Claim Missing Document
Check
Articles

Found 32 Documents
Search

Antropologi Hukum sebagai Pendekatan dalam Penelitian Hukum Islam Sodiqin, Ali
Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 7 No 1 (2013)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2382.429 KB) | DOI: 10.24090/mnh.v7i1.581

Abstract

Penelitian tentang hukum Islam, baik yang normatif maupun yang empiris belum sepenuhnya memanfaatkan ilmu-ilmu sosial humaniora. Hukum Islam, dalam realitasnya memiliki dimensi historis dan antropologis sejak diwahyukannya, sehingga penggunaan teori-teori sejarah maupun antropologi dapat menjadi pisau analisis dalam penelitian hukum Islam. Kerangka teoritik dalam penelitian hukum Islam dengan pendekatan antropologi hukum dapat dilakukan dengan mengintegrasikan teori-teori dalam ulum al-Qur’an, ushul fiqh, dan teori-teori ilmu sosial, seperti sejarah, antropologi, maupun sosiologi. Ruang lingkup kajiannya mencakup dua hal, yaitu penetapan hukum dalam al-Qur’an dan akulturasi hukum Islam dengan budaya lokal. Hukum-hukum dalam al-Qur’an secara historis diturunkan secara gradual dengan mempertimbangkan situasi sosiologis masyarakat penerimanya. Hal ini mengindikasikan adanya proses adopsi, adaptasi dan integrasi antara wahyu al-Qur’an dengan kebiasaan atau tradisi lokal Arab pada masanya. Oleh karena itu, penting untuk memetakan antara nilai-nilai universal dengan nilai-nilai lokal yang terkandung dalam hukum Islam. Pemetaan ini bermanfaat untuk melihat sisi mana yang tidak bisa diubah dan sisi mana yang dapat diadaptasikan dengan perkembangan peradaban manusia. Dengan demikian pendekatan antropologi hukum memiliki kontribusi untuk menjelaskan adaptabilitas hukum Islam dalam hukum modern.
Kontinuitas dan Perubahan dalam Penetapan Hukum Hudud: Dari Nass hingga Teks Fikih Sodiqin, Ali
Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 10 No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3983.039 KB) | DOI: 10.24090/mnh.v10i2.933

Abstract

Hukum hudud adalah bagian dari hukum pidana Islam selain hukum qisas dan ta’zir. Secara historis dan antropologis keberlakuan hukum ini memiliki kontinuitas dengan tradisi hukum sebelumnya. Al-Quran merespon tradisi hukum ini melalui dua model, yaitu tahrim (destruktif) dan taghyir (rekonstruktif). Model tahrim terjadi pada kasus penetapan hukum khamr, sedangkan model taghyir terjadi pada hukum pencurian, zina, dan qaz\af. Al-Qur’an merekonstruksi hukum-hukum tersebut dari masa sebelumnya, sehingga keberlakuannya didasarkan pada worldview al-Qur’an. Nilai filosofi yang terkandung dalam hukum hudud adalah keadilan, tanggung jawab, moralitas, kesetaraan. Semua nilai-nilai ini menjadi dasar pemberlakuan hukum, sehingga model penegakan hukumnya adalah reformatif-restoratif. Konstruksi pemikiran para ulama dalam penetapan hukum hudud dapat dibedakan dalam dua bentuk, tekstualis dan kontekstualis. Model tekstualis terutama menyangkut penetapan bentuk hukuman bagi pelanggar hudud. Para ulama menetapkan hukuman tersebut seperti apa adanya yang tertulis di dalam nass. Model kontekstualis terdapat pada rincian persyaratan dalam penerapan hukum hudud. Ulama merumuskan syarat rukun dan berbagai prosedur yang diperlukan dalam rangka penerapan hukum hudud melalui pengadilan. Dalam konteks ini para ulama mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dalam hal penegakan hukum. Keragaman pendapat para ulama disebabkan adanya keragaman dalil dan fatwa yang dijadikan pegangan, di samping juga penggunaan metodologi istinbat hukum dalam memahami nass tentang hudud.
HUKUM ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DI MASYARAKAT MUSLIM PATTANI THAILAND (Integrasi, Konflik dan Dinamikanya) sodiqin, ali
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 1 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (130.699 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i1.524

Abstract

The presence of Thai people in Pattani through annexation or conquest, from the Kingdom of Siam to Thailand have changed the socio-cultural Muslim community. Thai Buddhist nation perform a lot of cultural assimilation of Malay Muslim Pattani. The assimilation pursued through politics, education, culture, and law. Political stripes do with the ideology developed, namely "nation, king, religion" that subjecting all citizens into one nationalism. Education path is done through standardized education policy, namely the obligation to teach the language and history of Thai and Buddhist teachings. Cultural path had taken through migration north to south and the formation of "peaceful village". The last path is the law through legal intervention in the form of restrictions on the entry into force of Islamic law and the jurisdiction of Dato 'Yuthithams, the elimination of Islamic justice as consolidated by the civilian justice and law enforcement Thai civilians in Pattani. This assimilation project met with resistance from Pattani Muslim community, as it is considered as an attempt to deculturate Malay Muslim culture that identifies them. The aim of this resistance is to get autonomy in Pattani province to the desire to become an independent state.Abstrak Kehadiran bangsa Thai di Pattani melalui aneksasi atau penaklukan, mulai dari Kerajaan Siam hingga berganti menjadi Thailand, mengubah sosio-kultur masyarakat Muslim. Bangsa Thai yang beragama Budha banyak melakukan assimilasi terhadap kebudayaan Muslim Melayu Pattani. Assimilasi tersebut ditempuh melalui jalur politik, pendidikan, budaya, dan hukum. Jalur politik dilakukan dengan mengembangkan ideologi “nation, king, religion” yang menundukkan semua warga negara ke dalam satu nasionalisme. Jalur pendidikan dilakukan melalui kebijakan standarisasi pendidikan, yaitu kewajiban mengajarkan bahasa dan sejarah Thai serta ajaran Budha. Jalur budaya ditempuh melalui program migrasi penduduk utara ke selatan dan pembentukan “peaceful village”. Jalur terakhir adalah jalur hukum yang dilakukan melalui intervensi hukum berupa pembatasan berlakunya hukum Islam serta kewenangan Dato’ Yuthithams, penghapusan peradilan Islam karena disatukan dengan peradilan sipil dan pemberlakuan hukum sipil Thai di Pattani. Proyek assimilasi ini mendapatkan perlawanan dari masyarakat Muslim Pattani, karena dianggap sebagai upaya dekulturisasi kultur Melayu Muslim yang menjadi identitas mereka. Tujuan perlawanan ini adalah untuk mendapatkan otonomi di wilayah Pattani hingga keinginan untuk menjadi negara yang merdeka.
Legal, Moral, and Spiritual Dialectics in the Islamic Restorative Justice System Ali Sodiqin
AHKAM : Jurnal Ilmu Syariah Vol 21, No 2 (2021)
Publisher : Universitas Islam Negeri Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/ajis.v21i2.22675

Abstract

Islamic law is special and unique since it is from revelation. In restorative justice systems, Islam integrates legal, moral, and spiritual aspects in its enforcement. The integration of these three aspects is clear in the philosophy of law, legal construction, and the determination of legal actions and sanctions. The purpose of this study is to examine the integration of these three aspects in forming a restorative justice model through the classification of authority (ḥuqūq) in Islamic law. According to the law, the classification of God and human rights and the mixture of these two determines different models of restorative justice enforcement. In general, the law rules in God’s authority (ḥuqūq Allāh) and produces the enforcement of offender centered models of restorative justice through repentance (tawbat) and redemption (kaffārāt). Furthermore, it also rules under human authority (ḥuqūq al-’abd) and in a mixture of the two rights, producing a victim-centered model of restorative justice through compensation (diyah) and forgiveness. The two restorative justice models balance protection, access, and obligations in the inforcement of legal and social justice.   Abstrak: Hukum Islam memiliki karakter khusus yang membedakannya dengan sistem hukum yang lain. Dalam restorative justice system, Islam mengintegrasikan aspek legal, moral, dan spiritual dalam penegakkannya. Integrasi ketiga aspek tersebut terlihat dalam filosofi hukum, konstruksi hukum, penetapan tindakan dan sanksi hukum. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana integrasi ketiga aspek tersebut membentuk model keadilan restoratif, melalui pengklasifikasian otoritas (ḥuqūq) dalam hukum Islam. Dalam penetapan hukum, klasifikasi hak Tuhan, hak manusia, dan campuran antara hak Tuhan dan hak manusia menentukan perbedaan model penegakkan keadilan restoratif. Aturan hukum yang berada dalam otoritas Tuhan (ḥuqūq Allāh) menghasilkan model penegakan keadilan restoratif yang berpusat pada pelaku tindak pidana, melalui hukuman yang berupa taubat dan kaffārāt. Aturan hukum yang berada dalam otoritas manusia (ḥuqūq al-’abd) dan campuran otoritas Tuhan dengan otoritas manusia menghasilkan model keadilan restoratif yang berpusat pada korban, yaitu melalui penerapan hukum kompensasi (diyat) dan pemaafan terhadap pelaku. Kedua model keadilan restoratif ini bertujuan untuk memberikan keseimbangan perlindungan, akses, dan kewajiban dalam penegakan keadilan hukum dan keadilan sosial.
Science-based Ijtihad: religious and scientific dialectic on fatwas regarding congregational worships amid the covid-19 pandemic Ali Sodiqin
Ijtihad : Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan Vol 21, No 1 (2021)
Publisher : State Institute of Islamic Studies (IAIN) Salatiga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18326/ijtihad.v21i1.79-98

Abstract

The covid-19 pandemic has impacted religious practices, including Islamic practices. Islamic scholars have issued several fatwas which regulate how congregational worships should be practiced. For instance, a fatwa regulates that a worship which is supposed to be performed at a mosque collectively should be performed at home individually. The rapid spread of coronavirus becomes the primary reason for issuing this regulation. This study is a normative study which employs an usul fikih approach. The object of the study is the religious and scientific dialectic on fatwas regarding congregational worships amid the covid-19 pandemic. Data is collected by gathering fatwas issued by ulama councils around the world. The data is analyzed through a ta’lîly logic, that is a logical reasoning that is based on ‘illah (reason). This study is built upon the theory of istihsan bil maslahah, which refers to a theory about how Islamic laws can change depending on their benefits. This study presents three main findings. First, in issuing fatwas regarding the covid-19, ulama used scientific findings about the danger of coronavirus as ‘illah for changing the practice of congregational worships and employed as a lens to consider the benefit of a law. These ulama used the interrelationship model of interests (maslahah) in which preserving of soul (hifẓ an-nafs) was more important that preserving of faith (hifẓ ad-dîn). Second, the ulama methodologically combined religious method, which was based on interpretative approach, and scientific method, which was based on empirical approach. This integration of religious and scientific methods reflected doctrinal-philosophical aspect and legal-ethic aspect of the fatwas. Third, the fatwas indicated the use of functional interpretative approach towards scriptural texts, logic, and reality.
The interconnection of Maṣlaḥah in Traditional Market Management Policy during the Pandemic in the City of Yogyakarta Muzalifah Muzalifah; Kamsi Kamsi; Ali Sodiqin
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 55, No 1 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v55i1.1000

Abstract

Abstract: The COVID-19 pandemic has an impact on all aspects of community life. The central government stipulates rules for limiting community activities that have an impact on the community's economic decline. This condition becomes the basis for the Yogyakarta City Government in making anticipatory and adaptive policies in the management of traditional markets. The policy is oriented towards achieving two benefits at once, namely the protection of life and property. This article analyzes the policies of the Yogyakarta City Government in managing traditional markets during the pandemic and to what extent these policies can achieve social and economic protection for the community. The analysis of these problems uses the maqâşid al-sharîa approach with the interconnectivity theory of maşlaḥah. The results show that the Yogyakarta City government's policy places social protection (ḥifẓ an-nafs) and economic protection (ḥifẓ al-mâl) as the interests of the community that must be protected. The Yogyakarta City Government continues to implement the central government's instructions by limiting operating hours and the number of visitors to traditional markets, but at the same time reducing user fees and encouraging online shopping promotions. The protection of the two benefits is carried out interconnectively, so that the achievement of one benefit does not cause damage to the fulfillment of the other's needs. The Yogyakarta City Government places these two protections as primary needs that must be protected so as not to cause social and economic damage.Abstrak: Pandemi covid-19 berdampak pada semua aspek kehidupan masyarakat. Pemerintah pusat menetapkan aturan pembatasan kegiatan masyarakat yang berdampak pada menurunnya ekonomi masyarakat. Kondisi ini menjadi dasar bagi Pemerintah Kota Yogyakarta dalam membuat kebijakan yang antisipatif dan adaptif dalam pengelolaan pasar tradisional. Kebijakan tersebut berorientasi pada pencapaian dua kemaslahatan sekaligus, yaitu perlindungan jiwa dan harta. Artikel ini menganalisis bagaimana kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta dalam pengelolaan pasar tradisional pada masa pandemi dan sejauh mana kebijakan tersebut dapat mewujudkan perlindungan sosial dan ekonomi masyarakat. Analisis terhadap masalah tersebut menggunakan pendekatan maqâşid al-sharî’a dengan teori interkoneksitas maşlaḥah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta mendudukkan perlindungan sosial (ḥifẓ an-nafs) dan perlindungan ekonomi (ḥifẓ al-mâl) sebagai kepentingan masyarakat yang harus dilindungi. Pemerintah Kota Yogyakarta tetap menerapkan instruksi pemerintah pusat dengan membatasi jam operasional dan jumlah pengunjung pasar tradisional, namun pada saat yang sama memberikan pengurangan retribusi dan menggiatkan promosi belanja online. Perlindungan kedua kemaslahatan tersebut dilaksanakan secara interkonektif, sehingga pencapaian kemaslahatan yang satu tidak berdampak kerusakan pada pemenuhan kemaslahatan yang lain. Pemerintah Kota Yogyakarta menempatkan kedua perlindungan tersebut sebagai kebutuhan primer yang harus dilindungi sehingga tidak menimbulkan kerusakan sosial dan ekonomi. 
Antropologi Hukum sebagai Pendekatan dalam Penelitian Hukum Islam Ali Sodiqin
Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 7 No 1 (2013)
Publisher : Sharia Faculty of State Islamic University of Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2382.429 KB) | DOI: 10.24090/mnh.v7i1.581

Abstract

Penelitian tentang hukum Islam, baik yang normatif maupun yang empiris belum sepenuhnya memanfaatkan ilmu-ilmu sosial humaniora. Hukum Islam, dalam realitasnya memiliki dimensi historis dan antropologis sejak diwahyukannya, sehingga penggunaan teori-teori sejarah maupun antropologi dapat menjadi pisau analisis dalam penelitian hukum Islam. Kerangka teoritik dalam penelitian hukum Islam dengan pendekatan antropologi hukum dapat dilakukan dengan mengintegrasikan teori-teori dalam ulum al-Qur’an, ushul fiqh, dan teori-teori ilmu sosial, seperti sejarah, antropologi, maupun sosiologi. Ruang lingkup kajiannya mencakup dua hal, yaitu penetapan hukum dalam al-Qur’an dan akulturasi hukum Islam dengan budaya lokal. Hukum-hukum dalam al-Qur’an secara historis diturunkan secara gradual dengan mempertimbangkan situasi sosiologis masyarakat penerimanya. Hal ini mengindikasikan adanya proses adopsi, adaptasi dan integrasi antara wahyu al-Qur’an dengan kebiasaan atau tradisi lokal Arab pada masanya. Oleh karena itu, penting untuk memetakan antara nilai-nilai universal dengan nilai-nilai lokal yang terkandung dalam hukum Islam. Pemetaan ini bermanfaat untuk melihat sisi mana yang tidak bisa diubah dan sisi mana yang dapat diadaptasikan dengan perkembangan peradaban manusia. Dengan demikian pendekatan antropologi hukum memiliki kontribusi untuk menjelaskan adaptabilitas hukum Islam dalam hukum modern.
HUKUM ISLAM DAN BUDAYA LOKAL DI MASYARAKAT MUSLIM PATTANI THAILAND (Integrasi, Konflik dan Dinamikanya) ali sodiqin
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol 14 No 1 (2016): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (130.699 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v14i1.524

Abstract

The presence of Thai people in Pattani through annexation or conquest, from the Kingdom of Siam to Thailand have changed the socio-cultural Muslim community. Thai Buddhist nation perform a lot of cultural assimilation of Malay Muslim Pattani. The assimilation pursued through politics, education, culture, and law. Political stripes do with the ideology developed, namely "nation, king, religion" that subjecting all citizens into one nationalism. Education path is done through standardized education policy, namely the obligation to teach the language and history of Thai and Buddhist teachings. Cultural path had taken through migration north to south and the formation of "peaceful village". The last path is the law through legal intervention in the form of restrictions on the entry into force of Islamic law and the jurisdiction of Dato 'Yuthithams, the elimination of Islamic justice as consolidated by the civilian justice and law enforcement Thai civilians in Pattani. This assimilation project met with resistance from Pattani Muslim community, as it is considered as an attempt to deculturate Malay Muslim culture that identifies them. The aim of this resistance is to get autonomy in Pattani province to the desire to become an independent state.Abstrak Kehadiran bangsa Thai di Pattani melalui aneksasi atau penaklukan, mulai dari Kerajaan Siam hingga berganti menjadi Thailand, mengubah sosio-kultur masyarakat Muslim. Bangsa Thai yang beragama Budha banyak melakukan assimilasi terhadap kebudayaan Muslim Melayu Pattani. Assimilasi tersebut ditempuh melalui jalur politik, pendidikan, budaya, dan hukum. Jalur politik dilakukan dengan mengembangkan ideologi “nation, king, religion” yang menundukkan semua warga negara ke dalam satu nasionalisme. Jalur pendidikan dilakukan melalui kebijakan standarisasi pendidikan, yaitu kewajiban mengajarkan bahasa dan sejarah Thai serta ajaran Budha. Jalur budaya ditempuh melalui program migrasi penduduk utara ke selatan dan pembentukan “peaceful village”. Jalur terakhir adalah jalur hukum yang dilakukan melalui intervensi hukum berupa pembatasan berlakunya hukum Islam serta kewenangan Dato’ Yuthithams, penghapusan peradilan Islam karena disatukan dengan peradilan sipil dan pemberlakuan hukum sipil Thai di Pattani. Proyek assimilasi ini mendapatkan perlawanan dari masyarakat Muslim Pattani, karena dianggap sebagai upaya dekulturisasi kultur Melayu Muslim yang menjadi identitas mereka. Tujuan perlawanan ini adalah untuk mendapatkan otonomi di wilayah Pattani hingga keinginan untuk menjadi negara yang merdeka.
The Resilience of Madurese Santri in Facing Modernity: A Study of the Indonesian Ngabuleh Tradition Ali Sodiqin; Nur Komala
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 20 No. 1 (2022): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (171.381 KB) | DOI: 10.24090/ibda.v20i1.5390

Abstract

This article explores the survival strategy of the Madurese Santri in maintaining local traditions in the middle of the incessant currents of modernity. The Ngabuleh tradition that has been institutionalized in the Pamekasan Madurese society is a portrait of how the Madurese Santri experienced the technological advances that affect people’s behavior, especially young people. This tradition serves as a medium for preparing santri who will marry by serving in the Kyai’s residence. This enables them to learn how to prepare the household. Furthermore, the goal is that when they get married, they will be fully ready to settle down physically and mentally. This study uses Bronislaw Malinowski’s structural functionalism theory by placing the Ngabuleh tradition as an integral part of the social system. The persistence of the Ngabuleh tradition is a strategy for inheriting local traditions to the younger generation as well as a strategy for surviving the negative effects of globalization that penetrate regional boundaries to rural areas. Additionally, the Ngabuleh tradition is a way of showing the social identity of the Madurese santri, namely religiosity, integrity, loyalty or obedience, and autonomy. Ngabuleh serves as a strategy of cultural resilience as well as a form of obedience in maintaining and preserving local wisdom.
Positifikasi Hukum Islam di Indonesia: Prospek dan Problematikanya Ali Sodiqin
Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum Vol 1, No 2 (2012): Supremasi Hukum
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/sh.v1i2.1922

Abstract

Implementation of Islamic law in Indonesia has any problems, internal aspectand external one. In reality, the relationship between Islam and the state have caused afriction of interests between of moslem in one side and the state in another. As areligion, Islam put all its norms into effect for its adherents,meanwhile the state isimpossible to conduct rule of law from one religion. In other hand, institutionalizationof Islamic law faced two problems, firstly,related to the position of Islamic law in thenational law, and secondly, related to internal aspect of Islamic law. These problems areimplicate to the developmental prospect of Islamic law in Indonesia. The suggestedfactors of Islamic law are majority in adherents, widely the object,and supporting ofIslamic organizations. The handicaps of implementing of Islamic law are uncompletelyin its institutionalization, and dichotomy of Islamic thought, and influence ofunstability political law in Indonesia.