cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota denpasar,
Bali
INDONESIA
JURNAL MAGISTER HUKUM UDAYANA
Published by Universitas Udayana
ISSN : 25023101     EISSN : 2302528X     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal Magister Hukum Udayana adalah jurnal ilmiah hukum yang mempublikasikan hasil kajian bidang hukum yang diterbitkan secara online empat kali setahun (Februari-Mei-Agustus-Nopember). Redaksi menerima tulisan yang berupa hasil kajian yang berasal dari penelitian hukum dalam berbagai bidang ilmu hukum yang belum pernah dipublikasikan serta orisinal. Jurnal ini selain memuat tulisan / kajian dari para pakar ilmu hukum (dosen, guru besar, praktisi dan lain-lain.) juga memuat tulisan mahasiswa Magister Ilmu Hukum baik yang merupakan bagian dari penulisan tesis maupun kajian lainnya yang orisinal. Tulisan yang masuk ke Redaksi akan diseleksi dan direview untuk dapat dimuat
Arjuna Subject : -
Articles 664 Documents
Peran Surveyor Kadaster Berlisensi pada Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap Rofi Wahanisa; Putu Gede Arya Sumerta Yasa; Septhian Eka Adiyatma
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 1 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2024.v13.i01.p12

Abstract

Land registration is a crucial component in Indonesia for registering land rights and collecting land parcel data. Issues that often arise in the context of land registration include measurement errors, boundary disputes, and the absence of neighboring landowners. Considering the objectives of land registration, which include creating legal certainty, providing information to relevant parties, and maintaining administrative order, the importance of carrying out land registration to create legal clarity and facilitate efficient land administration is emphasized. Through the Nawacita, the acceleration of the land registration program is known as the Complete Systematic Land Registration (PTSL). The research method used is a normative juridical approach, complemented by literature studies and supporting data from interviews. Measurement becomes an important stage in land registration, as it is the initial stage of collecting physical and juridical data that is crucial for the subsequent stages of the land registration process. Errors or carelessness in this stage can potentially lead to disputes in the future. However, the available human resources for measurement do not meet the measurement target. As a result, the licensed cadastral surveyor profession has emerged. This paper discusses and analyzes the role and obstacles of licensed cadastral surveyors in PTSL. The research method is carried out with a normative juridical approach, using primary literature data and journals to analyze the role and obstacles of licensed cadastral surveyors in the implementation of PTSL. Pendaftaran tanah merupakan komponen krusial di Indonesia untuk mendaftarkan hak atas tanah dan mengumpulkan data bidang tanah. MPersoalan dalam konteks pendaftaran tanah yang seringkali muncul antara lain, salah pengukuran, sengketa batas, maupun ketidakhadiran pihak yang tanahnya berbatasan. Jika ditilik dari tujuan pendaftaran tanah antara lain menciptakan kepastian regulasi/hukum, memberikan informasi untuk pihak-pihak terkait, dan menjaga ketertiban administrasi. Melalui Nawacita program percepatan dilakukan dengan pendaftaran tanah sistematis lengkap. Menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dilengkapi dengan studi pustaka dan data pendukung dari hasil wawancara. Pengukuran menjadi tahapan dari pendaftaran tanah yang penting, karena dalam tahap merupakan tahap awal pengumpulan data yang bersifat fisik dan data yang bersifat yuridis yang sangat penting pada proses pendaftaran tanah tahap selanjutnya. Karena dalam tahap ini adalah tahap awal untuk menentukan posisi/ letak dari tanah yang akan di daftar, kesalahan/ ketidak hati-hatian dalam proses ini nantinya akan sangat mungkin memunculkan sengketa di kemudian hari. Namun, dalam kenyataanya jumlah sumber daya manusia (SDM) dalam pengukuran belum memenuhi untuk pemenuhan target pengukuran. Oleh karena itulah memunculkan profesi surveyor kadaster berlisensi. Dalam tulisan ini akan dibahas dan dianalisa tentang peran dan hambatan surveyor kadaster berlisensi dalam PTSL Metode penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normative, dengan penggunaan data primer literatur, jurnal yang dipergunakan untuk menganalisa peran dan hambatan dari surveyor kadaster berlisensi dalam pelaksanaan PTSL.
Prohibiting Tear Gas for Riot Control with the Chemical Weapons Convention: Reaching Beyond the Battlefield? Nivia Nivia
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 1 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2024.v13.i01.p03

Abstract

Chemical Weapons Convention 1993 prohibits tear gas as a method of warfare but permits its use as a law enforcement tool, particularly for domestic riot control. Such normative provision results in massive violations of human rights towards civilians caused by the use of tear gas in several states. This research analyses tear gas historically and compares its similar characteristic with chemical weapons in general to see whether tear gas shall be banned in all contexts like others chemical weapons. Through normative research and qualitative analysis, this research shows that there is no fundamental difference between tear gas and chemical weapon. It cannot be separated from its characteristic which is also indiscriminate and caused unnecessary suffering, even against non-rioter. That being said, international law shall treat those instruments equally in a way that totally bans both of them
Pola Hubungan Desa Adat dan Desa Dinas dalam Penanganan Penduduk Pendatang di Bali Ni Putu Purwanti; Ni Nyoman Sukerti
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 12 No 4 (2023)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2023.v12.i04.p10

Abstract

This study aims to find and analyze the relationship patterns of traditional villages and official villages in handling migrants in Bali. The research method is empirical legal research, relying on field data as primary data. The results of the study show that the pattern of the relationship between the traditional village and the official village in handling the immigrant population is synergized so that a harmonious relationship is established in carrying out their respective functions. Regarding the immigrant population, they are divided into immigrants who are Hindu and those who are not, living permanently or temporarily. The Hindu immigrant population is closely related to the local traditional village and the official village, while the non-Hindu are limited to the official village. The attitude of the immigrant population to the policies taken by the traditional village and the official village, the results of the study show that, those who are Hindus in relation to traditional villages, vary widely, some participate as indigenous people and some do not. In relation to the official village, both Hindu and non-Hindu there is no difference. The policies taken, such as security and cleaning fees, are collected every month, the amount of which varies greatly from village to village. The handling of the immigrant population is going in harmony. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menganalisis tentang pola hubungan desa adat dan desa dinas dalam penanganan penduduk pendatang di Bali. Metode penelitiannya adalah penelitian hukum empiris, bertumpu pada data lapangan sebagai data primer. Hasil penelitian menunjukan bahwa pola hubungan desa adat dan desa dinas dalam penanganan penduduk pendatang, adanya sinergi sehingga terjalin hubungan yang harmonis dalam mejalankan fungsinya masing-masing. Terkait penduduk pendatang itu dibedakan menjadi penduduk pendatang yang beragama Hindu dan tidak, tinggal menetap atau sementara. Penduduk pendatang yang beragama Hindu ini erat kaitannya dengan desa adat setempat dan desa dinas, sementara yang non Hindu terbatas pada desa dinas. Sikap penduduk pendatang terhahadap kebijakan yang diambil desa adat dan desa dinas, hasil penelitian menunujukan bahwa, yang beragama Hindu dalam hubungan dengan desa adat, sangat bervariasi, ada yang ikut sebagai warga adat ada juga tidak. Dalam hubungannya dengan desa dinas baik beragama Hindu maupun non Hindu tidak ada perbedaan. Kebijakan yang diambil seperti uang keamanan dan kebersihan yang dipungut setiap bulannya dengan besarannya sangat bervariasi antara desa yang satu dengan yang lainnya. Penanganan penduduk pendatang, berjalan dengan harmonis.
Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen : Bersifat Final dan Mengikat? Made Cherina Apriliasari Mantrawan; I Gede Agus Kurniawan
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 2 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2024.v13.i02.p07.

Abstract

The objective of this scholarly publication is to investigate and assess the Consumer Dispute Settlement Body's (BPSK) authority and the conclusive and legally binding nature of its decisions. This investigation employs normative legal research. The authority and responsibilities of the Consumer Dispute Resolution Agency (BPSK) are specified in Article 52 UUPK. The consumer dispute resolution body is obligated to render a final and binding decision within twenty-one (21) business days from the date of receipt of the lawsuit. This adheres to the provisions outlined in Article 54 paragraph 3 UUPK and Article 55. The ultimate and enforceable interpretation of a Consumer Dispute Settlement Agency decision is fundamentally distinct from that of a court institution's decision bearing the same meaning. This shows that the status and position of the Consumer Dispute Resolution Agency (BPSK) is assessed from an administrative perspective, it only has administrative authority. Therefore, it was deemed that the decision could not have judicial attributes. Consequently, BPSK may be categorized as a quasi-judicial institution, deviating in character from the principal court institutions in terms of the substance of its rulings. Therefore, in light of the BPSK decision's "final and binding" nature, it is possible to interpret it only as an agreement or agreement.
Tinjauan Yuridis Perundungan di Pendidikan Kedokteran Alif Muhammad Sudarmanto; Aldi Maheswara Wisnuwardhana; Ilma Mufidatul Aufa; Janice Nathania Adiwijaya; William Ricardo; Sigid Kirana Lintang Bhima; Kristianti Hartiana
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 2 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2024.v13.i02.p12.

Abstract

Bullying is an act against the medical code of ethics, but its presence is still found in medical education. Institutionalized behavior, stressful work environment, and lack of policies on bullying makes bullying prevention difficult, despite knowledge and understanding of the law in 92% of physicians. This study aims to judicially review the regulations related to bullying so that there is a reference for evaluating the existing protection mechanisms. Normative juridical approach was utilized with secondary data as the data source, such as regulations and research journals. This research found that there were several types of bullying, namely verbal, social, physical, cyber, and financial. Verbal bullying was the most common type of bullying, while physical bullying was the rarest type. When bullying was about to be linked to a criminal act or in a civil manner, there were several aspects that must be taken into account before linkage. Currently, the available laws and regulations, such as those in the Criminal Code, Civil Code, and the Electronic Information and Technology Law, were able to bind perpetrators of bullying in general. Specific regulations, such as the Act Number 17 Year 2023 regarding Health, had regulated bullying in the medical environment, including education. Regulations that more thoroughly accommodate the regulation bullying and up-to-date research regarding the strength of legal mechanisms related to bullying would still be urgently needed. Perundungan merupakan tindakan yang tidak sesuai dengan kode etik kedokteran, tetapi kehadirannya masih ditemukan di pendidikan kedokteran. Perilaku yang tertanam dalam institusi, lingkungan kerja yang menekan, dan kurangnya kebijakan terkait perundungan membuat pencegahan perundungan sulit, terlepas dari pengetahuan dan pemahaman hukum sebesar 92% di kalangan dokter. Penelitian ini bertujuan untuk meninjau secara yuridis peraturan terkait perundungan agar terdapat acuan untuk mengevaluasi mekanisme perlindungan yang telah ada saat ini. Pendekatan yuridis normatif digunakan dengan jenis data berupa data sekunder, seperti peraturan dan jurnal penelitian. Terdapat beberapa jenis perundungan, yakni verbal, sosial, fisik, siber, dan finansial. Perundungan verbal merupakan perundungan yang paling sering ditemukan, sedangkan fisik merupakan jenis yang paling jarang ditemukan. Ketika perundungan hendak dikaitkan dengan tindak pidana maupun perdata, terdapat beberapa hal yang harus diteliti terkait dengan syarat masing-masing. Saat ini, peraturan perundang-undangan yang tersedia, seperti dalam KUHP, KUHPerdata, dan Undang-Undang Informasi dan Teknologi Elektronik, mampu mengikat pelaku perundungan secara umum. Peraturan yang bersifat khusus, seperti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sudah mengatur perihal perundungan di lingkungan kedokteran, termasuk pendidikannya. Peraturan pelaksana yang lebih mengakomodir terkait penindakan perundungan dan penelitian mutakhir terkait kekuatan mekanisme hukum terkait perundungan masih sangat dibutuhkan.
Kompleksitas Kontrak Di Era Industri Sepak Bola Global (Perspektif Klub Sepak Bola Liga 1 Indonesia) Mahendra Putra Kurnia; Emilda Kuspraningrum; Rika Erawaty; Grizelda Grizelda; Sofwan Rizko Ramadoni
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 2 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2024.v13.i02.p03.

Abstract

Football has developed in such a way as to become an industry involving many actors and a huge economic turnover. Along with the development of the football industry, the legal relationship of the actors outlined in the contract is increasingly complex. The purpose of this paper is to describe the contractual complexities faced by professional football clubs in Indonesia. Using doctrinal research methods supported by a participatory approach, an understanding was obtained that each Liga 1 Indonesia football club at least interacts with 7 (seven) types of contracts where each contract has a different format, substance, and choice of law. Therefore, every professional football club in Indonesia is required to be able to adapt to the development of the global football industry, especially for legal consultants in each club must improve their knowledge and ability to draft contracts in order to protect the interests of the club. Keywords: Football industry; Contract; Football club, Choice of law Sepak bola telah berkembang sedemikian rupa menjadi sebuah industri dengan melibatkan banyak aktor dan perputaran ekonomi yang sangat besar. Seiring dengan perkembangan industri sepak bola, hubungan hukum para aktor yang dituangkan dalam kontrak semakin kompleks. Tujuan penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan kompleksitas kontrak yang dihadapi klub sepak bola profesional di Indonesia. Menggunakan metode penelitian doktrinal ditunjang dengan pendekatan partisipatoris diperoleh pemahaman bahwa setiap klub sepak bola Liga 1 Indonesia setidaknya berinteraksi dengan 7 (tujuh) jenis kontrak dimana masing-masing kontrak memiliki format, substansi, dan pilihan hukum yang berbeda-beda. Oleh karena itu, bagi setiap klub sepak bola profesional di Indonesia dituntut untuk mampu beradaptasi dengan perkembangan industri sepak bola global, terutama bagi para konsultan hukum di setiap klub harus meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menyusun kontrak dalam rangka melindungi kepentingan klub.kata kunci: Industri sepak bola; Kontrak; Klub sepak bola, pilihan hukum
Legalitas Hukum Adat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional Faisal Faisal; Reski Anwar
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 2 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2024.v13.i02.p08.

Abstract

Pengaturan pidana dalam KUHP nasional terbaru diharapkan dapat menyadarkan mengenai penyelesaian delik adat lagi, khususnya melalui pelaksana hukum dengan tetap melihat adanya nilai-nilai dalam masyarakat adat. Pelaksanaan komponen ini memerlukan standar regulasi serapi dan sesempurna mungkin dalam menentukan norma delik adat, agar deliknya dapat diselesaikan melalui instrumen peradilan nasional. Eksekusi pelanggaran standar sangat membantu jika terjadi kekosongan hukum untuk menangani pelanggaran yang tidak diatur dalam aturan lainnya, sementara hukum adat mengontrolnya sebagai pelanggaran hukum adat. Kemungkinan pedoman untuk mengimplementasikan pengaturan hukum adat dalam pengaturan pidana di masa depan harus mempertimbangkan beberapa perspektif, yaitu: menentukan titik potong penggunaan delik baku yang dianggap ada, yang untuk situasi ini disinkronkan dengan hukum adat. Kelompok masyarakat, mencari tahu batas-batas delik baku yang dapat dianggap sebagai tindakan kriminal yang dapat diupayakan oleh peradilan pidana nasional, dan memutuskan sudut pandang formal yang sah (peraturan acara pidana) yang mengarahkan cara paling umum dalam melihat kasus-kasus hukum adat.
Problematika Kewenangan dan Kebijakan antara Badan Pengusahaan Batam dengan Ex Officio Wali Kota Batam Emy Hajar Abra
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 2 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2024.v13.i02.p13.

Abstract

The Batam Concession Agency/BP is a real form of centralization that occurs in the Batam City government. This can be seen from the various authorities and assets in Batam City. This is the impact of the Batam Free Trade Zone and Free Port Council Decree Number 1 of 2019. It is explained that the Head of BP Batam is the ex officio Mayor of Batam. The ex officio condition in Batam is when one person holds two authorities in two different institutions. This article aims to find out, analyze and identify problems related to authority and policy between the Batam Concession Agency and the ex officio Mayor of Batam. The research method in this paper is normative juridical, with secondary data, which is sourced from primary legal materials, namely binding legal materials, namely related laws and regulations. The results of the research in this paper are that there are various problems in the city of Batam due to the impact of the ex officio policy, including regulatory problems, authority problems in the Indonesian state administration. In theory, the regional government system does not recognize the centralization of authority from the center to the regions. This has a direct impact on the case of Rempang Island. This condition is not in line with Article 18 B paragraph (2) of the 1945 Constitution which states that the existence of customary law communities must be respected and maintained. In conclusion, it is necessary to reconstruct the regional government structure in Batam City which is consistent and coherent with the 1945 Constitution, like other regions. As for the Batam Business Agency, which is one of the investment supporting institutions, it is necessary to reorganize the position of this institution. Badan pengusahaan/ BP Batam adalah bentuk nyata sentralisasi yang terjadi dalam pemerintahan Kota Batam. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kewenangan serta aset yang ada di Kota Batam. Hal tersebut adalah dampak dari adanya Keputusan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Batam Nomor 1 Tahun 2019. Dijelaskan bahwa Kepala BP Batam adalah ex officio Wali Kota Batam. Kondisi ex officio di batam adalah ketika satu orang memegang dua kewenangan pada dua lembaga yang berbeda. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui, menganalisis dan mengidentifikasi problematika kewenangan dan kebijakan antara Badan Pengusahaan Batam dan ex officio Wali Kota Batam. Metode penelitian dalam tulisan ini adalah yuridis normatif, dengan jenis data sekunder, yang bersumber pada bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yakni peraturan perundang-undangan terkait. Adapaun Hasil penelitian dalam tulisan ini adalah terdapat beragam problemtika dikota batam atas dampak dari kebijakan ex officio tersebut, diantaranya problemtika regulasi, problematika kewenangan dalam ketatanegaraan Indonesia pada teori system pemerintahan daerah tidak mengenal adanya sentralisasi kewenangan dari pusat ke daerah. Hal ini berdampak langsung pada contoh kasus pulau Rempang. Kondisi itu tidak sejalan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 bahwa kesatuan masyarakat hukum adat wajib dihormati dan dijaga keberadaannya. Kesimpulannya diperlukan rekonstruksi tatanan pemerintahan daerah pada Kota Batam yang konsisten dan koheren dengan UUD 1945 sebagaimana daerah-daerah lainnya. Adapun Badan Pengusahaan Batam yang menjadi salah satu lembaga penunjang investasi diperluakan penataan ulang pada kedudukan lembaga tersebut.
Mitigasi Risiko Dalam Transaksi E-Commerce : Keseimbangan Perlindungan Hukum antara Konsumen dan Pelaku Usaha Anita Sani; Joni Emirzon; Annalisa Yahanan
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 2 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/10.24843/JMHU.2024.v13.i02.p04.

Abstract

In e-commerce transactions, there is often an imbalance between consumers and business actors. Most people's perception is that consumers in e-commerce are in a weak bargaining position. Consumers are felt to be the object of activity to reap maximum profits (profit oriented) by business actors. Consumers are still vulnerable to rights violations and are always at a disadvantage. However, in e-commerce transactions, business actors are sometimes faced with a weak position. However, the fact is that in online transactions, losses can not only be experienced by consumers but also by business actors. Losses experienced by business actors are caused by the failure to fulfill the achievements that should be fulfilled by consumers. Even though both parties have not yet fulfilled their achievements, the business actor has processed the goods ordered by consumers using his personal money. For this reason, mitigation efforts need to be made to create a balanced position between consumers and business actors.
Peran Kekayaan Intelektual dalam Menggerakkan Industri Kreatif Pariwisata Berkelanjutan: Indonesia vs. Filipina Ampuan Situmeang; Hari Sutra Disemadi; Winda Fitri
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 13 No 2 (2024)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2024.v13.i02.p09.

Abstract

Pariwisata berkelanjutan tidak hanya merupakan perubahan yang diperlukan di sektor pariwisata, namun juga merupakan tren yang dapat merevitalisasi sektor pariwisata yang terbelenggu pandemi dan permasalahan sosio-ekonomi dan lingkungan. Kekayaan intelektual berperan penting, khususnya dalam mendukung industri kreatif sebagai bagian tak terpisahkan dari sektor pariwisata. Penelitian ini dibuat untuk memetakan peran kekayaan intelektual terhadap kemajuan industri kreatif di tengah pengembangan pariwisata berkelanjutan. Dengan metode penelitian hukum normatif dan pendekatan komparatif, penelitian ini membandingkan kerangka hukum Indonesia dengan Filipina, serta kecakapan masing-masing sistem hukum untuk mendukung industri kreatif dalam pariwisata berkelanjutan. Analisis menemukan bahwa Filipina memiliki kerangka hukum pariwisata yang lebih baik, yang sudah sekaligus mengatur secara detail penerapan konsep keberlanjutan, serta dukungan terhadap industri kreatif. Namun, Indonesia memiliki kerangka hukum kekayaan intelektual yang lebih baik, khususnya mengenai kekayaan intelektual komunal, yang secara definitif diatur dan sesuai dengan norma-norma mendasar dari kerangka hukum pariwisata.