Claim Missing Document
Check
Articles

Found 26 Documents
Search

IMPLIKASI HUKUM TERHADAPAN KEBIJAKAN PENGECER MELAKUKAN DISTRIBUSI GAS LPG 3 KG DITINJAU BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLIDUNGAN KONSUMEN Sumaragatha , I Gusti Bagus Sakah; Evangelista, Beverly
JURNAL DARUSSALAM: Pemikiran Hukum Tata Negara dan Perbandingan Mazhab Vol. 5 No. 1 (2025): Jurnal Darussalam: Pemikiran Hukum Ketatanegaraan dan Perbandingan Mazhab
Publisher : STIS Darussalam Bermi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59259/jd.v5i1.224

Abstract

Adanya ketidakmerataan distribusi gas LPG 3 kg maka upaya untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan pengecer untuk melakukan distribusi langsung Gas LPG 3 kg kepada konsumen akhir. Maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu bagaimana implikasi hukum terhadap kebijakan pengecer melakukan distribusi gas lpg 3 kg berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implikasi kebijakan pemerintah berdasarkan undang-undang perlindungan konsumen. Dengan metode penelitian Normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual dan pendektan undang-undang. Hasil penelitian adanya pemerataan distribusi gas kepada konsumen akan tetapi tidak terjaminnya distribusi tepat sasaran dikarenakan pengecer tidak menggunakan aplikasi tepat sasaran dari pertamina sehingga berimplikasi terhadap hak-hak konsuemen yang tidak terpunuhi secara maksimal.
URGENSI INTEGRASI KEWENANGAN OJK DAN BAPPEBTI DALAM PENGATURAN INVESTASI ASET KRIPTO DI INDONESIA Mulyana, Septira Putri; Sumaragatha, I Gusti Bagus Sakah; Evangelista, Beverly
Jurnal Risalah Kenotariatan Vol. 6 No. 1 (2025): Jurnal Risalah Kenotariatan
Publisher : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29303/risalahkenotariatan.v6i1.356

Abstract

Perkembangan pesat aset kripto sebagai instrumen investasi di Indonesia menimbulkan tantangan dalam pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh dua lembaga utama, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Ketidakterpaduan kewenangan antara kedua lembaga ini menyebabkan tumpang tindih regulasi yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan risiko bagi pelaku usaha maupun investor. Artikel ini bertujuan menganalisis urgensi integrasi kewenangan OJK dan Bappebti dalam pengaturan investasi aset kripto dari perspektif hukum bisnis dan administrasi negara. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis urgensi integrasi kewenangan tersebut dari perspektif hukum bisnis dan hukum administrasi negara, serta mengusulkan model kelembagaan yang lebih efisien dan akuntabel. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dan pendekatan konseptual, penelitian ini menyimpulkan bahwa integrasi kewenangan di bawah OJK akan memberikan kepastian hukum, efektivitas pengawasan, dan perlindungan investor yang lebih optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa integrasi kewenangan sangat diperlukan untuk meningkatkan efektivitas pengawasan, menciptakan kepastian hukum, serta mendukung perkembangan investasi aset kripto yang sehat dan berkelanjutan di Indonesia. Rekomendasi diberikan untuk mengoptimalkan harmonisasi regulasi melalui revisi kebijakan dan pembentukan mekanisme koordinasi yang jelas antara kedua lembaga. Keyword: Crypto Asset Investment, OJK, Bappebti, Integration of Authority.
Perlindungan Hukum Indikasi Geografis dalam UU No. 20 Tahun 2016 : Analisis Mekanisme Pendaftaran Kain Tenun Bima Feni Aryani; Beverly Evangelista; Hanifah Mutiah
Jurnal Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora Vol. 4 No. 3 (2025): JURRISH: Jurnal Riset Rumpun Ilmu Sosial, Politik dan Humaniora
Publisher : Pusat Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55606/jurrish.v4i3.6024

Abstract

This study aims to analyze the legal protection of Geographical Indications (GI) for Kain Tenun Bima under Law No. 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications, with a focus on the registration mechanism. Kain Tenun Bima, or Tenun Mbojo, is a cultural heritage of the Bima community, possessing high cultural and economic value. However, as of June 2024, this fabric has not yet been registered as a GI, leaving it vulnerable to counterfeiting and misuse by unauthorized parties. The research employs a normative method with a descriptive-analytical approach, examining primary data such as UU No. 20 Tahun 2016 and secondary data from journals, books, and government documents. The findings reveal that Kain Tenun Bima meets all GI criteria, including geographical origin, natural and human factors, and unique characteristics. GI registration offers legal, economic, and cultural benefits, such as protection against counterfeiting, increased market value, and preservation of cultural heritage. The GI registration process involves administrative and substantive stages by the Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI),, requiring comprehensive documentation of the product's uniqueness. Challenges in registration include a lack of legal understanding and coordination among stakeholders. Therefore, collaboration between the government, weaving communities, and academics is essential to accelerate the GI registration for Kain Tenun Bima, ensuring legal protection and sustainability as a regional cultural and economic asset.
Legal Aspects of Personal Data Protection in the Implementation of Regional E-Government Evangelista, Beverly; Daulay, R. Fahmi Natigor
JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol 7, No 3 (2025): JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jihad.v7i3.9460

Abstract

The transformation of government services from manual systems to digital platforms through e-government in Indonesia is a response to the advancement of information and communication technology (ICT) and the demand for bureaucratic efficiency. Presidential Instruction No. 3 of 2003 marked the initial milestone in e-government development, which has since evolved into various digital public services such as OSS, SatuSehat, and Satu Data Indonesia. This study employs a normative legal method using statutory, conceptual, and normative gap analysis approaches. The focus of the research is directed at two main aspects: the regulation of personal data protection within regional e-government systems and the normative weaknesses in ensuring the security and confidentiality of citizens’ data. The discussion reveals that despite the enactment of the Personal Data Protection Law (PDP Law), its implementation at the regional level faces significant challenges, including overlapping regulations, lack of technical standards, weak oversight, and ineffective sanctions. Regional governments often lack clear operational guidelines, resulting in disparities in data protection across regions. The study concludes that personal data protection must be an integral part of digital governance system design. Regulatory reform, institutional capacity building at the regional level, and the establishment of effective oversight mechanisms are strategic steps to ensure comprehensive protection of citizens’ privacy rights in the digital era.
Legal Study of Divorce Lawsuit Mechanism Against Absent Husband According to Indonesian Marriage Law Natigor Daulay, R. Fahmi; Evangelista, Beverly
JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum dan Administrasi Vol 7, No 3 (2025): JIHAD : Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pendidikan (LPP) Mandala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58258/jihad.v7i3.9477

Abstract

Divorce lawsuit against absent husband is a legal remedy for wives abandoned by their husbands without clear residence information. This research analyzes the legal mechanism of divorce lawsuits against absent husbands based on Law No. 1 of 1974 on Marriage and Islamic Law Compilation. The research method uses normative juridical approach with secondary data of descriptive nature. Results show that absent husband divorce procedures are regulated in Article 20 paragraph (2) of Government Regulation No. 9 of 1975 and Article 138 of Islamic Law Compilation, with summons through announcements on court bulletin boards and mass media. Implementation follows ordinary divorce lawsuit procedures with additional requirements including village certificate stating the unclear domicile of the defendant.
Aspek Hukum Pengenaan Pajak Karbon di Indonesia terhadap Kesesuaiannyadengan Prinsip Keadilan dan Keberlanjutan Evangelista, Beverly; Fanggi, Prandy Arthayoga Louk
Jurnal Fundamental Justice Vol. 6 No. 2 (2025): September 2025
Publisher : Universitas Bumigora

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30812/fundamental.v6i2.5619

Abstract

Indonesia memperkenalkan instrumen pajak karbon melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, integrasi kebijakan fiskal dan lingkungan ini menimbulkan kompleksitas hukum yang signifikan terkait kesesuaiannya dengan prinsip keadilan dan pembangunan berkelanjutan. Penelitian ini menganalisis dua rumusan masalah utama, yakni bagaimana pengaturan pajak karbon dalam UU HPP ditinjau dari prinsip keadilan pajak dan tujuan pembangunan berkelanjutan, serta kelemahan yuridis dalam mekanisme pemungutan dan utilisasi dana pajak karbon. Metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan pendekatan konseptual dan studi kasus, mengkaji sinkronisasi vertikal dan horizontal antara UU HPP dengan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Pembahasan mengungkapkan empat kelemahan yuridis fundamental: pertama, ketidaksinkronan norma antara prinsip pencemar membayar dalam UU PPLH dengan mekanisme pemungutan dalam UU HPP; kedua, tarif Rp30/kg CO2e yang tidak merefleksikan biaya sosial kerusakan lingkungan; ketiga, absennya pengaturan earmarking untuk alokasi dana pajak; keempat, kelemahan sistem monitoring, reporting, dan verification (MRV) yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Disimpulkan bahwa konstruksi hukum pajak karbon masih mengandung kelemahan substantif yang dapat mengurangi efektivitasnya sebagai instrumen perlindungan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan reformulasi kebijakan komprehensif melalui harmonisasi regulasi, penerapan prinsip earmarking, penguatan kelembagaan, dan integrasi dengan strategi nasional untuk mewujudkan keadilan substantif dan pembangunan berkelanjutan.