Claim Missing Document
Check
Articles

Found 19 Documents
Search

Unjuk Kerja Probiotik EM4 (Effective Micoorganism-4) Dengan Dosis Berbeda Terhadap Populasi Cacing Sutra (Tubifex Sp) Menggunakan Sistem Resirkulasi Sedarhana Pujiati; Hasim
Research Review: Jurnal Ilmiah Multidisiplin Vol. 2 No. 2 (2023): Research Review: Jurnal Ilmiah Multidisiplin (Agustus 2023 - Januari 2024)
Publisher : Transbahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54923/researchreview.v2i2.46

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan probiotik EM4 (Effective Micoorganism-4) dengan dosis berbeda terhadap pertumbuhan populasi cacing sutra (Tubifex Sp) menggunakan sistem rersirkulasi sederhana. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan. Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL). A = 10 g/wadah cacing sutra ( Tubufex sp) tidak ditambahkan EM4 (Effective Micoorganism-4), B = 10 g/wadah cacing sutra ( Tubufex sp) ditambahkan EM4 (Effective Micoorganism-4) dengan dosis 4 ml/l air, C = 10 g/wadah cacing sutra ( Tubufex sp) ditambahkan EM4 (Effective Microorganism-4) dengan dosis 8 ml/l air. D = 10 g/wadah cacing sutra ( Tubufex sp) ditambahkan EM4 (Effective Micoorganism-4) dengan dosis 12 ml/l air. Selanjutnya cacing sutra ( Tubufex sp). dibudidaya selama 4 minggu. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian probiotik dengan dosis berbeda pada media hidup cacing sutra (Tubifex sp) berpengaruh nyata terhadap populasi mutlak pada perlakuan D yaitu 8064,99 individu dan biomassa mutlak pada perlakuan D yaitu mencapai 23,21 (gram) cacing sutra (Tubifex sp) Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan penggunakan probiotik EM4 (Effective Micoorganism-4) memberikan pengaruh nyata antar perlakuan
Markobar: Local Wisdom of the Oral Tradition of the Mandailing People Alhidayath Parinduri; Anita Yuningsih; Nursukma Suri; Pujiati
al-Afkar, Journal For Islamic Studies Vol. 7 No. 4 (2024)
Publisher : Perkumpulan Dosen Fakultas Agama Islam Indramayu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31943/afkarjournal.v7i4.1138

Abstract

Indonesia is a country that has a variety of cultures or often referred to as multicultural. In this research, the author is interested in discussing one of the cultures in Indonesia, namely the Markobar tradition in Mandailing tribal communities. The Mandailing tribe is one of the various ethnicities in Indonesia. The majority of the people of this tribe inhabit the Mandailing Natal Regency area, North Sumatra Province. Simply put in Mandailing language, Markobar means to speak. This shows that Markobar is the local wisdom of Mandailing tribal people in the form of oral tradition. Local wisdom is a cultural element that must be explored, studied, and revitalized because its essence is so important in strengthening the foundation of national identity in facing the challenges of globalization. The question that arises next is by looking at the rapid development of technology and science whether the Markobar tradition is able to maintain its existence in the midst of globalization.
Modal Sosial Etnis Mandailing di Kota Medan Abad ke-20 Samsul Bahri; Pujiati; Nursukma Suri; Rahimah
MUDABBIR Journal Research and Education Studies Vol. 4 No. 2 (2024): Vol. 4 No. 2 Juli-Desember 2024
Publisher : Perkumpulan Manajer Pendidikan Islam Indonesia (PERMAPENDIS) Prov. Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56832/mudabbir.v4i2.619

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui modal sosial etnis Mandailing di Kota Medan pada abad ke-20. Metode penelitian ini dilakukan dalam empat tahap, yakni pengumpulan sumber (heuristik), pemeriksaan sumber-sumber (verifikasi), penafsiran (interpretasi), dan penulisan (historiografi) yang berbasis pada kajian literatur (library research). Hasil penelitian menunjukkan bahwa etnis Mandailing adalah salah satu kelompok masyarakat pendatang yang cukup diperhitungkan keberadaannya di Medan. Hal ini terlihat dari penerimaan masyarakat Melayu sebagai kelompok tuan rumah terhadap mereka. Ini semua tidak terlepas dari beberapa modal sosial yang mereka miliki ketika bermukim di Medan. Setidaknya ada lima modal sosial yang dimaksud, yaitu: agama yang sama dengan kelompok Melayu yakni Islam, memiliki corak keagamaan yang sama sebagai muslim tradisional dalam lingkup ahlu sunnah wal jama’ah serta berpegang teguh pada mazhab Syafi’i, kemampuan adaptasi dengan masyarakat lokal melalui proses akulturasi dengan cara meninggalkan sebagian identitas mereka sebagai orang Mandailing, sangat minimnya etnis Mandailing menyentuh ranah politik praktis yang dianggap membahayakan kedudukan politik pemerintah lokal (sultan dan elit Melayu), dan adanya kontribusi mereka dalam bidang pendidikan semisal melalui lembaga Maktab Islamiyah Tapanuli maupun organisasi Al-Jam’iyatul Washliyah yang lahir pada tahun 1930.
Stratifikasi Pendidikan Kolonial Di Tapanoeli Selatan 1842-1908 Dendy Reza Juliansyah Siregar; Siti Sara; Pujiati
PESHUM : Jurnal Pendidikan, Sosial dan Humaniora Vol. 4 No. 1: Desember 2024
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/peshum.v4i1.6962

Abstract

Pendidikan pada masa pemerintahan kolonial Belanda merupakan hal yang sangat Eksklusif bagi para penduduk pribumi di Hindia Belanda. Jauh sebelum awal abad 20 pendidikan hanya diberikan kepada beberapa kalangan yang dianggap belanda layak dan cocok untuk menerima sistem pendidikan pemerintah Belanda, dalam hal ini anak-anak raja dan para pejabat pemerintahan menjadi target utama pemerintah kolonial dalam pemberian akses pendidikan. Pada wilayah Tapanoeli pendidikan merupakan suatu hal yang penting, namun tidak semua wilayah Tapanoeli mendapatkan pendidikan yang sama. Wilayah Mandailing dan Angkola menjadi wilayah yang cukup tersohor dalam bidang pendidikan, ini dapat terlihat dari banyak tokoh-tokoh Nasional yang berasal dari wilayah ini, pendidikan yang ada diwilayah ini dipengaruhi ketertarikan dari seorang Assistant Residentie Afdeeling Angkola en Mandeiling A.P. Godon yang memberikan pendidikan kepada beberapa anak pribumi Angkola dan Madailing, hal ini didasari dari minat pendidikan yang sangat minim diwilayah tersebut dengan hanya berkisar 2% pada pertengahan abad 19. Lewat pengaruh dari Godon lahirlah beberapa tokoh penting bagi perkembangan pendidikan di Afdeeling Mandailing en Angkola, tokoh-tokoh tersebut antara lain seperti Si Asta, Si Angan dan Sutan Sati Nasution yang mendapatkan pendidikan bahkan ke negeri Belanda. Namun pendidikan yang diperoleh oleh masyarakat selatan Tapanoeli ini tidak tersebar secara merata ada Stratifikasi yang menjadikan pendidikan tidak bisa dirasakan dan dinikmati oleh penduduk Tapanoeli dibagian Selatan. Studi ini dilakukan dengan pendekatan Sejarah dengan menggunakan Metode Sejarah lewat tahapan Heuristik, Verifikasi, Interpretasi dan Historiografi, penelitian ini  juga menggunakan bantuan pendekatan Ilmu Sosial lewat Teori Stratifikasi Sosial Max Weber.
Boneka Kematian Dalam Tradisi Batak Toba Kuno Dan Eksistensinya Di Paruh Pertama Abad 20 Khairun Nisa; Pujiati; Pitri Nurbaya
PESHUM : Jurnal Pendidikan, Sosial dan Humaniora Vol. 4 No. 1: Desember 2024
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/peshum.v4i1.7005

Abstract

Boneka kematian ataupun topeng kematian adalah istilah yang diberikan oleh Orang-orang Belanda untuk Bejan dan Sigale-gale yang dipergunakan dalam upacara kematian, khususnya bagi mereka yang meninggal dunia tanpa keturunan. Secara perlahan, kedua benda ritual tersebut mengalami pergeseran fungsi yang tadinya sepenuhnya sakral, kemudian berubah menjadi profan. Penelitian ini memiliki kedekatan dengan etnohistori sedangkan teori yang dipergunakan adalah Teori Struktural Fungsional dan Teori Sosiologi Agama yang dicetuskan oleh Emile Durkheim. Akan tetapi tujuan dari penelitian ini bukan hanya untuk menangkap pergeseran fungsi boneka kematian saja. Tujuan lainnya adalah melestarikan wujud kebudayaan yang kini telah punah, melalui tulisan.
Dayah Sebagai Institusi Sosial: Fungsi, Tantangan, Dan Perubahan Dalam Masyarakat Aceh Siti Sara; Pujiati
PESHUM : Jurnal Pendidikan, Sosial dan Humaniora Vol. 4 No. 5: Agustus 2025
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/peshum.v4i5.9770

Abstract

Lembaga pendidikan dayah di Aceh telah lama berfungsi sebagai institusi sosial yang membentuk karakter dan spiritualitas masyarakat. Namun, modernisasi dan perubahan sosial yang pesat membawa berbagai tantangan struktural dan kultural bagi keberlanjutan sistem pendidikan dayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bentuk-bentuk tantangan dan gejala anomi yang dialami dayah dalam konteks perubahan sosial. Metode yang digunakan adalah studi kualitatif deskriptif dengan pendekatan historis dan sosiologis. Teori utama yang digunakan adalah konsep anomi dari Emile Durkheim, yang menjelaskan kondisi keterasingan sosial akibat perubahan norma dan peran dalam masyarakat. Hasil kajian menunjukkan bahwa modernisasi menuntut dayah untuk menyesuaikan diri melalui pembaruan kurikulum, manajemen pendidikan, serta integrasi dengan sistem pendidikan formal, meskipun perubahan ini tidak jarang menimbulkan ketegangan antara nilai tradisi dan kebutuhan zaman. Dengan demikian, respons adaptif dayah terhadap perubahan menjadi kunci penting dalam mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga sosial keagamaan.
Mengguris Karet, Budaya Penopang Hidup Masyarakat Kotanopan Juliansyah Siregar, Dendy Reza; Pujiati
PESHUM : Jurnal Pendidikan, Sosial dan Humaniora Vol. 4 No. 5: Agustus 2025
Publisher : CV. Ulil Albab Corp

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56799/peshum.v4i5.10326

Abstract

Pada masa kolonial Belanda tiap wilayah administrasi disusun sesuai dengan kebutuhan dan fungsinya olah pemerintah kolonial. Wilayah Tapanuli Selatan dijadikan sebagai wilayah penghasil sumber pendapatan negara lewat bidang perkebunan dan pertanian, salah satu komoditi yang laku dipasaran adalah karet, Wiilayah Hoetanoepan atau dewasa ini dikenal dengan nama Kotanopan dijadikan sebagai salah satu wilayah penanaman karet oleh pemerintah kolonial. Pada awal abad ke 20, karet menjadi komoditi yang sering ditanami rakyat pribumi di Kotanopan, karet menjelma menjadi komoditi utama semenjak peraturan budidaya kopi dihapuskan diwilayah Residentie Tapanuli pada tahun 1908. Penanaman karet di wilayah Kotanopan terus belanjut hingga dewasa ini, berbeda dengan wilayah lain yang berbondong-bondong melakukan konversi ke tanaman kelapa Sawit guna mengikuti pasa global. Dewasa ini budaya menanam dan mengguris karet tetap dilakukan masyarakat kota nopan, tentunya tindakan ini memiliki sebuah alsan yang membuat mereka tetap memilih menggantungkan hidup di karet daripada melakukan penaman tanaman ekspor lain yang booming seperti kelapa sawit. Penelitian ini akan membahas mengenai sejarah budaya mengguris karet diwilayah Kotanopan yang dijadikan sebagai salah satu pemenuh kebutuhan pokok masyarakat, penelitian ini menggunakan Metode sejarah dan pendekatan Teori Fungsionalisme oleh Malinowski.
Hubungan Usia Paritas Dengan Kejadian Ruptur Perineum Di TPMB Lestari Solihati, S.ST Kabupaten Bogor Ambariani; Pujiati; Lestari Solihati; Alfida Faqih; Alya Fauziah; Selsa Cintya Melani; Wanelis
NERSMID : Jurnal Keperawatan dan Kebidanan Vol. 9 No. 1 (2026): Mei Dalam Proses
Publisher :

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55173/nersmid.v9i1.290

Abstract

Postpartum maternal bleeding is caused by perineal rupture and uterine rupture. Perineal rupture (perineal tear) is an injury to the birth canal that occurs during childbirth, either using or without instruments, and is an indirect cause of maternal death worldwide due to postpartum hemorrhage. Objective: To determine the relationship between age, parity and the incidence of perineal rupture. Method: Using a quantitative method with a cross-sectional design. This study was conducted at the Lestari Solihati Independent Midwife Practice (TPMB), Bogor Regency. The data used are secondary data sourced from medical records of deliveries for the period January-December 2024. The sampling technique used in this study was a total sampling of 419 people. Results and Conclusions: shows that there is a significant relationship between age, parity and the incidence of perineal rupture with a p value (0.000).
Inclusive Economic Empowerment through Halal Product Certification and the Development of a Culinary Center for Women-Led MSMEs in Denai Sarang Burung Village Lubis, Arlina Nurbaity; Lumbanraja, Prihatin; Dalimunthe, Ritha F; Pujiati; Ramadani
Neo Journal of economy and social humanities Vol 4 No 4 (2025): Neo Journal of Economy and Social Humanities
Publisher : International Publisher (YAPENBI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56403/nejesh.v4i4.348

Abstract

This community engagement program aims to enhance the village’s economic self-reliance and social resilience through a participatory and collaborative approach involving women-led micro, small, and medium enterprises (MSMEs), youth, children, and the village government as key partners. The implementation stages began with village potential mapping through focus group discussions, followed by business legalization assistance including the issuance of Business Identification Numbers (NIB) and halal product certification along with training in business management, product innovation, and digital marketing. The results demonstrate a significant increase in local capacity and competitiveness: several women-owned MSMEs successfully obtained NIB and halal certificates, the process of establishing a culinary and souvenir center (Pujasera) as a hub for local product promotion was successfully initiated, and a digital marketing network was developed to expand market access, while a more child-friendly and gender-equitable village environment was fostered. These achievements confirm that a participatory and collaborative model can effectively create an inclusive, competitive, and sustainable village ecosystem, while also making a tangible contribution to the advancement of knowledge.