cover
Contact Name
Sutikman
Contact Email
sutikman@civitas.unas.ac.id
Phone
+6285782450075
Journal Mail Official
njl@civitas.unas.ac.id
Editorial Address
Jl. Sawo Manila No. 61 , Pejaten Ps. Minggu Jakarta 12520
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
National Journal of Law
ISSN : 26862778     EISSN : 26862751     DOI : -
Core Subject : Social,
National Journal of Law is a journal that publishes legal science articles, namely among others in the fields of civil law, criminal law, state administrative law, constitutional law, Business Law including all procedural law, as well as regarding cyber law, international law. Merupakan jurnal yang mempublikasikan artikel ilmu hukum, yaitu bidang perdata, pidana, tata negara, administrasi negara, konstitusi termasuk semua hukum acaranya, maupun mengenai cyber Law, hukum internasional.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 64 Documents
MANTAN TERPIDANA KORUPSI MENJADI CALON LEGISLATIF Sobari, Ahmad
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, September 2021
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v5i2.1445

Abstract

Larangan mantan narapidana korupsi menjadi calon anggota legislatif diatur dalam PeraturanKomisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018. Komisi Pemilihan Umum membuat peraturantersebut berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan berdasarkan semangatmenciptakan pemilu yang berintegritas. tetapi larangan tersebut dibatalakan oleh MahkamahAgung karena dianggap membatasi hak politik seseorang. Tulisan ini menggunakan tipe penelitianyuridis normative dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, bahan hukumnya yaituprimer, sekunder, tersier. Adapun hipotesa yang di dapat bahwa Mahkamah Agung dalammembatalkan keputusan ini hanya memperhatikan hal-hal prosedural dan kurangmempertimbangkan asas kemanfaatan dan keberpihakan kepada rakyat, serta aspek mentalitas.KPU telah berupaya menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 Tahun 2018 yang melarangmantan terpidana korupsi menjadi calon legislative, berdasarkan kewenangan retributif dandelegatif dan dengan semangat menciptakan pemilu yang berintegritas.
RELAKSASI PERPANJANGAN JANGKA WAKTU BERLAKU HGU, HGB DAN HAK PAKAI SEBAGAI CERMINAN EKSISTENSI HUKUM PROGRESIF PADA MASA PANDEMI COVID-19 Tanjung, Albert
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, September 2021
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v5i2.1446

Abstract

Tanah merupakan permukaan bumi yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan oleh manusia untukberbagai keperluan, seperti pertanian, mendirikan bangunan dan memungut hasil dari tanah itu.Pemanfaatan ini dapat dilakukan dengan tanpa batas dan ada pula yang dengan batasan jangkawaktu tertentu. Penentuan batasan jangka waktu didasarkan kepada jenis hak atas tanah yangterdapat pada tanah. Hak atas tanah ini berupa Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha(HGU) dan Hak Pakai, yang masing-masing memiliki jangka waktu sebagaimana amanatperaturan perundang-undangan. Seperti jangka waktu pada HGU paling lama 35 tahun, HGBpaling lama 30 tahun dan Hak Pakai paling lama 20 tahun. Akan tetapi tidak menutup peluangterhadap hak atas tanah tersebut untuk dapat dilakukan perpanjangan. Perpanjangan dapatdimohonkan oleh pemegang hak kepada kantor pertanahan setempat. Namun dewasa initerkendala dengan mewabahnya penyebaran Covid-19, baik itu bagi pemegang hak individumaupun badan hukum. Demi mengatasi situasi tersebut, maka pemerintah melalui KementerianAgraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional membuat suatu peraturan yang bertujuanuntuk melakukan relaksasi peraturan pertanahan berupa perpanjangan jangka waktu berlakunyaHGU, HGB dan Hak Pakai. Tujuan yang melatarbelakangi penerbitan peraturan ini menjadicerminan terhadap eksistensi teori Hukum Progresif. Perspektif utamanya adalah kebutuhan dankemanfaatan hukum bagi masyarakat terhadap akan adanya kemudahan dalam pemanfaatanmaupun penguasaan tanah dalam masa pandemi Covid-19. Berdasarkan hal-hal tersebut, padapenelitian ini dirumuskan masalah bagaimanakah relaksasi perpanjangan jangka waktu berlakuHGU, HGB dan Hak Pakai dan bagaimanakah eksistensi teori Hukum Progresif dalamperpanjangan jangka waktu HGU, HGB dan Hak Pakai pada masa pandemi Covid-19. Metodepenelitian yang digunakan adalah normatif-empiris dan disajikan secara kualitatif. Berdasarkanpenelitian ini ditemukan bahwa relaksasi perpanjangan jangka waktu diberlakukan bagi pemeganghak yang jangka waktu berlakunya berakhir pada saat masa tanggap darurat Covid-19 dan haltersebut merupakan bukti eksistensi Hukum Progresif dalam Hukum Pertanahan, karena tujuannyaguna kemanfaatan masyarakat.
KEBIJAKAN PEMERINTAH INDONESIA DALAM PENGATURAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-IX/2012 Wiyono, Bambang; Susanto, Susanto; Darusman, Yoyon M.
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, September 2021
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v5i2.1447

Abstract

Tulisan ini berjudul Kebijakan Pemerintah Indonesia Dalam Pengaturan HutanAdat Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/Puu-Ix/2012, merupakanluaran penelitian dengan Nomor Kontrak :0391/D5/SPKP/LPPM/UNPAM/XI/2020. Masalah yang diangkat dalampenelitian ini mengenai kebijakan yang tertuang dalam peraturan perundangundangan seringkali dalam implementasinya tidak sesuai dengan harapanmasyarakat, bahkan dapat menimbulkan permasalahan di masyarakat, kebijakantersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 dan Pasal 5 Undang-UndangNomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan atas Putusan MahkamahKonstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945dan oleh karenanya ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukummengikat, dengan demikian kedudukan hutan adat setelah adanya PutusanMahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 sebagai hutan yang berada didalam wilayah masyarakat hukum adat dengan tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakuikeberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional sesuaidengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan RepublikIndonesia yang diatur dalam undang-undang. Dalam penelitian ini menggunakanmodel penelitian kualitatif dengan pendekatan kepada perundang-undangan. Datapenelitian yang dipergunakan adalah data sekunder berupa perundang-undangan,buku referensi hukum serta data dari internaet. Hasil dari penelitian ini, yaitukebijakan pemerintah yang seharusnya dalam pengaturan hutan adat pascaPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-IX/2012 adalah sebagai berikut:Melakukan penetapan wilayah yang merupakan hutan adat terpisah daripengelolaan hutan negara, dan ditunjuk sebagai daerah penyangga kawasan hutannegara; melakukan pengaturan masyarakat hukum adat melalui pemberdayaanmasyarakat sesuai kearifan lokal; jenis tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yangdilindungi tetap dalam pengelolaan pemerintah kecuali untuk kepentingan acaraadat; melakukan pembinaan dan bimbingan kepada masyarakat hukum adattentang tata cara pemanfaatan hutan adat sesuai kearifan lokal
KEDUDUKAN PERUSAHAAN TRANSNASIONAL SEBAGAI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL Amalia, Erna
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, September 2021
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v5i2.1448

Abstract

Perdagangan bebas membuat Perusahaan Transnasional (TNC) untuk melakukan usahamelalui cabang perusahaannya diberbagai negara yang lebih menguntungkan. Namunpengaruh ekonomi dari TNC ini membuat beberapa negara berkembang kesulitan dalammenegakkan hukum nasional. Kondisi ini membuat Hukum Internasional berupaya dalammenempatkan TNC sebagai subjek hukum internasional dengan tujuan agar TNC dapatdibebankan tanggung jawab melalui pelaksanaan sebuah instrumen hukum internasional. Tapifakta bahwa TNC tidak memiliki kepribadian hukum dibawah hukum internasional menjadikendala utama dalam pelaksanaan hukum internasional. Tulisan ini dimaksudkan untukmembahas status TNC dilingkup hukum internasional, dengan menganalisis tentangbagaimana kedudukan TNC sebagai subyek hukum internasional, upaya hukum internasionaldalam pembebanan tanggung jawab terhadap perusahaan-perusahaan TNC. Penelitian yangdilakukan pada karya tulis ini adalah deskriptif analitis dengan pendekatan yang dipakai yaitunormatif yuridis yang mengacu pada sumber hukum internasional yang berkaitan dengan TNC.Hasil penelitian, dapat diketahui bahwa TNC merupakan subjek hukum internasional, ketikaadanya dampak yang ditimbulkan oleh TNC, hal ini bertujuan agar TNC dapat dibebankantanggung jawab melalui pelaksanaan sebuah instrumen hukum internasional.
TINJAUAN YURIDIS FUNGSI PENGAWASAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA TERHADAP PEMBANGUNAN DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 STUDI KASUS DESA BOJONG BARU KABUPATEN BOGOR Kharisma, Muhammad Akbar; Masidin, Masidin
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, September 2021
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v5i2.1449

Abstract

BPD merupakan lembaga legislatif desa yang memiliki kewenangan bukan hanyamembentuk peraturan desa, tetapi juga mengawasi kinerja daripada Kepala Desa.Pada tanggal 16 Mei 2020 berita melalui Harian Kompas memberikan info bahwatelah terjadinya penyelewengan dana pembangunan jalan di Desa Bojong Baruakibat tidak adanya papan informasi proyek di lokasi pengerjaan. Sehingga haltersebut menimbulkan pertanyaan terhadap fungsi pengawasan BPD di DesaBojong Baru Adapun dalam penelitian ini memiliki rumusan, yaitu: Bagaimanafungsi pengawasan BPD terhadap pembangunan di desa menurut UU No. 6 Tahun2014? Bagaimana kewenangan dan pelaksanaan BPD dalam melakukanpengawasan Pemerintahan Desa? Penelitian ini menggunakan metode penelitianhukum normatif. Adapun hasil dari penelitian ini yaitu fungsi pengawasan BPDdalam pelaksanaan pembangunan pedesaan belum optimal. Sehingga BPD haruslebih memahami fungsinya sesuai dengan amanat dalam UU No. 6 Tahun 2014
TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT TERHADAP PENUMPANG KAPAL ANGKUTAN LAUT PELAYARAN RAKYAT YANG MENGALAMI KERUGIAN Surajiman, Surajiman; Surajiman, Muhamad Pasca
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, September 2021
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v5i2.1450

Abstract

Tulisan ini berjudul Tanggung Jawab Pengangkut Terhadap Penumpang KapalAngkutan Laut Pelayaran Rakyat Yang Mengalami Kerugian Akibat OperasionalKapal. Masalah yang diteliti adalah ruang lingkup tanggung jawab pengangkutkapal angkutan laut pelayaran rakyat, serta penyelesaiannya ketika penumpangmengalami kerugian akibat operasional kapal. Mengacu pada Undang UndangNomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dan Kitab Undang Undang HukumDagang bahwa pengangkut bertanggung jawab terhadap keselamatan dankeamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya. Metode penelitian yangdigunakan adalah yuridis normatif dengan analisis kualitatif. Sumber data yangdigunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder,dan tersier.Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanggung jawab pengangkutterhadap penumpang yang mengalami kerugian pada angkutan laut pelayaranrakyat akibat operasional kapal khususnya di Pelabuhan Angke meliputi santunankarena kematian dan pengobatan bagi penumpang yang mengalami cedera. Barang-barang pribadi milik penumpang yang hilang dan rusak selama dalam penguasaanpenumpang menjadi tanggung jawab penumpang.
Ketidak Selarasan Putusan Arbitrase Bersifat Final dan Mengikat (Pasal 60 UUAAPS) dan Pembatalan Putusan Arbitrase (Pasal 70 UUAAPS) Syafrida, Syafrida; Marbun, Mangisitua
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 5 No. 2 (2021): Volume 5, Nomor 2, September 2021
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v5i2.1451

Abstract

Arbitrase salah cara penyelesaian sengketa luar pengadilan ( non litigasi) diaturdalam Undang -Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa.Syarat suatu sengketa dapat diselesaikan melalui arbitraseharus didasarkan kepada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh kedua belah secaratertulis baik dengan akta dibawah tangan atau denan akta otentik. Sengketa yangdapat diselesaikan melalui arbitrase hanyalah sengketa dalam bidang perdagangandan mengenai hak yang menurut hukum dan. Putusan arbitrase bersifat final danmengikat (Pasal 60 UUAAPS).dalam penjelasannya dijelaskan kata” final “terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan upaya hukum Banding, Kasasi danPeninjauan Kembali, berarti tidak tersedia lagi upaya hukum untuk membatalkanputusan arbitrase, dengan adanya Pasal 70 UUAAPS bahwa putusan arbitrase masihdapat dilakukan pembatalan yang syaratnya sama dengan upaya hukum peninjauankembali pada perkara perdata. Dengan adanya Pasal 70 menyebabkan tidaksngkronya dengan Pasal 60 hal ini menjadi latar belakang permasalahan.Permasalahan mengapa putusan arbitrase yang telah bersifat final dan mengikatmasih dapat dilakukan pembatalan ke Pengadilan Negeri ( Pasal 70 UUAAPS),Metode penelitian, data diperoleh melalui penelitian kepustakaan berupa datasekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahanhukum tertier yang berkaitan dengan arbitrase, Penelitian bersifat normatif ataudoktrinal dan data dianalisa secara kualitatif. Kesimpulan terdapat ketidak selarasanPasal 60 menyatakan putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, namun Pasal70 masih masih membuka kesempatan kepada para pihak melakukan pembatalanputusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat ke Pengadilan Negeri.
PENGAMBILAN SUMPAH UNTUK BUKTI BARU DARI TERMOHON PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA Sobari, Ahmad
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 6 No. 1 (2022): Volume 6, Nomor 1, Maret 2022
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v6i1.1599

Abstract

AbstractSubmitting a judicial review (PK) at the Supreme Court, both criminal and civil cases, one of the material requirements is the discovery of new evidence or fresh fact or new circumstances, called novum. The material reason for the Judicial Review (Peninjauan Kembali) of criminal cases is called "new circumstances", contained in Article 263 Paragraph (2) letter a of the Indonesian Criminal Procedure Code. The form of new evidence or novum in civil cases, referred to as "decisive evidence letters", is stated in Article 67 letter b of Law no. 14 of 1985 concerning the Supreme Court in conjunction to Law No. 5 of 2004 in conjunction to Law No. 3 of 2009 concerning the Second Amendment. Although using different terms about the novum (criminal procedure code and civil procedure code), the actual meaning is not different. The difference is that in criminal cases it is not explicitly stated about the evidence/the form of novum, where the novum was obtained, contained or attached. But new evidence or novum in civil cases is expressly called "with documentary evidence", then the new evidence or novum is documentary evidence. In criminal cases, the form of evidence for a novum is not mentioned, so the form of a new situation or novum in a criminal case can be obtained from letter evidence or witnesses. The important thing is that the contents of the novum are in the form of new conditions that previously, when the case was examined at the first level of court, the new circumstances had not been revealed in the trial of the first level court. For applicants for reconsideration (PK) Novum or new evidence in the form of a letter based on Article 69 letter b of Law no. 14 of 1985, since the discovery of the documents of evidence, the day and date of their discovery must be declared under oath and ratified by the competent authority. However, the law (No. 14 of 1985) does not regulate the Novum or new evidence held by the Respondent for Judicial Review, in the form of a counter memory from the Judicial Review with additional new evidence, whether it must be declared under oath and ratified by an authorized official. This can cause problems because of the difference in the strength of the evidence between novum of the Judicial Review of the Petitioner and the Judicial Review of the Respondent. In order to have a legally balanced strength of evidence, it is better if new evidence or novum from the Respondent from the Judicial Review is also regulated in the procedural law, which is sworn in and ratified by an authorized official.Key word: Judicial Review; novum; new evidenc; equality before the law; The power of                    evidence.
ANALISIS YURIDIS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA AKIBAT PERALIHAN TENAGA KERJA MANUSIA MENJADI TENAGA MESIN SEBAGAI BENTUK EFISIENSI PERUSAHAAN BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA Khairani, Patricia Alya; Masidin, Masidin
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 6 No. 1 (2022): Volume 6, Nomor 1, Maret 2022
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v6i1.1676

Abstract

Tulisan ini berjudul Analisis Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Peralihan TenagaKerja Manusia Menjadi Tenaga Mesin sebagai Bentuk Efisiensi Perusahaan Berdasarkan Undang– Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, masalah dalam penelitian ini berhubungandengan adanya pemutusan hubungan kerja akibat digitalisasi dihubungkan dengan alasanpemutusan hubungan kerja akibat perusahaan melakukan efisiensi yang tercantum dalam Pasal154A ayat (1) huruf b Undang - Undang Cipta Kerja. Metode penelitian ini adalah yuridis normatifyaitu penelitian dengan mengkaji bahan hukum yang berkaitan dengan objek penelitian danberfokus pada peraturan perundang – undangan serta referensi hukum lainnya.Hasil penelitian menyatakan bahwa telah terjadi pemutusan hubungan kerja akibat adanyatransformasi digital atau digital yang menyebabkan pekerjaan manusia tergantikan oleh mesin,akan tetapi pengusaha tidak menggunakan alasan efisiensi dalam melakukan pemutusan hubungankerja terhadap pekerjanya, Sebab penafsiran dari makna efisiensi masih terlalu luas. Oleh karenaitu dibutuhkan pengaturan khusus yang menyatakan adanya alasan pemutudan hubungan kerjaakibat peralihan tenaga kerja manusia menjadi tenaga mesin.  This paper is titled Juridical Analysis of Job Cuts Due to the Transition of Human Laborinto Machine Labor as a Form of Corporate Efficiency Based on Law No. 11 of 2020 on WorkCopyright, the problem in this study related to the termination of employment due to digitalizationis related to the reason for termination of employment due to companies performing efficienciescontained in Article 154A paragraph (1) letter b of the Copyright Law. This research method isnormative juridical research by reviewing legal materials related to research objects and focusingon laws and regulations and other legal references.The results stated that there have been job cuts due to digital or digital transformation thatcauses human work to be replaced by machines, but employers do not use efficiency reasons inmaking job cuts to their workers, because the interpretation of the meaning of efficiency is still toobroad. Therefore, special arrangements are needed that state the reason for the termination oflabor relations due to the transition of human labor into machine power.
MASA JABATAN LEMBAGA LEGISLATIF DI INDONESIA GUNA MENEGAKAN PRINSIP KONSTITUALISME Hamrin, Hamrin; Endratno, Cucuk
NATIONAL JOURNAL of LAW Vol. 6 No. 1 (2022): Volume 6, Nomor 1, Maret 2022
Publisher : Universitas Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47313/njl.v6i1.1677

Abstract

People's representative institutions in the Indonesian constitutional systemconsist of the People's Consultative Assembly (MPR), the People's RepresentativeCouncil (DPR), the Regional Representatives Council (DPD), the RegionalPeople's Representative Council (DPRD) both provincial and district/city. As apeople's representative institution, members of the MPR, DPR, DPD, ProvincialDPRD and Regency/Municipal elected by the people through general elections.General elections are held in a direct, general, free, secret, honest and fair mannerevery five years. The objectives to be achieved in writing this dissertation are toanalyze and determine the regulation of the tenure of legislative members in theconstitutionalism system in Indonesia and to analyze and find the concept of theterm of office of legislative members in Indonesia in order to enforce theConstituent Principles.This study uses a normative juridical approach that emphasizes libraryresearch. In this research, the Legislation approach, conceptual approach,comparative approach, case approach, historical approach, and philosophicalapproach are used. Types of legal materials used are primary, secondary, andtertiary legal materials. The analysis used is qualitative descriptive analysis.The results show that the House of Representatives is neededlimitation ofterm of office, because the term of office is the same as the term of office of thePresident as stated in Article 7 of the 1945 Constitution. The limitation ofperiodization is meant by considerations: guaranteeing human rights, avoidingarbitrariness of members of the people's representative institutions, creatingthought innovation institutions in institutions people's representatives. The idealconcept of limiting the term of office of the DPR and DPD, it is advisable to revisethe MD3 Law; second, to propose the concept of limiting the term of office ofmembers of the DPR and DPD based on a constitutional democracy perspective, itis advisable to revise the addition of paragraphs in Articles 76 and 252 of the MD3Law, regarding the affirmation of how many years in office are considered one termfor both DPR and DPD. It is also necessary to revise Article 76 Paragraph (4) andArticle 252 Paragraph (5) of the MD3 Law, relating to the concept of limiting theterm of office to only two terms.