cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota malang,
Jawa timur
INDONESIA
JURISDICTIE Jurnal Hukum dan Syariah
ISSN : 20867549     EISSN : 25283383     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurisdictie (print ISSN 2086-7549, online ISSN 2528-3383) is peer-reviewed national journal published biannually by the Law of Bisnis Syariah Program, State Islamic University (UIN) of Maulana Malik Ibrahim Malang. The journal puts emphasis on aspects related to economics and business law which are integrated to Islamic Law in an Indonesian context and globalisation context. The languages used in this journal are Indonesia, English and Arabic.
Arjuna Subject : -
Articles 214 Documents
THE COMPATIBILITY OF INDONESIA’S JOB CREATION LAW NUMBER 11 OF 2020 WITH UNITED NATIONS GUIDING PRINCIPLES ON BUSINESS AND HUMAN RIGHTS Mohammad Zainullah
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 1 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i1.21301

Abstract

Achieving economic growth is a main driving force for the Indonesian government to enact unprecedented laws, Law Number 11 0f 2020 on Job Creation, which amend, deregulate, and harmonize 80 laws with more than 1.200 articles at one go. The law comes with human rights and environmental costs. The degradation of human rights protection as a consequence of the Job Creation Law does not correspond with the UNGPs on Business and Human Rights which aim to address human rights problems in business sectors. This work seeks to examine to what extent Job Creation Law is compatible with UNGPs by identifying the impact of Job Creation Law on human rights in the palm oil supply chain. The study finds that the simplification of environmental permit in Job Creation Law indeed increase the potential of adverse human right impacts in upstream palm oil company by lowering the right to information and participation. Although some countries have adopted UNGPs into their domestic law with different measures to make businesses accountable, downstream companies keep buying palm oil products from suppliers who violate human rights. Thus, the proposal of establishing a legal-binding instrument and holding companies liable has been raised to make HRDD effective.Mencapai pertumbuhan ekonomi adalah kekuatan pendorong utama bagi pemerintah Indonesia untuk memberlakukan undang-undang yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengamandemen, meregulasi, dan mengharmonisasi 80 undang-undang dengan lebih dari 1.200 pasal sekaligus. Undang-undang tersebut juga membawa dampak terhadap hak asasi manusia dan lingkungan. Degradasi perlindungan hak asasi manusia sebagai konsekuensi dari UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan UNGP tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang bertujuan untuk mengatasi masalah hak asasi manusia di sektor bisnis. Penelitian ini berusaha untuk memeriksa sejauh mana UU Cipta Kerja sesuai dengan UNGPs dengan mengidentifikasi dampak UU Cipta Kerja terhadap hak asasi manusia dalam rantai pasok kelapa sawit. Studi ini menemukan bahwa penyederhanaan izin lingkungan dalam UU Cipta Kerja memang meningkatkan potensi dampak buruk terhadap hak asasi manusia di perusahaan hulu kelapa sawit dengan menurunkan hak atas informasi dan partisipasi. Meskipun beberapa negara telah mengadopsi UNGP ke dalam hukum domestik mereka dengan berbagai langkah untuk membuat perusahaan bertanggung jawab, perusahaan hilir tetap saja membeli produk kelapa sawit dari pemasok yang melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, usulan untuk membuat instrumen yang mengikat secara hukum dan meminta pertanggungjawaban perusahaan telah diajukan untuk membuat HRDD menjadi efektif.
CONVERGENCE OF CONSUMER PROTECTION, INVESTMENT LAW, AND CYBERSECURITY: An in-Depth Analysis of Three-Way Legal Intersections in Investment Apps Rufinus Hotmaulana Hutauruk; Lu Sudirman; Hari Sutra Disemadi; David Tan
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 1 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i1.21180

Abstract

Investment apps have become an important part of the investment culture throughout the world and have helped democratize investment opportunities for many people. The utilization of investment apps in Indonesia has opened many doors for Indonesians to invest their wealth and obtain many different kinds of assets, posing cybersecurity risks that threaten the interests of their users. This study aims to analyze and provide literature for possible future legislation that affects the utilization of investment apps. Using the normative legal research method, this study analyzes the intersection of investment law and consumer protection law in Indonesia in the context of the utilization of investment apps. Through the statutory approach, this study finds that the normative restrictions within the respective laws make it difficult to properly define legal liability for many kinds of problems that can arise from cybersecurity risks in the context of the utilization of investment apps. The findings of this article serve as a contribution to the constantly expanding literature for Indonesian legal development, specifically on the quest to adapt to the changes brought about by the latest technologies.Aplikasi investasi telah menjadi bagian penting dari budaya investasi di seluruh dunia dan telah membantu mendemokratisasi peluang investasi bagi banyak orang. Penggunaan aplikasi investasi di Indonesia telah membuka banyak pintu bagi masyarakat Indonesia untuk menginvestasikan kekayaan mereka dan mendapatkan berbagai jenis aset, yang menimbulkan risiko keamanan siber yang mengancam kepentingan penggunanya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan menyediakan literatur untuk kemungkinan legislasi di masa depan yang mempengaruhi pemanfaatan aplikasi investasi. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian ini menganalisis persinggungan antara hukum investasi dan hukum perlindungan konsumen di Indonesia dalam konteks pemanfaatan aplikasi investasi. Melalui pendekatan perundang-undangan, penelitian ini menemukan bahwa pembatasan normatif dalam masing-masing undang-undang menyulitkan untuk mendefinisikan pertanggungjawaban hukum secara tepat untuk berbagai jenis masalah yang dapat timbul dari risiko keamanan siber dalam konteks penggunaan aplikasi investasi. Temuan dari artikel ini berfungsi sebagai kontribusi terhadap literatur yang terus berkembang untuk pengembangan hukum di Indonesia, khususnya dalam upaya untuk beradaptasi dengan perubahan yang dibawa oleh teknologi terbaru.
THE CORPORATE SPIN-OFF: An Examination of Islamic Banking Legal and Regulatory Framework Wardah Yuspin; Baskoro Tri Pamungkas; Kelik Wardiono; Mutimatun Ni'ami; Syaifuddin Zuhdi
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 1 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i1.20586

Abstract

This paper aims to instigate the implementation of Article 68 of the Islamic Banking Act, which obliges Islamic divisions to be separated from their parent banks. This study attempted to reveal a legal solution so that the obligations can be turned into a corporate action. The argument presented by a critical review approach based on a literature review using secondary data. The solution still considers spin-offs a necessity, not a mandate. It is supposed to be considered a corporate action that its implemented based on readiness so the article needs to be amended. This paper proposes changes to the article on spin-offs for the development of Islamic Banking in Indonesia with practical benefits. Alternative changes can be completed in three ways: first, by issuing Financial Services Authority Regulation (FSAR), which makes the spin-off a corporate action. This method is unconstitutional because FSAR is structurally under the Constitution. The second alternative is done by submitting a judicial review of Article 68 to the Constitutional Court. Finally, the third is by enacting the omnibus law of Islamic economics. Those three options have both advantages and disadvantages. Thus, it is necessary to further find out which solution is most prospective for advancing Islamic banking.Artikel ini bertujuan untuk mendorong penerapan Pasal 68 Undang-Undang Perbankan Syariah yang mewajibkan divisi syariah dipisahkan dari bank induknya. Kajian ini mencoba mengungkap solusi hukum agar kewajiban tersebut dapat berubah menjadi aksi korporasi. Argumen yang disajikan menggunakan pendekatan Solusinya tetap menganggap spin off sebagai kebutuhan, bukan sebagai mandat. Hal ini seharusnya dianggap sebagai corporate action yang pelaksanaannya berdasarkan kesiapan sehingga pasal tersebut perlu diubah. Makalah ini mengusulkan perubahan pasal spin-off untuk perkembangan perbankan syariah di Indonesia dengan manfaat praktis. Alternatif perubahan bisa dilakukan dengan tiga cara, pertama dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang menjadikan spin off sebagai corporate action. Cara ini inkonstitusional karena POJK secara struktural berada di bawah konstitusi. Alternatif kedua dilakukan dengan mengajukan uji materi pasal 68 ke Mahkamah Konstitusi. Terakhir, yang ketiga adalah dengan pengundangan omnibus law ekonomi syariah. Ketiga pilihan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut solusi mana yang paling prospektif untuk memajukan perbankan syariah.
HALAL CERTIFICATION IN INDONESIA: Study of Law Number 6 of 2023 on Job Creation Dedah Jubaedah; Mohd Roslan Mohd Nor; Asman Taeali; Haris Maiza Putra; Moh. Ahsanuddin Jauhari; Ahmad Fathan Aniq
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 1 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i1.19948

Abstract

The enactment of the Job Creation Law in approval of Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2022, which became Law No. 6 of 2023 on Job Creation, has resulted in significant changes in halal certification in Indonesia, which is the main focus of this research. This study aims to discuss halal certification in Indonesia following the implementation of the omnibus law on job creation. The author adopts a standardized legal approach and a descriptive-analytical approach through literature research. The research findings indicate that comprehensive legislation is expected to streamline the halal certification process in Indonesia. There are important changes regarding halal certification in Law No. 6 of 2023 compared to Law No. 11 of 2020 on Job Creation. This regulation aims to accelerate and enhance efficiency in halal certification, ensuring legal certainty and fostering trust among Muslim consumers in halal products. The growth of micro-enterprises in terms of expediting halal certification shows positive trends. The research contributes new perspectives and original findings that positively impact problem-solving or theory development in the advancement of halal certification in Indonesia.Lahirnya UU Cipta Kerja sebagai pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja telah menghasilkan perubahan signifikan dalam sertifikasi halal di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membahas sertifikasi halal di Indonesia pasca penerapan omnibus law penciptaan lapangan kerja. Penulis mengadopsi pendekatan hukum standar dan pendekatan deskriptif-analitik melalui penelitian literatur. Temuan penelitian menunjukkan bahwa peraturan yang komprehensif diharapkan dapat merampingkan proses sertifikasi halal di Indonesia. Ada perubahan penting terkait sertifikasi halal pada UU No 6 Tahun 2023 dibandingkan dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi ini bertujuan untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi dalam sertifikasi halal, menjamin kepastian hukum dan menumbuhkan kepercayaan konsumen muslim terhadap produk halal. Pertumbuhan usaha mikro dalam hal percepatan sertifikasi halal menunjukkan tren yang positif. Penelitian ini menyumbangkan perspektif baru dan temuan orisinal yang berdampak positif terhadap pemecahan masalah atau pengembangan teori dalam kemajuan sertifikasi halal di Indonesia.
THE KAFALA SYSTEM AS ONE OF THE FIRST INSTRUMENTS OF SLAVERY AND IGNORANCE IN ISLAMIC VIEWS Meirison Meirison; Rahmi Rahmi; Susilawati Susilawati
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 1 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i1.20764

Abstract

This article aims to discuss the problems of kafala in dealing with labor. In Islam, the kafala serves a noble purpose: it ensures that less well-off people are financially secure in the face of legal issues. This article discusses the shift in the value of kafala in the Middle East because there has been a gap between kafala in Islamic Sharia and its practice in Saudi Arabia, Bahrain, Qatar, and the Arab Emirates. This study used a qualitative descriptive analysis approach based on a literature study supported by personal experience and found that the kafala existing in modern times was not the same as the kafala intended by Islam because it originated from different sources. The concept of kafala has devolved into modern slavery. The kafala was abolished amid much controversy, and little has changed. Thousands of migrant domestic workers are exploited and subjected to horrendous working conditions that, at worst, amount to modern slavery. The law does not protect female workers, and the government has no intention to change the current system. We find that kafala, which initially had a noble purpose, has turned into a device for exploiting workers against a background of abundant natural resources.Artikel ini bertujuan untuk membahas permasalahan kafala dalam menangani tenaga kerja. Dalam Islam, kafala memiliki tujuan mulia: memastikan bahwa orang yang kurang mampu aman secara finansial dalam menghadapi masalah hukum. Artikel ini membahas tentang pergeseran nilai kafala di Timur Tengah karena telah terjadi kesenjangan antara kafalah yang ada dalam Syariat Islam dan praktiknya di negara seperti Saudi Arabia, Bahrein, Qatar dan Emirat Arab. Studi ini menggunakan pendekatan analisis deskriptif kualitatif berdasarkan studi literatur yang didukung oleh pengalaman pibadi dan menemukan bahwa kafala yang ada pada zaman modern tidak sama dengan kafala yang dimaksud oleh Islam karena berasal dari sumber yang berbeda. Konsep kafala telah berubah menjadi perbudakan modern. Kafala dihapuskan di tengah banyak kontroversi, dan hanya sedikit yang berubah. Puluhan ribu pekerja rumah tangga migran dieksploitasi dan mengalami kondisi kerja yang mengerikan, paling buruk, menjadi perbudakan modern. Undang-undang tidak melindungi pekerja perempuan, dan pemerintah tidak berniat mengubah sistem yang ada. Kami mendapatkan bahwa kafala yang semula memiliki tujuan mulia dalam syariat Islam telah berubah menjadi alat untuk mengeksploitasi buruh dengan latar belakang sumber daya alam yang melimpah.
CONSUMER PROTECTION AS AN INSTRUMENT FOR FULFILLING HUMAN RIGHTS IN THE ECONOMIC SECTOR AND ITS CONSTITUTIONALIZING EFFORTS IN THE 1945 CONSTITUTION Musa Taklima; Adi Sulistiyono; M. Syamsudin
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 1 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i1.20844

Abstract

Humans are ipso facto consumers who are entitled to their rights that must be protected under contract and law. Consumers, as human beings, have human rights that must be protected, respected, fulfilled, and promoted by the state. There is a vital intersection between consumer rights and human rights. The right to a decent standard of living is a human right to food, clothing, and housing. Fulfillment of human rights can be pursued by adequate protection of consumer rights. The effectiveness of protecting consumer rights can be realized by rooting them in the constitution to allow them to become fundamental rights and empower public authorities in fulfilling, respecting, implementing, and enforcing them so that the goal of consumer protection is achieved in maintaining human dignity and status where this is a value of humanization, liberation, and transcendence from the perspective of prophetic law. The research is expected to offer a recommendation for the government and the People’s Consultative Assembly (MPR) amidst the urgency of constitutionalizing consumer rights in the Constitution to support the recognition of consumer rights as universal human rights.Manusia, warganegara ipso facto konsumen. Manusia sebagai konsumen memiliki hak-hak yang harus dilindungi tidak hanya oleh kontrak akan tetapi hukum. Konsumen sebagai manusia memiliki hak asasi yang harus dilindungi, dihormati, dipenuhi dan dimajukan oleh negara. Terdapat keteririsan yang kuat antara hak-hak konsumen dengan hak asasi manusia. Hak atas standar hidup yang layak merupakan hak asasi manusia di bidang yang mencakup pangan, sandang dan perumahan. Pemenuhan HAM ini dapat diusahakan dengan perlindungan hak-hak konsumen yang efektif. Efektivitas perlindungan hak-hak konsumen dapat diwujudkan dengan mengakarkannya dalam konstitusi sehingga menjadi hak fundamental dan dapat memberdayakan otoritas publik dalam pemenuhan, penghormatan, pelaksanaan dan penegakannya, sehingga tujuan perlindungan konsumen tercapai dalam menjaga harkat dan martabat manusia di mana hal tersebut merupakan nilai humanisasi, liberasi dan transendensi dalam perspektif ilmu hukum profetik. Penelitian diharapkan menjadi rekomendasi bagai pemerintah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terkait urgensi konstitusionalisasi perlindungan hak-hak konsumen dalam UUD sebagai upaya mendukung pengakuan hak-hak konsumen sebagai hak asasi manusia yang bersifat universal.
THE DECONSTRUCTION OF NAHDLATUL ULAMA ACTIVISTS AGAINST THE CONCEPT OF AGRARIAN REFORM BASED ON FIQH OF PRIORITIES Herlindah Herlindah; Siti Rohmah; In'amul Mushoffa; Abdul Kodir
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 1 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i1.21037

Abstract

After several years of suspension, agrarian reform was re-implemented as a way to achieve agrarian justice. This policy was stipulated in the Presidential Regulation Number 86 of 2018 concerning the Implementation of Agrarian Reform which is framed in the Agrarian Reform and Social Forestry (RAPS). However, many groups, mainly the Nahdlatul Ulama (NU) with their strong activism in the agrarian struggle, deeply criticized this policy. This research will examine how NU activists deconstruct the concept of agrarian reform in the RAPS policy using the priority fiqh theory. Fiqh of priorities was initiated to consider the implementation of charity acts or policies deserving the priority of concern based on Shariah principles. This study applied empirical and normative legal research by interviewing NU activists, who paid a specific concern in the agrarian sector, and by conducting a literature review of the results of NU’s ijtihad regarding agrarian reform. The result of this study indicates that agrarian reform in the RAPS policy has not fulfilled the priority fiqh principles. This article contributes to the accuracy of the concept and implementation of agrarian reform in Indonesia which is more just in accordance with the scale of priorities needed to achieve the goals of agrarian reform.Setelah bertahun-tahun ditangguhkan, reforma agraria kembali diterapkan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan keadilan di bidang agraria. Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Reforma Agraria yang dibingkai dalam kebijakan Reforma Agraria dan Pergutanan Sosial (RAPS). Tetapi, kebijakan reforma agraria dalam RAPS dikritik banyak kalangan, salah satunya dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) yang aktif dalam perjuangan agraria. Penelitian ini akan mengkaji bagaimana dekonstruksi aktivis NU terhadap konsep reforma agraria dalam kebijakan RAPS dengan menggunakan teori fikih prioritas. Fikih prioritas merupakan salah satu teori dalam fikih kontemporer yang digagas untuk mempertimbangkan pelaksanaan amal atau kebijakan yang perlu diprioritaskan berdasarkan kaidah-kaidah syari’at. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum empiris dan normatif, dengan mewawancarai para aktivis NU concern di bidang agraria serta kajian literatur terhadap hasil ijtihad NU mengenai reforma agraria. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa reforma agraria dalam kebijakan RAPS belum memenuhi kaidah fikih prioritas. Artikel ini berkontribusi untuk mengakurasi konsep dan implementasi reforma agraria di Indonesia yang lebih adil sesuai dengan skala prioritas yang dibutuhkan untuk menggapai tujuan reforma agraria.
HOW JUDICIARY SUPPORTS CONTRACT LAW ENFORCEMENT: Indonesian Experience Herliana Herliana
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 13, No 2 (2022): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v13i2.18941

Abstract

Contract law enforcement matters since it is one of the indications used by the World Bank to determine ease of doing business. The more effective the settlement of agreement dispute, the better the business environment in a country. The issues with Indonesian Courts are inefficiency, inconsistency, and poor use of technology to support litigation process. This article aims to evaluate why the Indonesian judiciary reformation is yet to be swift and efficient in process. It is normative research using secondary data from regulation documents, books, articles, and journals. The data are analyzed qualitatively by organizing them into categories before coding. Then, they are analyzed using narrative analysis. The research results indicate that the Indonesian judiciary has not wholeheartedly implemented the reforms, indicated by the optional use of e-court and small claim court, lack of mediation skills and facilities, and lack of technology used for litigation process in courtroom. This research contributes in providing accurate information on how the judiciary should improve its performances to function efficiently so it supports government’s program to create positive business climate in Indonesia, by requiring simple lawsuit, e-court use expansion, optimal use of technology, and improving the judge’s skills.Penegakan hukum terhadap perjanjian hubungan bisnis memegang peranan penting karena menjadi salah satu indikator Bank Dunia dalam menentukan indeks kemudahan berusaha di suatu negara. Semakin efektif penyelesaian sengketa perjanjian, semakin baik pula iklim bisnis di suatu negara. Permasalahan yang dihadapi peradilan Indonesia adalah kurang efisien, tidak konsisten, dan juga kurang optimalnya penggunaan teknologi untuk mendukung proses litigasi. Penelitian ini menganalisis mengapa reformasi peradilan belum mengarah pada proses cepat dan efisien. Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan data sekunder dari peraturan, dokumen, buku, artikel, dan laporan penelitian. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dengan mengategorikan informasi sebelum dilakukan kodifikasi. Data yang telah dikodifikasi dianalisis secara naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reformasi peradilan belum dilaksanakan sepenuhnya. Adapun indikasinya adalah penggunaan e-court dan gugatan sederhana yang masih opsional, kurangnya keterampilan mediasi yang dimiliki para hakim mediator, serta kurangnya penggunaan teknologi untuk mendukung proses litigasi. Penelitian ini bermanfaat memberikan informasi bagi dunia peradilan tentang bagaimana langkah yang harus diambil untuk menciptakan peradilan yang berfungsi efisien sehingga dapat mendukung upaya pemerintah menciptakan iklim berusaha yang positif di Indonesia dengan cara mewajibkan gugatan sederhana, perluasan penggunaan e-court, penggunaan teknologi dengan optimal dan peningkatan kapasitas hakim.
TOWARDS A RECOGNISED RIGHT TO A SHARED CULTURE AT THE REGIONAL LEVEL: How Will ASEAN Address Diversity? Arsika, I Made Budi; Suyatna, I Nyoman; Purwani, Sagung Putri M.E
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 15, No 1 (2024): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v15i1.27149

Abstract

ASEAN documents have officially upheld the principle of unity in diversity and agreed on the spirit of one identity and community. However, there is a pronounced tendency for ASEAN countries to struggle with each other with several differences, including cultural tensions. This paper aims to analyse the possibility of recognising a regionally shared culture as jointly claimed collective cultural rights by taking the example of Intangible Cultural Heritage ICH. It is designed as legal research applying statutory, historical, conceptual, and comparative approaches. This research collects norms and principles covering the issues of ICH and cultural rights and conducts a literature study, suggesting that cultural rights, which represent the intersecting of cultural and human rights aspects, have yet to be fully understood as collective cultural rights. ICH is an example of how ASEAN countries are sometimes heated up in non-harmony relations. The possibility of recognising a regionally shared culture in the context of collective cultural rights then, more or less, relies on the ongoing development of the Narrative of ASEAN Identity, the routine convening of human rights dialogues, and the initiation of the ASEAN Cultural Heritage List. These findings are then expected to be considered by ASEAN policymakers. Dokumen-dokumen ASEAN mencatumkan iktikad untuk menjunjung tinggi prinsip persatuan dalam keberagaman dan menyepakati semangat satu identitas dan komunitas. Dalam kenyatannya, negara-negara anggota ASEAN justru bergelut dengan sejumlah persoalan antara negara yang satu dengan negara lainnya, termasuk mengenai ketegangan budaya. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kemungkinan mengakui budaya bersama secara regional sebagai hak budaya kolektif yang diklaim bersama dengan mengambil contoh warisan budaya tak benda (WBTB). Artikel ini dirancang sebagai penelitian hukum yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, sejarah, konsep, dan perbandingan. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan norma-norma dan prinsip-prinsip yang mengatur isu WBTB dan hak budaya serta melakukan studi literatur. Artikel ini menyimpulkan bahwa hak budaya, yang mewakili persilangan antara aspek budaya dan hak asasi manusia (HAM), belum sepenuhnya dipahami sebagai hak budaya kolektif. WBTB menjadi contoh bagaimana negara-negara ASEAN terkadang berada dalam hubungan yang tidak harmonis antara satu dengan lainnya. Adapun kemungkinan untuk mengakui budaya bersama secara regional dalam konteks hak budaya kolektif dapat disandarkan pada pengembangan Narasi Identitas ASEAN, penyelenggaraan dialog HAM secara rutin, dan upaya pembentukan Daftar Warisan Budaya ASEAN. Temuan-temuan ini diharapkan dapat dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan di ASEAN.
TRADEMARKS IN SUSTAINABLE FASHION: A Comparative Legal Analysis of Indonesia and Italy Situmeang, Ampuan; Alhakim, Abdurrakhman; Fitri, Winda; Trinh, Hien
Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol 14, No 2 (2023): Jurisdictie
Publisher : Fakultas Syariah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j.v14i2.24114

Abstract

Trademarks have played a significant role in safeguarding intellectual property within the fashion industry and have been instrumental in upholding the reputation of various companies, particularly those aspiring to adopt sustainability concepts. This research aims to delineate the legal challenges and potential solutions for protecting intellectual property rights related to trademarks and the integrity of claims for sustainability implementation in Indonesia, employing normative research methods and comparative analysis with Italy's legal framework. The analysis reveals several structural differences between Indonesia and Italy's trademark legal frameworks despite sharing similar objectives. Italy has already been able to foster the integrity of sustainable claims in the fashion industry through regulations from the European Union although no direct connection to trademarks exists. On the other hand, Indonesia has yet to regulate the integrity of sustainable claims in the fashion industry although it possesses a sufficient foundational framework that could be further developed through its connection to the communal intellectual property protection system. Secara tradisional, merek memiliki peran penting dalam melindungi kekayaan intelektual di dalam industri fesyen dan telah menjadi kunci dalam menjaga reputasi berbagai perusahaan, terutama yang berkeinginan menerapkan konsep keberlanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan tantangan hukum dan solusi potensial dalam melindungi hak kekayaan intelektual yang terkait dengan merek serta menjaga integritas klaim implementasi keberlanjutan di Indonesia, dengan menggunakan metode penelitian normatif dan analisis perbandingan dengan kerangka hukum Italia. Analisis ini mengungkapkan beberapa perbedaan struktural antara kerangka hukum merek di Indonesia dan Italia, meskipun memiliki tujuan yang serupa. Italia telah berhasil menggalang integritas klaim keberlanjutan di industri fesyen melalui regulasi dari Uni Eropa, meskipun tidak ada keterkaitan langsung dengan merek. Di sisi lain, Indonesia masih harus mengatur integritas klaim keberlanjutan di industri fesyen, meskipun memiliki landasan kerangka kerja yang memadai yang bisa lebih dikembangkan melalui keterhubungannya dengan sistem perlindungan kekayaan intelektual komunal.