatikan kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah. Selain itu, tidak diaturnya ojek online menyebabkan tidak adanya kepastian hukum terhadap keberadaan ojek online. Perlindungan hukum terhadap konsumen transportasi berbasis aplikasi dalam beberapa aspek telah memenuhi aspek perlindungan konsumen, dengan tetap memperhatikan hak-hak konsumen yang lainnya.
Kedudukan Pihak Ketiga Pemberi Hak Tanggungan Dalam Perpanjangan Perjanjian Kredit Dalam Hal Terjadinya Eksekusi Lelang Hak Tanggungan Gilda Nathania Sirait; Tarsisius Murwadji; Agus Suwandono
Jurnal Sains Sosio Humaniora Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, Desember 2021
Publisher : LPPM Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Jaminan Hak Tanggungan yang diberikan kepada lembaga perbankan berfungsi sebagai jaminan pelunasan ketika debitur mengalami cidera janji (wanprestasi). Bank sebagai pemegang Hak Tanggungan mempunyai kedudukan yang diutamakan, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan pada janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi jaminan Hak Tanggungan. Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini berdasarkan kasus yang terjadi antara aktivis Sri Bintang Pamungkas dengan PT. Bank Central Asia, Tbk. (BCA). Sri Bintang Pamungkas sebagai debitur menggugat BCA karena merasa BCA telah melakukan perbuatan melanggar hukum, sebab BCA melakukan perpanjangan perjanjian kredit tanpa pemberitahuan, kehadiran dan persetujuan dari pihak ketiga pemberi hak tanggungan yang kemudian mengakibatkan obyek jaminan berupa SHM Persil Wilis dilelang. Berdasarkan hasil penelitian, kedudukan pihak ketiga pemberi jaminan hak tanggungan dalam kredit perbankan hanya sebagai Pemberi Hak Tanggungan yang telah memberikan kuasanya atas obyek hak tanggungan kepada debitur selaku pihak yang berutang dalam suatu hubungan utang-piutang untuk mendapatkan pinjaman kredit bank. Sehingga ketika bank hendak memperpanjang jangka waktu perjanjian kredit, bank hanya berhubungan langsung dengan debitur. Bank tidak berkewajiban untuk memberitahu pihak ketiga pemberi hak tanggungan, atau meminta persetujuan pihak ketiga pemberi hak tanggungan, atau meminta kehadiran pihak ketiga pemberi hak tanggungan.
PENERAPAN PRINSIP AKUNTABILITAS (ACCOUNTABILITY) DAN PRINSIP PERTANGGUNGJAWABAN (RESPONSIBILITY) GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) TERKAIT PERJANJIAN SRIWIJAYA AIR TRAVEL PASS (SJTP) Ayunda Gayatri Maheswari; Tarsisius Murwadji; Agus Suwandono
HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum Vol 4, No 1 (2020): HERMENEUTIKA : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : Sekolah Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33603/hermeneutika.v4i1.3273

Abstract

Penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) mengarahkan perusahaan untuk membentuk tata kelola manajemen perusahaan yang bersih, transparan, dan professional. Penerapan prinsip GCG di Indonesia masih tergolong rendah, berakibat pada munculnya salah satu kasus yaitu mengenai Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mengenai penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) terkait Perjanjian Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP) dan apakah penerapannya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan pengaturan lainnya, dan menganalisis akibat hukum apabila tidak diterapkannya prinsip tersebut di PT. Sriwijaya Air. Metode penelitian yang digunakan di dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan metode pendekatan yuridis implementatif, yaitu metode penelitian hukum yang mencari kesesuaian fakta di lapangan dengan peraturan yang mengaturnya, dalam hal ini  prinsip Good Corporate Governance (GCG) di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang akan menjadi dasar yuridis terkait perjanjian keanggotaan Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP) serta peraturan perundang-undangan lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa maskapai Sriwijaya Air belum menerapkan prinsip Akuntabilitas (Accountability) dan prinsip pertanggungjawaban (Responsibility) Good Corporate Governance (GCG) di dalam peraturan internal perusahaan dan secara otomatis tidak pula diterapkan di dalam perjanjian Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP) sehingga pihak maskapai Sriwijaya Air memiliki kewajiban untuk memberikan ganti kerugian kepada konsumen/anggota Sriwijaya Air Travel Pass (SJTP).