Claim Missing Document
Check
Articles

Anestesi untuk Seksio Sesarea pada Pasien dengan Hipertensi Intrakranial Idiopatik Bisri, Dewi Yulianti
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.242 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i3.22

Abstract

Hipertensi intrakranial idiopatik (Idiophatic intracranial hypertension/IIH) atau benign intracranial hypertension atau pseudotumor cerebri adalah kasus jarang dengan penyebab yang tidak diketahui, dan paling sering terlihat pada wanita obes dalam masa reproduktif (19,3/100.000), dan kadang-kadang terjadi pada wanita hamil. Hipertensi intrakranial idiopatik adalah suatu sindroma yang khas dengan adanya peningkatan tekanan intrakranial tanpa hidrocefalus atau lesi massa dengan peningkatan tekanan cairan cerebrospinal dan komposisi cairan serebrospinal yang normal. Kehamilan dan estrogen eksogen dapat memicu IIH atau memperburuknya. Dapat terjadi pada setiap semester kehamilan, dan outcome visual sama seperti wanita tidak hamil dengan IIH. Tidak ada peningkatan keguguran, abortus terapeutikus untuk membatasi perkembangan IIH tidak merupakan indikasi, dan kehamilan selanjutnya tidak meningkatkan risiko kekambuhan. Gambaran klinis sakit kepala dan kehilangan penglihatan dengan adanya papil edema. Tujuan terapi adalah melindungi penglihatan dan memperbaiki keluhan. Terapi medikal umumnya analgesik, kortikosteroid, carbonic anhydrase inhibitors, dan diuretik; bila pengendalian adekuat tidak tercapai maka indikasi dilakukan punksi lumbal untuk mengeluarkan cairan serebrospinal, pengakhiran kehamilan melalai rute yang paling cepat, apakah dilakukan melalui induksi persalinan atau seksio sesarea. Prognosis IIH pada kehamilan baik untuk ibu dan bayi. Anestesi dapat dilakukan dengan spinal anestesia, epidural anestesia, combined spinal epidural atau anestesi umumAnesthesia for Caesarean Section in Patient with Idiopathic Intracranial HypertensionIdiopathic intracranial hypertension (IIH) or benign intracranial hypertension or pseudotumor cerebri is a rare disorder of unknown etiology that is most often seen in obese women of reproductive age (19.3/100,000) and is reported only occasionally during pregnancy. It is a syndrome characterized by increased intracranial pressure without hydrocephalus or mass lession with elevated cerebrospinal fluid (CSF) pressure and normal CSF composition. Both pregnancy and exogenous estrogens are though to promote IIH or worsen it. It can occur in any trisemester during pregnancy, and the visual outcome is the same as for non pregnant patient with IIH. There is no increase in fetal wastage; therapeutic abortion to limit its progression is not indicated, and subsequent pregnancies do not increase the risk of reccurence. Clinically present headache and loss of visions objectifying papil edema. The aim of treatment is to preserve vision and improve symptoms. The usual medical treatment is based on analgesics, corticosteriod, carbonic anhydrase inhibitors, and diuretics; if adequate control is not achieved are indicated lumbar puncture for extracting CSF. Uncontrolled intracranial hypertension required to end the pregnancy by quickest route, either through induction or caesaeran section. The prognosis for IIH in pregnancy is excelent for both mother and baby. Anesthesia can be done with spinal anestheia, epidural anesthesia, combined spinal epidural or general anesthesia
Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesarea dan Kraniotomi Tumor Otak Wullur, Caroline; Boesoirie, M. Adli; Bisri, Dewi Yulianti
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2077.444 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i3.122

Abstract

Angka kejadian tumor intrakranial pada masa kehamilan sangat jarang. Keluhan seperti mual, muntah, nyeri kepala dan gangguan penglihatan serupa dengan hiperemesis dan eklampsia. Sebagian besar pasien tidak memerlukan tindakan emergensi namun pada beberapa kasus, kraniotomi tumor otak dilakukan lebih awal atau bahkan bersamaan dengan seksio sesarea. Seorang wanita 40 tahun, G3P2A0 datang dengan penurunan kesadaran GCS 6 (E2M2V2). CT-scan menunjukkan adanya masa pada daerah temporoparietal kiri, curiga high grade glioma, disertai dengan pergeseran midline dan perdarahan intratumoral. Pemeriksaan obstetri menunjukkan usia kehamilan 32 minggu dengan gawat janin. Dengan pertimbangan resiko herniasi dan gawat janin, pasien menjalani operasi emergensi seksio sesarea diikuti dengan kraniotomi tumor otak. Operasi berlangsung selama 6 jam. Pada pasien hamil dengan tumor otak, waktu pembedahan bergantung pada jenis tumor, usia kehamilan dan kondisi janin. Keberhasilan anestesi bergantung pada pengetahuan menyeluruh mengenai fisiologi dan farmakologi wanita hamil yang disesuaikan dengan individu terkait untuk mengontrol tekanan intrakranial, dengan tujuan menjaga kesejahteraan ibu dan anak.Anaesthetic Management for Combined Emergency Cesarean Section and Craniotomy Tumor RemovalThe occurrence of primary intracranial tumors in pregnancy is an extremely rare event. Symptoms of brain tumor include nausea, vomitting, headache, visual disturbances and seizures which mimic symptoms of pregnancy-related hyperemesis or eclampsia. These central nervous system disorders seldom require immediate surgical attention during pregnancy. However in very few cases, craniotomy tumor removal is performed earlier or even simultaneous with fetal delivery. A 40-year-old woman at 32 weeks of gestation presented to the emergency room with decreased level of consciousness GCS 6 (E2M2V2). CT scan revealed a mass lesion over the left temporoparietal region, suggestive of a high grade glioma, with midline shift and intratumoral bleeding. Obstetric examination revealed a single live fetus of 32 weeks gestation in distress. In view of high risk of herniation and fetal distress, she underwent emergency cesaren section followed by craniotomy tumor removal. Both procedures were completed in 6 hours. In a parturient with brain tumor, the time of combined surgery of tumor removal and cesarean section is decided upon clinical symptoms, type of tumor, gestational age and fetal viability. A successful anaesthetic management requires a comprehensive knowledge of physiology and pharmacology, individually tailored to control intracranial pressure while ensuring the safety of both mother and fetus.
Strategi untuk Mencegah Aspirasi Isi Lambung pada Operasi Cedera Otak Otak Traumatika Emergensi Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (361.142 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i1.82

Abstract

Pengelolaan pasien emergensi memiliki tantangan tersendiri bagi anestesiologis. Resiko terjadinya aspirasi isi lambung sangat besar pada pasien emergensi. Angka kejadian aspirasi isi lambung pada pasien emergensi berkisar antara 0,7-4% yang dapat berakibat kematian. Disfungsi gastrointestinal sering terjadi pada pasien dengan cedera otak traumatika. Lebih dari 50% pasien dengan cedera kepala berat tidak mentoleransi enteral feeding. Intoleransi ini manifest dengan adanya muntah, distensi abdominal, pelambatan pengosongan lambung, refluks oesofageal dan penurunan peristaltik intestinal, yang menunjukkan bahwa disfungsi gastrointestinal adalah fenomena yang umum setelah cedera otak traumatika. Puasa merupakan pencegahan yang efektif untuk mengurangi terjadinya resiko aspirasi isi lambung, namun pada kasus emergensi sulit untuk dilaksanakan. Berbagai upaya yang dapat dilakukan pada pasien emergensi untuk mengurangi angka kejadian aspirasi adalah: a) pemberian obat-obatan tertentu sebelum dilakukannya anestesi: histamine 2-reseptor antagonis (ranitidine, cimetidine), proton pump inhibitor (omeprazole), antacid (sodium citrate, magnesium trisilicate) dan antiemetic (ondansentrone), b) posisi kepala yang lebih tinggi dari tubuh 30-45o, c) rapid sequence induction dengan sellick maneuver, d) pemasangan pipa naso atau orogastric dan aspirasi isi lambung. Rapid sequence induction tidak memberi kesempatan untuk mencegah kenaikan tekanan darah saat laringoskopi dan intubasi, padahal untuk pasien dengan kelainan serebral termasuk cedera otak traumatika, harus dihindari lonjakan tekanan darah yang akan meningkatkan tekanan intrakranial. Aspirasi isi lambung merupakan komplikasi anestesi yang mungkin terjadi pada periode perioperatif khususnya pada pasien emergensi. Pengelolaan yang adekuat mampu untuk mengurangi terjadinya resiko aspirasi.Strategy to Prevent Gastric Content Aspiration in Emergency Traumatic Brain Injury SurgeryManagement of an emergency patients has a particular challenge for an anesthesiologist. The risk of pulmonary aspiration from gastric content is very high in emergency cases. The incidence of gastric aspiration in emergency cases is approximately 0.7-4% which could lead to death. Gastrointestinal dysfunction frequently occurs in patients with traumatic brain injury (TBI). More than 50% patients with severe head injuries could not tolerate enteral feedings. This intolerance is manifested by vomiting, abdominal distention, delayed gastric emptying, esophageal reflux and decreased intestinal peristalsis, indicating that gastrointestinal dysfunction is a common phenomenon following TBI. Fasting is an effective manouver to reduce the incidence of gastric aspiration, but in emergency cases is rather difficult to establish that manouver. Several manouvers to reduce aspiration incidence are: a) to administer drugs prior to induction: histamine 2-reseptor antagonist (ranitidine, cimetidine), proton pump inhibitor (omeprazole), antacid (sodium citrate, magnesium trisilicate) and antiemetic (ondansentrone), b) head up position of 30-45o, c) rapid sequence induction with sellick manouver, d) insert naso or orogastric tube and aspirate gastric content. By using rapid sequence induction there would be not enough time to avoid the increase in blood pressure during laryngoscopy-intubation, whereas for patient with cerebral disorder including traumatic brain injury, increased blood pressure should be avoided because this will lead to increase intracranial pressure. Gastric content aspiration is one of anesthesia complication during perioperative periode especially in emergency cases. Adequate managment can reduce the incidency of aspiration.
Hubungan antara Volume Residu Gaster dan Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Pasien Cedera Otak Traumatik Sedang dan Berat Giovanni, Cindy; Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.585 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i1.27

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Cedera Otak Traumatik (COT) berhubungan dengan disfungsi gastrointestinal berupa perlambatan pengosongan lambung. Belum jelas adakah hubungan antara skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan derajat gangguan pengosongan lambung yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan volume residu gaster pada pasien COT sedang dan berat serta mengkaji hubungan antara skor GCS dan volume residu gaster pada pasien COT.Subjek dan Metode: Penelitian observasional analitik cross-sectional ini dilakukan pada 42 pasien COT sedang dan berat yang dirawat di RSUP Dr. Hasan Sadikin dari bulan Desember 2016 hingga Juni 2017. Pengukuran volume residu gaster, skor GCS, dan tanda vital dilakukan tiap 6 jam selama 48 jam. Data hasil penelitian diuji dengan uji t tidak berpasangan, Chi Square, dan uji korelasi Pearson. Hasil: Hasil penelitian menyatakan bahwa rerata volume residu gaster pada kelompok COT sedang dan berat adalah 10,83 8,15 ml dan 50,59 18,23 ml (p 0,000). Korelasi antara skor GCS dan volume residu gaster menunjukkan adanya korelasi negatif yang bermakna dan sangat kuat (r=-0,745 hingga -,974;p=0,000).Simpulan: Volume residu gaster pada COT berat lebih banyak dari COT sedang dan terdapat hubungan antara skor GCS dan volume residu gaster pada pasien COT.Correlation between Gastric Residual Volume and Glasgow Coma Scale (GCS) Score in Patient with Moderate and Severe Traumatic Brain InjuryBackground and Objective: Traumatic Brain Injury (TBI) is associated with gastrointestinal dysfunction in the form of delayed gastric emptying. It is not clear whether there is a relationship between Glasgow Coma Scale (GCS) score and the degree of gastric emptying that occurs. This study aimed to compare gastric residual volume in moderate and severe TBI patients and to examine the relationship between GCS score and gastric residual volume in TBI patients.Subject and Methods: This cross-sectional analytical observational study was conducted on 42 moderate and severe TBI patients who were admitted to Dr. Hasan Sadikin from December 2016 to June 2017. Measurement of gastric residual volume, GCS score, and vital signs were performed every 6 hours for 48 hours. The result data were tested with unpaired t-test, Chi Square, and Pearson correlation test. Results: The results showed that the mean gastric residual volume in moderate and severe TBI groups was 10.83 8.15 ml and 50.59 18.23 ml (p 0.000). The correlation between GCS and gastric residual volume showed a very strong negative correlation (r=-0,745 to -,974;p=0,000).Conclusion: Gastric residual volume in patient with severe TBI is more than gastric residual volume in moderate TBI and there was a relationship between GCS score and gastric residual volume in TBI patients.
Insidensi Hipoksemia dan Hipotensi pada Cedera Otak Traumatik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015 Arif, Izhar Muhammad; Usman, Hermin Aminah; Bisri, Dewi Yulianti
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (193.792 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol6i2.41

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Cedera otak traumatik (COT) merupakan kasus cedera dengan prevalensi ketiga terbesar diantara cedera bagian tubuh lain (16,8%) di Indonesia. Hipotensi dan hipoksemia adalah prediktor luaran COT yang dapat dikontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui insidensi hipotensi dan hipoksemia pada pasien COT., yang masuk di unit Gawat Darurat Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin.Subjek dan Metode: Penelitian ini berupa deskriptif kuantitatif. Data diambil secara retrospektif dari rekam medis pasien dengan diagnosis COT yang masuk ke Unit Gawat Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin periode 1 Januari 201531 Desember 2015. Sampel diambil secara total sampling, kemudian diklasifikasikan berdasarkan usia, jenis kelamin, etiologi cedera, tingkat COT, saturasi oksigen, dan tekanan darah pasien.Hasil: Didapatkan 669 sampel penelitian. Rata-rata umur sampel adalah 29 tahun dengan jumlah terbanyak di kelompok umur 1524 tahun (30,3%). Kejadian pada laki-laki (71,2%) lebih tinggi dibandingkan perempuan (28,8%). COT paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalulintas (KLL) (68,9%). Terdapat 78 (11,7%) kasus COT berat. Pasien COT yang mengalami hipotensi dan hipoksemia sebanyak 50 orang (7,5%), dan angka kejadian hipotensi dan hipoksemia paling tinggi terdapat pada pasien COT berat (66%). Simpulan: Proporsi kejadian hipoksemia dan hipotensi paling banyak terjadi pada COT berat dengan etiologi KLL.Hypoxaemia and Hypotension Incidence of Traumatic Brain Injury in Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung in 2015Background and Objectives: Traumatic brain injury (TBI) is a case with the third highest prevalence among other injuries (16,8%) in Indonesia. Hypotension and hypoxaemia are TBI outcome predictors which can be controlled. This research aims to find out the incidence of hypotension and hypoxaemia in TBI patients.Subjects and Method: This descriptive quantitative research collected the data retrospectively from the medical record of COT patients who were admitted to Emergency Room (ER) Dr. Hasan Sadikin Public General Hospital in 1 January 31 December 2015. Samples were collected with total sampling technique, and classified based on age, gender, etiology, TBI severity level, oxygen saturation, and blood pressure of the patients.Results: 669 samples were collected. Age average of the samples was 29 years with the highest age group frequency being 15-24 years (30,3%). There were more male patients (71,2%) compared to the female ones (28,8%). The most common cause of TBI was traffic accidents (68,9%). There were 78 (11,7%) severe TBI cases. There were 50 (7,5%) TBI patients with hypoxaemia and hypotension, and the most hypotension and hypoxaemia cases were in severe TBI patients (66%).Conclusion: The proportion of hypoxaemia and hypotension incidence was the highest in severe TBI patients due to traffic accidents.
Manajemen Anestesi pada Penderita Sindroma Pfeiffer dengan Posisi Sphinx Halimi, Radian Ahmad; Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (734.459 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i3.13

Abstract

Sindroma pfeiffer adalah kelainan genetik autosomal dominan berupa fusi prematur tulang kepala dan tubuh lainnya. Operasi rekonstruksi kraniofasial pada pasien dengan sindrom pfeiffer memberikan tantangan tersendiri bagi ahli anestesi. Pada laporan kasus ini, seorang anak perempuan berusia 18 bulan datang ke rumah sakit Hasan Sadikin Bandung dengan keluhan kelainan bentuk kepala sejak lahir. Kelainan tersebut disertai dengan proptosis mata, hipoplasia maksila bilateral, high arc palate, hipotelorisme dan hidrosefalus, namun tidak terdapat riwayat obstruksi jalan nafas. Pasien direncanakan dilakukan prosedur rekonstruksi kraniofasial dan tarsorhaphy dengan posisi modifikasi prone (posisi sphinx). Permasalahan yang terjadi selama operasi adalah obstruksi vena juguler, perdarahan dan kebocoran cairan serebrospinal pascaoperasi. Operasi berlangsung selama 19 jam. Pascaoperasi pasien dirawat di PICU dan dipindahkan ke ruangan perawatan biasa pada hari ke 4. Penanganan perioperatif pasien dengan sindroma pfeiffer yang akan menjalani prosedur operasi kraniofasial membutuhkan penanganan secara multidisiplin dan dibutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai fisiologi, potensi permasalahan intraoperasi, resiko dan komplikasi pascaoperasi untuk mencapai hasil luaran yang baikAnesthesia Management in Patients with Pfeiffer Syndrome with Sphinx PositionPfeiffer syndrome is a dominant autosomal genetic disorder characterized by premature fusion of head and other body bones. Craniofacial reconstruction surgery in patients with Pfeiffer syndrome presents a challenge for an anaesthesiologist. This case report discusses about 18 month old girl came to the Hasan Sadikin hospital in Bandung with complaints of clover head shape from birth. The other abnormalities consist of eye proptosis, bilateral maxilla hypophlasia, high arc palate, hypotelorism and hydrocephalus. There was no history of obstructive sleep apneau (OSA). The patient underwent craniofacial vault reconstruction procedure and a tarrsorhaphy with modified prone position (sphinx position). During the operation, there were problems occured such as jugular venous obstruction, bleeding and postoperative cerebrospinal fluid leakage. The procedure takes 19 hours long, and after the operation, the patient admitted to the PICU and being transferred to the ward on day-4. The perioperative treatment of patients undergoing craniofacial surgery requires a multidisciplinary treatment approach, and deep understanding of the physiology, potential intraoperative problems, risks and postoperative complications to achieve better outcomes.
Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3580.765 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol4i3.120

Abstract

Awake craniotomy (AC) menggunakan anestesi lokal dan sedasi termonitor untuk mengambil tumor intrakranial yang mengenai eloquent cortex merupakan teknik yang telah diterima. Teknik ini memungkinkan dilakukan pemetaan intraoperatif yang memfasilitasi reseksi tumor secara radikal dan meminimalkan morbiditas dengan mempertahankan jaringan yang berfungsi. Kebutuhan pemetaan cortex adalah untuk menggambarkan fungsi otak, seperti bicara, sensoris, dan motoris dengan tujuan untuk mempertahankannya selama dilakukan reseksi. Obat yang diberikan harus dapat memberikan level sedasi dan analgesi yang adekuat untuk mengangkat tulang, tapi tidak mempengaruhi testing fungsonal dan elektrokortikografi. Prosedur sama dengan kraniotomi standar, tapi dengan satu perbedaan-pasien sadar penuh selama pemetaan korteks dan reseksi tumor. Pasien mampu bicara dan bergerak normal. Pasien tidak selalu bangun selama pembedahan, tapi tidur dalam 12 jam pertama dan atau setelah reseksi tumor. Tidak ada rasa sakit selama sadar. Sasaran anestesi adalah pasien nyaman, mampu tidak bergerak selama pembedahan, sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks yang dapat dicapai dengan: 1) persiapan pasien yang adekuat, 2) lingkungan nyaman, 3) pemberian sedatif analgesik yang tepat, 4) selalu berkomunikasi dengan pasien, dan 5) cepat diterapi bila ada komplikasi. Dexmedetomidine adalah suatu a2 adrenoceptor agonist spesifik dengan efek sedatif, analgesik, anesthetic sparring effect, bangun bila distimulasi, efek proteksi otak, tidak adiksi, tidak menekan respirasi. Pasien yang diberikan dexmedetomidin bisa tersedasi dan nyaman tapi mudah dibangunkan dan mentoleransi AC yang berlangsung lama.Awake Craniotomy: Experience with DexmedetomidineAwake craniotomy (AC) using local anesthesia and monitored sedation in intracranial tumor removal involving eloquent cortex has been considered as an acceptable technique. It allows intraoperative mapping that facilitates radical tumor resection while minimizing morbidity by preserving functional tissue. Anesthesia for intracranial procedure requiring patient cooperation present a challange to the anesthesiologist. The need for cortex mapping is to describe brain function, such as verbal, sensoric and motoric aiming for maintain its function during resection. The administered drugs should provide an adequate level of sedation and analgesia for bone flap removal, but must not interfere with functional testing and electrocorticography. The procedure is very similar to a standard craniotomy, but with one difference-the patient is fully awake during cortical mapping and tumor resection. Patient is able to talk and move normally. The patient should not awake during surgery, but is in deep sleep for the first 1-2 hours and/or after tumor resection. There will be be no pain during conscious time. The goal of anesthesia is patients comfort, able to stay immobile on OR table during the procedure, and is alert and cooperative to comply with cortical mapping. These goals can be accomplished by 1) adequate preparation of the patients, 2) a comfortable environment, 3) appropriate administration of right analgetic and sedative medication, 4) conduct ongoing communication, 5) perform rapid treatment to any complications. Dexmedetomidine is a highly spesific a-2 adrenoceptor agonist with sedative, analgesic, anesthetic sparring effect, awake if stimulated, brain protection with no addiction effect nor suppress ventilation. Patients treated with dexmedetomidine will be sedated, comfortably but is easily aroused to tolerate a prolonged awake craniotomy.
Pengelolan Perioperatif Stroke Hemoragik Bisri, Dewi Yulianti; Bisri, Tatang
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 1, No 1 (2012)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (238.334 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol1i1.81

Abstract

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoidhemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alkohol, neoplasma, atau angiopati amiloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan adanya sakit kepala, mual, muntah, kejang dan defisit neurologik fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada : 1) pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.Perioperative Management of Hemorrhage StrokeHemorrhagic stroke is devastating disease and only 30% patients survive in 6 months after event. The common cause of intracranial hemorrhage are subarachnoid hemorrhage (SAH) from aneurysm, bleeding from arteriovenous malformation (AVM) or intracerebral hemorrhage. Intracerebral hemorrhage common correlation with hypertension, anticoagulant therapy, or other coagulopathi, drug and alcohol addict, neoplasm, or amyloid angiopathi. Mortality in 30 days is 50%. Outcome for hemorrhagic stroke worst than ischemic stroke with mortality arround 10-30%. Hemorrhagic stroke typically presents with headache, nausea, and vomiting as well as seizure and focal neurological deficits. Neurological dysfunction variated between headache untill coma. Early treatment focused on: 1) hemodynamic and cardiac, 2) airway and ventilation, 3) neurological function evaluation and the needed intracranial pressure monitoring or ventricular drainage or both.
Pengelolaan Hipertensi Intrakranial yang Membandel pada Cedera Otak Traumatik Bisri, Dewi Yulianti
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.05 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i2.14

Abstract

Hipertensi intrakranial yang membandel (intractable/refracter/malignant intracranial hypertension) didefinisikan sebagai peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP) lebih dari 25 mmHg selama 30 menit, 30 mmHg selama 15 menit, atau 40 mmHg selama 1 menit. Definisi lain adalah peningkatan ICP sebagai peningkatan spontan ICP 20 mmHg selama 15 menit dalam periode 1 jam meskipun telah dilakukan intervensi first-tier secara optimal atau ICP 25 mmHg untuk 1-12 jam. Hipertensi intrakranial adalah kelainan yang dapat berakibat fatal. Mortalitas tertinggi dari hipertensi intrakranial terlihat pada pasien dengan cedera kepala berat, yang mana peningkatan ICP sangat ekstrim dan sering membandel terhadap terapi. Masalah utama peningkatan ICP adalah iskemia dan herniasi.Tindakan untuk terapi hipertensi intrakranial adalah pasang monitor ICP, pertahankan cerebral perfusion pressure (CPP) 50-70 mmHg, first-tier therapy dan second-tier therapy. Indikasi pemasangan monitor ICP adalah 1) abnormal CT scan dan skor GCS 3-8 setelah dilakukan resusitasi yang adekuat untuk syok dan hipoksia, 2) normal CT scan dan skor GCS 3-8 disertai dengan 2 atau lebih hal-hal berikut: umur 40 tahun, posturing, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg. Terapi untuk menurunkan ICP dimulai pada level ICP 20-25 mmHg. First-tier therapy untuk terapi peningkatan tekanan intrakranial adalah: 1) CSF drainase melalui kateter intraventricular, 2) diuresis dengan mannitol, 0,25-1,5 g/kg berikan lebih 10 menit, 3) moderate hiperventilasi.Bila tekanan intrakranial membandel terhadap first-tier therapy (intractable) lakukan second-tier therapy yaitu hiperventilasi untuk mencapai PaCO2 30 mmHg (dianjurkan memasang monitor SJO2, AVDO2, dan/atau CBF), dosis tinggi terapi barbiturat, hipotermia, terapi hipertensif, dekompresif kraniektomi.The Management of Intractable Intracranial Hypertension in Traumatic Brain InjuryIntractable intracranial hypertension (refractory/malignant intracranial hypertension) defined as intracranial pressure (ICP) that exceed 25 mmHg for 30 minutes, 30 mmHg for 15 minutes, or 40 mmHg for 1 minute. Other definition are refractory elevation in ICP as a spontaneous increase ICP 20 mmHg during 15 minutes within a 1 hour period despite optimized first-tier intervention or ICP 25 mmHg for 1-12 hour. Intracranial hypertension is a potentially fatal disorder. The highest mortality from intracranial hypertension is seen in patient with severe head injury, in whom elevations in intracranial pressure are extreme and frequency resistant to treatment. Main problem of increased intracranial pressure (ICP) are ischemia and herniation.Treatment of intracranial hypertension includes insert ICP monitor, maintenance CPP 50-70 mmHg, first-tier therapy and second-tier therapy. Indication for insertion of an ICP monitor include 1) an abnormal CT scan and a GCS score of 3 to 8 after adequate resuscitation of shock and hypoxia, 2) normal CT scan and a GCS of 3 to 8 accompanied by two or more the following at admitted hospital: age 40 years, posturing, or systolic blood pressure of 90 mmHg. Treatment to decrease ICP usually initated at ICP level of 20-25 mmHg. The aim is to maintain CPP 50-70 mmHg. First-tier therapy involves the following: 1) incremental CSF drainage via an intraventricular catheter, 2) diuresis with mannitol, 0.25-1.5 g/kg over 10 minutes, 3) moderate hyperventilation. If intracranial hypertension intractable to first-tier therapy, do second-tier therapy: hyperventilation to achieved PaCO2 30 mmHg (SJO2, AVDO2, and/or CBF monitoring is recommended), high dose barbiturate therapy, consider hypothermia, consider hypertensive therapy, consider decompressive craniectomy.
Penatalaksanaan Anestesi Subarachnoid Hemoragik pada Ibu Hamil Mangastuti, Rebecca Sidhapramudita; Bisri, Dewi Yulianti; Oetoro, Bambang J.; Saleh, Siti Chasnak
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3477.908 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.63

Abstract

Subarachnoid hemorrhage (SAH) non traumatic pada wanita hamil, umumnya disebabkan oleh ruptur aneurisma atau arteriovenous malformation (AVM). Hipertensi pada pre eklampsi berat (PEB) dan eklampsi merupakan penyebab tersering. Gejala klinis SAH umumnya adalah nyeri kepala hebat, pandangan kabur, photofobia, mual, muntah, hingga penurunan kesadaran. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang seperti computed tomography (CT-scan)/magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography. Wanita hamil dengan aneurisma serebral menunjukkan perbaikan survival untuk ibu dan fetus bila clipping dilakukan setelah SAH dibandingkan dengan pengelolaan tanpa pembedahan. Reseksi AVM yang tidak pecah dapat ditunda sampai setelah melahirkan tanpa menunjukkan adanya peningkatan mortalitas ibu. Pertimbangan anestesi pada wanita hamil dengan SAH adalah keselamatan ibu dan fetus. Penurunan dari tekanan rerata ibu atau peningkatan resistensi vascular uterus akan menurunkan aliran darah uteroplasental sehingga menurunkan aliran darah umbilical yang akan membahayakan fetus. Pemberian cairan, manitol, tehnik hipotermi dan obat-obatan harus dipertimbangkan agar tidak membahayakan fetus. Pasca tindakan clipping aneurisma dilakukan triple H terapi yaitu hipertensi, hipervolemi dan hemodilusi. Prognosis ibu hamil dengan SAH sesuai dengan skala Hunt dan Hess. Makin rendah skala, makin rendah pula angka morbiditas dan mortalitas.Management Anesthesia for Pregnant Women with Subrachnoid HemorrhageNon traumatic subarachnoid hemorrhage (SAH) in pregnant women, generally caused by a ruptured aneurysm or arteriovenous malformation (AVM). Severe hypertension in pre eclampsia (PEB) and eclampsia are common causes. Clinical symptoms of SAH are severe headache, blurred vision, photofobia, nausea, vomiting, loss of consciousness. Diagnois is based on anamnesis, physical examination and computed tomography (CT scan) / magnetic resonance imaging (MRI), computed tomographic angiography (CTA), magnetic resonance angiography (MRA), catheter angiography. Pregnant women with cerebral aneurysms showed improved survival for both mother and fetus when clipping is done after SAH, compared with nonsurgical management. Unrupture AVM resection can be delayed until delivery, and not increased maternal mortality. Consideration of anesthesia in pregnant women with SAH is the safety of the mother and fetus. A decresase of pressure or increase in mean maternal vascullar resistance will decrease uteroplacental blood flow resulting in lower umbilical blood flow which would endanger the fetus. Fluid, mannitol, hypothermia techniques and preoperative, intraoperative and postoperative medicine should be considered, in order not to endanger the mother and fetus. Post aneurysma clipping, perfomed triple H therapy, hypertension, hipervolemik and hemodilution. The prognosis according to Hunt Hess scale, ie the lower the scale, the lower the rate of morbidity and mortality
Co-Authors A Himendra Wargahadibrata A. Himendra Wargahadibrata A. Hmendra Wargahadibrata Achmad Adam, Achmad Adriman, Silmi Adriman, Silmi Ahmado Oktaria Alifahna, Muhammad Rezanda Alifan Wijaya Andy Hutariyus Anwar, Tabihul Arief Cahyadi Arif, Izhar Muhammad Arif, Izhar Muhammad Arna Fransisca Arshad, Muhammad Ayu Rosema Sari Bangun, Chrismas Gideon Basuki, Wahyu Sunaryo Basuki, Wahyu Sunaryo Boesoirie, M. Adli Boesoirie, M. Adli Cecep Eli Kosasih Cobis, Albinus Yunus Daneswara, Andika Deni Nugraha Dhany Budipratama Doddy Tavianto Emas, Bagas Eri Surahman Firdaus, Riyadh Firdaus, Riyadh Fitri Sepviyanti Sumardi Fitri Sepviyanti Sumardi Gaus, Syaruddin Giovanni, Cindy Giovanni, Cindy Hana Nur Ramila Harahap, M Sofyan Hermin Aminah Usman Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan Ike Sri Redjeki Indrayani, Ratih Rizki Indria Sari Iqbal Pramukti Irina, Rr. Sinta Iwan Abdul Rachman Iwan Fuadi Jasa, Zafrullah Khany Krisna J. Sutawan, Ida Bagus Lalenoh, Diana C Limawan, Michaela Arshanty Lira Panduwaty Lisda Amalia Longdong, Djefri Frederik M, Mutivanya Inez M, Mutivanya Inez M. Sofyan Harahap Maharani, Mutivanya Inez Maharani, Nurmala Dewi Mangastuti, Rebecca Sidhapramudita Mangastuti, Rebecca Sidhapramudita Michaela Arshanty Limawan Mirza Oktavian Muhammad Habibi Nataputra, Mario Nopian Hidayat Nuryanda, Dian Oetoro, Bambang J. Oetoro, Bambang J. Okky Harsono Oktaria, Ahmado Permatasari, Endah Permatasari, Endah Putri, Dini Handayani Putri, Dini Handayani Radian Ahmad Halimi Rasman, Marsudi Rasman, Marsudi Renaldy Sobarna Riki Punisada Riyadh Firdaus Robert Sihombing Ruli Herman Sitanggang Saleh, Siti Chasnak Saleh, Siti Chasnak Saputra, Tengku Addi Saputra, Tengku Addi SATRIYAS ILYAS Septiani, Gusti Ayu Pitria Sihombing, Robert Siti Chasnak Saleh Soefviana, Stefi Berlian Sri Rahardjo Sugiyanto, Endy Susanto, Yunita Susanto, Yunita Sutaniyasa, I Gede Sutanto, Sigit Sutanto, Sigit Syafruddin Gaus Syahpikal Sahana Syifa, Nadia Syifa, Nadia Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Uhud, Akhyar Nur Umar, Nazaruddin Utama, M Lucky Wargahadibrata, A. Hmendra Wargahadibrata, A. Hmendra Widiastuti, Monika Winarso, Achmad Wahib Wahju Wullur, Caroline Wullur, Caroline Yuanda Rizawan Putra Yusmein Uyun Zaka Anwary, Army