cover
Contact Name
IZZUL MADID
Contact Email
izzulmadidra@gmail.com
Phone
+6285213551324
Journal Mail Official
admin@maalysitubondo.ac.id
Editorial Address
Kompleks Ma'had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur KP 68374
Location
Kab. situbondo,
Jawa timur
INDONESIA
Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
ISSN : 26141183     EISSN : 27461904     DOI : https://doi.org/10.58470/wasathiyyah.v4i2
Jurnal Wasathiyyah; Pemikiran Fikih dan Usul Fikih adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan 2 kali dalam setahun yaitu pada bulan Februari dan Agustus oleh Lembaga Kader Ahli Fikih Ma`had Aly Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo Situbondo. Fokus kajian jurnal ini bisa berupa penelitian atau kajian konseptual tentang Pemikiran Fikih dan Usul Fikih yang meliputi; Fikih Klasik dan Kontemporer, Kajian Ushul Fikih dan Maqashid Syariah, Problem Keagamaan, Toleransi dan Moderasi Beragama, Agama dan Tradisi, Pemikiran Ulama dan Tokoh Islam Nusantara.
Articles 43 Documents
Menuju Ijmak Yang Pragmatis dan Fungsionil di Era Modern: Kritik Kontruksi Ijmak Klasik: Kritik terhadap Konstruksi Ijmak Klasik untuk Solusi yang Lebih Efektif Shabrian Hammam Fanesti; Khotib, A Muhyiddin
Wasathiyyah Vol 5 No 1 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i1.44

Abstract

Artikel ini membahas tentang konsep Ijmak dalam hukum Islam yang didefinisikan sebagai kesepakatan ulama tentang suatu masalah. Ijmak memiliki landasan filosofis sebagai media stabilisator konstruksi syariah, sehingga harus dipertimbangkan sebagai pendekatan metodologis, bukan sekadar hasil produk belaka. Ijmak juga tidak tepat jika dikategorikan sebagai hujjah syar’iyyah sejajar dengan Alquran dan Sunnah, dan seharusnya dianggap sebagai elemen formulasi ketetapan hukum yang dirasa prinsip demi menghindari perdebatan berkepanjangan yang hanya berujung keretakan pada internal agama Islam. Fazlur Rahman berhasil merumuskan konsep baru ijmak yang merupakan antitesis dari konsep bentukan Imam asy Syafi’i. Menurut Fazlur Rahman, ijmak di era modern adalah legislasi yang dilakukan badan legislatif dengan mendasarkan atas ijtihad. Ijmak di era modern ini memiliki dua tingkatan, yaitu regional dan internasional. Kesimpulannya, ijmak harus diperhatikan sebagai sebuah metodologis, bukan sekadar hasil produk belaka. Konsep baru ijmak yang dirumuskan oleh Fazlur Rahman merupakan legislasi yang dilakukan badan legislatif dengan mendasarkan atas ijtihad, dengan prinsip syura sebagai dasar. Hasil yang diputuskan melalui ijmak harus sesuai dengan teritorialnya, tidak mutlak benar, dan dapat dianulir sewaktu-waktu jika diperlukan.
Standar Kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) Perspektif Dr. Wahbah Zuhaili Muhamad Fahrul Mustofa; Utomo, Tris
Wasathiyyah Vol 5 No 1 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i1.46

Abstract

Keragaman kriteria orang miskin—sebagai salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat, telah berdampak pada ketidakejelasan dalam penentapan standar kemiskinan itu sendiri. Meskipun banyak kriteria kemis-kinan yang telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, seperti BKKBN, BPS, dan KEMENSOS, namun sebagai acuan tetap, Indonesia menggunakan standar dari Badan Pusat Statistik (BPS), di mana seseorang di-kategorikan miskin apabila telah memenuhi minimal 9 variabel dari 14 kriteria yang ada. Kemudian yang menjadi persoalan, apakah standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS itu telah sesuai dengan konsep kemiskinan yang ada dalam Islam sehingga layak dijadikan sebagai acuan dalam mendistribusikan zakat, khususnya pada golongan orang miskin. Oleh karena itu penulis menco-ba menganalisis pemikiran Dr. Wahbah Zuhaili dalam menafsiri ayat-ayat kemiskinan yang terdapat di dalam Al-Qur’an. Lalu ditemukan kesimpulan bahwa terdapat keselarasan antara standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS dengan pemikiran beliau, sehingga kita sebagai umat Islam dapat menja-dikan standar kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS itu sebagai acuan dalam mendistribusikan zakat kepada orang-orang miskin.
Peran Tahqῑq al-Manᾱth Dalam Bahtsul Masail PBNU Tentang Vaksin AstraZeneca Moh Sholeh; Fairuzzaj Muhammad; Rahwan
Wasathiyyah Vol 5 No 2 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i2.40

Abstract

This paper will explain the realization of Tahqi>q al-Mana>t} as a science and scientific approach in LBM PBNU regarding the halalness of AstraZeneca vaccine products. Bahtsul Masail’s decision regarding vaccine products from South Korea is holy and halal, considered progress. Because before that, there was already a fatwa on the prohibition of the vaccine. This is inseparable from the process of understanding the nature of vaccines so that they can apply halal (permissible) law to the AstraZeneca vaccine. In this study, we used a type of library research with a fiqh-usul fiqh approach, most of the techniques adopted from a qualitative-descriptive method. Namely describing data from primary and secondary sources then analyzing and describing the results of the research. From this discussion we conclude that Tahqi>q al-Mana>t}  has a signi-ficant role in the bahtsul masail held by LBM PBNU regarding the halalness of the AstraZeneca vaccine, especially at the stage of understanding the essen-ce (tas}awwur) of the AstraZeneca vaccine by referring to the opinions of the experts.   Dalam tulisan ini akan dijelaskan realisasi Tahqi>q al-Mana>t} sebagai pendekat-an ilmu dan sains dalam LBM PBNU terkait kehalalan produk vaksin Astra-Zeneca. Keputusan  bahtsul masail yang menghalalkan produk vaksin asal Korea Selatan, terbilang progres. Karena sebelum itu, sudah ada fatwa keha-raman vaksin tersebut. Hal ini tidak terlepas dari proses dalam memahami hakikat vaksin sehingga bisa menerapkan hukum halal (boleh) terhadap vaksin AstraZeneca. Dalam penelitian ini, kami menggunakan jenis penelitian kepus-takaan (library research) dengan pendekatan fikih usul-fikih yang sebagian be-sar tekniknya mengadopsi dari metode kualitatif-deskriptif, yaitu mendeskrip-sikan data dari sumber primer dan sekunder kemudian melakukan analisa dan mendeskripsikan hasil penelitian. Dari pembahasan tersebut kami menyimpul-kan bahwa Tahqi>q al-Mana>t}  memiliki peran yang signifikan dalam bahtsul masail yang diselenggarakan LBM PBNU tentang kehalalan vaksin AstraZe-neca, terutama pada tahap pemahaman esensi (tas}awwur) vaksin AstraZeneca dengan mengacu pada pendapat para pakarnya.
Implementasi Sadd al-Dzari’ah untuk Penguatan Hak dan Kewajiban dalam Bingkai Pernikahan: Studi Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Nikah Sirri Rohman, Saifir; Ulwan S., Rofi
Wasathiyyah Vol 5 No 2 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i2.52

Abstract

Artikel ini akan membahas tentang sadd al-dzari’ah berikut signifikansi sebagai metodologi Fikih Nusantara dalam lingkup penguatan hak dan kewajiban dalam bingkai perkawinan. Produk Fikih Nusantara yang akan menjadi fokus kajian ini adalah fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang hukum nikah sirri. Penelitian ini tergolong kajian kepustakaan dengan pendekatan deskriptif-kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan, sadd al-dzari’ah merupakan salah satu dasar pertimbangan hukum yang memberi aksentuasi pada pencegahan terjadinya ekses buruk sebagai akibat suatu perbuatan. Upaya pencegahan ini diaktualisasikan dengan memblokir perbuatan yang dinilai akan mengantarkan pada hal-hal yang bersifat destruktif dan merugikan. Dalam fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang nikah sirri, sadd al-dzari’ah diposisikan sebagai asas tindakan preventif untuk mencegah dampak buruk yang ditimbulkan akibat nikah sirri. Majelis Tarjih memandang nikah sirri sebagai dzari’ah (perantara) yang dapat membawa pada banyak mafsadat. Khususnya bagi istri dan anak selaku pihak yang paling rentan dirugikan. Oleh karena itu, dalam rangka mencegah ekses buruk tersebut, nikah sirri sebagai media harus diblokir (dilarang).  Dalam konteks ini, sadd al-dzariah memiliki signifikansi sebagai basis preventif dalam melahirkan fatwa yang dalam dapat mengukuhkan hak dan kewajiban dalam bingkai perkawinan.
Perbandingan Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Syafi’iy; Analisa Istidlāl Hukum Pengupahan Pengajar Alquran: Analisis Istidlal Hukum Pengupahan Pengajar Alquran Faqih, A. Faiqil
Wasathiyyah Vol 5 No 2 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i2.53

Abstract

Bangsa ini sedang dalam geliat keagamaan yang kuat. Ditandai dengan berdirinya banyak Taman Pendidikan Alquran akhir-akhir ini. Pada fenomena ini tak jarang pengajar Alquran memasang tarif untuk mengajar Alquran. Ada juga Taman Pendidikan Alquran yang tidak membolehkan tenaga pengajar mengajukan tarif untuk mengajar Alquran. Pada kitab klasik telah dijumpai perselisihan ulama terkait kebolehan atau tidak menyewa pengajar Alquran. Dua perbedaan pendapat ini dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Sya>fi’i>>. Imam Abu Hanifah tidak membolehkan penyewaan pengajar Alquran. Sedangkan Imam Al-Sya>fi’i>> membolehkan. Kedua Imam ini memiliki pijakan hadis yang menjadi acuan pendapat mereka masing-masing. Juga memiliki landasan berpikir (istidla>l) yang merupakan kerangka logis mereka merumuskan hukum. Penelitian ini akan menganalisa hadis yang dijadikan acuan Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Sya>fi’i>> terkait menyewa pengajar Alquran, juga akan menganalisa istidla>l Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Sya>fi’i>> terkait hukum menyewa pengajar Alquran melalui pendekatan Usul Fikih, melalui pendekatan kepustakaan studi perbandingan pemikiran dalam bingkai hukum Islam. Baik pada istidlal Imam Abu Hanifah maupun Imam Al-Sya>fi’i>> sama-sama memiliki kecacatan kias yakni, pada Imam Abu Hanifah terdapat al-farqu sementara pada Imam Al-Sya>fi’i>> terdapat fasa>d al-i’tiba>r.
Meninjau Hasil Keputusan Ormas Keagamaan Tentang Nikah Beda Agama dari Perspektif Al-Qa‘idah al-Usuliyyah al-Lugawiyyah dan Al-Qa‘idah al-Usuliyyah al-Tasyri‘iyyah: (Keputusan Lajnah Bathsul Masail NU, Komisi Fatwa MUI, dan Majlis Tarjih Muhammadiyah) Fathul Qorib
Wasathiyyah Vol 5 No 1 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i1.61

Abstract

Legalitas pernikahan beda agama di Indonesia masih menjadi polemik di kalangan masyarakat, di mana realitas sosial ini terlihat pada tindakan nekat sebagian warga negara yang melakukannya. Meskipun UU Perkawinan No. 1/1974 Pasal 2 ayat (1) menyerahkan status pernikahan beda agama berdasarkan keyakinan masing-masing, namun NU, MUI, dan Muhammadiyah telah menyepakati bahwa pernikahan beda agama hukumnya haram dalam segala dimensinya. Kontradiksi antara pandangan empat mazhab dan teks al-Qur'an inilah yang menjadi fokus studi literatur ini, dengan menggunakan rumusan Lajnah Bathsul Masail NU, Komisi Fatwa MUI, dan Majilis Tarjih Muhammadiyah sebagai sumber utama. Dengan menerapkan teori al-Qa'idah al-Usuliyyah al-Lugawiyyah dan al-Qa'idah al-Usuliyyah al-Tasyri'iyyah, penelitian ini mengungkapkan bahwa NU menggunakan langkah-langkah seperti memahami masalah, menghimpun pendapat para ulama, dan membatasi pendapat hanya pada kelompok Syafi'iyah. Sementara itu, MUI menggunakan langkah-langkah seperti memahami masalah, menelusuri dalil dari al-Qur'an dan hadis, menganalisis melalui kajian bahasa, merujuk pendapat ulama sebagai dalil pendukung, dan memilih pendapat yang lebih maslahat. Di sisi lain, Muhammadiyah menggunakan langkah-langkah seperti menelusuri dalil melalui teks yang sarih, menganalisis melalui kajian semantik, memperhatikan pendapat ulama sebagai dalil pendukung, dan mentarjih pendapat dengan menggunakan sadd alzariah. Dari ketiga rumusan tersebut, muncul dua perbedaan utama, yaitu terkait eksistensi Ahli Kitab di era kekinian dan perbedaan cara pandang dalam menyikapi pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab.
Muwatinun Dalam Tatanan Negara-Bangsa Perspektif Siyasah Syar‘iyyah: Telaah Terhadap Hasil Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama Tahun 2019 Fawaid
Wasathiyyah Vol 5 No 2 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i2.62

Abstract

Termasuk upaya melakukan pembaharuan dalam agama adalah dengan melakukan ijtihad di dalam pemikiran Islam. Salah satu yang perlu untuk diijtihadi ulang adalah masalah kewarganegaraan. Dalam kitab fikih klasik, klasifikasi warga negara terdiri dari beberapa macam, yaitu; muslim, kafir harbi, kafir z^immi>, kafir mu’a>had dan kafir musta’min. Nahdlatul Ulama dalam Munas dan Konbes tahun 2019 telah melakukan pembahasan dan memutuskan bahwa masyarakat Indonesia yang tidak beragama Islam tidak dikategorikan sebagai kafir yang ada selama ini, akan tetapi disebut sebagai muwa>t}inu>n. Keputusan tersebut telah membuka pemikiran baru terkait status kewarganegaraan yang ada. Namun putusan tersebut juga telah menuai kontroversi karena adanya beberapa penolakan dari seorang tokoh atau kelompok tertentu. Pendekatan yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis library research. Sedangkan pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi untuk mencari sumber data yang menunjang penelitian ini. Lalu dianalisis dengan menggunakan metode content analysis dan interpretasi terhadap sumber data yang diperoleh. Penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa penetapan status “muwa>t}inu>n” bagi non-muslim dalam Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama tahun 2019 merupakan penafsiran ulang terhadap konsep ketatanegaraan yang  dilatarbelakangi perubahan realitas dari bentuk negara yang ada. Rekontruksi tersebut adalah diperbolehkan karena istilah “kafir” yang ada bukan istilah baku dan prinsipil dalam Islam melainkan produk pemikiran ulama yang bisa berubah sesuai dengan kondisinya. Penolakan yang muncul dari tokoh atau kelompok dianggap sebagai penolakan yang tidak pada objeknya. Objek pergantian kata “kafir” yang dimaksudkan NU adalah kata kafir dalam konteks bernegara. Sedangkan yang ditolak oleh mereka adalah kata kafir pada ranah keyakinan yang ada di al-Qur’an yang memang tidak ada ruang untuk ijtihad.
Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Perspektif Da‘wā wa Al-Bayināt: Studi Kasus di Kantor Desa Kertosari Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo A. Ilham Majani; Tris Utomo
Wasathiyyah Vol 5 No 1 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i1.63

Abstract

Pokok masalah dalam penelitian ini adalah berfokus kepada penyelesaian sengketa kepemilikan hak milik tanah berdasarkan bab da‘wā  wa al-bayyināt yang terjadi di Desa Kertosari Kecamatan Asembagus Kabupaten Situbondo. Selanjutnya dari pokok penelitian yang peneliti temukan di lapangan timbul sub masalah atau pertanyaan penelitian yang meliputi: pertama, bagaimana kejadian sengketa tanah yang terjadi di Desa Kertosari. Kedua, teknis penyelesaian sengketa tanah berdasarkan perspektif hukum Islam berdasarkan teori da‘wā  wa al-bayyināt. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kejadian persengketaan hak milik tanah yang terjadi di lapangan, dengan mendalami permasalahan timbul. dari penelitian ini juga agar mengetahui proses dan teknis penyelesaian sengketa hak milik tanah ditinjau dengan teori da‘wā  wa al-bayyināt. Jenis dari penelitian ini berupa penelitian kualitatif dengan mempelajari pendekatan kasus (Case Approach) perkara yang terjadi pada penggugat dan tergugat, dengan mengumpulkan data-data fakta dari pihak desa dan masyarakat yang kemudian peneliti analisis berdasarkan teori da‘wā  wa al-bayyināt untuk menelaah dan membandingkan terkait regulasi dan sistem penyelesaian yang ada di undang-undang. Dari penelitian ini menghasilkan suatu temuan bahwa penyelesaian yang terkait dengan penentuan hak diselesaikan oleh Kepala Desa sebagai mediatornya yang dalam hal ini diperbolehkan secara teori fikih dan dengan sistem ini pula permasalah sengketa tanah yang terjadi di masyarakat lebih cepat diselesaikan daripada di angkat kepada pengadilan yang butuh waktu lama.
Penggunaan Cryptocurrency sebagai Mata Uang dalam Metaverse Menurut Perspektif Maṣlaḥah ‘Izzuddin bin ‘Abd As-Salam Zainal Abidin
Wasathiyyah Vol 5 No 1 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i1.64

Abstract

terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Saat ini di Indonesia sedang berkembang alat pembayaran yang dikenal dengan uang digital atau cryptocurrency. Salah satu produk teknologi yang menggunakan cryptocurrency dan terus menjadi perbincangan hangat saat ini adalah metaverse. Metaverse merupakan sebuah alam semesta dalam konsep virtual yang memungkinkan penggunanya untuk hidup, beraktivitas, dan berinteraksi satu sama lain seperti dalam kehidupan sehari-hari di dunia digital. Penelitian ini membahas tentang standarisasi uang yang dilegalkan dalam perspektif hukum Islam dan penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang di metaverse menurut perspektif maṣlaḥah ‘Izzuddin bin ‘Abd as-Salam. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa uang yang dinyatakan sah sebagai alat pembayaran dalam perspektif hukum Islam adalah harus dapat diterima secara umum untuk digunakan sebagai alat pengukur nilai (manfaat) suatu barang atau jasa, dan dapat disimpan. Bagi masyarakat yang membutuhkan dunia virtual metaverse diperbolehkan menggunakan cryptocurrency untuk mengakses dan melakukan transaksi, karena terdapat maṣlaḥah yang lebih dominan dengan mengabaikan mafsadah.
Telaah Metode Istinbath Amina Wadud Perspektif Turuq al-Istinbath min al-Nushush Abdul Gani
Wasathiyyah Vol 5 No 2 (2023): Wasathiyyah: Jurnal Pemikiran Fikih dan Ushul Fikih
Publisher : Wasathiyyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58470/wasathiyyah.v5i2.65

Abstract

Dalam kajian Islam kontemporer, ada beberapa tokoh feminis yang dianggap aktif sebagai penggerak gerakan feminisme Islam, di antaranya adalah Amina Wadud Muhsin. Dalam karyanya Qur’an and Woman, ia mengungkapkan ketertarikannya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an terkhusus tema-tema yang berkenaan dengan ayat-ayat relasi gender. Menurutnya, untuk mendapatkan penafsiran yang relatif objektif, ia mensyaratkan seorang mufassir harus kembali pada prinsip-prinsip al-Qur’an sebagai paradigma penafsiran. Amina meyakini bahwa tidak ada penafsiran yang benar-benar objektif dikarenakan seorang mufassir kerapkali terjebak dalam asumsi subjektif yang justru mereduksi dan mendistorsi makna al-Qur′an. Kajian Al-Qur′an dan tafsir yang dihasilkan Amina dianggap kontroversional, bahkan ia dikatakan sesat. Penelitian ini merupakan studi literatur (library research) atau penelitian pustaka. Sumber utama (the primary resource). Dari penulisan ini disimpulkan bahwa langkah-langkah metode istinba>t} Al-Qur’an yang dilakukan Amina Wadud ada empat  yakni : analisis- konteks, mengumpulkan teks lain dengan konteks topik yang sama, analisis gramatikal teks (dalam hal ini Amina menggunakan teori hermeneutika), dan analisis universal teks. Langkah-langkah istinba>t} oleh Amina Wadud dalam hal ini tidak mengikut-sertakan hadis nabi serta tidak membandingkan antar teks satu dengan lainnya secara proporsional. Sedangkan dalam metode istinba>t} hadis, ia tidak membahas tentang validitas dan keabsahan riwayat hadis yang digunakan.