Sebuah studi dari Universitas Stanford menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat terakhir sebagai negara dengan rata-rata jumlah langkah harian terendah dalam survei selama 68 hari. Menurut Ernawati Hendrakusumah, hal ini disebabkan oleh infrastruktur yang belum memadai. Padahal, berjalan kaki dapat meningkatkan interaksi sosial serta menciptakan kesan kota yang ramah dan berkelanjutan. Penelitian ini menggunakan metode normatif dengan mengkaji teori, konsep, serta peraturan perundang-undangan. Penelitian normatif bertujuan mengidentifikasi definisi, konsep, dan prinsip hukum.Walkability mempertimbangkan beberapa parameter, seperti kualitas fasilitas, konektivitas jalur, kondisi jalan, pola penggunaan lahan, dukungan masyarakat, kenyamanan, dan rasa aman. Berdasarkan indeks walkability global, komponen pendukungnya meliputi keselamatan, kenyamanan pejalan kaki, serta keberadaan regulasi hukum. Dalam Pasal 274 ayat (2) UU LLAJ, disebutkan ancaman pidana bagi pihak yang mengganggu fungsi sarana jalan, dengan hukuman penjara maksimal satu tahun atau denda hingga dua puluh juta rupiah.Pejalan kaki dapat dikategorikan menjadi pejalan penuh, pengguna kendaraan pribadi, dan pengguna transportasi umum. Indikator walkability mencakup infrastruktur, aksesibilitas, daya tarik, kenyamanan, pemerataan, dan keselamatan. Pemerintah daerah menghadapi berbagai tantangan dalam membangun infrastruktur pejalan kaki berbasis kota pintar, seperti keterbatasan anggaran, minimnya fasilitas, rendahnya kesadaran publik, serta lemahnya perencanaan. Terdapat kekosongan hukum mengenai hak pejalan kaki dalam konteks kota pintar, sehingga dibutuhkan produk hukum dan sistem teknologi informasi terpadu untuk menjamin perlindungan hak pejalan kaki di era modern