Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Antihypertensive Effect of Bay Leaf Extract (Syzygium polyanthum (Wight) Walp., Myrtaceae) Sukrasno Sukrasno; Kusnandar Anggadiredja; Dudi Dudi; Afifah B. Suciatmo
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol. 38 No. 4 (2013)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Bay leaf (Syzygium polyanthum (Wight) Walp., Myrtaceae) has been recently widely used as traditional medicine in addition to its conventional use as seasoning in cooking. Ethanol insoluble fraction of water extract has been tested for its antihypertensive activity. Bay leaf extract tested in this experiment significantly decreased systole and diastole of rat after being induced with ephinephrine compared to control at 36 mg/kg bw (p < 0.01). At 9 mg/kg decreased systole significantly (p< 0.05) but the decrease of diastole was not significant (p < 0.05), while at 18 mg/kg bw the decrease of systole and diastole were both not significant (p < 0.05). The major component of the extract has been isolated and partially identified by UV and IR spectrophotometry and GC-MS, and it is more likely to be a substituted catechin monomer.Keywords: Syzygium polyanthum, ethanol insoluble aqueous extract, antihypertensive activity.AbstrakSelain digunakan secara konvensional sebagai bumbu masak, daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp., Myrtaceae) juga banyak digunakan secara luas sebagai tanaman obat tradisional. Telah dilakukan pengujian aktifitas antihipertensi pada fraksi tidak larut etanol dari ekstrak air daun salam. Ekstrak daun salam yang diujikan pada percobaan ini secara signifikan dapat menurunkan tekanan sistol dan diastol dari tikus yang telah diinduksi oleh epinefrin, dibandingkan dengan tikus kontrol pada 36 mg/kg bb (p< 0,01). Pada konsentrasi 9 mg/kg bb terlihat dapat menurunkan tekanan sistol secara signifikan (p> 0,05), namun tidak menurunkan tekanan diastol secara signifikan (p < 0,05). Sedangkan pada konsentrasi 18 mg/kg bb, penurunan tekanan sistol dan diastol tidak menunjukkan hasil yang signifikan (p < 0,05). Komponen utama dari ekstrak telah berhasil diisolasi dan dilakukan identifikasi sebagian menggunakan spektrofotometer UV, spektrofotometer inframerah, dan KG-SM. Hasil identifikasi menunjukkan kemiripan dengan monomer katekin yang tersubstitusi.Kata kunci: Syzygium polyanthum, ekstrak air tidak larut etanol, aktifitas antihipertensi.
EVALUASI KESESUAIAN PERESEPAN OBAT RAWAT JALAN TERHADAP FORMULARIUM OBAT PADA SALAH SATU PROVIDER ASURANSI KESEHATAN KOMERSIL DI BANDUNG Eva Kusumahati; Kusnandar Anggadiredja; Lucy Lustiani
Medical Sains : Jurnal Ilmiah Kefarmasian Vol 2 No 1 (2017)
Publisher : Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (437.167 KB) | DOI: 10.37874/ms.v2i1.33

Abstract

Penggunaan formularium obat di asuransi dapat menjamin standar peresepan yang berkualitas baik dan efisiensi biaya. Akan tetapi masih banyak provider yang menulis resep non formularium sehingga banyak keluhan obat dari peserta asuransi. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menilai kesesuaian peresepan obat terhadap Formularium obat suatu asuransi. Penelitian ini merupakan penelitian observasi yang bersifat deskriptif analitik terhadap resep-resep yang datang di depo rumah sakit swasta di Bandung, khusus pasien sebagai peserta salah satu asuransi kesehatan komersil di Bandung. Analisis kuantitatif mengenai data untuk mengetahui persentase peresepan obat oleh dokter dilakukan berdasarkan berbagai kriteria diantaranya dari asal kunjungan poliklinik, jenis obat generik dan non generik, serta kesesuaian diagnosa dengan kelas terapi yang tercantum dalam formularium. Analisis kualitatif untuk mendeskripsikan kesesuaian antara resep dan pelayanan yang diberikan. Dari sejumlah 25 poliklinik yang ada di depo farmasi rawat sebanyak 15 poliklinik yang masih menuliskan obat non formularium. Sementara itu,obat generik yang diresepkan ada363 (42%) dan obat non generik yang diresepkansebanyak 535 item obat (58%). Berdasarkan sub kelas terapi obat, yang diperoleh daritotal 330 resep terdapat27 resep (8%) obat non formularium, sedangkan yang sesuai dengan formularium obat asuransi sebanyak303 resep (92%).Tinjauan terhadap kesesuaian penulisan resep dengan diagnosis menunjukkan 100%sesuai. Berdasarkan analisa kuantitatif menunjukkan masih ada 8% dari total 898 item obat diresepkan yang tidak sesuai dengan formulariumdan berdasarkan analisa kualitatif menunjukkan masih ada beberapa dokter yang menuliskan obat non formularium.
Potensi Ketergantungan Mahasiswa Terhadap Konsumsi Minuman Berenergi Kusnandar Anggadiredja; Triantri Kartika Putri; Sophi Damayanti
JSKK (Jurnal Sains Keolahragaan dan Kesehatan) Vol 6 No 1 (2021)
Publisher : Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/jskk.2021.6.1.6

Abstract

Minuman berenergi merupakan suplemen makanan yang terdiri dari multivitamin, makronutrien, taurin, kafein dengan tambahan herbal seperti ginseng dan jahe dengan bentuk sediaan cairan dalam kemasan botol, serbuk dan tablet yang dilarutkan menjadi minuman, yang dalam setiap kemasannya mengandung energi minimal 100 kkal. Penggunaannya adalah untuk menambah tenaga, stimulasi metabolisme, memelihara kesehatan dan stamina, yang diminum saat bekerja keras atau setelah olahraga. Konsumsi minuman berenergi meningkat sejak merk minuman berenergi terkenal mulai diperdagangkan tahun 1997. Penelitian di Amerika menunjukkan, 51% mahasiswa dari 496 mahasiswa yang diteliti mengonsumsi minuman berenergi lebih dari satu kali dalam sebulan. Dilihat dari kepopuleran minuman berenergi pada mahasiswa, diperlukan adanya ukuran untuk menilai potensi ketergantungannya. Penelitian ini bertujuan mempelajari mengenai potensi ketergantungan mahasiswa terhadap minuman berenergi. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pengumpulan data berdasarkan pengisian kuesioner yang diisi oleh responden pada Maret 2017 sampai Juli 2017. Data dianalisis dan untuk memperoleh informasi derajat ketergantungan tiap responden menggunakan kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V (DSM V). Jumlah total responden adalah 184 responden. Hasil menunjukkan 58% responden adalah perempuan dan 42% responden adalah laki-laki. Dari 6 merk minuman berenergi, merk E adalah minuman yang paling banyak dikonsumsi. Dua puluh tujuh persen responden mengonsumsi minuman berenergi satu kali dalam sebulan. Berdasarkan kriteria DSM V, 53% responden tidak mengalami ketergantungan, 30% mengalami ketergantungan ringan, 10% mengalami ketergantungan sedang dan 7% mengalami ketergantungan berat. Walaupun lebih dari setengah jumlah responden tidak mengalami ketergantungan, namun ketergantungan minuman berenergi pada mahasiswa tetap harus diperhatikan karena terdapat 47% potensi ketergantungan minuman berenergi pada mahasiswa yang diteliti.
Evaluasi Persepsi Interprofessional Education dan Efektivitasnya Pada Tingkat Pengetahuan Tenaga Kesehatan Tentang KB Oral dan Suntik di Kota Bandung Ikhwan Yuda Kusuma; Kusnandar Anggadiredja
JPSCR: Journal of Pharmaceutical Science and Clinical Research Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.642 KB) | DOI: 10.20961/jpscr.v5i1.39270

Abstract

Pembangunan di bidang kesehatan dipengaruhi pertumbuhan penduduk. Provinsi Jawa Barat memiliki populasi penduduk terbanyak di Indonesia. Upaya pemerintah menekan laju pertumbuhan penduduk ialah melalui optimalisasi penggunaan kontrasepsi pada program Keluarga Berencana (KB). Metode kontrasepsi terbanyak di Jawa Barat, khususnya Kota Bandung dengan KB oral dan KB suntik. Optimalisasi kinerja tenaga kesehatan diperlukan agar mampu memberikan informasi yang relevan kepada akseptor KB untuk meningkatkan kepatuhan. Interprofessional Education (IPE) merupakan satu upaya mewujudkan program pelayanan KB yang berkualitas, melalui peningkatan kompetensi pelayanan KB. Kolaborasi interprofesi diharapkan mampu memberikan peningkatan kompetensi, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerjasama secara efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan tenaga kesehatan (apoteker, asisten apoteker, dokter, perawat, bidan, dan Sarjana Kesehatan Masyarakat) di Puskesmas yang bertanggungjawab dan berkaitan langsung dalam pelayanan KB dan Petugas Lapangan KB (PLKB) penanggungjawab di tingkat kecamatan terkait obat kontrasepsi oral dan suntik serta mengevaluasi persepsi tenaga kesehatan terhadap IPE di kota Bandung. Metode penelitian ini adalah eksperimental tipe one group pre-post test design. Hasil analisis menunjukkan tingkat pengetahuan tenaga kesehatan, sebanyak 5 orang mengalami penurunan, 152 orang mengalami peningkatan dan 4 orang tidak mengalami perubahan. Sedangkan hasil analisis mengenai persepsi tenaga kesehatan terhadap IPE, sebanyak 22 orang mengalami penurunan, 114 orang mengalami peningkatan, dan 25 orang tidak mengalami perubahan. Kesimpulan penelitian ini ialah IPE Focus Group Discussion secara signifikan mampu meningkatkan pengetahuan tenaga kesehatan tentang KB oral dan suntik serta secara signifikan meningkatkan persepsi untuk berkolaborasi antar profesi.
EFEK DIKLOFENAK DAN VCO TERHADAP EKSPRESI RESEPTOR EP3 PADA TIKUS STRAIN WISTAR ADIKSI NIKOTIN KONDISI DEPENDENCE Dian Anggraeny; Anggraini Barlian; Kusnandar Anggadiredja
Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 1 No 1 (2017): Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (654.12 KB)

Abstract

Perilaku ketergantungan rokok timbul akibat adanya nikotin sebagai komponen psikoaktif utama. Salah satu mekanisme yang diduga berperan adalah proses fisiologis yang melibatkan metabolisme asam arakhidonat yang dapat diamati melalui perubahan ekspresi gen reseptor epiprostanoid (EP3) di otak. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari ekspresi reseptor EP3 pada model tikus adiksi nikotin kondisi dependence, dan yang diberi pre-treatment dengan diklofenak dan VCO. Tikus-tikus secara random dibagi menjadi: kelompok 1 (N) diberi nikotin saja (0,5mg/kg i.p.), kelompok 2 (Nd) diberi pre-treatment diklofenak (3,2mg/kg i.p.) dan kelompok 3 (NVCO) diberi pre-treatment VCO (5ml/kg p.o.) sebelum pemberian nikotin. Pengukuran ekspresi dilakukan saat tikus telah mengalami ketergantungan (dependence) menggunakan metode Conditioned Place Preference (CPP). Tikus-tikus diambil bagian otak hipokampus dan bulbus olfaktoriusnya, kemudian dilakukan isolasi protein, elektroforesis dan ditransfer ke membran PVDF menggunakan metode Western Blotting. Selanjutnya dilakukan teknik Enhanced Chemiluminescence (ECL) menggunakan antibodi primer rabbit polyclonal anti reseptor EP3 (Abcam) dan antibodi rabbit polyclonal anti-actin (Abcam) sebagai kontrol internal. Pita yang terbentuk didedahkan pada film dan dihitung dengan scion image secara semi kuantitatif. Ekspresi reseptor EP3 paling tinggi ditemukan pada kelompok tikus yang hanya diberi nikotin, dan menurun pada kelompok tikus yang diberi diklofenak dan VCO. Pada sampel dari tikus yang diberi VCO, teramati penurunan ekspresi reseptor EP3 yang sebanding dengan yang diberi diklofenak. Paparan nikotin secara berulang akan meningkatkan ekspresi reseptor EP3 yang dapat ditekan dengan pemberian diklofenak. Penurunan ekspresi reseptor EP3 dengan pemberian VCO memiliki pola yang mirip dengan pemberian diklofenak. DOI : 10.35990/mk.v1n1.p15-31
Studi Laporan Kasus Reaksi yang Merugikan Pasca Vaksinasi Covid-19: Narrative Review Ainina Al Shadrina; Kusnandar Anggadiredja
Acta Pharmaceutica Indonesia Vol. 47 No. 2 (2022)
Publisher : School of Pharmacy Institut Teknologi Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.5614/api.v47i2.19511

Abstract

The accelerated Covid-19 vaccines’ emergency use authorization raises many questions regarding the safety and effectiveness of the vaccine due to the short duration of the pre-marketing clinical trial phase. In terms of vaccine safety, longer studies are needed, especially to see if there are long-term effects or unusual effects that were not detected during pre-marketing clinical trials. This study aims to summarize and assess the adverse reactions that occur after the administration of the Covid-19 vaccine that has obtained approval for emergency use. The search for case reports was carried out in the PubMed database with the keyword "case report on post covid-19 vaccination". Screening for duplication and assessment of each study was also carried out. The case findings obtained were then grouped based on patient demographics, type of vaccine, post-vaccination effects, medical interventions, and end results. There were 118 case reports of adverse effects after the Covid-19 vaccination. The most widely used type of vaccine was mRNA vaccine (76 cases; 64.41%) and the least was inactivated virus vaccine (3 cases; 2.54%). The most reported cases were those affecting the cardiovascular/circulatory/lymphatic system (42 cases; 35.59%) and the least were those affecting the respiratory system (1 case; 0.85%). A total of 89 cases were resolved (89 cases; 75.42%), 4 cases (3.39%) with disability and 2 cases (1.69%) of death were reported. The medical interventions used were mostly inflammatory response-related interventions.
PENGEMBANGAN MODEL HEWAN AUTISME PADA MENCIT YANG DIINDUKSI METILMERKURI PADA KONDISI PRENATAL Tiara - Berliani; Andreanusi A Soemardj; Kusnandar - Anggadiredja
JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI INDONESIA Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Sekolah Tinggi Farmasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (785.637 KB) | DOI: 10.58327/jstfi.v6i2.67

Abstract

AbstrakHubungan antara paparan merkuri melalui konsumsi ikan dengan autisme saat ini menjadi perhatian publik, dimana terdapat hipotesis bahwa paparan merkuri saat prenatal berperan penting dalam etiologi autisme. Merkuri dapat menimbulkan kerusakan dan kematian neuron di otak dimana kondisi tersebut hampir sama ditemukan pada diagnosa autisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengatahui apakah induksi metilmerkuri pada kondisi prenatal dapat membentuk model mencit autisme pada anakan mencit (F1). Pembentukan model hewan autisme dilakukan dengan menginduksi mencit menggunakan dosis oral tunggal metilmerkuri klorida 4 mg/Kg dan 8mg/Kg, Pemberian dilakukan pada kondsi prenatal pada GD10. Pengaruh pemberian metilmerkuri diamati melalui pengamatan perilaku yang berkaitan dengan beberapa gangguan yang terjadi pada kondisi autisme. Parameter uji yang diamati meliputi aktivitas lokomotor menggunakan Open Field, abnormalitas interaksi sosial menggunakan Three Chambered Apparatus, perilaku berulang melalui Uji Marble Burying, Self-Grooming dan Digging serta uji intelegensia (kecerdasan) menggunakan Hebb-William Maze. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian metilmerkuri pada kondisi prenatal dosis oral 4mg/Kg maupun 8mg/Kg berpengaruh terhadap F1 mencit dimana terjadi gangguan perilaku seperti hiperaktifitias, defisit interaksi sosial, perilaku berulang yang terus-menerus, serta defisit memori spasial. Pengaruh metilmerkuri terhadap gangguan perilaku berbeda antara jenis kelamin pada F1 mencit. Induk yang diinduksi metilmerkuri 4mg/Kg gangguan secara umum dialami oleh F1 betina, sementara induk yang diinduksi metilmerkuri dosis 8mg/Kg mengakibatkan gangguan perilaku yang secara umum dialami oleh F1 jantan. Pemberian dosis oral tunggal metilmerkuri 8mg/Kg GD10 berpotensi membentuk model mencit autisme. Kata kunci: Metilmerkuri, model hewan autisme, prenatal AbstractCorrelation between mercury exposure through fish consumption with autism increased public awareness, there is emerging evidence supporting the hypothesis that autism may result from mercury prenatal exposure. Mercury exposure can cause damage until death of neurons in the brain where these conditions can be found in autism diagnosis as well. The aims of this study are to determine whether methyl mercury can form autism mice model. Forming animal model of utism is by inducing using single oral dose 4mg/Kg and 8mg/Kg of methylmercury chloride. Methylmercury chloride is given by prenatal condition on GD10. The effect of methyl mercury was observed by behavioral studies that represent some disorder that occurs on the condition of autism. Behavioral study including observation of locomotor activity in the Open Field, abnormality social interactions using Three Chambered Apparatus, repetitive behaviors by Marble Burying Test, Self-Grooming and Digging and also intelligence using Hebb-William Maze. Oral inducing prenatal of methyl mercury dose 4mg/Kg or 8mg/Kg affected in F1 mice in which occurs behavioral disorders such as hyperactivity, social interaction deficits, repetitive behaviors, as well as spatial memory deficits. The effect of methylmercury on behavioral disorders differ between the sexes in F1 mice. Mother that induced by methylmercury 4mg/kg generally caused disorders by F1 females, while mother that induced by methylmercury 8mg/kg caused behavioral disorder that are commonly by F1 male. Methylmercury single oral dose 8 mg/Kg administration prenataly in mice on GD10 potentially form of autism. Keywords : Methylmercury, mice model of autism, prenatal.
ETIOLOGI, PREVALENSI, BIAYA DAN KUALITAS HIDUP PENDERITA NYERI NEUROPATIK: KAJIAN SISTEMATIK Yedy Purwandi Sukmawan; Lia Amalia; I Ketut Adnyana; Kusnandar Anggadiredja
Jurnal Kesehatan Bakti Tunas Husada: Jurnal Ilmu-ilmu Keperawatan, Analis Kesehatan dan Farmasi Vol 22, No 1 (2022)
Publisher : LPPM Universitas Bakti Tunas Husada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36465/jkbth.v22i1.904

Abstract

EVALUASI KESESUAIAN PERESEPAN OBAT RAWAT JALAN TERHADAP FORMULARIUM OBAT PADA SALAH SATU PROVIDER ASURANSI KESEHATAN KOMERSIL DI BANDUNG Eva Kusumahati; Kusnandar Anggadiredja; Lucy Lustiani
Medical Sains : Jurnal Ilmiah Kefarmasian Vol 2 No 1 (2017)
Publisher : Sekolah Tinggi Farmasi Muhammadiyah Cirebon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37874/ms.v2i1.33

Abstract

Penggunaan formularium obat di asuransi dapat menjamin standar peresepan yang berkualitas baik dan efisiensi biaya. Akan tetapi masih banyak provider yang menulis resep non formularium sehingga banyak keluhan obat dari peserta asuransi. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi dan menilai kesesuaian peresepan obat terhadap Formularium obat suatu asuransi. Penelitian ini merupakan penelitian observasi yang bersifat deskriptif analitik terhadap resep-resep yang datang di depo rumah sakit swasta di Bandung, khusus pasien sebagai peserta salah satu asuransi kesehatan komersil di Bandung. Analisis kuantitatif mengenai data untuk mengetahui persentase peresepan obat oleh dokter dilakukan berdasarkan berbagai kriteria diantaranya dari asal kunjungan poliklinik, jenis obat generik dan non generik, serta kesesuaian diagnosa dengan kelas terapi yang tercantum dalam formularium. Analisis kualitatif untuk mendeskripsikan kesesuaian antara resep dan pelayanan yang diberikan. Dari sejumlah 25 poliklinik yang ada di depo farmasi rawat sebanyak 15 poliklinik yang masih menuliskan obat non formularium. Sementara itu,obat generik yang diresepkan ada363 (42%) dan obat non generik yang diresepkansebanyak 535 item obat (58%). Berdasarkan sub kelas terapi obat, yang diperoleh daritotal 330 resep terdapat27 resep (8%) obat non formularium, sedangkan yang sesuai dengan formularium obat asuransi sebanyak303 resep (92%).Tinjauan terhadap kesesuaian penulisan resep dengan diagnosis menunjukkan 100%sesuai. Berdasarkan analisa kuantitatif menunjukkan masih ada 8% dari total 898 item obat diresepkan yang tidak sesuai dengan formulariumdan berdasarkan analisa kualitatif menunjukkan masih ada beberapa dokter yang menuliskan obat non formularium.
Healthcare Professionals’ Attitudes towards Adverse Drug Reactions Reporting in Primary Healthcare Settings: A Cross-sectional Survey Cindra Tri Yuniar; Rizka Zu Fadhilah; Kusnandar Anggadiredja; Lia Amalia
JURNAL MANAJEMEN DAN PELAYANAN FARMASI (Journal of Management and Pharmacy Practice) Vol 14, No 1
Publisher : Faculty of Pharmacy, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jmpf.87108

Abstract

Background: Spontaneous Adverse Drug Reactions (ADRs) reporting is a key to improving the post-marketing safety of medicines. The important factor of under-reporting is lack of awareness for the purpose of ADRs monitoring and reporting. Spontaneous reporting is performed by the patients or consumer to the healthcare professionals and/or industry, then the healthcare facilities and industry should report the suspected ADRs to the National Agency of Drugs and Food Control (NADFC). To date, there is a lack information and study about attitudes on ADRs reporting by healthcare professionals (HCPs), especially in primary healthcare settings.Objectives: The aim of this study was to identify the attitudes towards ADRs reporting by healthcare professionals (HCP).Methods: This research was survey study with cross-sectional design, from November 2022-March 2023. The questionnaire, that have been validated and reliable, was distributed to 3 primary healthcare facilities. demographic data questions (6 items), experiences (3 items), knowledge (4 items), and motives for reporting (1 item).Results: Total 39 HCPs completed the survey, including 14 nurses, 9 midwifes, 3 general physicians, 3 pharmacists, and 10 other professions. Most of respondents were women (84.6%), and mostly the HCPs have been working for ≥5 years (74.3%). Among 39 respondents, only 1 pharmacist have a good attitude about ADRs reporting. The other HCPs had a lack of knowledge and safety awareness. The dominant motives for reporting the ADRs was serious or severe ADRs (39.4%) and the assurance of causality assessment by suspected drugs (15.4%).Conclusion: In conclusion, the HCPs in primary healthcare settings had poor attitudes towards ADRs reporting.