Claim Missing Document
Check
Articles

Found 39 Documents
Search

PERTIMBANGAN HAKIM ALASAN PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER) TERDAKWA TINDAK PIDANA PENGEROYOKAN DALAM STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NOMOR : 53/PID/2020/PT BBL Tiara Maharani Amisi; Ralfie Pinasang; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan hukum di Indonesia terkait kriteria dan syarat suatu tindakan dapat dikatakan sebagai Pembelaan Terpaksa (noodweer); dan untuk mengetahui analisis pertimbangan hukum hakim terhadap terdakwa tindak pidana pengeroyokan yang menggunakan alasan pembelaan terpaksa (noodweer) secara tidak sesuai dalam putusan Nomor 53/PID/2020/PT BBL. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pembelaan Terpaksa diatur dalam Pasal 49 KUHP ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”. 2. Bahwa perbuatan yang dilakukan oleh para terdakwa tidak termasuk dalam pembelaan terpaksa (Noodweer). Namun, menurut penulis hukuman yang dijatuhkan kepada para terdakwa terlalu ringan dengan apa yang dialami oleh korban. Hukuman yang dijatuhi kepada para terdakwa hanya 2 tahun 6 bulan dimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pada pasal 170 ancaman pidana penjara bagi pelaku pengeroyokan paling lama 5 tahun 6 bulan. Jauhnya perbedaan antara hukuman yang diberikan hakim dan ancaman pidana penjara yang diatur oleh KUHP tampak tidak mencerminkan beratnya tindakan pengeroyokan yang dilakukan oleh para terdakwa dan ditakutkan tidak menimbulkan efek jera untuk para terdakwa. Kata Kunci : noodweer, tindak pidana pengeroyokan
ANALISIS YURIDIS ATAS PENGGUNAAN VISUM ET REPERTUM DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN Oktaviani Kemala Franny Christina; Rodrigo F. Elias; Herlyanty Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 3 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana isi dari Visum et Repertum yang digunakan sebagai alat bukti dalam suatu peristiwa pidana dan untuk mengetahui bagaimana fungsi alat bukti Visum et Repertum dalam sidang pengadilan pidana. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Visum et Repertum berisi, Identitas tempat pembuatan visum berdasarkan surat permohonan mengenai jam, tanggal, dan tempat, Pernyataan dokter, identitas dokter, Identitas peminta visum, Wilayah, Identitas korban, dan Identitas tempat perkara. Hasil dari visum et repertum yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Dalam kesimpulan Visum et Repertum memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat Visum et Repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya Visum et Repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat jenis luka, kekerasan penyebabnya dan derajat kualifikasi luka. Di bagian akhir Visum et Repertum memuat tangan dokter pembuat Visum et Repertum. 2. Fungsi dari Visum et Repertum sebagai bukti yang mewakili kesaksian korban dalam proses peradilan. Visum et Repertum berfungsi untuk kelengkapan berkas tindak pidana pembunuhan yang diserahkan penyidik ke penuntut umum. Hasil yang dimuat dalam visum et repertum dapat membuktikan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, di mana tidak ada yang melihat kejadiannya dan membantu untuk membuat suatu kesimpulan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa dalam proses peradilan. Kata Kunci : visum et repertum, tindak pidana pembunuhan
KAJIAN PUTUSAN NOMOR 7/Pid.B/LH/2022/PN TONDANO ATAS KERUSAKAN LINGKUNGAN AKIBAT KEGIATAN PERTAMBANGAN DI LUAR WILAYAH IZIN USAHA PERTAMBANGAN Natanael Mario Pantouw; Herlyanty Y. A. Bawole; Edwin N. Tinangon
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 3 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum tindak pidana pertambangan di luar wilayah izin usaha pertambangan dan untuk mengetahui kajian tentang putusan nomor 7/Pid.B/LH/2022/PN Tondano dalam perkara kerusakan lingkungan akibat pertambangan di luar wilayah izin pertambangan. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Penegakan hukum lingkungan berkaitan erat dengan kemampuan aparatur dan kepatuhan warga masyarakat terhadap peraturan yang berlaku, yang meliputi tiga bidang hukum, yaitu administrative, perdata dan pidana. Selanjutnya penegak hukum lingkungan dapat dilakukan secara preventif dan represif, sesuai dengan sifat dan efektivitasnya. Kegiatan pertambangan tanpa izin merupakan faktor timbulnya kerusakan kawasan hutan yang tidak terkendali akibat tidak diterapkannya good mining practices. Maraknya kegiatan pertambangan illegal mining tidak terlepas dari beberapa faktor yang melandasi keberadaannya, yaitu faktor ekonomi, pelaku ingin menghindari kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan, sulitnya mendapatkan IUP, minimnya sosialisasi mengenai peraturan perundang-undangan, dan lemahnya penegakan hukum. 2. Perbuatan pertambangan tanpa izin adalah suatu kejahatan karena melanggar ketentuan dalam Pasal 158 Undang-Undang Minerba, mendatangkan kerugian baik secara materil maupun imateril kepada masyarakat dan negara, serta menghalangi cita-cita negara dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pengaturan perbuatan ini merupakan bagian dari upaya penanggulangan kejahatan menggunakan sarana pidana. Kata Kunci : pekerja pada perjanjian kerja waktu tertentu
PEMBERANTASAN KOHABITASI (KUMPUL KEBO) DI INDONESIA DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF Bryan Y. F. Wowor; Eugenius Paransi; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui bagaimana hukum positif memberantas kohabitasi (kumpul kebo) di Indonesia dan Untuk mengetahui bagaimana kebijakan kriminal (criminal policy) memberantas kohabitasi (kumpul kebo) di Indonesia. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Perbuatan kohabitasi merupakan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku dan hidup dalam kehidupan sosial masyarakat. Perbuatan kohabitasi juga merupakan perbuatan yang dapat menghasilkan begitu banyak permasalahan baik dari segi sosial, psikologis dan juga hukum. namun nyatanya perbuatan kohabitasi masih belum memiliki aturan hukum yang jelas dalam aturan hukum pidana atau Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang dikarenakan kekosongan hukum tersebut sehingga perbuatan kohabitasi dapat hampir dapat selalu kita jumpai baik di kota-kota besar maupun di pelosok-pelosok desa, baik kalangan orang dewasa maupun kalangan muda-mudi. 2. Secara yuridis perbuatan kohabitasi tidak diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai hukum positif atau hukum yang berlaku saaat ini, namun bukan berarti perbuatan tersebut menjadi perbuatan yang boleh dan bebas dilakukan. Kohabitasi yang dapat menimbulkan begitu banyak permasalahan yang serius tentunya perlu mendapatkan respon yang serius, guna menjaga, mengatur sertu melindungi masyarakat. Respon tersebut adalah kebijakan kriminal (criminal policy) melalui upaya non penal (di luar jalur hukum pidana) yang oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaannya melakukan razia-razia ditempat penginapan, rumah kontrakan serta kos-kosan. Kata Kunci : kohabitasi (kumpul kebo, hukum positif dan kebijakan kriminal (criminal policy)
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMERASAN DAN PENGANCAMAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA Valentino Reza Unio; Herlyanty Y. A. Bawole; Victor Kasenda
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui, serta memahami tinjauan yuridis tentang pemerasan dan pengancaman menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan untuk mengetahui, serta memahami sanksi pidana bagi pelaku pemerasan dan pengancaman menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Pemerasan dengan kekerasan diatur dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama yang masih berlaku hingga saat ini. Selain itu, tindak pidana pemerasan dengan kekerasan juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru, yaitu Pasal 482 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan mulai diberlakukan tiga tahun sejak ditetapkan (tahun 2026). Tindak pidana pengancaman diatur dalam Pasal 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama yang masih berlaku hingga saat ini. Selain itu, tindak pidana pengancaman juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru, yaitu Pasal 483 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan mulai diberlakukan tiga tahun sejak ditetapkan (tahun 2026). 2. Sanksi pidana bagi pelaku pemerasan dan pengancaman menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu berupa pidana penjara. Maksimal sembilan tahun untuk tindak pidana pemerasan, dan maksimal empat tahun untuk tindak pidana pengancaman. Apabila ada pemberatan, maka pidana penjara untuk tindak pidana pemerasan, maksimal dua puluh tahun. Kata Kunci : pemerasan pengancaman
LIE DETECTOR DALAM PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA Claudea Jaden Gil Jocom; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 3 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan lie detector sebagai alat bukti dalam hukum acara pidana Indonesia dan untuk mengetahui bagaimana urgensi lie detector dalam pembuktian tindak pidana di Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pada Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 atau biasanya disingkat menjadi KUHAP Lie Detector memiliki potensi untuk menjadi alat bukti keterangan ahli dalam proses peradilan, apabila digunakan sesuai dengan metode yang valid, dan oleh ahli yang terlatih. Meskipun bukan alat bukti yang tunggal, hasil dari lie detector dapat memberikan pandangan tambahan kepada pengadilan dalam memahami keabsahan keterangan saksi atau terdakwa. 2. Lie Detector adalah alat yang dapat digunakan untuk mengukur respons fisiologis. Penggunaan alat ini dalam konteks penyidikan tindak pidana memiliki beberapa alasan urgensi yang perlu dipertimbangkan. Salah satu alasan utama adalah bahwa lie detector dapat menjadi alat bantu penyelidikan, penyidik seringkali harus menghadapi situasi di mana saksi atau tersangka berpotensi untuk memberikan informasi yang tidak jujur. Dalam situasi seperti ini, penggunaan lie detector dapat membantu penyidik dalam mengidentifikasikan potensi kebohongan. Kata Kunci : pembuktian tindak pidana, lie detector
TINJAUAN UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK TERHADAP KEJAHATAN PINJAMAN ONLINE YANG TIDAK TERDAFTAR DI OTORITAS JASA KEUANGAN Sultan Hasan Toha Golonda; Adi Tirto Koesoemo; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 3 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Kemajuan teknologi yang telah menghadirkan tantangan baru bagi masyarakat. Pada bidang hukum sendiri proses kemajuan teknologi ini ditandai dengan hadirnya fenomena baru dalam bidang hukum yaitu cyber crime. Aspek yang paling terasa dalam cyber crime itu sendiri ialah pada bidang layanan pinjam meminjam uang berbasi teknologi (pinjaman online). Pinjaman online sendiri terdiri dari dua yaitu pinjaman online legal dan pinjaman online illegal (tidak terdaftar) pada aspek pinjaman online illegal ada banyak hal yang masih harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah terkati untuk memberantasnya terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pada aspek pengaturan sendiri Otoritas Jasa Keuangan tidak mengatur dan menjelaskan secara spesifik apa itu pinjaman online illegal hal ini hanya kita dapatkan pada penjelasan pasal 7 POJK Nomor 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan adalah untuk mengetahui bagaimana sistem pengaturan terhadap pinjaman online illegal (tidak terdaftar di otoritas jasa keuangan) terutama dalam Undang-undang No 19 Tahun 2016 Perubahan atas Undang-undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kata Kunci: Teknologi, Cyber crime, Pinjaman Online, Pinjaman Online Illegal.
PEMENUHAN ASAS PRADUGA TAK BERSALAH DALAM PROSES PENYIDIKAN DI POLRES TOMOHON Tasya Feren Mamesah; Rodrigo F. Elias; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 4 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan atas hak-hak tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh polisi dan untuk mengetahui apakah penerapan Asas Praduga Tak Bersalah dalam bentuk perlindungan hak-hak tersangka yang dijamin dalam undang-undang dipenuhi oleh aparat penegak hukum dalam hal ini Polisi. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif empiris, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Setiap pihak wajib menghormati Hak Prioritas Penyelesaian Perkara, Hak Persiapan Pembelaan, Hak Memberi Keterangan Secara Bebas, Hak Mendapatkan Juru Bahasa, Hak Mendapatkan Bantuan Hukum, Hak Memilih Sendiri Penasehat Hukumnya, Hak Mendapatkan Bantuan Hukum Cuma-Cuma, Hak Menghubungi Penasihat Hukum, Hak Kunjungan oleh Dokter Pribadi, Hak Diberitahukan, Menghubungi atau Menerima Kunjungan Keluarga dan Sanak Keluarganya, Hak Berkirim Surat Hak Menerima Kunjungan Rohaniwan, Hak diadili pada Sidang Terbuka untuk Umum, Hak Mengajukan Saksi a de charge dan Saksi Ahli, Hak Untuk Tidak Dibebani Kewajiban Pembuktian, Hak Pemberian Ganti Kerugian dan Rehabilitasi. 2. Masih dijumpai adanya pelanggaran hak tersangka yang merendahkan harkat dan martabat tersangka. Pelanggaran hukum yang sering terjadi pada tingkat penyidikan berupa pemaksaan dari pihak penyidik supaya tersangka mengakui perbuatan yang disangkakan kepadanya. Kekerasan fisik memang sudah tidak lagi ditemui, namun masih ada bentak dan kata ancaman terhadap tersangka serta perlakuan terhadap tersangaka sebagai seorang yang telah bersalah. Kata Kunci : asas praduga tak bersalah, polres Tomohon
KEWENANGAN POLISI KEHUTANAN TERHADAP TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN Febri Grifin Rakian; Herlyanty Y. A. Bawole; Victor Kasenda
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 4 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana kehutanan dan untuk mengetahui ketentuan hukum kewenangan polisi kehutanan terhadap pelaku tindak pidana perusakan hutan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Kejahatan kehutanan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana dibidang kehutanan, dapat terjadi dalam bentuk merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan serta menimbulkan kerusakan hutan, membakar hutan, menebang pohon dan memiliki hasil hutan secara illegal (Illegal Loging), melakukan penambangan dan eksplorasi serta eksploitasi bahan tambang tanpa ijin, memiliki hasil hutan tanpa surat keterangan, membawa alat-alat berat tanpa ijin. Sehubungan 2. Berkaitan dengan kewenangan Polisi Kehutanan dalam menanggulangi pelaku tindak pidana perusakan hutan, berdasarkan ketentuan yang berlaku Polisi Kehutanan dapat bertindak sebagai penyidik. Pasal 37 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindung Hutan, dijelaskan bahwa Polisi Kehutanan yang telah memenuhi persyaratan dapat diangkat menjadi Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan. Proses penyidikan dilakukan dengan berkoordinasi dengan aparat penyidik Polri berdasarkan hukum pidana formil. Kata Kunci : polisi kehutanan, tindak pidana kehutanan
TINJAUAN HUKUM TENTANG WANPRESTASI TERHADAP PLN YANG MEMUTUS ALIRAN LISTRIK KONSUMEN YANG MENUNGGAK PEMBAYARAN Justicia Sara Maukar; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX PRIVATUM Vol. 13 No. 5 (2024): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap PLN yang melakukan pemutusan aliran listrik dan untuk mengetahui bagaimana penyelesaian wanprestasi terhadap perjanjian dalam pembayaran tagihan listrik. Kesimpulan yang didapat: 1. Sebagai penyedia utama listrik di Indonesia, PLN berwenang menghentikan suplai listrik bagi konsumen yang menunggak pembayaran, sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Regulasi ini memberikan dasar hukum yang kuat bagi PLN untuk menegakkan disiplin pembayaran, memastikan operasional berkelanjutan, dan tetap menghormati hak-hak konsumen. Hal ini menciptakan keseimbangan antara kebutuhan PLN dan perlindungan hak konsumen. 2. Wanprestasi, atau ketidakpatuhan konsumen dalam membayar tagihan listrik, memerlukan penanganan hati-hati dari PLN. Proses ini dimulai dengan memberikan pemberitahuan resmi kepada konsumen tentang tunggakan mereka. Jika upaya damai tidak berhasil, PLN memiliki hak untuk memutus aliran listrik, tetapi harus mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh regulasi dan tidak bersifat sewenang-wenang. Pemutusan aliran listrik hanya boleh dilakukan setelah semua upaya negosiasi telah dijalankan. Kata Kunci : PLN, Wanprestasi.