Claim Missing Document
Check
Articles

SINERGI BUMN DALAM PENGADAAN BARANG DAN/ATAU JASA DALAM PERSPEKTIF PERSAINGAN USAHA Anna Maria Tri Anggraini
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 25, No 3 (2013)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (312.771 KB) | DOI: 10.22146/jmh.16072

Abstract

From the Competition Law perspective, the basic principles of procurement among others are transparency, non-discrimination and efficiency. For that purpose some regulations were established such as Law No. 5 of 1999 and Presidential Regulation regarding bid rigging prohibition. However, still there is a ministerial regulation regarding the synergy of State-Owned Enterprises that contravene with fair competition principles that enable to appoint a subsidiary of a State-Owned Enterprises directly without bidding. Such practice is violation to Article 22 and Article 19 d of Law No. 5 Year 1999 concerning Prohibitionof Monopolistic Practices and Unfair Business Competition. Prinsip dasar sistem pengadaan barang/jasa dari perspektif Hukum Persaingan Usaha diantaranya transparansi, non diskriminasi, dan efisiensi. Untuk itu, dibentuk beberapa regulasi berupa undang-undang dan peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor 5 Tahun 1999 dan Peraturan Presiden yang melarang persekongkolan tender. Namun demikian, terdapat peraturan yang bertentangan dengan prinsip persaingan yakni Peraturan Menteri tentang Sinergi BUMN, yang memberi peluang dilakukannyapenunjukan langsung kepada anak perusahaannya, untuk melaksanakan proyek pengadaan barang/jasa. Hal ini merupakan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat, khususnya Pasal22 dan Pasal 19 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
MENYELISIK ISU PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA KLAUSULA EKSONERASI DI SEKTOR JASA KEUANGAN DAN RETAIL DENGAN PENDEKATAN MIXED METHODS Rizka Syarifa; Laeli Rahmawati; Putri Fildzah Andini; Megawati Simanjuntak; Anna Maria Tri Anggraini
Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen Vol. 15 No. 2 (2022): JURNAL ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN 15.2
Publisher : Department of Family and Consumer Sciences, Faculty of Human Ecology, IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (304.924 KB) | DOI: 10.24156/jikk.2022.15.2.178

Abstract

Sepanjang tahun 2021, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) telah menerima 2.113 pengaduan dari sektor jasa keuangan dan 427 dari sektor retail yang mana permasalahan terkait klausula eksonerasi adalah salah satu masalah yang sering diadukan oleh konsumen. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pengetahuan dan sikap terhadap perilaku terkait klausula eksonerasi, dan mengeksplorasi peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam pengawasan klausula eksonerasi. Penelitian ini menggunakan metode campuran sekuensial yang mengombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Survei dilakukan terhadap 170 responden yang dipilih secara sukarela. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pengetahuan, sikap, dan perilaku terkait klausula eksonerasi masih kurang. Hanya pengetahuan yang berpengaruh signifikan terhadap sikap konsumen. Kemudian, hasil wawancara mendalam menyimpulkan bahwa peran BPSK masih belum efektif dan cenderung pasif dalam mengawasi pencantuman klausula eksonerasi. Hal ini disebabkan belum adanya petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan yang jelas terkait pelaksanaan pengawasan pencantuman klausula eksonerasi. Oleh karena itu, diperlukan satu lembaga khusus dengan wewenang memeriksa, memvalidasi, dan mensertifikasi klausula baku sebelum diberlakukan kepada konsumen.
PENERAPAN DOKTRIN SINGLE ECONOMIC ENTITY DALAM PUTUSAN-PUTUSAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Anna Maria Tri Anggraini
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 2 No. 2 (2020): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (637.647 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v2i2.9024

Abstract

Doktrin Single Economic Entity (SEE) merupakan doktrin yang dikenal dalam rezim persaingan usaha yang mengakui, bahwa beberapa perusahaan yang terkait dalam suatu kelompok usaha yang tergabung dalam induk perusahaan (holding company) adalah satu entitas ekonomi. Dontrin ini digunakan pertama kali oleh KPPU dalam perkara Nomor 7/KPPU-I/2008 tentang Dugaan Pelanggaran Kepimilikan Saham Silang oleh Kelompok Temasek. Penelitian ini mengajukan dua permasalahan, yakni bagaimana pengertian dan batasan Kelompok Usaha yang dapat dikatagorikan sebagai SEE menurut UU No. 5/1999, dan bagaimana KPPU menerapkan doktrin SEE dalam perkara-perkara pelanggaran terhadap UU No. 5/1999 dalam Putusan KPPU No. 3/KPPU-L/2008 dan Putusan No. 07/KPPU-I/2008. Penelitian ini merupakan penelitian normative yang menggunakan data sekunder berupa putusan-putusan kppu yang telah final dan mengikat serta undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang terkait. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa penentuan kriteria kelompok usaha sebagai SEE dalam hukum persaingan adalah adanya pengendalian dalam menentukan kebijakan perusahaan oleh induk perusahaan terhadap anak perusahaan; selain itu, KPPU menerapkan doktrin SEE untuk menjaring pelaku usaha yang berdomisili di luar negeri berdasarkan Pasal 27 untuk Perkara Nomor 7/KPPU-I/2007 dan Pasal 16 untuk Putusan Perkara Nomor 03/KPPU-I/2008 tentang Hak Siar Barclays Premier League (Liga Utama Inggris). Kata kunci: Doktrin Single Economic Entity, pengendalian.
Aspek Monopoli Atas Cabang Produksi yang Menguasai Hajat Hidup Orang Banyak Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha Anna Maria Tri Anggraini
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 2 No. 4 (2010): Jurnal Hukum Prioris Volume 2 Nomor 4 Tahun 2010
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1475.261 KB) | DOI: 10.25105/prio.v2i4.337

Abstract

Istilah monopoli seringkali diterjemahkan secara negatif oleh berbagai kalangan mengingat dampak terhadap penyalahgunaannya seringkali menghambat persaingan dan bahkan merugikan masyarakat. Definisi monopoli dalam UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya ditulis UU Nomor 6/1999) adalah “penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh salah satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”. Monopoli di beberapa negara kadangkala diperlukan oleh masyarakat terutama di sektor-sektor industri yang strategis, yang pada dasarnya termuat juga dalam Pasal 33 UUD 1945. Penguasaan atas cabang-cabang produksi tersebut oleh UUD 1945 diserahkan kepada negara agar dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemberian kekuasaan kepada negara diartikan sebagai pemberian kewenangan untuk mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum antara orang-orang dalam hubungannya dengan pengelolaan sumber daya alam. Pasal 51 UU Nomor 5/1999 menyiratkan pengertian bahwa pelaksanaan monopoli dan/atau pemusatan kegiatan oleh negara terhadap kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang produksi yang penting bagi negara diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa tidak selamanya monopoli dilarang, bahkan dalam hal-hal tertentu monopoli oleh negara di sektor industri strategis dikecualikan oleh sebuah undang-undang.
Penggunaan Bukti Ekonomi Dalam Kartel Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha Anna Maria Tri Anggraini
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 3 No. 3 (2013): Jurnal Hukum Prioris Volume 3 Nomor 3 Tahun 2013
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.891 KB) | DOI: 10.25105/prio.v3i3.366

Abstract

Kartel merupakan tindakan anti persaingan yang membawa dampak paling signifikan, baik terhadap pesaing maupun konsumen. Di beberapa negara, kartel dianggap sebagai tindakan kriminal disertai denda pidana dan/atau kurungan. Mengingat dampak atas kartel terhadap konsumen berupa kerugian, maupun terhadap pesaingnya berujud hambatan masuk (entry barrier) ke pasar  bersangkutan, maka terdapat sistem pembuktian kartel dengan penggunaan bukti ekonomi. Hal ini dilakukan guna mengatasi kesulitan mengungkap kartel, karena hampir semua kartel tidak dilakukan dengan perjanjian tertulis. Tulisan ini menggunakan data sekunder berupa putusan-putusan KPPU di bidang industry minyak goreng dan fuel surcharge di industri penerbangan. Bukti ekonomi sangat diperlukan guna mendukung bukti langsung (direct evidence) yang biasanya sulit ditemukan dalam kartel. Bukti ekonomi tersebut berupa analisis atas harga yang sifatnya paralel dan terkoordinasi dengan cara mendata harga yang ditetapkan para pelaku dalam industri sejenis, dalam kurun waktu tertentu, dengan tingkat harga yang sangat tinggi. Bukti ekonomi ini merupakan implementasi pendekatan rule of reason di mana KPPU harus membuktikan dampak atas kartel baik terhadap pesaing maupun konsumen. Pembuktian unsur merupakan tindakan yang harus dilakukan untuk memenuhi syarat formil, sedangkan bukti ekonomi diperlukan untuk memenuhi syarat material dalam suatu pembuktian. Sebaiknya, bukti ekonomi harus disertai bukti lain yang saling melengkapi (cicumstancial evidence), sehingga dapat meyakinkan semua pihak dalam menerima sistem pembuktian yang spesifik yang dikenal dalam Hukum Persaingan.Key Words : Larangan Kartel, Bukti Ekonomi
KEWAJIBAN MENYAMPAIKAN PEMBERITAHUAN PENGAMBILALIHAN SAHAM PERUSAHAAN TERAFILIASI PT. CIPTA MULTI PRIMA OLEH PT DARMA HENWA TBK KEPADA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU) DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERSAINGAN USAHA Gladys Prita Pertiwi; Anna Maria Tri Anggraini
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 1 No. 1 (2019): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (257.96 KB) | DOI: 10.25105/refor.v1i1.10426

Abstract

Kewajiban menyampaikan pemberitahuan pengambilalihan saham kepada KPPU wajib dilakukan oleh para pelaku usaha, kewajiban pelaporan tidak berlaku apabila pengambilalihan dilakukan oleh perusahaan yang terafiliasi namum terdapat perbedaan pemahaman mengenai terafiliasi dalam peraturan perundang-unudangan. Permasalahan dalam penulisan ini adalah: 1. Bagaimana kewajiban penyampaian pengambilalihan saham PT. Cipta Multi Prima oleh PT Darma Henwa Tbk kepada KPPU berdasarkan Peraturan Perundang-undangan dibidang Persaingan Usaha? 2. Bagaimana pemahaman terafiliasi menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam putusan perkara Nomor 09/KPPU-M/2017? Penelitian ini menggunakan tipe penelitian yuridis-normatif yang bersifat deskriptif dimana menggunakan data sekunder dan primer, dan data diolah secara kualitatif dan pengambilan kesimpulan dengan logika deduktif. Kesimpulan penelitian adalah: (1) bahwa PT Darma Henwa telah memenuhi tiga unsur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 jo. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 sehingga KPPU memberikan sanksi berupa denda administratif Rp 3.750.000.000,00 (2) Pemahaman mengenai terafiliasi yang diterapkan oleh KPPU yaitu yang berada dalam Peraturan PerundangUndangan dibidang Persaingan Usaha pada Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2010 dan bukan yang berada dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995.
KEMUDAHAN PERIZINAN BERUSAHA PADA SEKTOR PERTAMBANGAN NIKEL DI INDONESIA PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2020 TENTANG CIPTA KERJA Syukron Mahal Frawansa; Anna Maria Tri Anggraini
UNES Law Review Vol. 5 No. 4 (2023): UNES LAW REVIEW (Juni 2023)
Publisher : LPPM Universitas Ekasakti Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31933/unesrev.v5i4.476

Abstract

Nickel mining activities include various stages, such as investigation, exploration, feasibility study, building, mining, processing, refining, transportation, and post-mining are all examples of mining operations. The government has the authority to manage nickel mining, but usually grants licenses to other parties to carry out mining activities. Law Number 11/2020 on Job Creation was introduced to simplify licensing and bureaucracy. The purpose of this study is to assess the influence of the law on the ease of business licencing and management of nickel mining in Indonesia. The research utilized both legal and non-legal materials and resulted in a descriptive and analytical juridical study. The study determined that nickel mining activities need a central government business licence, which is now simpler to obtain with a business identity number, standard certificate, and permission. The management of nickel mining following the passage of Law Number 11 of 2020 on Job Creation has had environmental and social consequences.
The Form and Pattern of Business Actors Requirements in Exclusive Dealing: A Rule of Reason Approach Anna Maria Tri Anggraini; Ahmad Sabirin; Yoel Nixon A Rumahorbo
Yustisia Vol 12, No 2: August 2023
Publisher : Faculty of Law, Universitas Sebelas Maret

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20961/yustisia.v12i2.73316

Abstract

Tying is usually defined as the dominant company selling one product since the buyer must also purchase a different product or agree not to purchase the bonded product from other suppliers. This paper analyzes requirements imposed by the reported business actor on other parties deemed to have violated the tying and bundling under competition law in Indonesia, the U.S., and the European Union. Also, it discusses the application of the Rule of Reason by the competition commission in these three region. This study uses a comparative law approach. The results of the analysis show that a tying agreement is an agreement that requires the recipient of the supply to buy other products that are not necessarily needed. Usually, these agreements are entered into by two affiliated companies or at least cooperating partners, one of which occupies a dominant position to prevent competitors from entering the relevant market. Not all tying agreements have a negative impact. Therefore, an impact analysis is needed through a rule of reason approach, especially in digital-based industries.
PERLINDUNGAN KONSUMEN PERUMAHAN DALAM JUAL BELI RUMAH DENGAN SISTEM PRE PROJECT SELLING Jhon Haward Hutagaol; Anna Maria Tri Anggraini
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 3 No. 4 (2021): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (276.511 KB) | DOI: 10.25105/refor.v4i2.13611

Abstract

Developers make more sales using the pre-project selling system, in which developers start selling before the project is built, where the properties being sold are still new in the form of images or concepts, but in the course of transactions with the system, many consumer rights are violated by business actors. Based on this, the author discusses the problem of consumer rights being violated and efforts to restore Darwin's consumer rights based on Supreme Court Decision Number 653 K/Pdt.Sus-BPSK/2021. This article uses normative research, using secondary, primary legal, and tertiary legal materials. The author concludes that there is a discrepancy in the transaction between Darwin and PT Buana Cipta Propertindo, thereby violating consumer rights as stated in Law number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and laws and regulations in the housing sector. The author also considers that the Supreme Court Decision which annulled BPSK and Batam District Court decisions does not support efforts to restore consumer rights and does not accommodate the Consumer Protection Act because BPSK should have the ability and authority to examine the dispute between Darwin and PT Buana Cipta Propertindo based on an agreement.
PRAKTIK DISKRIMINASI PT GARUDA INDONESIA (PERSERO) TERKAIT PROGRAM WHOLESALER Alfiyyah Inayah Taqyuddin; Anna Maria Tri Anggraini
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 3 No. 3 (2021): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (248.033 KB) | DOI: 10.25105/refor.v4i3.13821

Abstract

In March, PT Garuda Indonesia (Persero) issued GA Info which appointed six wholesalers in the distribution of direct sales of Jeddah - Medina umrah tickets and resulted in market barriers for 301 PPIUs to gain access to Garuda Indonesia tickets. The formulation of the problem is; how is the activity or behavior of PT Garuda Indonesia (Persero) in carrying out discriminatory practices resulting in losses to other business actors based on Article 19 letter d of Law Number 5 Year 1999? and whether the considerations of the KPPU Panel in deciding case Number 06/KPPU-L/2020 are in accordance with Law No. 5/1999 and applicable laws and regulations in the field of competition law? Research method is normative, descriptive in nature using secondary data obtained through literature studies and interviews. The data is qualitatively with deductive inference. The results of the research, discussion and conclusions of the author are; that Garuda Indonesia's activities in carrying out discriminatory practices are by appointing six wholesalers, resulting in 301 wholesalers not being able to access airplane tickets directly through Garuda Indonesia and the consideration the KPPU Panel in deciding case Number 06/KPPU-L/2020 is in accordance with Law No. 5/1999 and regulations in field competition law.