This study aims to analyze the function of the Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 service in addressing violence against women in Aceh. The research method used is qualitative with a case study approach. Data collection involved focus group discussions (FGD) with the Aceh Womens Empowerment and Child Protection Agency (DPPA) and in-depth interviews with female victims of violence. The FGDs and interviews were conducted over two weeks, from June 10, 2024, to June 23, 2024. Data analysis was performed using Robert K. Mertons Structural Functional Theory. The results indicate that the SAPA 129 service has not yet functioned optimally in addressing violence against women in Aceh. The identified barriers include low digital literacy, strong patriarchal culture, limited understanding of womens rights, environmental influences, and biased interpretations of religious provisions. According to Mertons theory, the function of this service should be to address social problems and maintain societal stability. However, there is dysfunction due to the stigma and discrimination against female victims of violence, and the services inability to address the root causes of violence related to cultural, normative, and patriarchal social structures.AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis fungsi Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui FGD dengan DPPA Aceh dan wawancara mendalam dengan perempuan korban kekerasan. FGD dan wawancara dilakukan selama dua minggu, dari 10 Juni 2024 hingga 23 Juni 2024. Analisis data menggunakan teori Struktural Fungsional Robert K. Merton. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Layanan SAPA 129 belum berfungsi optimal dalam mengatasi kekerasan terhadap perempuan di Aceh. Hambatan yang diidentifikasi meliputi minimnya literasi digital, kuatnya budaya patriarki, kurangnya pemahaman tentang hak-hak perempuan, pengaruh lingkungan, dan tafsiran bias terhadap ketentuan agama. Berdasarkan teori Merton, fungsi layanan ini seharusnya mengatasi masalah sosial dan menjaga stabilitas masyarakat. Namun, terdapat disfungsi karena stigma dan diskriminasi terhadap perempuan korban kekerasan, serta ketidakmampuan layanan untuk mengatasi akar penyebab kekerasan yang terkait dengan budaya, norma, dan struktur sosial patriarkal.