cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
JURISDICTIE Jurnal Hukum dan Syariah
ISSN : 20867549     EISSN : 25283383     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurisdictie (print ISSN 2086-7549, online ISSN 2528-3383) is peer-reviewed national journal published biannually by the Law of Bisnis Syariah Program, State Islamic University (UIN) of Maulana Malik Ibrahim Malang. The journal puts emphasis on aspects related to economics and business law which are integrated to Islamic Law in an Indonesian context and globalisation context. The languages used in this journal are Indonesia, English and Arabic.
Arjuna Subject : -
Articles 214 Documents
THE LEGAL STATUS OF DIGITAL BANKS IN INDONESIA Elsa Assari
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 13, No 2 (2022): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v13i2.16285

Abstract

The bank digital concept is designed so the customer can independently do the transaction, make an online account, get online information, close the account, and so forth. Norm text wise, digital bank is not present in the positive law of banking in Indonesia. So, the problem is about the legal basis of digital banks in the country. The researchers discuss the problem by applying normative juridical method with statute and analytical approaches. The primary law sources are from the laws and regulations, the court’s transcript of proceedings, and the court decision. The secondary sources are previous research results and legal articles. The analysis technique of legal sources implements systematic interpretation. The results show that the legal basis for digital banks in Indonesia is implicitly written on Banking Law and POJK No. 12/POJK.03/2021 concerning Commercial Banks. Digital banks must be an Indonesian legal entity bank and acquire a license from the OJK. Digital banks should be clearly differentiated with other Indonesian legal entities by applying a better and more complete regulation to give legal certainty, protect the customer’s personal data, and avoid data leakage. This article hopefully can be a reference for regulating digital banking in Indonesia.Konsep bank digital dirancang agar nasabah dapat melakukan transaksi secara mandiri, membuka rekening online, memperoleh informasi online, menutup rekening dan kebutuhan lainnya. Bank digital secara teks norma tidak terdapat dalam hukum positif perbankan di Indonesia. Persoalan yang muncul adalah bagaimanakah dasar hukum pengaturan bank digital di Indonesia. Penulis melakukan pembahasan dengan menggunakan metode penulisan yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan analitis. Bahan hukum utama yang digunakan meliputi peraturan perundang-undangan, berita acara persidangan, dan putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder meliputi hasil penelitian dan artikel hukum. Teknik analisis bahan hukum menggunakan tafsir sistematis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar hukum bank digital di Indonesia secara implisit diatur melalui Undang-Undang Perbankan dan POJK No. 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum. Bank digital harus berbadan hukum Indonesia dan mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Bank digital harus dibedakan secara jelas dengan badan hukum Indonesia melalui penggunaan payung hukum yang lebih baik dan lengkap guna memberikan kepastian hukum, terlindunginya data pribadi konsumen serta risiko kebocoran data. Artikel ini bermanfaat untuk dijadikan sebagai dasar rujukan pengaturan perbankan digital di Indonesia.
HUMAN RIGHTS AND INDONESIAN LEGAL PROTECTION OF TRADITIONAL CULTURAL EXPRESSIONS: A Comparative Study in Kenya and South Africa Widyanti, Yenny Eta
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 2 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i2.24318

Abstract

Legal protection of traditional cultural expressions in Indonesia is paramount to human rights. Indonesia is home to its richness of cultures and tribes, offering economic, social, and cultural values. However, this potential will remain insignificant without proper regulatory provisions in the domains of intellectual property or human rights. Departing from this issue, this research seeks to profoundly analyze the interface between traditional cultural expressions and human rights from the perspectives of either national law or international convention, and this analysis involves the comparison between Kenya and South Africa that appropriately govern legal protection of human rights in traditional cultural expressions. This research aims to elaborate on the interface between human rights and the protection of traditional cultural expressions within the purviews of national law and an international convention. With a legal research method and statutory, conceptual, and comparative approaches, this research finds that there is a close correlation between traditional cultural expressions and human rights, as referred to in international laws in Indonesia, Kenya, and South Africa, and the international convention. This research is expected to serve as a reference for Indonesian national law, in which adopting the best practices in Kenya and South Africa can be taken into account. Perlindungan hukum Ekspresi Budaya Tradisional Indonesia adalah pending untuk diwujudkan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Fakta Indonesia sebagai negara yang kaya dengan keanekaragaman budaya dan suku bangsa menjadi potensi luar biasa nilai ekonomi, sosial dan budaya. Potensi luar biasa tersebut tidak dapat diwujudkan tanpa diikuti pengaturan hukum yang memadai baik di bidang hak kekayaan intelektual maupun hak asasi manusia. Atas dasar hal tersebut, menjadi penting untuk menganalisis keterkaitan ekspresi budaya tradisional dengan hak asasi manusia dalam hukum nasional, konvensi internasional, dan perbandingan di negara-negara Afrika, yaitu Kenya dan Afrika Selatan yang telah mengatur dengan baik perlindungan hukum atas hak asasi ekspresi budaya tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan interface hak asasi manusia dengan perlindungan ekspresi budaya tradisional baik dalam hukum nasional maupun konvensi internasional. Jenis penelitian hukum dengan pendekatan perundangan, konseptual, dan perbandingan maka ditemukan bahwa terdapat hubungan yang erat antara ekspresi budaya tradisional dengan hak asasi manusia sebagaimana terdapat dalam pengaturan di dalam hukum nasional Indonesia, Kenya, Afrika Selatan, dan konvensi internasional. Penelitian diharapkan dapat menjadi rujukan dalam hukum nasional Indonesia dengan mengadopsi praktik terbaik di Kenya dan Afrika Selatan.
THE PROTECTION OF LOCAL HANDICRAFTS THROUGH THE GEOGRAPHICAL INDICATION BY THE REGIONAL GOVERNMENT IN EAST JAVA, INDONESIA Iffaty Nasyiah; Ramadhita Ramadhita; Khoirul Hidayah
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 13, No 2 (2022): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v13i2.18265

Abstract

The Directorate General of Intellectual Property Rights data in December 2021 show that only 10% of 97 local handicraft products were registered in Geographical Indication and none of those are East Java products. In fact, East Java owns numerous handicrafts sold in the export market. The registration of GI, as in brand registration, can help Small and Medium Industries to market their products abroad. The causal factors of the nonexistence of GI registration for handicrafts in East Java should be studied. It is crucial to know the attempts of East Java’s regional government to develop the access quality of trading local’s handicraft through GI. This is a juridical-empiric study, using juridical sociology approach. The results reveal that the three regional governments, Malang Regency, Ponorogo Regency, and Tulungagung Regency understood the branding concept but not GI protection. According to Syathibi’s maslahah concept, GI regulation and regional government’s role are urgent to keep legal purposes, that is to protect local society. GI is a communal right of ownership–in the Milkiyyah concept it is called al Milk al ‘Ammah–that can be jointly used. This study is a recommendation for local governments to facilitate the GI for the handicraft businessmen.Data Dirjen Hak Kekayaan Intelektual pada Desember 2021 menunjukkan bahwa masih 10% dari 97 produk kerajinan tangan masyarakat lokal yang terdaftar Indikasi Geografis dan belum ada produk kerajinan tangan Jawa Timur yang terdaftar. Faktanya, Jawa Timur memiliki banyak kerajinan tangan yang sudah masuk pasar ekspor. Pendaftaran indikasi geografis sebagaimana pendaftaran merek, dapat membantu pelaku industri kecil menengah dalam perdagangan ke luar negeri. Faktor penyebab belum adanya pendaftaran indikasi geografis untuk kerajinan tangan di Jawa Timur menarik dikaji. Penting mengetahui upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah di Jawa Timur dalam meningkatkan kualitas akses perdagangan kerajinan tangan masyarakat melalui indikasi geografis. Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris dengan pendekatan yuridis sosiologis. Hasil penelitian menunjukkan tiga pemerintah daerah yang menjadi sampel penelitian yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Ponorogo, dan Kabupaten Tulungagung memahami konsep merek namun belum memahami konsep perlindungan indikasi geografis. Menurut konsep kemaslahatan Syathibi, pengaturan indikasi geografis dan pentingnya peran pemerintah daerah adalah untuk memelihara tujuan hukum yaitu melindungi masyarakat lokal. Indikasi geografis merupakan hak milik komunal yang dalam konsep al-Milkiyyah disebut al-milk al-‘ammah yang boleh diambil manfaatnya bersama-sama. Penelitian ini diharapkan menjadi rekomendasi pemerintah daerah terkait pentingnya memberikan pendampingan indikasi geografis pada pelaku usaha kerajinan tangan.
THE IMPACT OF THE LIQUIDATION OF THE QUASI-JUDICIAL INSTITUTION OF THE CONSUMER DISPUTE RESOLUTION BODY ON CONSUMERS’ ACCESS TO JUSTICE AND ITS REORGANISATION EFFORTS FROM THE PERSPECTIVE OF SIYASAH SYAR’IYAH Jannani, Nur; Yasin, Noer; Musataklima, Musataklima
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 15, No 1 (2024): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v15i1.26564

Abstract

The Consumer Dispute Settlement Body (BPSK) is authorised to settle consumer disputes located at the district and/or city level. However, following the enactment of Law No. 23/2014 on Local Government (Local Government Law), BPSK was dissolved and transferred to the provincial level. This study aims to determine the causes of BPSK dissolution, its impact on access to justice for consumers and its reorganisation efforts so that it contributes to consumer protection. The research is empirical legal research with a sociological juridical approach. The primary and secondary data were analysed prescriptively. The research results show that the transformation of management and authority to form BPSK from district and/or city governments to provinces by the Regional Government Law resulted in the existence of BPSK in districts and/or cities having to be liquidated. This has implications for limited consumer access to obtain justice. The recommendation from this research is that the government needs to reorganise the legal position of BPSK by returning BPSK's position to districts and/or cities. This can be achieved through legal politics based on siyasah syar'iyah. This article can be a basic reference for the development of consumer dispute resolution institutions based on consumer protection.Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa konsumen yang berada di tingkat kabupaten dan/atau kota. Namun setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah), BPSK dibubarkan dan dipindahkan ke tingkat provinsi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab pembubaran BPSK, dampaknya terhadap akses keadilan bagi konsumen dan upaya reorganisasinya sehingga berkontribusi terhadap perlindungan konsumen. Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris dengan pendekatan yuridis sosiologis. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder yang dianalisis secara preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peralihan kepengurusan dan kewenangan pembentukan BPSK dari pemerintah kabupaten dan/atau kota kepada provinsi berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Daerah mengakibatkan keberadaan BPSK di kabupaten dan/atau kota harus dilikuidasi. Hal ini berimplikasi pada terbatasnya akses konsumen untuk memperoleh keadilan. Rekomendasi dari penelitian ini adalah pemerintah perlu menata kembali kedudukan hukum BPSK dengan mengembalikan kedudukan BPSK kepada kabupaten dan/atau kota. Hal ini dapat dicapai melalui politik hukum berdasarkan siyasah syar'iyah. Artikel ini dapat menjadi acuan dasar bagi pengembangan lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang berbasis perlindungan konsumen.
LEGAL CHALLENGES IMPEDING THE DEVELOPMENT OF LOCAL WISDOM-BASED WELLNESS TOURISM POTENTIAL Irawati, Jovita; Siahaan, Steven Theonald P.
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 2 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i2.24002

Abstract

Wellness tourism carries great potential for further development in Indonesia and revitalizing the collapsed tourism sector following the outbreak of COVID-19. With the natural beauty and cultural diversity, wellness tourism based on local wisdom can serve as the main objective of tourism in Indonesia. Nevertheless, legal certainty remains problematic since it hampers tourism development, considering that there are no regulations regulating wellness tourism. With a normative method and a statutory approach, this research finds impeding normative issues in the existing regulations, requiring remarkable improvement to allow for harmonization with specific regulations to regulate wellness tourism. This issue is covered by several legal purviews, namely tourism, consumer protection, and personal data protection. The recommendation of the normative construction offered in this study encompasses licensing, consumer protection, and personal data protection issues, all of which can be framed under one specific law similar to those of the prevailing law governing medical tourism services. Wellness tourism dapat mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia, sekaligus menjadi salah satu upaya merevitalisasi sektor pariwisata yang sempat terpuruk karena dampak dari pandemi COVID-19. Hal ini didukung oleh keindahan alam dan keberagaman budaya yang ada, yang dapat menjadikan wellness tourism berbasis kearifan lokal sebagai salah satu tujuan utama dalam sektor pariwisata di Indonesia. Namun, kepastian hukum merupakan isu utama dalam perkembangan wellness tourism, karena hingga saat ini belum ada pengaturan mengenai wellness tourism. Dengan menggunakan metode penelitian normatif dan pendekatan perundang-undangan, penelitian ini menemukan hambatan normatif dari pengaturan yang sudah ada, yang perlu diperbaiki agar dapat memberikan ruang harmonisasi dengan peraturan khusus yang dapat dibuat untuk mengatur wellness tourism. Permasalahan ini terdapat dalam beberapa ranah hukum, yaitu kepariwisataan, perlindungan konsumen, dan perlindungan data pribadi. Usulan model konstruksi normatif yang diajukan dalam penelitian ini mengatasi masalah ini mencakup isu perizinan, perlindungan konsumen, dan perlindungan data pribadi, yang semuanya dapat dimuat ke dalam satu pengaturan khusus, seperti pengaturan yang sudah ada mengenai pelayanan wisata medis.
AN ISLAMIC SPIRIT FOR BUSINESS ETHICS AND LEGAL FRAMEWORK OF FINTECH PEER TO PEER LENDING: Why Does Indonesia Need It? Aditya Prastian Supriyadi
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 13, No 2 (2022): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v13i2.17876

Abstract

The growth of Fintech Peer-to-Peer (P2P) lending in Indonesia is one of the supports for national economic development. The positive growth of this financial sector is not supported by proportional rules, resulting in the practices of business ethics violation which is detrimental to society. To overcome these problems, the spirit of Islam can be the basis for determining ethical and business measures into a better legal framework for Fintech P2P Lending. This article applies a normative legal research method using a conceptual approach and legislation relevant to the theme of the study. The research results indicate that Fintech P2P Lending in Indonesia needs to be regulated in a qualified legal framework because the existing rules have not been able to solve unethical actions of businessmen. The business concept in Islam also accommodates ethical issues that must be applied in business activities as a harmless commerce spirit. This Islamic spirit can be used as a source of material law in determining a clear legal framework to uphold Fintech P2P Lending business ethics so as not to harm the Indonesian people.Pertumbuhan fintech peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia merupakan salah satu penunjang pembangunan ekonomi nasional. Pertumbuhan positif sektor keuangan ini tidak diikuti dengan aturan yang proporsional sehingga menimbulkan praktik-praktik yang melanggar etika bisnis dan sangat merugikan masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, semangat Islam dapat menjadi landasan untuk menentukan langkah-langkah etis dan bisnis ke dalam kerangka hukum fintech P2P lending yang lebih baik. Artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan tema penelitian. Hasil penelitian dalam artikel ini menunjukkan bahwa fintech P2P Lending di Indonesia perlu diatur dalam kerangka hukum yang mumpuni karena aturan yang ada belum mampu mengatasi tindakan tidak etis dari para pelaku bisnis. Konsep bisnis dalam Islam juga mengakomodir persoalan etika yang harus diterapkan dalam kegiatan bisnis sebagai spirit perdagangan yang tidak merugikan. Semangat keislaman ini dapat dijadikan sebagai sumber hukum materil dalam menentukan kerangka hukum yang jelas untuk menegakkan etika bisnis fintech P2P lending agar tidak merugikan masyarakat Indonesia.
DOES MUSLIM SOCIETY IN INDONESIA HAVE A GOOD UNDERSTANDING OF AND TRUST IN SHARIA INSURANCE? Susamto, Burhanuddin
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 2 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i2.20957

Abstract

The market share of sharia insurance in Indonesia is still low compared to the conventional one even though the majority of people in this country are Muslim, indicating that there is a gap between expectations and reality. One important factor that influences market share is public trust which is built from understanding a product. Therefore, this research aims to measure the level of understanding of and trust among Muslims in Malang city in Sharia insurance products. This is empirical research employing a quantitative-descriptive analysis method. This research has found that Muslim society in Malang City still has a low understanding of Sharia insurance. In terms of the aspect of trust, their level is relatively good even though it is only built from an emotional aspect, not a cognitive one. Cognitive trust can only be built from a good understanding, whereas emotional trust can result from an emotional relationship. These findings help provide empirical data to support measures to increase Sharia insurance literacy in Indonesia. Kenyataan bahwa pangsa pasar asuransi syariah di Indonesia masih rendah dibandingkan konvensional, meskipun mayoritas masyarakat di negara ini adalah beragama Islam. Hal ini telah menunjukkan bahwa ada kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi pangsa pasar adalah adanya kepercayaan masyarakat yang dibangun dari pemahaman terhadap suatu produk. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat pemahaman dan kepercayaan masyarakat muslim di Kota Malang terhadap produk asuransi syariah. Artikel ini merupakan hasil penelitian empiris dengan menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif. Temuan dari penelitian ini adalah masyarakat muslim di Kota Malang masih memiliki pemahaman yang rendah tentang asuransi syariah. Kemudian dari aspek kepercayaan, level mereka relatif baik meski baru dibangun dari aspek emosional dan bukan aspek kognitif. Kepercayaan kognitif hanya dapat dibangun dari pemahaman yang baik, sedangkan kepercayaan emosional sudah dapat dibangun karena adanya hubungan emosional. Temuan ini memiliki kontribusi berupa penyediaan data empiris untuk mendukung upaya peningkatan literasi asuransi syariah di Indonesia.
DATA OWNERSHIP IN REGULATING BIG DATA IN INDONESIA THROUGH THE PERSPECTIVE OF INTELLECTUAL PROPERTY Hari Sutra Disemadi
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 13, No 2 (2022): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v13i2.17384

Abstract

Big data is the process of collecting, analyzing, and utilizing data, which is necessary for the development of many kinds of technologies that are already highly-integrated into the daily lives of many people. The concept of data ownership is often used to be the basis to support the efforts to regulate big data. This point of view argues that data has a number of elements of ownership that needs to be recognized by intellectual property law but does not clearly explain the conceptual connection of data, big data, and intellectual property. Using the normative legal research method, this article found out that the integration of intellectual property elements into the conceptualization of big data regulation could threaten the antitrust or business competition climate in Indonesia. Additionally, the normative space for big data regulations through the intellectual property rights perspective is still too small to be comprehensively described and still needs more concrete evidence from the actual utilization of big data itself. This research aims at providing points of normative reference for future studies on the potentials and risks of regulating big data under the framework of intellectual property law.Big data merupakan proses pengumpulan, analisis dan pemanfaatan data yang berperan penting dalam perkembangan berbagai macam teknologi yang sudah sangat terintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Konsep kepemilikan data merupakan konsep yang kerap dijadikan dasar dalam upaya meregulasi big data. Sudut pandang ini berargumen bahwa data memiliki unsur kepemilikan yang harus dihormati oleh hukum kekayaan intelektual, namun tidak secara jelas menjelaskan konseptualisasi antara data, big data, dan kekayaan intelektual. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian ini menemukan adanya pelekatan nilai kekayaan intelektual ke dalam konseptualisasi pengaturan big data, yang mana dapat mengancam iklim persaingan usaha di Indonesia dan secara normatif pengaturan big data melalui hak kekayaan intelektual masih sangat kecil untuk dijabarkan dan membutuhkan bukti yang lebih konkret dari pemanfaatan big data itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi secara normatif untuk penelitian di masa mendatang mengenai peluang dan risiko pengaturan big data dalam kerangka hukum kekayaan intelektual.
PROTECTION IN A BUILD-OPERATE-TRANSFER AGREEMENT ON PRIVATELY-OWNED LAND NOT ACCOMPANIED BY THE GRANTING OF A BUILDING RIGHTS TITLE Rustam, Riky; Suwardiyati, Rumi
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 15, No 1 (2024): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v15i1.26214

Abstract

The definition of build-to-transfer agreements in several laws and regulations varies, particularly concerning the objects they govern. However, when associated with build-to-transfer agreements as contracts subject to contract law, complications arise, especially in relation to such agreements involving privately owned land. The determination of specific objects, particularly regarding the duration of build-to-transfer agreements on privately owned land, remains unregulated. Therefore, there is a need to establish legal protections for build-to-transfer agreements on privately owned land that do not include the granting of building rights. This research aims to determine the implementation period of build-to-transfer agreements and to regulate legal protections for such agreements on privately owned land without building rights. The article employs a normative research method with approaches including legal analysis, conceptual exploration, and comparative study. The findings suggest that legal protection can be enhanced by granting building rights on privately owned land, incorporating clauses reflecting the principle of special personality in agreements, and pursuing breach of contract litigation as a final legal recourse. This study contributes significantly to providing legal protection for parties involved in build-to-transfer agreements on private land. Pengertian perjanjian bangun guna serah dalam beberapa peraturan perundang-undangan bervariasi terutama terkait dengan objek yang diatur. Namun, ketika diterapkan sebagai perjanjian yang tunduk pada hukum perjanjian, terdapat tantangan, terutama jika berhubungan dengan perjanjian bangun guna serah atas tanah milik privat. Penetapan objek, khususnya mengenai jangka waktu perjanjian bangun guna serah pada tanah milik privat, masih belum diatur secara spesifik. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi perlindungan hukum yang jelas dalam perjanjian bangun guna serah atas tanah milik privat tanpa pemberian hak guna bangunan. Penelitian ini bertujuan untuk menetapkan jangka waktu pelaksanaan perjanjian bangun guna serah serta mengatur perlindungan hukum dalam perjanjian tersebut atas tanah milik privat yang tidak dilengkapi dengan pemberian hak guna bangunan. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan normatif dengan menggunakan Undang-Undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan perbandingan. Hasil dari penelitian ini menyarankan bahwa perlindungan hukum dapat ditingkatkan dengan memberikan hak guna bangunan atas tanah milik privat, menambahkan klausul yang mencerminkan asas personalitas khusus dalam perjanjian, dan mengajukan gugatan wanprestasi sebagai upaya terakhir dalam perlindungan hukum. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan dalam meningkatkan perlindungan hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam perjanjian bangun guna serah di tanah milik privat.
THE EVALUATION OF THE INDONESIAN FINTECH LAW FROM THE PERSPECTIVE OF REGULATORY TECHNOLOGY PARADIGMS TO MITIGATE ILLEGAL FINTECH Saifullah, Saifullah; Supriyadi, Aditya Prastian; Bahagiati, Kurniasih; Al Munawar, Faishal Agil
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 2 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i2.24025

Abstract

Illegal fintech is one of the main issues not fully addressed in the digital finance sector in Indonesia despite various legal regulations. This condition shows that the fintech legal framework in Indonesia still needs to be entirely relevant to the concept of Regulatory Technology (regtech). This study aims to analyze the position of the fintech legal framework in Indonesia in overcoming illegal fintech with a regtech approach chosen as an analytical instrument—a basic concept that combines law and digital financial technology to create an orderly platform and comply with all applicable laws. This article uses normative-legal research methods and a conceptual approach, indicating that the legal framework governing fintech in Indonesia fragments, with rules spreading across the civil, administrative, and criminal sectors. This legal framework still needs to be reinforced as a legal tool to overcome the problem. Based on the regtech approach, increased transparency and accountability in fintech implementation are essential as legal support for dynamic supervision and law enforcement and to allow for wider access to cooperation between stakeholders in handling illegal fintech. Such measures will help create a more effective legal environment and align with the regtech paradigm in addressing illegal fintech practices in Indonesia. Fintech ilegal merupakan salah satu isu utama yang belum sepenuhnya tertangani di sektor keuangan digital di Indonesia, meskipun telah diterbitkan berbagai peraturan hukum. Kondisi ini menunjukkan bahwa kerangka hukum fintech di Indonesia memerlukan evaluasi berdasarkan paradigma Regulatory Technology (RegTech). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis posisi kerangka hukum fintech di Indonesia dalam mengatasi permasalahan fintech ilegal dengan pendekatan RegTech. RegTech dipilih sebagai instrumen analisis karena merupakan konsep dasar yang menggabungkan hukum dan teknologi keuangan digital untuk menciptakan platform yang tertib dan mematuhi semua hukum yang berlaku. Penulisan artikel ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan konseptual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerangka hukum yang mengatur fintech di Indonesia masih terfragmentasi dengan aturan yang tersebar di sektor perdata, administrasi, dan pidana. Kerangka hukum ini masih perlu diperkuat sebagai alat hukum untuk mengatasi masalah fintech ilegal. Berdasarkan pendekatan RegTech, diperlukan peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam implementasi fintech, sebagai dukungan hukum atas pengawasan dan penegakan hukum yang dinamis serta dukungan hukum untuk membuka saluran kerja sama antar pemangku kepentingan dalam penanganan fintech ilegal. Langkah-langkah tersebut akan membantu menciptakan lingkungan hukum yang lebih efektif dan selaras dengan paradigma RegTech dalam menangani praktik fintech ilegal di Indonesia.