The development of Islamic legal-political thought in Indonesia has been focused on post-independence Islamic thinkers, leaving a significant academic gap in exploring pre-independence intellectual figures such as Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. His perspective on socialism—distinct from Western Marxist materialism—provides an early model of Islamic socialism rooted in maqāṣid syarī‘ah principles. Tjokro also introduced three aphorisms as a private effort to encourage Muslim be perfect, namely: setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat. This article aims to critically revisit Tjokroaminoto’s thoughts on socialism through a legal-historical method, focusing on his seminal work Islam dan Sosialism, supported by Tafsir Program dan Tandhim Syarikat Islam and Reglement Ummat Islam. Primary sources are analyzed using historical, conceptual, and comparative approaches framed within maqāṣid syarī‘ah theory. The findings reveal that Tjokroaminoto conceptualized socialism as inherently Islamic, emphasizing justice, equality, fraternity, and moral responsibility—not through class struggle but through collective ethical obligation grounded in tawḥīd and communal welfare. He redefined socialism as spiritual-ethical governance aligned with prophetic values, such as zakat, ukhuwah (brotherhood), and strategic intelligence (siyasah). These views form what may be considered a proto-model of Islamic governance in response to colonial capitalism. The study implies that contemporary Islamic legal-political thought in Indonesia must not neglect foundational nationalist-Islamic ideas that anticipated maqāṣid-based governance and social justice long before postcolonial discourses. Perkembangan pemikiran hukum-politik Islam di Indonesia seringkali berfokus pada para pemikir Islam pasca-kemerdekaan, sehingga menyisakan kesenjangan akademis yang signifikan dalam mengeksplorasi tokoh-tokoh intelektual pra-kemerdekaan seperti Haji Oemar Said (H.O.S) Tjokroaminoto. Perspektifnya tentang sosialisme—yang berbeda dari materialisme Marxis Barat—memberikan model awal sosialisme Islam yang berakar pada prinsip-prinsip maqāṣid syarī‘ah. Tjokro juga memperkenalkan tiga kata mutiara sebagai upaya pribadi untuk mendorong umat Islam menjadi sempurna, yaitu: ilmu setinggi-tinggi, semurni-murni tauhid, dan sepintar-pintar siasat. Artikel ini bertujuan untuk meninjau kembali secara kritis pemikiran Tjokroaminoto tentang sosialisme melalui metode sejarah hukum, dengan fokus pada karya pemikirannya, Islam dan Sosialisme, yang didukung oleh Tafsir Program dan Tandhim Syarikat Islam dan Reglement Ummat Islam. Sumber-sumber primer dianalisis menggunakan pendekatan historis, konseptual, dan komparatif yang dibingkai dalam teori maqāṣid syarī‘ah. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa Tjokroaminoto mengonseptualisasikan sosialisme sebagai sesuatu yang inheren Islami, menekankan keadilan, kesetaraan, persaudaraan, dan tanggung jawab moral—bukan melalui perjuangan kelas, melainkan melalui kewajiban etis kolektif yang berlandaskan tauhid dan kesejahteraan komunal. Ia mendefinisikan ulang sosialisme sebagai tata kelola spiritual-etika yang selaras dengan nilai-nilai profetik, seperti zakat, ukhuwah (persaudaraan), dan kecerdasan strategis (siyasah). Pandangan-pandangan ini membentuk apa yang dapat dianggap sebagai proto-model tata kelola Islam dalam menanggapi kapitalisme kolonial. Studi ini menyiratkan bahwa pemikiran hukum-politik Islam kontemporer di Indonesia tidak boleh mengabaikan gagasan-gagasan nasionalis-Islam fundamentalis yang mengantisipasi tata kelola berbasis maqāṣid dan keadilan sosial jauh sebelum wacana pascakolonial muncul.