Articles
Emansipasi Sebagai Tata Bahasa Telaah Filsafat Moral Axel Honneth tentang Multikulturalisme
Alexander Seran
Arete Vol 2, No 2 (2013)
Publisher : UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (287.21 KB)
This article is concerned to show Axel Honneth’s philosophical approach that explains the struggle for the establishment of relations of mutual recognition, as a precondition for self-realization. Like G.W.F.Hegel, G.H. Mead, and many feminist proponents, Honneth stresses the importance of social relationships to the development and maintenance of a person’s identity. Honneth develops a framework for interpreting social struggles based on common values. The moral philosophy of Honneth can be applied in interpreting Pancasila as universal principles that must be reflected in positive-lawmaking. Therefore the constitution and rules or regulations that are based on the constitution can be amended to meet society’s needs and demands.
Masa Depan Filsafat dalam Era Positivisme Logis
Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 19 No 01 (2014): Respons: Jurnal Etika Sosial
Publisher : Center for Philosophy and Ethics
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25170/respons.v19i01.428
Apabila filsafat ingin dipertahankan sebagai ilmu pengetahuan maka pembicaraan tentang filsafat harus bertolak dari pengalaman dan dipertimbangkan secara kritis melalui pertimbangan yang logis. Dengan kata lain, sikap dogmatis tidak dapat dipertahankan dalam mengklaim ilmu pengetahuan pada filsafat di era ilmu pengetahuan empiris. Kendati demikian, filsafat tidak sama dengan ilmu pengetahuan karena tugas filsafat bukan hanya mengkonfirmasi fakta melainkan mempertanyakan secara kritis dan reflektif apa yang diketahui, bagaimana bertindak berdasarkan pengetahuan, dan harapan mengenai kehidupan seperti apa yang diharapkan dari pengetahuan yang benar dan tindakan yang sesuai dengan kebenaran pengetahuan tersebut. Positivisme mematok kebenaran pada fakta sebaliknya filsafat melampaui klaim kebenaran positivistis itu dengan menekankan sikap kritis bahwa fakta tidak berbicara tentang dirinya sendiri kecuali diartikan. Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai karena pengetahuan apa pun adalah ungkapan sebuah nilai.
Krisis Pengamalan Pancasila dan Perlunya Penguatan Ruang Publik Melalui Etika Komunikasi: Sebuah Pendekatan Etika Keutamaan
Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 22 No 02 (2017): Respons: Jurnal Etika Sosial
Publisher : Center for Philosophy and Ethics
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25170/respons.v22i02.454
ABSTRAK: Krisis pengamalan Pancasila dalam berbagai pemberitaan media menimbulkan salah persepsi yang cenderung menyalahkan media sebagai biang kerok. Sebaliknya pengamat dan analis sosial atas peran media menilai penguatan ruang publik politik untuk demokrasi tidak tanpa media. Menggunakan media dalam mempromosikan Pancasila adalah suatu keharusan untuk membangun citra positif tentang Pancasila representasi moralitas budi luhur yang menyatakan kehormatan dan kewibawaan sebagai bangsa berbudaya. Fungsi media sebagai sarana pencitraan harus digunakan secara bertanggung jawab untuk memproduksi insight mengenai pendidikan moral yang oleh Jean Baudrillard dinamakan sign value dari Pancasila. Pancasila yang sejatinya adalah prestise moralitas budi luhur harus digelorakan citra melalui media yang menyatakan kehormatan dan kewibawaan sebagai dasar hukum dan pandangan dunia masyarakat majemuk. Oleh sebab itu, pemeliharaannya sebagai sign value tidak tanpa penggunaan media.KATA KUNCI: Krisis, media, Pancasila, dasar hukum, moralitas, dan dunia kehidupan
Demokrasi, Kedaulatan Rakyat, dan Pemilu Refleksi Atas Hubungan Antara Teori Dan Praksis
Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 21 No 01 (2016): Respons: Jurnal Etika Sosial
Publisher : Center for Philosophy and Ethics
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25170/respons.v21i01.524
Demokrasi adalah sistem kekuasaan yang didasarkan pada persetujuanrakyat melalui pemilihan umum. Di dalam sistem demokrasi rakyatlah yang berkuasa:pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem ini dinilai lebihmanusiawi daripada berbagai sistem pemerintahan lain seperti tirani, monarki, danoligarki Indonesia juga menganut sistem demokrasi, tercermin amat jelas dalamUUD 1945 sebagai hukum dasar (konstitusi) yang dijiwai oleh Pancasila sebagaidasar hukum. Pemimpin pemerintahan dan para wakil rakyat serta perwakilan daerahdipilih melalui pemilihan umum. Tulisan ini menjelaskan bahwa dewasa ini ancamanterhadap demokrasi adalah politik uang. Dengan uang suara rakyat dapat dibelisehingga besaran perolehan suara tidak berbanding lurus dengan besaran persetujuanrakyat. Pencideraan demokrasi melalui jual beli suara menjadikan sistem demokrasipolitik dagang sapi.
Kebersamaan Hidup: yang Adil dan Berlanjut
Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 21 No 01 (2016): Respons: Jurnal Etika Sosial
Publisher : Center for Philosophy and Ethics
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25170/respons.v21i01.528
Krisis lingkungan hidupterasa semakin kuat pengaruhnyaterhadap penurunan kualitashidup seluruh ekosistem. Krisistersebut dipicu oleh keinginanmanusia menguasai alam semesta dan menjadikannya sumber yang memberinyakemakmuran secara ekonomis. Keinginan berkuasanya manusia atasalam itu mendorong manusia melahirkan pengetahuan baru dan merekayasateknik-teknik baru berdasarkan pengetahuannya itu untuk menundukkanalam kepada kehendaknya. Pemahaman manusia atas ilmu pengetahuan danpengembangannya melalui teknologi yang diciptakan memahirkan manusiamempraktikkan kekuasaannya atas alam.
Dua Versi Satu "Fakta" Sejarah? Hermeneutika Sebagai Acuan Kritik Ideologi Sejarah Orde Baru
Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 20 No 02 (2015): Respons: Jurnal Etika Sosial
Publisher : Center for Philosophy and Ethics
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25170/respons.v20i02.547
Tampaknya pertanyaan tentang Orde Baru tidak lagi fokus pada kapandimulai tetapi apa dan mengapa Orde Baru itu bisa ”berhasil” mengakhiri sebuahrezim (Orde Lama) yang sejak awal, sehari setelah Proklamasi dikumndangkan, yakni18 Agustus 1945, ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)menjadi implementor nilai-nilai dasar dan ideologi negara dalam membangun sistemdemokrasi yang berkepribadian Indonesia. Dengan demikian pendidikan sejarahnasional tidak secara parsial dan deterministik mematok sebuah momen seakan-akanitulah awal mula sejarah padahal momen itu lebih mendeskripsikan kepentinganpenguasa ketimbang apa yang diklaim jati diri bangsa yang seharusnya dilaksanakansecara murni dan konsekuen (bukan terutama ”kemarin” tetapi) hic et nunc (sekarangdan di sini). Filsafat tentang sejarah terletak pada pemikiran di balik apa yang nyataterjadi. The question about New Order is longer focused on when it was happenedrather on why the New Order regime led by Suharto was successfully put to end theold regime of Sukarno? A philosophy of history tends to seek the insight of an eventrather than what has been experienced as a matter of fact. Therefore the reading ofnational history cannot be confined to the 1965 killing of generals as if it was at allthe whole story. If the writing of history was designed to meet the interest of who isactually in power then the truth about history is missing.Hermeneutic interpretationmay help to enlarge reflection to keep the truth reveals itself a long the memory thatis continuously made present what has to be done and how to prevent society to falltwice in the same hole.
Jalan Panjang Nan Sunyi
Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 20 No 02 (2015): Respons: Jurnal Etika Sosial
Publisher : Center for Philosophy and Ethics
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25170/respons.v20i02.551
Berbicara mengenai narkotika dan obat berbahaya(narkoba) atau narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya(napza), pikiran dan perhatian masyarakat masih berfokus pada masalahbagaimana menghukum orang yang perilakunya merusak tata tertib (tatib)kehidupan bermasyarakat. Peredaran narkoba/ napza secara bebas dilarangsecara hukum. Oleh sebab itu, perdagangan narkoba/ napza secara bebasmerupakan perbuatan ilegal dan para pelakunya seperti produsen, pengedar, danpengguna diganjar hukuman atas perbuatan mereka. Tentu saja hal ini pentingmenjadi perhatian negara karena penggunaan narkoba/ napza secara bebasmerusak mutu kehidupan manusia sebagai warga negara dan kualitas hidupwarga negara yang rendah akan mengakibatkan beban sosial bagi negara danmasyarakat. Tentang kejahatan perdagangan narkoba dan ancaman hukuman bagi para pelaku kiranya tidak dapat ditolak oleh siapa pun yang bernalar sehatbaik dari segi hukum maupun etika. Akan tetapi memperlakukan secara samasemua orang yang terlibat di dalam jaringan perdagangan “gelap” itu menjaditidak adil dan secara etis dipertanyakan terutama para pecandu yang adalahkorban kendati pilihan awal untuk menggunakan narkoba/ napza adalah salah.
Kritik Atas Ekonomi Pasar
Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 15 No 02 (2010): Respons: Jurnal Etika Sosial
Publisher : Center for Philosophy and Ethics
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.25170/respons.v15i02.577
Tulisan ini merupakan kajian atas pemikiran Karl Polanyi dalam TheGreat Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time berhadapandengan pemikiran Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the PublicSphere: An Inquiry Into Category of Bourgeois Society. Polanyi menganalisis sejarahmuncul dan runtuhnya masyarakat pasar di abad ke sembilan belas, sementaraHabermasmenganalisis sejarah masyarakat borjuis Eropa di abad ketujuh belas dandelapanbelas yang merupakan model dari masyarakat kapitalis modern. Keduanyasampai pada kesimpulan yang sama bahwa warga negara yang terdeliberasi memungkinkanterbentuknya opini publik yang rasional yang secara kritis dapat mengawalsistem politik demi mencapai integrasi sosial. This article examines the main theory of Karl Polanyi’s The Great Transformation:The Political and Economic Origins of Our Time vis-à-vis Jürgen Habermas’thought in The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry Into Categoryof Bourgeois Society. Polanyi analyzes the history of the rise and fall of nineteenthcentury market society whereas Habermas analyzes the history of the late seventeenthandeighteenth century of European Bourgeois public sphere as the model of re-coupling theeconomy and society in modern capitalist states. Both Polanyi and Habermas come to aconclusion that informal citizen deliberation enabling the formation of rational publicopinion that guides critically political system for the sake of social integration.
Masa Depan Filsafat dalam Era Positivisme Logis
Alexander Seran
Respons: Jurnal Etika Sosial Vol 19, No 01 (2014): ResponS Juli 2014
Publisher : Respons: Jurnal Etika Sosial
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (294.625 KB)
Apabila filsafat ingin dipertahankan sebagai ilmu pengetahuan maka pembicaraan tentang filsafat harus bertolak dari pengalaman dan dipertimbangkan secara kritis melalui pertimbangan yang logis. Dengan kata lain, sikap dogmatis tidak dapat dipertahankan dalam mengklaim ilmu pengetahuan pada filsafat di era ilmu pengetahuan empiris. Kendati demikian, filsafat tidak sama dengan ilmu pengetahuan karena tugas filsafat bukan hanya mengkonfirmasi fakta melainkan mempertanyakan secara kritis dan reflektif apa yang diketahui, bagaimana bertindak berdasarkan pengetahuan, dan harapan mengenai kehidupan seperti apa yang diharapkan dari pengetahuan yang benar dan tindakan yang sesuai dengan kebenaran pengetahuan tersebut. Positivisme mematok kebenaran pada fakta sebaliknya filsafat melampaui klaim kebenaran positivistis itu dengan menekankan sikap kritis bahwa fakta tidak berbicara tentang dirinya sendiri kecuali diartikan. Tidak ada pengetahuan yang bebas nilai karena pengetahuan apa pun adalah ungkapan sebuah nilai.
TEORI KRITIS DAN DIALEKTIKA PENCERAHAN MAX HORKHEIMER
Anna Kurniawati;
Alexander Seran;
Ridzki Rinanto Sigit
JISIP : Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol 10, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Tribhuwana Tunggadewi
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (237.669 KB)
|
DOI: 10.33366/jisip.v10i2.2281
This research wants to know the thoughts of one of the critical figures of the first generation of the Frankfurt School, namely Max Horkheimer. This study uses a qualitative method with a literature review study. Based on the literature review study, there are several works of Max Horkheimer’s thought. However, this research intends to discuss are Max Horkheimer’s two prominent thoughts, namely the Dialectic of Enlightenment and Critical Theory. Dialectic of Enlightenment is a book by Adorno and Horkheimer published in 1947 with the title Dialectic der Aufklarung which contains criticism of modern society. This book develops the claim that the systematic search for reason and enlightened freedom has a long-term ironic effect in producing new forms of rationality and oppression. The various essays collected in “Critical Theory” contain not only an acute rejection of positivism but also a denial of the scientific tendencies of orthodox Marxism. According to Horkheimer, the task of critical theory is to penetrate the world of matter and show the basic relationship between persons.Keyword: critical theory, enlightenment dialectic, frankfurt schoolPenelitian ini ingin mengetahui pemikiran dari salah seorang tokoh kritis generasi pertama dari Mazhab Frankfurt, yaitu Max Horkheimer. Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan studi literatur review. Berdasarkan studi literatur review, terdapat beberapa hasil karya pemikiran Max Hoekheimer. Namun, yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah dua pemikiran Max Horkheimer yang menonjol, yaitu: Dialectic of Enlightenment (Dialektika Pencerahan) dan Teori Kritis. Dialectic of Enlightenment merupakan buku karangan Adorno dan Horkheimer yang terbit pada tahun 1947 dengan judul Dialektik der Aufklarung yang berisi kritik terhadap mayarakat modern. Buku ini mengembangkan klaim bahwa pencarian sistematik dari akal budi dan kebebasan yang tercerahkan mempunyai pengaruh ironis jangka panjang dalam melahirkan bentuk-bentuk rasionalitas dan penindasan baru. Berbagai esai yang dikumpulkan dalam “Critical Theory” tidak hanya berisi penolakan akut terhadap positivisme, namun juga berisi penyangkalan terhadap tendensi keilmuan Marxisme ortodoks. Menurut Horkheimer, tugas teori kritis adalah untuk menembus dunia benda dan menunjukkan hubungan dasariah antar pribadi.Kata Kunci: dialektika pencerahan, mazhab frankfurt, teori kritis