The development of digital media has given rise to the phenomenon of sharenting, namely the practice of parents sharing their children’s lives on social media. This activity is not merely an expression of affection but also a social practice that involves identity construction, privacy negotiation, and the potential commodification of children. This study analyzes sharenting through Erving Goffman’s dramaturgical perspective, viewing parents as actors who present an ideal family image on the frontstage while concealing realities in the backstage. The research employs a qualitative approach with a library research strategy, utilizing scholarly articles, academic books, and policy reports. The findings reveal that sharenting serves as a tool of impression management but also generates serious risks such as blurred private–public boundaries, the permanence of digital footprints, the potential for cyberbullying, and commercial exploitation of children. Therefore, sharenting must be understood as a complex phenomenon that demands ethical awareness, clear regulations, and critical reflection from both parents and policymakers. Abstrak Perkembangan media digital memunculkan fenomena sharenting, yakni praktik orang tua membagikan kehidupan anak di media sosial. Aktivitas ini bukan sekadar ekspresi kasih sayang, tetapi juga praktik sosial yang melibatkan konstruksi identitas, negosiasi privasi, dan potensi komodifikasi anak. Penelitian ini menganalisis sharenting melalui perspektif dramaturgi Erving Goffman, dengan melihat orang tua sebagai aktor yang menampilkan citra keluarga ideal di panggung depan sekaligus menyembunyikan realitas di panggung belakang. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan studi pustaka, memanfaatkan artikel ilmiah, buku akademik, dan laporan kebijakan. Hasil kajian menunjukkan bahwa sharenting berfungsi sebagai sarana manajemen kesan, tetapi juga menimbulkan risiko serius seperti kaburnya batas privat–publik, permanensi jejak digital, potensi cyberbullying, serta eksploitasi komersial anak. Karena itu, sharenting perlu dipahami sebagai fenomena kompleks yang menuntut kesadaran etis, regulasi yang jelas, dan refleksi kritis dari orang tua maupun pemangku kebijakan.