Muzal Kadim
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 34 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 34 Documents
Search

The role of nutrtion in children with celiac disease Muzal Kadim
World Nutrition Journal Vol. 5 No. 1 (2021)
Publisher : Indonesian Nutrition Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25220/WNJ.V05.i1.0011

Abstract

Celiac disease, a permanent, irreversible but treatable disease  is an autoimmune disease triggered by gluten ingestion in genetically predisposed individuals, also known as celiac sprue and gluten sensitive enteropathy.  Recent findingsIntestinal inflammation and villous atrophy in small intestines by permanent intolerance to gluten in celiac disesea leads to seveare malabsorption. About 20%-38%  patients were basically nutritionally imbalance secondary malabsorption due to mucosal damage. Nutrition plays a very important role in the management of celiac disease. Gluten free diet must be balanced to cover nutrient requirements to prevent deficiencies and ensure children’s health, growth and development.Conclusion Gluten-free diet is the only accepted and available treatment in CD. It was a life-long treatment, if not carried out with attention, it may lead to nutritional imbalance which can affect children’s growth and development 
The role of nutrition and pancreatic enzyme replacement therapy in children with cystic fibrosis Muzal Kadim; William Cheng
World Nutrition Journal Vol. 4 No. 2 (2021): Volume 04 Issue 2, August 2021
Publisher : Indonesian Nutrition Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25220/WNJ.V04.i2.0011

Abstract

Background Cystic fibrosis (CF) is an inherited genetic disorder with high mortality and morbidity. CF is strongly correlated with malnutrition due to higher energy losses, pancreatic insufficiency, chronic inflammation, higher resting energy expenditure, and feeding problems. Malnutrition in CF patients associated with worse survival. Thus, appropriate and prompt nutritional intervention should be addressed to reduced malnutrition in CF patients. Methods The literature search was performed on 9 August 2021 in four major databases such as MEDLINE, EBSCOhost, Cochrane Reviews, and Web of Sciences to find the role of nutrition and pancreatic enzyme replacement therapy in pediatrics population with cystic fibrosis. Recent findings In recent decades, early nutritional management and pancreatic enzyme replacement therapy (PERT) have been shown to improve CF patient’s outcomes. Nutrition should be given in higher calories compared to healthy individuals with close and regular nutritional status monitoring. High protein and fat diets are essential for CF patient’s overall survival. Adequate level of micronutrients should be ensured to avoid morbidity caused by micronutrients deficiency. Regular pancreatic insufficiency screening should be done annually in order to start PERT early. Further research focusing on body composition, growth chart, protein intake, and PERT are needed to further improve the management of CF patient. Conclusion Nutritional intervention and PERT play an important role in prolonging CF patient survival. Both treatments should be initiated early with nutritional status close monitoring and tailored to each individual. Collaboration with parents and children is critical to warrant that CF patients followed the dietary advice.
The importance of gut health in early life for long term health Muzal Kadim; Bertri Maulidya Masita
World Nutrition Journal Vol. 5 No. S2 (2022): Supplement
Publisher : Indonesian Nutrition Association

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25220/WNJ.V05.S2.0001

Abstract

Introduction. The gut microbiota plays an important role in the normal functioning of the host organism. The microbiota of healthy newborn affected by many factors such as prenatal exposures, maternal nutrition, mode of delivery, type of feeding, introduction to solid food and its type, geography, and antibiotics consumption; and its composition continues to mature until reaching 3 years of age. Normal gut microbiota is essential in gut health, and play an important role in our homeostasis. Therefore, gut microbiota is considered a crucial factor for proper early life development and lifelong health. Prebiotics, along with probiotics, may alter gut microbiota composition thus play a role in the prevention of various diseases associated with dysbiosis condition. Methods. Advanced search for relevant literatures in PubMed, Cochrane, and Willey was conducted. After assessing the relevancy and eligibility, articles were selected and critically appraised. Conclusions. Accumulating evidence from different studies has shown that the occurrence of a disease is often preceded by early alterations of the microbiota. Many studies established correlation between gut microbiota dysbiosis with diseases pathogenesis i.e obesity and other metabolic syndrome, asthma and allergies, also stress-related disorder. Prebiotic supplementation has proven to be effective in obesity, asthma and allergies management, also beneficial for immune system.
Faktor Risiko yang Memengaruhi Kolonisasi Mikroflora Saluran Cerna Neonatus Kurang Bulan dengan Enterokolitis Nekrotikans Ratno Juniarto Marulitua Sidauruk; Idham Amir; Muzal Kadim; Mardjanis Said
Sari Pediatri Vol 15, No 6 (2014)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.763 KB) | DOI: 10.14238/sp15.6.2014.353-60

Abstract

Latar belakang. Insiden enterokolitis nekrotikans (necrotizing enterocolitis,NEC) sekitar 1 per 1000 kelahiran hidup, dan 90% terjadi pada neonatus kurang bulan (NKB). Patofisiologi NEC belum jelas, salah satu penyebabnya diduga akibat kolonisasi mikroflora yang abnormal. Faktor risiko yang dapat memengaruhi kolonisasi mikroflora saluran cerna, yaitu cara persalinan, lama pemakaian antibiotik, dan tipe nutrisi.Tujuan. Mengetahui proporsi mikroflora pada NKB dengan dan tanpa NEC serta faktor risiko yang memengaruhi kolonisasi mikroflora saluran cerna NKB dengan NEC.Metode. Penelitian potong lintang dilakukan pada NKB dengan NEC derajat II selama periode Maret-Oktober 2012. Dilakukan pemeriksaan tinja dengan quantitative realtime PCR untuk mendeteksi kolonisasi mikroflora B. lactis, L. acidophilus, Bifidobacterium sp., Lactobacillus sp., E. coli, C. difficile, dan K. pneumoniae.Hasil. Tigapuluh subjek NKB dengan NEC dan 10 subjek NKB tanpa NEC diikutsertakan dalam penelitian. Pada subjek NEC, K. pneumoniae terdeteksi dengan median proporsi 15,2%, Bifidobacterium sp. 13,4%, E. coli 1,0%, Lactobacillus sp. 0,1%, B. lactis 0,0%, C. difficile 0,0%, dan L. acidophilus 0,00% (0,0-1,8%). Pada subjek tanpa NEC, Bifidobacterium sp. terdeteksi dengan proporsi 29,5%, K. pneumoniae 0,9%, E. coli 0,3%, Lactobacillus sp. 2,3%, B. lactis 0,0%, C. difficile 0,0%, sedang L. acidophilus tidak terdeteksi. Tidak ditemukan perbedaan proporsi ketujuh mikroflora yang bermakna secara statistik pada NKB dengan NEC berdasarkan cara persalinan, lama mendapat antibiotik, dan tipe nutrisi (p>0,05).Kesimpulan. K.pneumoniae memiliki proporsi terbesar pada subjek NEC, sedangkan Bifidobacterium sp. pada subjek tanpa NEC. Cara persalinan, lama pemakaian antibiotik, dan tipe nutrisi tidak memengaruhi proporsi kolonisasi mikroflora saluran cerna subjek NEC.
Pemantauan pH Esofagus pada Bayi Tidak Mempengaruhi Aktivitas dan Pola Makan, Namun Mengkhawatirkan Persepsi Orangtua Badriul Hegar; Setia Budi; Muzal Kadim; Agus Firmansyah
Sari Pediatri Vol 8, No 4 (2007)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp8.4.2007.305-9

Abstract

Latar belakang. Pemantauan pH esofagus (pH-metri) merupakan pemeriksaan bakuuntuk mendiagnosis refluks gastroesofagus (RGE) pada bayi. Hasil pH-metri dipengaruhioleh pola makan dan aktivitas bayi, sedangkan pengaruh prosedur pH-metri itu sendiriterhadap pola makan dan aktivitas bayi belum banyak dilaporkan.Tujuan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah prosedur pH-metrimempengaruhi pola makan dan aktivitas sehari-hari serta bagaimana persepsi orangtuaterhadap prosedur pH-metri.Metoda. Tiga puluh bayi berumur 6-12 bulan dilakukan pH-metri. Orangtua diberikuesioner berisi pertanyaan yang berhubungan dengan pola makan dan aktivitas anakselama pemantauan berlangsung serta persepsi orangtua terhadap prosedur pH-metri.Untuk analisis statistik, setiap variabel dikelompokkan menjadi ’tidak berubah’ dan’berubah’ untuk pola makan dan aktivitas anak, serta ’positif’ dan ’negatif’ untuk persepsiorangtua. Setiap variabel dianalisis berdasarkan hasil pH-metri (’normal’ atau abnormal’).Hasil. Perubahan pola makan terdapat pada 17% bayi sedangkan perubahan aktivitaspada 20% bayi. Kedua hasil tersebut tidak berbeda baik pada hasil pH-metri normalmaupun hasil pH-metri abnormal. Dua puluh tujuh persen orangtua mempunyai persepsipositif terhadap prosedur pH-metri.Kesimpulan. Prosedur pH-metri tidak menyebabkan perubahan pola makan danaktivitas bayi, walaupun demikian hanya sekitar 27% orangtua yang menganggapprosedur pH-metri sebagai prosedur yang tidak mengkhawatirkan.
Manfaat Terapi Pijat pada Konstipasi Kronis Anak Muzal Kadim; Bernie Endyarni
Sari Pediatri Vol 12, No 5 (2011)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp12.5.2011.342-6

Abstract

Latar belakang. Konstipasi sering ditemukan pada anak dan menimbulkan masalah sosial maupun psikologi.Data menunjukkan 95% kasus konstipasi anak merupakan konstipasi fungsional. Penelitian memperlihatkandampak yang baik dari terapi pijat yang dihubungkan dengan berbagai kondisi dan penyakit pada anak.Tujuan. Melihat implikasi klinis terapi pijat terhadap pasien konstipasi kronis pada anak.Metode. Penelitian prospektif intervensional dilakukan dengan randomisasi dan menggunakan kontrol,terhadap kasus konstipasi berusia 2-14 tahun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Kesehatan AnakRSUPN Cipto Mangunkusumo sejak bulan Februari hingga Juni 2006.Hasil. Jumlah subyek penelitian 16 orang terdiri dari 7/16 laki-laki dan 9/16 perempuan. Rerata umur subyek4,1 tahun (SB=+1,3). Frekuensi buang air besar (b.a.b) pasien konstipasi fungsional mengalami peningkatansetelah diberikan terapi pijat. Jumlah pasien yang mengalami kicipirit, dengan tinja keras berkurang lebihbanyak pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Jarak terlama antara b.a.b kelompokperlakuan mengalami penurunan yang lebih besar (6,7+3,2 hari menjadi 3,7+1,7 hari) dibandingkan kelompokkontrol (5,2+2,4 hari menjadi 3,3+1,0 hari). Lama waktu b.a.b kelompok perlakuan berkuranglebih banyak (21,2+18,2 menit menjadi 14,37+8,6 menit) dibandingkan kelompok kontrol (15,6+9,4 menitmenjadi 11,8+9,2 menit). Waktu yang dibutuhkan untuk terjadi perbaikan terhadap konstipasi kelompokperlakuan lebih singkat (29,2+24,9 hari) dibandingkan kelompok kontrol (32,2+20,8 hari).Kesimpulan. Terapi pijat dapat membantu mempercepat perbaikan konstipasi kronis fungsional
Efektivitas Granulocyte Colony Stimulating Factor untuk Anak dengan Acute on Chronic Liver Failure Fatima Safira Alatas; Kholisah Nasution; Muzal Kadim
Sari Pediatri Vol 23, No 2 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.2.2021.129-35

Abstract

Latar belakang. Gagal hati akut pada penyakit hati kronik (acute on chronic liver failure/ACLF) memiliki angka mortalitas tinggi dan saat ini terapi utamanya ialah transplantasi hati. Terapi dengan granulocyte colony stimulating factor (GCSF) bermanfaat bagi perbaikan fungsi hati dan mengurangi angka kematian yang cepat pada dewasa dengan ACLF.Tujuan. Melakukan telaah kritis efektivitas GCSF pada pasien anak dengan ACLF untuk memperbaiki fungsi hati.Metode. Penelusuran literatur melalui database Pubmed/Medline, Cochrane, Google Scholar, serta Paediatrica Indonesiana, dan Sari Pediatri 29 Juni 2020.Hasil. Terdapat satu studi acak yang sahih dengan subjek penelitian anak yang menunjukkan perbedaan skor Child-Pugh dan Pediatric End-stage Liver Disease (PELD) di hari ke-14 pemberian injeksi GCSF, tetapi tidak ada perbedaan skor di hari ke-30 dan 60. Skor PELD pada penelitian dipakai untuk anak usia kurang dari 12 tahun, sementara untuk anak lebih besar seperti pada kasus seharusnya memakai skor Model for End-stage Liver Disease (MELD) yang ditunjukkan studi pada kelompok dewasa.Kesimpulan. Terapi GCSF subkutan pada pasien anak dengan ACLF berpotensi efektif memperbaiki fungsi hati yang dinilai dengan skor Child-Pugh dan MELD atau PELD. Untuk dapat menjaga efektifitas terapi lebih lama, dapat dipertimbangkan untuk memperpanjang durasi pemberian GCSF dan memberikannya lebih dini.
Efektivitas Pemberian Vankomisin Oral Terhadap Kolitis Infektif pada Anak Jeshika Febi Kusumawati; Muzal Kadim
Sari Pediatri Vol 23, No 1 (2021)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp23.1.2021.57-66

Abstract

Latar belakang. Kolitis bermanifestasi sebagai diare kronik dan pada anak perlu diwaspadai karena memiliki komplikasi gangguan tumbuh kembang dan kematian. Sepuluh hingga dua puluh persen kasus diare infeksi akibat perawatan di rumah sakit disebabkan oleh Clostridium difficile. Metronidazol dan vankomisin oral masih menjadi terapi obat lini pertama untuk infeksi Clostridium difficile. Pada pasien diare berat, studi menunjukkan vankomisin oral menjadi pilihan utama dibandingkan metronidazole.Tujuan. Mengetahui efektifitas pemberian vankomisin oral terhadap metronidazol oral dalam menyembuhkan kolitis infektif kronik pada anak.Metode. Pencarian literatur melalui Pubmed dan Cochrane pada bulan Juli 2019 dengan kata kunci “children OR pediatric” AND “infective colitis OR Clostridium difficile” AND “oral vancomycin” AND “ oral metronidazole”.Hasil. Penelusuran artikel pada makalah ini menemukan dua artikel yang relevan terhadap pertanyaan klinis. Igarashi dkk. merupakan meta analisis terhadap lima uji klinis acak dengan total 1101 pasien dan dipublikasikan pada tahun 2018. Artikel yang kedua adalah studi pilot prospektif observatif dari Antoon dkk pada 8 subyek anak berusia 8-17 tahun pada tahun 2016.Kesimpulan. Vankomisin oral disarankan untuk digunakan dalam kolitis infektif berat. Untuk kasus kolitis infektif yang ringan atau sedang, data menunjukkan hasil yang seimbang untuk vankomisin dan metronidazol. Berdasarkan uji observasional, vankomisin oral tidak diabsorbsi dalam darah pada anak.
Retardasi Mental Titi Sunarwati Sularyo; Muzal Kadim
Sari Pediatri Vol 2, No 3 (2000)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp2.3.2000.170-7

Abstract

Retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara bermaknadan secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi selamamasa perkembangan. Klasifikasi retardasi mental adalah mild retardation, moderateretardation, severe retardation dan profound retardation.Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari pranatal, perinatal dan postnatal.Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000 macam penyebabterjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat dicegah. Ditinjau daripenyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial.Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas uji intelegensia saja, melainkanjuga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah, pemeriksaanfisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang.Tata laksana retardasi mental mencakup tatalaksana medis, penempatan di panti khusus,psikoterapi, konseling, dan pendidikan khusus. Pencegahan retardasi mental dapat primer(mencegah timbulnya retardasi mental), atau sekunder (mengurangi manifestasi klinisretardasi mental).
Derajat Kerusakan Mukosa Esofagus pada Anak dengan Penyakit Refluks Gastroesofagus Berlian Hasibuan; Badriul Hegar; Muzal Kadim
Sari Pediatri Vol 14, No 1 (2012)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/sp14.1.2012.19-23

Abstract

Latar belakang. Refluks gastroesofagus (RGE) yang berlangsung lama, baik durasi maupun frekuensi dapat menyebabkan berbagai derajat kerusakan mukosa esofagus atau esofagitis. Esofagitis atau penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) yang tidak segera ditangani dapat mempengaruhi kualitas hidup anak. Oleh karena itu pembuktian kerusakan mukosa esofagus pada setiap anak yang secara klinis dicurigai mengalami esofagitis menjadi amat penting. Tujuan. Menilai derajat kerusakan mukosa esofagus atau esofagitis pada anak yang secara klinis memperlihatkan gejala PRGE.Metode. Penelitian deskriptif yang dilakukan secara retrospektif terhadap data hasil pemeriksaan endoskopi dari pasien dengan gejala klinis PRGE, dilakukan pada 1 Januari sampai 31 Desember 2009, di Divisi Gastrohepatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM. Derajat kerusakan mukosa esofagus ditentukan berdasarkan kriteria Los Angeles.Hasil. Di antara 58 pasien dengan gejala klinis PRGE yang dilakukan endoskopi, didapatkan 51 pasien (87,9%) mengalami kerusakan mukosa esofagus (esofagitis), yang mencakup 21,6% esofagitis derajat A, 33,3% esofagitis derajat B, 25,5% esofagitis derajat C, dan 19,8% esofagitis derajat D. Tujuh pasien (12,1%) tidak ditemukan kerusakan mukosa esofagus. Gejala klinis terbanyak adalah mual dan muntah pada 25pasien (43,1%), diikuti nyeri perut berulang daerah ulu hati dan regurgitasi, masing-masing pada 20 pasien (34,5%). Kesimpulan.Kerusakan mukosa esofagus akibat refluks gastroesofagus pada anak merupakan keadaan yang perlu diwaspadai pada setiap anak dengan gejala klinis regurgitasi dengan volume dan frekuensi berlebihan, serta gejala klinis PRGE.
Co-Authors Agus Firmansyah Agus Firmansyah Agus Firmansyah Agus Firmansyah Agus Firmansyah Agus Firmansyah Agus Firmansyah Amrina Rasyada Andini Striratnaputri Anjar Setiani Aryono Hendarto Astuti Giantiti Aswitha Boediarso Aswitha Boediharso Aswitha Boediharso Aswitha D Boediarso Badriul Hegar Badriul Hegar Badriul Hegar Badriul Hegar Badriul Hegar Badriul Hegar Badriul Hegar Badriul Hegar Bambang Madiyono Bambang Supriyatno Berlian Hasibuan Bernie Endyarni Medise Bertri Maulidya Masita Chozie, Novie A. Cindy Gisella Zahrany Deddy S Putra Deddy S Putra Evita Bermansyah Ifran Ezy Barnita Farahdina Shahnaz Fatima Safira Alatas, Fatima Safira Fatima Safra Alatas Handayani, Dyah Suci Hartono Gunardi Haryanti F. Wulandari Hasri Salwan Hikari Ambara Sjakti, Hikari Ambara Himawan Aulia Rahman I Gusti Ngurah Sanjaya Putra Idha Yulandari Idham Amir Irawan Mangunatmadja Jennie Dianita Sutantio Jeshika Febi Kusumawati Kholisah Nasution Laila, Dewi S. Lily Rundjan Lukito Ongko Mardjanis Said Mardjanis Said Muhammad Indera Ramadani Mulyadi M. Djer Najib Advani Nina Dwi Putri Nur Hayati Partini P. Trihono Perdana, Andri Permatasari, Ruth K. Pramita G D Pramita GD Pustika Amalia Ratno Juniarto Marulitua Sidauruk Setia Budi Setyo Handryastuti Simanjuntak, Sumardi F. Soedjatmiko Soedjatmiko Soepardi Soedibyo Sri Kesuma Astuti Sudung Oloan Pardede Sulaiman Yusuf Syafruddin Haris Tantri, Aida Rosita Taralan Tambunan Teny Tjitra Sari, Teny Tjitra Titi Sunarwati Sularyo Titis Prawitasari, Titis Vera Irawani Wahyu Ika Wardhani William Cheng Yati Soenarto Yuli Kumalawati Yvan Vandenplas