Claim Missing Document
Check
Articles

Found 40 Documents
Search

TINJAUAN HUKUM BANDING ADMINISTRASI APARATUR SIPIL NEGARA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA Yeremia Pierre Rurugala, Deizen D. Rompas, Herlyanty Y. A. Bawole Yeremia Pierre Rurugala, Deizen D.
LEX ET SOCIETATIS Vol. 10 No. 4 (2022): Lex Et Societatis
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendalami tentang hukum acara pada upaya administrasi dalam pada lingkup aparatur sipil negara serta untuk mengetahui dan memahami terkait penyelesaian sengketa pada lingkup aparatur sipil negara lewat proses banding administrasi. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, maka berdasarkan hasil penelitian penulis dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Perlindungan hukum bagi aparatur negara dalam penyelesaian sengketa kepegawaian pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara belum dapat secara optimal diberikan. Ini dikarenakan belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan yang secara teknis mengatur mengenai upaya administratif dan Badan Pertimbangan ASN. Adapun perlindungan hukum yang dapat dilakukan Pemerintah yaitu segera menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) atau peraturan yang secara teknis mengenai upaya administratif dan Badan Pertimbangan ASN yang kesemuanya itu telah diperbarui oleh PP No 79 Tahun 2021 Tentang Upaya Administrasi dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara. 2. Prosedur pengajuan banding administratif oleh Aparatur Sipil Negara diajukan kepada badan pertimbangan kepegawaian, waktu pengajuan hanya 14 (empat belas) hari setelah surat diterima banding administratif dapat diajukan secara tertulis dan disertai dengan alasan-alasan dan bukti sanggahan. Dalam mengambil keputusan dilakukan dengan musyawarah dan mufakat dengan waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari. Kata kunci: banding administrasi; ASN; sengketa
PERLINDUNGAN TERHADAP PASIEN MATI OTAK DARI PENCABUTAN ALAT PENUNJANG HIDUP DITINJAU DARI HUKUM DI INDONESIA Kartini Tungkagi; Herlyanty Y. A. Bawole; Theodorus H. W. Lumunon
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami bagaimana metode untuk mendiagnosis mati otak terhadap pasien menurut prinsip hukum kesehatan serta untuk mengetahui dan memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap pasien dari pencabutan alat penunjang hidup. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1.Metode mendiagnosis mati otak terhadap pasien menurut prinsip hukum Kesehatan dimaksudkan menjadi sebuah acuan sebagai langkah-langkah yang boleh dan dapat dilakukan oleh tenaga medis untuk memastikan kematian batang otak yang lebih pasti dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 37 Tahun 2014 tentang Penentuan Kematian dan Pemanfaatan Organ Donor. 2. Perlindungan hukum pada pasien bertujuan untuk melindungi segala hak yang dimiliki oleh pasien. Hak atas informasi medis dan memberikan persetujuan, hak atas rahasia medis, hak untuk menolak pengobatan dan tindakan medis, hak atas second opinion atau pendapat kedua, dan hak untuk mengetahui isi rekam medik. Pencabutan alat penunjang hidup adalah suatu upaya untuk menghentikan (withdrawing) semua terapi bantuan hidup kepada pasien yang berada dalam keadaan tidak dapat disembuhkan akibat penyakit yang diderita atau akibat kecelakaan parah yang mana tindakan kedokteran sudah sia-sia (futile). Pada kasus pasien yang tidak sadarkan diri, persetujuan tindakan medis dilimpahkan kepada keluarga dengan memperhatikan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran. Kata Kunci : pasien mati otak, pencabutan alat penunjang hidup
KEWENANGAN PENYIDIK MELAKUKAN PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA TERHADAP PEMALSUAN UANG Gabriel Christian Wuisan; Butje Tampi; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kewenangan penyidik melakukan pemeriksaan tindak pidana terhadap pemalsuan uang dan bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana pemalsuan uang, sehingga diperlukan upaya untuk melakukan penyidikan. Dengan menggunakan metode peneltian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kewenangan penyidik melakukan pemeriksaan tindak pidana terhadap pemalsuan uang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, menjelaskan selain kewenangan penyidik sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, penyidik juga berwenang untuk membuka akses atau memeriksa dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam arsip komputer, jaringan internet, media optik, serta semua bentuk penyimpanan data elektronik lainnya dan untuk kepentingan penyidikan penyidik dapat menyita alat bukti dari pemilik data dan penyedia jasa layanan elektronik. 2. Bentuk-bentuk tindak pidana pemalsuan uang, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang, yaitu setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang diketahuinya merupakan rupiah palsu serta bagi setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan rupiah yang diketahuinya merupakan rupiah palsu serta setiap orang yang membawa atau memasukkan rupiah palsu ke dalam dan/atau ke luar Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dapat kenakan dengan pidana penjara dan pidana seumur hidup, termasuk pidana denda. Kata kunci: Kewenangan Penyidik, Tindak Pidana, Pemalsuan Uang.
PELAPORAN HARTA KEKAYAAN PENYELENGGARA NEGARA SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI Gabriela; Debby Telly Antow; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang bagaimana efektivitas penerapan aturan pelaporan LHKPN terhadap tingkat angka korupsi oleh pejabat Penyelenggara Negara di Indonesia serta bentuk bertanggungjawaban Penyelenggara Negara yang tidak melakukan pelaporan LHKPN. Tingginya angka korupsi dalam suatu negara tidak terlepas dari keterlibatan para Penyelenggara Negara yang memiliki posisi strategis di dalam tata kelola pemerintahan. Hal tersebut juga senantiasa menjadi persoalan bagi negara Indonesia, sehingga mendorong pemerintah untuk mengupayakan berbagai tindakan preventif guna memanimalisir terjadinya tindak pidana korupsi di kalangan pejabat negara. Penerapan aturan pelaporan LHKPN menjadi salah satu alternatif yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam mencegah terjadinya korupsi di kalangan Penyelenggara Negara. Dibawah koordinasi KPK program ini dijalankan dengan mewajibkan setiap Penyelenggara Negara untuk melaporkan harta kekayaan yang dimiliki secara berkala sehingga memudahkan KPK dalam memonitoring aliran harta kekayaan dari Penyelenggara Negara tersebut. Dari penelitian ini, penulis menemukan hasil bahwa penerapan aturan pelaporan LHKPN ini belum cukup efektif dalam mencegah terjadinya tindak pidana korupsi di kalangan Penyelelenggara Negara. Selanjutnya bentuk pertanggungjawaban dari Penyelenggara Negara yang tidak taat dalam melaporkan LHKPN masih sebatas pada kesediaan Penyelenggara Negara tersebut untuk menerima sanksi administratif yang dijatuhkan oleh pimpinan instansi terkait. Kata kunci: Efektivitas, Korupsi, Penyelenggara Negara, LHKPN, Sanksi.
TINJAUAN KRIMINOLOGI TERHADAP TINDAK PIDANA BEGAL YANG DI LAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR Brilliandro Kasenda; Herlyanty Y. A. Bawole; Boby Pinasang
LEX ADMINISTRATUM Vol. 11 No. 4 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor pendorong anak di bawah umur melakukan tindak pidana begal dan upaya penanggulangannya sesuai dengan Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Begal Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur. Dengan menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif. Disimpulkan: 1. Tindak pidana begal atau pembegalan sudah sangat meresahkan masyrakat dengan aksinya yang mengganggu keamanan serta kenyamanan dari masyrakat. Yang menjadi pelaku begal bukan hanya orang dewasa tetapi banyak ditemukan pelakunya anak di bawah umur, sekarang ini banyak sekali pelaku kejahatan tindak pidana begal adalah seorang anak di bawah umur. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seorang anak melakukan tindak pidana begal yaitu faktor pergaulan, faktor ekonomi, kurangnya skil atau potensi yang dimiliki, faktor kurangnya perhatian khusus dari orang tua terhadap anak, dan tindakan pembullyan serta akibat terjadinya berbagai macam tontonan kekerasan. 2. Penanggulangan tindak pidana begal yang dilakukan oleh seorang anak di bawah umur adalah diperketatnya pengawasan dan pengamanan dari pihak kepolisian, diadakan sosialisasi mengenai pembegalan kepada anak-anak yang ada dilingkungan pendidikan, serta pemerintah memiliki perhatian khusus dan juga sebisa mungkin memberantas kekerasan yang terjadi dilingkungan pendidikan, dan perhatian khusus dari keluarga mengenai pola asuh dari orang tua terhadap anak. Kata Kunci: kriminologi dan tindak pidana begal yang dilakukan anak di bawah umur
TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA DENGAN KEJAHATAN LUAR BIASA (EXTRA ORDINARY CRIME) YANG MEMBUAT TERJADINYA KETIDAKADILAN BAGI MASYARAKAT Metmeilin Ada; Adi Tirto Koesoemo; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX PRIVATUM Vol. 11 No. 5 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan memahami aturan hukum mengenai pemberian remisi bagi Narapidana dengan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), dan dampak pemberian remisi kepada Narapidana dengan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang membuat terjadinya ketidakadilan bagi masyarakat, dengan menggunakan metode penelitian normatif yuridis, sehingga dapat disimpulkan : 1. Pengaturan hukum pemberian remisi bagi Narapidana dengan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan, Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemerian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersayarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan, dan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi. 2. Dampak pemberian remisi bagi Narapidana dengan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yag membuat terjadinya ketidakadilan bagi masyarakat yakni menimbulkan kerugian seperti tidak berkembangnya infrakstruktur dan kesejahteraan masyarakat akibat korupsi, mengganggu ketentraaman dan kenyamanan masyarakat akibat teror yang dilakukan oleh teroris, menimbulkan trauma bagi korban pelaku pelecehan seksual, melanggar hak asasi manusia bagi mereka yang menjadi korban perbudakan, dan tidak ada efek jera bagi Narapidana dengan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Kata Kunci : Remisi, kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), ketidakadilan bagi masyarakat
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TENAGA MEDIS DALAM KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Johsua A. H. Roring; Cornelis Dj. Massie; Herlyanty Y. A. Bawole
LEX PRIVATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Privatum
Publisher : Universitas Sam Ratulangi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui dan mendalami tentang perlindungan terhadap tenaga medis dalam konflik bersenjata antar negara dan untuk mengetahui dan memahami sejauh mana perlindungan dan pertanggungjawaban negara-negara peserta konflik bersenjata dalam perlindungan terhadap tenaga medis. Dengan metode penelitian yuridis normatif, kesimpulan yang didapat: 1. Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 adalah payung hukum dan juga konsep agar supaya para peserta konflik bersenjata tidak membabibuta dalam melakukan penyerangan. Ada pihak-pihak yang tidak boleh dijadikan sebagai sasaran tembak dalam konflik bersenjata antar Negara. Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 secara khusus melindungi orang yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan (warga atau penduduk sipil, pekerja kesehatan dan pekerja bantuan kemanusiaan) dan mereka yang tidak lagi terlibat dalam permusuhan, seperti tentara yang terluka, sakit dan kapalnya karam dan tawanan perang. 2. Kedudukan tenaga medis dalam konflik bersenjata melalui beberapa instrumen hukum humaniter internasional dan aturan-aturan di dalam hukum humaniter internasional kebiasaan. Kata Kunci : perlindungan tenaga medis, konflik bersenjata.
Kepastian Hukum Atas Tindakan Bisnis Direksi BUMN Persero Beritikad Baik Yang Menimbulkan Kerugian Keuangan Negara Arie Prakoso; Dani R. Pinasang; Herlyanty Bawole
Innovative: Journal Of Social Science Research Vol. 3 No. 4 (2023): Innovative: Journal Of Social Science Research
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31004/innovative.v3i4.2871

Abstract

Kepastian hukum atas tindakan bisnis direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero yang beritikad baik yang menimbulkan kerugian keuangan negara adalah hal yang sangat penting dalam memastikan transparansi, akuntabilitas, dan kepercayaan publik terhadap pemerintahan dan pengelolaan sumber daya negara. Tindakan bisnis yang dilakukan oleh direktur BUMN haruslah berlandaskan pada prinsip-prinsip hukum yang kuat, mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, serta berfokus pada pencapaian tujuan strategis yang telah ditetapkan. Kepastian hukum mengacu pada jaminan dan kejelasan bahwa tindakan bisnis yang diambil oleh direktur BUMN yang beritikad baik tidak akan dikenai hukuman atau sanksi yang tidak adil atau semena-mena, asalkan tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku. Hal ini penting untuk mendorong inovasi dan pengembangan usaha BUMN tanpa rasa takut akan tuduhan atau persekusi hukum yang tidak berdasar. Untuk mencapai kepastian hukum atas tindakan bisnis direktur BUMN yang beritikad baik, diperlukan koordinasi dan kolaborasi yang erat antara berbagai lembaga terkait seperti Kementerian BUMN, Komisi XI DPR RI, KPK, Ombudsman, BPKP, dan lembaga lain yang memiliki peran dalam pengawasan dan penerapan hukum terkait BUMN. Kata Kunci : Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero, Kerugian keuangan negara, Perlindungan hukum.
SANKSI HUKUM BAGI PENYIDIK KEPOLISIAN ATAS PERILAKU TERHADAP TERSANGKA MENURUT PERATURAN KAPOLRI NOMOR 8 TAHUN 2009 Vanessa Nataly Karwur; Herlyanty Y. A. Bawole; Ronald Elrik Rorie
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa pengaturan yang benar bagi penyidik kepolisian dalam melaksanakan dan menjalankan tugas sesuai dengan peraturan yang berlaku dan untuk mengetahui sanksi apa yang akan di terima oleh penyidik kepolisian yang masih memperlakukan tersangka bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, dapat ditarik kesimpulan yaitu : 1. Pengaturan hukum terhadap perilaku penyidik kepolisian menurut Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 yaitu Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia mengatur tentang Aparat Kepolisian dalam hal ini melakukan tugasnya dalam hal melakukan penyidikan harus sesuai dengan prosedur dan memperhatikan Hak Asasi Manusia yang kemudian jika melakukan hal yang bertentangan dengan Peraturan Kapolri ini akan dikenakan sanksi. 2. Sanksi hukum bagi penyidik kepolisian atas perilaku terhadap tersangka yang bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia yaitu hukuman disiplin dan kode etik serta dikenakan proses peradilan pidana umum sesuai dengan KUHP dan KUHAP yang berlaku di Indonesia. Kata Kunci : sanksi hukum, penyidik kepolisian
TINJAUAN PIDANA TERHADAP PENYADAPAN GETAH PINUS DI HUTAN LINDUNG GUNUNG SOPUTAN Jeremy Peter Lasut; Herlyanty Y. A. Bawole; Edwin N. Tinangon
LEX ADMINISTRATUM Vol. 12 No. 2 (2024): Lex Administratum
Publisher : LEX ADMINISTRATUM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur terkait kasus penyadapan getah pinus dan untuk mengetahui bagaimana pemberian sanksi tindak pidana terhadap pelaku penyadapan getah pinus. Dengan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan : 1. Pengaturan hukum penyadapan getah pinus terdapat beberapa undang-undang dan regulasi yang mengatur penyadapan getah pinus di Indonesia, termasuk Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Pencegahan Perusakan Hutan. Ketepatan, kejelasan, dan konsistensi implementasi peraturan ini masih memerlukan perhatian lebih. 2. Terdapat sanksi pidana yang telah diatur dalam undang-undang yang dapat diterapkan terhadap pelaku penyadapan getah pinus tanpa izin, yakni dalam praktiknya, penegakan hukum dan konsistensi penerapan sanksi masih menjadi permasalahan. Kata Kunci : penyadapan getah pinus, hutan lindung gunung soputan