cover
Contact Name
Khamami Zada
Contact Email
jurnal.ahkam@uinjkt.ac.id
Phone
+6221-74711537
Journal Mail Official
jurnal.ahkam@uinjkt.ac.id
Editorial Address
Faculty of Sharia & Law UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jl. Ir. H. Juanda 95 Ciputat Jakarta 15412 Telp. (62-21) 74711537, Faks. (62-21) 7491821 Website:http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/ahkam E-mail: jurnal.ahkam@uinjkt.ac.id
Location
Kota tangerang selatan,
Banten
INDONESIA
Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah
ISSN : 14124734     EISSN : 24078646     DOI : 10.15408
Core Subject : Religion, Social,
Focus and Scope FOCUS This journal focused on Islamic Studies and present developments through the publication of articles and research reports. SCOPE Ahkam specializes on islamic law, and is intended to communicate original research and current issues on the subject. This journal warmly welcomes contributions from scholars of related disciplines. Fatwa; Islamic Economic Law; Islamic Family Law; Islamic Legal Administration; Islamic Jurisprudence; Islamic Law and Politics; Islamic Legal and Judicial Education; Comparative Islamic Law; Islamic Law and Gender; Islamic Law and Contemporary Issues; Islamic Law and Society; Islamic Criminal Law
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 12 Documents
Search results for , issue "Vol. 23 No. 2 (2023)" : 12 Documents clear
E-Wallet Models: An Appraisal of Shariah Related Issues Mohamed Naim, Asmadi; Iskandar Mirza, Azrul Azlan; A. Shukor, Abdul Rahman; Md. Nor, Mohd Zakhiri; Muhamed, Nurul Aini; Ahmad, Azuan; S. Ali, Shahrul Ridhwan
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.26596

Abstract

This paper aims to evaluate the existing e-wallet business models and to provide a preliminary analysis of Sharia issues, specifically related to the relationship of the involved parties in the contract (operators, customers, and third parties). As e-wallet is also a critical enabler to increase financial inclusion among the different levels of society members (richer and poor), thus there is an increasing need to analyze the existing e-wallet models and their practices. The final aims are to preserve all parties’ rights and support the policymakers to structure e-wallet parameters that comply with Islamic law. This paper adopts qualitative research approaches, specifically content analysis and interviews. The data collection includes, among others, document reviews, interviews, and observations. The paper evaluates four e-wallet models in Malaysia and analyzes arising Sharia issues from those models. In the models, several Sharia issues can be found, which are related to the contracts used, the status of funds held by e-wallet providers, deposits in banks, and revenue generation. Findings from this paper serve as a basis for scholars and policymakers to provide guidelines for Sharia-compliant e-wallets. Tulisan ini bertujuan untuk mengevaluasi model bisnis dompet elektronik yang ada dan memberikan analisis awal tentang masalah syariah, khususnya terkait dengan hubungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (operator, pelanggan dan pihak ketiga). Karena dompet elektronik juga merupakan faktor penting untuk meningkatkan inklusi keuangan di antara berbagai tingkat anggota masyarakat (kaya dan miskin), maka ada peningkatan kebutuhan untuk menganalisis model dompet elektronik yang ada dan praktiknya. Tujuan akhirnya adalah untuk menjaga hak semua pihak dan mendukung pembuat kebijakan untuk menyusun parameter dompet elektronik yang sesuai dengan hukum Islam. Tulisan ini mengadopsi pendekatan penelitian kualitatif, khususnya analisis isi dan wawancara. Pengumpulan data meliputi telaah dokumen, wawancara, dan observasi. Tulisan ini mengevaluasi empat model dompet elektronik di Malaysia dan menganalisis masalah syariah yang muncul dari model tersebut. Ada beberapa masalah syariah yang dapat ditemukan dari model-model tersebut, yaitu terkait dengan akad yang digunakan, status dana yang dipegang oleh penyedia dompet elektronik, status simpanan di bank dan perolehan pendapatan. Temuan dari makalah ini dapat digunakan sebagai dasar bagi para sarjana dan pembuat kebijakan untuk memberikan pedoman dompet elektronik yang sesuai syariah.
Legal Reasoning on Paternity: Discursive Debate on Children Out of Wedlock in Indonesia Jarir, Abdullah; Lukito, Ratno; Ichwan, Moch. Nur
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.27005

Abstract

This article explains why Indonesian Ulama and Islamic jurists who oppose the Constitutional Court decision have failed to see the progressive norms in Islam and human rights. They argued that the decision determining that the children born out of wedlock have filiation not only with their mother but also with their father contrasted to and has no legal basis in Islamic jurisprudence. Therefore, this paper will provide the rationale of the  arguments of Islamic jurists, including Indonesian ulama, and the proponent  of the Indonesian Constitutional Court decision. In conclusion, Indonesian ulama and Islamic jurists have been embracing the conservatism point of view, that is static and textual thinking in interpreting the Ḥadith concerning the issue of a child out of wedlock. As a result, they did not accept another interpretation. Other interpretations are delivered by classical Islamic jurists like Ibn Taimiyyah and Ibrahim al-Nakhā'ī, who argued that a child out of wedlock has a civil relationship with their parents. Meanwhile, the proponent of the Indonesian Court decision adheres to the progressive point of view that considers the children's public interest.  Artikel ini menjelaskan mengapa para ulama dan ahli hukum Islam Indonesia yang menentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah gagal melihat norma-norma progresif dalam Islam dan hak asasi manusia. Mereka berargumen bahwa keputusan yang menetapkan bahwa anak yang lahir di luar nikah memiliki hubungan nasab tidak hanya dengan ibunya tetapi juga dengan ayahnya bertentangan dan tidak memiliki dasar hukum dalam yurisprudensi Islam. Oleh karena itu, makalah ini akan memberikan dasar pemikiran dari argumen para ahli hukum Islam, termasuk ulama Indonesia, dan pendukung keputusan Mahkamah Konstitusi Indonesia. Kesimpulannya, para ulama dan ahli hukum Islam Indonesia selama ini menganut pandangan konservatisme, yaitu pemikiran yang statis dan tekstual dalam menafsirkan hadis tentang masalah anak di luar nikah. Akibatnya, mereka tidak menerima penafsiran lain. Padahal, ada penafsiran lain disampaikan oleh para ahli hukum Islam klasik seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibrahim al-Nakhā'ī, yang berpendapat bahwa  anak di luar nikah memiliki hubungan keperdataan dengan orang tuanya.  Sementara itu, pendukung putusan MK menganut pandangan progresif yang mempertimbangkan kepentingan umum-anak-anak.
Islamic Law and The Politics of Nation-State: Debating Citizenship Fiqh Through The Al-Maskut 'Anhu Discourse Prihantoro, Hijrian Angga; Hasan, Noorhaidi; Masrukhin, Mohammad Yunus
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.28139

Abstract

The jurisprudential aspects of citizenship (known as fiqh al-muwāṭanah), emerging from the realm of ijtihād, have sparked considerable debate due to their theoretical nature. The term "citizenship fiqh" is not explicitly mentioned in the Quran or Sunna; consequently, it lacks demonstration within the context of the Prophetic era. This study aims to delve into citizenship fiqh by examining the discourse known as al-maskūt' anhu, shedding light on how Muslim scholars validated novel findings. To achieve this objective, the paper employs Foucault's critical discourse analysis theory to showcase that each era holds the prerogative to embrace distinct political systems and legal frameworks. Adopting a qualitative approach and drawing from various literary sources, this research proposes embracing the al-maskūt 'anhu discourse as the fundamental concept underpinning studies on citizenship within Islamic legal thought. This investigation discerns that citizenship fiqh embodies a blend of political and religious engagement. It can be effectively harnessed as a mechanism of legal governance during the nation-state era, provided it effectively contributes to the populace's well-being and fosterssocial equity. Abstrak: Aspek-aspek fikih kewarganegaraan (fiqh al-muwāṭanah), yang muncul dari ranah ijtihad, memicu banyak perdebatan karena sifat teoretis nya. Terminologi “fikih kewarganegaraan” tidak ditemukan secara eksplisit dalam Al-Quran atau Sunah, dan sebagai konsekuensinya, tidak terdemonstrasi kan dalam konteks era kenabian. Artikel ini bertujuan untuk menggali konsep fikih kewarganegaraan melalui diskursus al-maskūt ‘anhu, dan menyoroti bagai mana para sarjana muslim memvalidasi temuan-temuan baru. Artikel ini meng guna kan teori analisis wacana kritis Foucault untuk menunjukkan bahwa setiap era memiliki hak prerogatif untuk mengadopsi sistem politik dan kerangka hukum yang berbeda. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan menganalisis berbagai sumber literatur, penelitian ini merekomendasikan diskursus al-maskūt 'anhu sebagai konsep dasar yang mewadahi studi kewarganegaraan dalam pemikiran hukum Islam. Studi ini menemukan bahwa fikih kewarganegaraan, pada dasarnya, mencakup perpaduan diskursif antara aspek politik dan agama. Hal ini dapat dimanfaatkan secara efektif sebagai mekanisme tata kelola hukum pada era negara-bangsa, dengan catatan dapat berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat dan mendorong kesetaraan sosial.
The Sumedang Larang Royal Waqf: Legal Perspective Rafiqi, Yusep; Suryanto, Asep; Athoillah, Mohamad Anton
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.29230

Abstract

The governance of royal waqf has not been addressed in Indonesian waqf laws and regulations. It also implies that the potential benefits of the waqf have not been sufficiently explored. Actually, the royal waqf has significantly contributed to the field of waqf by preserving cultural heritage and wisdom. This article demonstrates, through the testamentary waqf of Prince Aria Soeria Atmadja (Regent of Sumedang, 1883-1919 AD), the importance of waqf status and the insertion of royal relics into waqf legislation in Indonesia to ensure their perpetuity and benefit future generations. The research employs a normative empirical methodology, wherein the historical context, laws about waqf, and waqf legislation are substantiated through observations, elucidations, and discoveries concerning the cultural and customary aspects of waqf governance. This research on royal waqf can at least suggest two things: the inclusion of a discrete article in Indonesian waqf legislation addressing royal waqf and the significance of royal family relics as waqf. Abstrak: Wakaf keluarga kerajaan berikut tata kelolanya belum terakomodasikan dalam peraturan perundang-undangan wakaf di Indonesia. Hal ini berimplikasi pada nilai-nilai yang terkandung di dalam wakaf tersebut tidak tereksplorasi dengan baik. Padahal, wakaf keluarga kerajaan ini memiliki sumbangsih yang cukup besar dalam wakaf, di antaranya pelestarian kearifan dan cagar budaya. Dengan mengambil contoh wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja (Bupati Sumedang, 1883-1919 M), artikel ini menunjukkan tentang betapa pentingnya benda-benda peninggalan kerajaan berstatus wakaf dan diakomodasi dalam perundang-undangan wakaf di Indonesia sehingga keabadian dan kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh generasi yang akan datang. Ini adalah penelitian normatif empiris di mana latar belakang sejarah, hukum yang berkaitan dengan wakaf dan perundang-undangan wakaf dikonfirmasi] melalui observasi, klarifikasi, dan temuan tentang budaya dan adat istiadat yang berkaitan dengan tata kelola wakaf. Penelitian wakaf kerajaan ini setidaknya dapat merekomendasikan dua hal: pentingnya benda-benda peninggalan keluarga kerajaan sebagai wakaf dan memasukkan wakaf kerajaan dalam satu pasal tersendiri dalam peraturan perundang-undangan wakaf di Indonesia.
The Loose Interpretation of Dominus Litis Principle in Marriage Dispensation for Underage Marriage in Banten Ishom, Muhammad
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.29881

Abstract

The judges of Religious Courts play a crucial role in reducing underage marriages. The judges can consider marriage dispensation by emphasizing the principle of dominus litis, which can be understood as a case controller. Since the Religious Courts in Banten have granted considerable dispensation appeals, the early-age marriages have increased significantly. This research examines the implementation of the dominus litis principle and the difficulties in establishing the grounds for urgent marriage dispensation. The data were collected via observations and interviews with the judges, former judges, lawyers, and societies. This research employs the juridical-empirical research technique, examining several facts and data generated by the public. The study reveals that to approve marriage dispensation, the judges of ReligiousCourts merely focus on the legal truth from the applicants’ statements, the underage marriage candidates, witnesses from applicants’ immediate families, and document evidence presented with the application. Judges rarely summon additional witnesses from specialists and professionals focusing on the children’s issues, which might strengthen formal legal evidence. The court granted the request to safeguard the children from immoral behavior, contradicting the  common public ethics and morals and ignoring a significant principle of dominus litis.  Abstrak: Hakim Pengadilan Agama memiliki peran penting untuk menekan kasus perkawinan dini. Hakim dapat mempertimbangkan dispensasi nikah dengan menekankan prinsip dominus litis, yaitu hakim sebagai pengendali perkara. Sejak permohonan dispensasi banyak dikabulkan oleh pengadilan agama di Banten, perkawinan dini di Banten mengalami peningkatan secara signifikan. Studi ini menganalisis penerapan "dominus litis principle" dan kendalanya dalam pembuktian alasan mendesak dispensasi nikah. Data diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan hakim, mantan hakim, pengacara dan masyarakat. Penelitian ini menerapkan motode penelitian hukum yuridis-empiris yang berfokus pada penilaian terhadap berbagai fakta dan data dari masyarakat. Hasil analisis menunjukan bahwa hakim Pengadilan Agama umumnya hanya bertugas mencari kebenaran formil dari keterangan pemohon, anak yang dimohonkan dispensasi, saksi-saksi dari orang dekat pemohon, dan bukti dokumen yang diajuan oleh pemohon. Hakim jarang sekali mendatangkan saksi tambahan dari para ahli dan profesional lain yang berhubungan dengan dunia anak yang bisa menguatkan alat bukti. Hakim memutuskan untuk mengabulkan permohonan  dengan alasan menjauhkan anak dari tindak asusila yang bertentangan dengan etika dan moral yang berlaku di tengah masyarakat umum dan mengabaikan peran penting prinsip dominus litis.
Akkattere: Syncretism of Patuntung Beliefs and Sharia on Pilgrimage of The Ammatoa Kajang Community Zainuddin, Zainuddin; Sammak, Jusalim; Salle, Salle
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.30675

Abstract

This article critically examines the interaction between Patuntung beliefs and sharia in implementing the pilgrimage, which has led to syncretism. This is qualitative research, with data sourced from interviews and library research. This study reveals that one of the Patuntung teachings practised by the Ammatoa Kajang CLC (Customary Law Community) is the Akkattere tradition of cutting young children's hair. Akkattere is symbolized by the pilgrimage in  Islamic law because capable people perform both, and both expect rewards  from Tu Rie' A'rana (God) on the next day (hereafter). People who perform Akkatrere are not required to perform the  pilgrimage in Makkah. The essence of Akkattere is a ritual of sacrifice (in its material element), and the salvation of Riallobokona Tu ride A'ra'na. The Ammatowa indigenous people consider Akkattere as the performance of taḥallul in the holy land, and they obtain the title of hajj, like people who have performed the pilgrimage in the holy land. The Ammatoa Kajang CLC believes that if people perform the Akkattere ritual and go on pilgrimage, they will get disaster.  Artikel ini bertujuan mengkaji secara kritis mengenai interaksi antara kepercayaan Patuntung dengan syariat Islam pada pelaksanaan ibadah haji yang menimbulkan sinkretisme. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan data bersumber dari wawancara dan studi dokumen. Kajian ini mengungkapkan bahwa salah satu ajaran Patuntung yang dipraktikkan masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang adalah tradisi Akkattere berupa pemotongan rambut kepada anak kecil. Akkattere ini disimbolkan dengan pelaksanaan ibadah haji dalam syariat Islam, karena sama-sama dilakukan oleh orang mampu dan sama-sama mengharapkan pahala dari Tu Rie’ A’rana(Tuhan) pada hari kemudian (akhirat). Orang yang melaksanakan Akkattere tidak diwajibkan melaksanakan ibadah haji di Mekah. Esensi ajaran Akkattere terletak pada ritual pengorbanan (pada unsur materilnya) dan keselamatan Riallobokona Tu rie’ A’ra’na. Masyarakat adat Ammatowa menganggap bahwa Akkattere merupakan pelaksanaan taḥallul di tanah suci dan mereka memperoleh gelar haji seperti orang yang telah menunaikan ibadah haji di tanah suci. Masyarakat Ammatoa Kajang memiliki keyakinan jika orang telah melakukan ritual Akkattere kemudian berhaji akan mendapatkan musibah.
Sigar Semongko and Gilir Waris: The Controversy of Customary Law and Islamic Law in The Inheritance System Sa'adah, Sri Lumatus; Qudsy, Saifuddin Zuhri; Laila, Nur Quma
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.31266

Abstract

This study aims to explain the differences between the inheritance rights of the Jember community and Islamic law, then look at the contextualization of this practice with Islamic inheritance law based on maṣlaḥah and ‘urf (tradition). This research is based on a qualitative paradigm, with observation techniques, interviews and literature studies, and descriptive analysis. Results of the study show  that  the  people  of  Jember  share  the  same  inheritance  amount  (sigar semongo). There is also a turn system for heirs to utilize the benefits of assets. This differs from the provisions of Islamic law, which regulate the 2:1 system for boys and girls. Viewed from the Islamic perspective, this contains maṣlaḥah for heirs because it minimizes division between siblings based on the principle of disadvantage that should be avoided. The system is based on harmony and balanced  justice  (Boys  and  girls  have  equal  rights).  It  has  become  customary and agreed upon by religious and community leaders so that it can become law. Abstrak:  Penelitian  ini  bertujuan  untuk  menjelaskan  adanya  perbedaan antara pembagian hak waris masyarakat Jember dan Hukum Islam, kemudian melihat kontekstualisasi praktik tersebut dengan hukum waris Islam dengan melandaskan pada aspek maṣlaḥah dan ‘urf (tradisi). Penelitian ini berdasarkan paradigma kualitatif, di mana data yang terkumpul melalui teknik observasi, wawancara  dan  studi  literatur  serta  menggunakan  analisis  deskriptif.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa, masyarakat Jember membagi warisan dalam jumlah yang sama (sigar semongko), ada juga sistem giliran ahli waris dalam memanfaatkan aset/harta warisan. Hal ini berbeda dengan ketentuan hukum Islam yang mengatur sistem 2:1 bagi anak laki-laki dan perempuan. Ditinjau dari perspektif Islam, hal ini mengandung maṣlaḥah (manfaat) bagi ahli waris karena meminimalisir adanya perpecahan antara saudara dengan mendasarkan pada kaidah kemudharatan harus dihindari. Sistem tersebut didasarkan pada asas  kerukunan,  dan  keadilan  berimbang  (anak  laki-laki  dan  perempuan mempunyai  hak  yang  sama).  Ini  sudah  menjadi  adat  dan  disepakati  oleh para tokoh agama dan masyarakat sehingga dapat menjadi hukum. 
Identity and Piety: Critical Discourse Analysis on Indonesian Ulema Council’s Fatwa about The Law Using Non-Moslim Religious Attributes Subuki, Makyun; Akmal, Hilmi; Hudaa, Syihaabul
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.31280

Abstract

In December 2016, shortly after the Action to Defend Islam 212 was held, the Indonesian Ulema Council published a fatwa on the Law Using Non-Muslim Religious Attributes. This fatwa reaped controversy because it was followed by sweeping action by a number of mass organizations against the Christmas attribute. Since this fatwa caused controversy, this study sought to examine it with a critical discourse analysis approach. This study covers three dimensions of the fatwa: the textual dimension, the dimension of discursive practice, and the dimensions of social practice. Based on the analysis that has been carried out, this study has three findings. First, linguistic analysis of this fatwa  showed  that  the  fatwa  is  an  ideological  text.  Furthermore,  this  fatwa has intertextuality with other texts, namely the opinions of previous ulemas, which also prohibit the use of religious attributes of non-Muslims. Second, as a discursive practice, this fatwa affirms the view of several religious mass organizations that not only forbid wearing religious attributes of non-Muslims but also at the same time justified their attitude in sweeping against the religious attributes  of  non-Muslims,  for  example,  Islamic  Front  Defense  (FPI)  and Klaten Islamic Paramilitaries (LAKIK). Third, situationally and institutionally, this  fatwa  is  possible  to  be  issued  not  only  because  of  the  encouragement of several mass organizations that consider that using religious attributes of non-Muslims is haram but also because of the influence of consolidation of these mass organizations, which rich their peak level after the series of Action to Defend Islam. Lastly, a value system that views identity as permanent and unchanging in Indonesian Muslim society is still very dominant, so it is also determining the issuance of this fatwa.  Pada  bulan  Desember  2016,  tak  lama  setelah  Aksi  Bela  Islam  212 digelar, Majelis Ulama Indonesia menerbitkan fatwa tentang Hukum Penggunaan Atribut Keagamaan Non-Muslim. Fatwa ini menuai kontroversi karena disusul aksi sapu bersih sejumlah ormas yang menentang atribut Natal. Karena fatwa ini menimbulkan kontroversi, maka penelitian ini berupaya mengkajinya dengan pendekatan  analisis  wacana  kritis.  Kajian  ini  mencakup  tiga  dimensi  fatwa: dimensi  tekstual,  dimensi  praktik  kewacanaan,  dan  dimensi  praktik  sosial. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, penelitian ini mempunyai tiga temuan. Pertama,  analisis  kebahasaan  fatwa  ini  menunjukkan  bahwa  fatwa  tersebut merupakan  teks  ideologis.  Lebih  lanjut,  fatwa  ini  memiliki  intertekstualitas dengan  nash  lain,  yaitu  pendapat  para  ulama  terdahulu  yang  juga  melarang penggunaan atribut agama non-Muslim. Kedua, sebagai praktik diskursif, fatwa ini mengafirmasi pandangan beberapa ormas keagamaan yang tidak hanya melarang pemakaian  atribut  keagamaan  non-Muslim  namun  sekaligus  mem sikapnya dalam melakukan penyisiran terhadap atribut keagamaan non-Muslim, mislanya Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Islam Klaten (LAKIK). Ketiga, secara situasional dan institusional, fatwa ini dimungkinkan dikeluarkan bukan hanya  karena  dorongan  dari  beberapa  ormas  yang  menganggap  penggunaan atribut keagamaan non-Muslim haram, namun juga karena pengaruh konsolidasi ormas-ormas  tersebut,  yang  besar  di  mana  puncaknya  setelah  rangkaian  Aksi Bela  Islam.  Terakhir,  sistem  nilai  yang  memandang  identitas  sebagai  sesuatu yang  permanen  dan  tidak  berubah  dalam  masyarakat  Islam  Indonesia  masih sangat dominan sehingga ikut menentukan dikeluarkannya fatwa ini. 
Post-Islamism And Reform Islamic Law: The Challenges And Future Of Political Islam In Indonesia Qodir, Zuly
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.31484

Abstract

In  Indonesian  politics,  post-Islamism  has  emerged  in  response  to the  rise  of  political  Islam  since  the  beginning  of  Reformasi  in  1998.  Post- Islamism is negotiable and accommodative, seeking to adapt to the Indonesian Archipelago’s political realities and actual social conditions. As such, it does not  promote  confrontation  with  political  powers—something  common  in the  Islamist  movements  that  gained  traction  before  Reformasi—even  as  it seeks to counteract the Islamist tendencies that have gained prominence  in contemporary Indonesia. This article finds that post-Islamism offers a future in which the political rights of all citizens are guaranteed while social justice and human rights are upheld. Post-Islamists promote neither the formalization of  sharia  law  nor  the  fundamental  transformation  of  the  Indonesian  state, but rather a substantive political ideology that welcomes (rather than rejects) democracy. Meanwhile, Islamic law in Indonesia includes sharia laws passed at  the  provincial  and  regency  levels  by  the  governor  or  regent  (Bupati) with political parties and traders. Although efforts to cultivate post-Islamist mindsets have been hindered by intolerant, exclusive, and extremist elements of Indonesian society, it is hoped that organizations such as Muhammadiyah and  Nahdlatul  Ulama  can  continue  to  maintain  a  moderate,  inclusive  and tolerant understanding of Islam.  Dalam  politik  Indonesia,  post-Islamisme  telah  muncul  sebagai tanggapan  terhadap  kebangkitan  Islam  politik  sejak  awal  Reformasi  tahun 1998. Post-Islamisme bersifat negosiatif dan akomodatif, berusaha beradaptasi dengan realitas politik dan kondisi sosial aktual di Indonesia. Dengan demikian, gerakan ini tidak mendorong konfrontasi dengan kekuatan politik, seperti yang umum  terjadi  pada  gerakan  Islamis  yang  mendapatkan  daya  tarik  sebelum Reformasi, bahkan ketika gerakan ini berusaha untuk melawan kecenderungan Islamis yang telah menjadi terkenal di Indonesia saat ini. Temuan artikel ini adalah bahwa Post-Islamisme menawarkan masa depan di mana hak-hak politik semua warga negara dijamin, keadilan sosial ditegakkan, dan hak asasi manusia dijunjung  tinggi.  Kaum  post-Islamis  tidak  mendukung  formalisasi  hukum syariah atau transformasi fundamental negara Indonesia, melainkan ideologi politik substantif yang menyambut (dan bukan menolak) demokrasi. Hukum Islam di Indonesia bermanifestasi dalam Perda Syariah Provinsi dan Kabupaten yang  disahkan  oleh  politisi  lokal  dan  gubernur  atau  bupati  yang  didukung partai  politik  dan  pedagang.  Meskipun  upaya  untuk  mengembangkan  pola pikir pasca-Islamisme telah terhalang oleh elemen-elemen masyarakat Indonesia yang  intoleran,  eksklusif,  dan  ekstremis,  diharapkan  organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dapat terus mempertahankan pemahaman Islam yang moderat, inklusif, dan toleran. 
Sharia Economy in The Sultanates of Cirebon and Mataram: Historical and Manuscript Studies Saefullah, Asep; Burhanudin, Dede; Kholis, Nurman; Syibromalisi, Arif; Pinem, Masmedia; Rosidin, Didin Nurul; Sudrajat, Budi
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol. 23 No. 2 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v23i2.32049

Abstract

This research focuses on the sharia economic practices during the Cirebon and Mataram Sultanates. This research uses the historical method, with four steps. These are heuristics, criticism, interpretation, and historiography.Data comes from historical artifacts, archives and manuscripts. Data was collected through library research, field observations, and FGD (FocusedGroup Discussion). The results showed that some aspects of economic practicesduring the Cirebon and Mataram sultanates in the 15 th to 17 th centuries AD were based on Islamic economic principles or sharia economics. Cirebon and Mataram’s economic policies referred to the principle of benefit, independentmanagement of land and state wealth; no foreign interference; fair land distribution to the people; just tax levies depending on people’s welfare; state revenues-based production; agriculture and plantations; as well as customsduties on goods and services. These are actually the sharia economics practices. Sharia-based economic practices are essentially forms of religious moderation practice in line with the principles of justice and equality.  Abstrak: Penelitian ini membahas praktik ekonomi syariah pada masa Kesultanan Cirebon dan Mataram melalui kajian sejarah. Penelitian ini menggunakan motode sejarah. Ada empat langkah dalam penelitian sejarah, yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sumber data berupa benda-benda peninggalan sejarah, arsip dan manuskrip. Pengumpulan data dilakukan dengan cara kajian pustaka (library research), observasi lapangan,wawancara, dan FGD (Focus Group Discussion). Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik ekonomi pada masa Kesultanan Cirebon dan Mataram, khususnya abad ke-15-17 M berdasarkan pada ajaran Islam, yakni ekonomi syariah. Kebijakan Cirebon dan Mataram dalam ekonomi menganut asas kemaslahatan: pengelolaan tanah dan kekayaan negara secara mandiri, tidak ada campur tangan asing; tanah didistribusikan kepada rakyat secara adil; pungutanpajak disesuaikan dengan tingkat kesejahteraan rakyat; pendapatan negara diutamakan dari hasil bumi, pertanian dan perkebunan. Praktik ekonomi syariah hakikatnya adalah praktik moderasi beragama dalam ekonomi, denganprinsip keadilan dan kesetaraan.

Page 1 of 2 | Total Record : 12