Abstrak Melalui penelitian ini diharapkan dapat membuka cakrawala dan wawasan terkait kondisi digitalisasi, termasuk penyiaran digital di wilayah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) yang ada di Indonesia, khususnya di Provinsi Kepulauan Riau. Belum meratanya infrastruktur penyedia layanan digital, baik telekomunikasi maupun penyiaran menjadikan kesenjangan digital di wilayah tersebut cukup tinggi. Kondisi tersebut tentu saja membuat upaya literasi digital tidak dapat maksimal dilaksanakan. Pasalnya, penyiaran di daerah 3T tidak cukup hanya dengan fungsi utama sebagai sarana informasi pendidikan, hiburan, kontrol sosial, ekonomi maupun kebudayaan seperti termaktub dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun melalui penyiaran dapat dijadikan sarana membangun nasionalisme. Cukup menarik karena ada beberapa wilayah yang masuk daerah 3T tidak terjangkau penyiaran terestrial free to air (FTA), bahkan hingga saat ini. Malah, lebih mudah mengakses penyiaran dari negara tetangga yang secara geografis sangat berdekatan. Melalui metode penelitian studi kasus dengan beberapa teknik pengumpulan data, seperti analisis, wawancara dan jaringan komunikasi, penelitian ini diharapkan dapat mengetahui peran penyiaran digital dalam memberikan literasi kepada masyarakat untuk mempertebal rasa nasionalisme bagi masyarakat Provinsi Kepulauan Riau. Terlebih, mendapatkan informasi termasuk melalui penyiaran digital merupakan hak asasi manusia yang dilindungi Undang-undang. Sebab itulah harus direalisasikan negara karena juga amanat dari konstitusi Negara Indonesia. Kata kunci: Literasi Digital, Media, Penyiaran, Wilayah 3T, HAM Abstract Through this research, it is hoped that it can open horizons and insights regarding digitalization conditions, including digital broadcasting in the Disadvantaged, Frontier and Outermost (3T) regions in Indonesia, especially in the Riau Islands Province. The uneven distribution of infrastructure for digital service providers, both telecommunications and broadcasting, means that the digital gap in the region is quite high. These conditions of course mean that digital literacy efforts cannot be implemented optimally. The reason is that broadcasting in the 3T area is not enough for its main function as a means of educational information, entertainment, social, economic and cultural control as stated in Law Number 32 of 2002 concerning Broadcasting. However, broadcasting can be used as a means of building nationalism. It is quite interesting because there are several areas that are included in the 3T area which are not covered by free to air (FTA) terrestrial broadcasting, even now. In fact, it is easier to access broadcasting from neighboring countries that are geographically very close. Through case study research methods with several data collection techniques, such as analysis, interviews and communication networks, this research is expected to find out the role of digital broadcasting in providing literacy to the public to strengthen the sense of nationalism for the people of the Riau Islands Province. Moreover, obtaining information, including through digital broadcasting, is a human right protected by law. That is why the state must realize it because it is also a mandate from the Indonesian constitution. Key words: Digital Literacy, Media, Broadcasting, 3T Area, Human Rights